Oleh: Muhammad Nasir
Islam diyakini sebagai sebuah agama yang memperhatikan seluruh kebutuhan umat manusia. Termasuk di dalamnya dorongan untuk menuntut ilmu. Dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan, umat Islam pernah menhalami kejayaan pada masa kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Demikiannya juga kehadiran universitas Islam semisal Universitas al Azhar di Kairo didorong oleh semangat menuntut ilmu.
Namun setelah serangan Hulaghu Khan pada abad ke-13 Islam mengalami kemunduran. Beberapa saat setelah itu, dengan semangat kemodernan dan rasionalitas, Barat sebagai representasi kawasan Kristen mengalami kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan ini menurut umat Islam ternyata tidak diimbangi dengan agama dan spiritualitas yang baik. Barat diduga telah meninggalkan etika kemanusiaan dalam memajukan ilmu pengetahuan. Tidak heran, ilmu pengetahuan pada akhirnya ditunggangi oleh kepentingan kolonialisme dan kapitalisme.
Pada sisi lain, umat Islam mulai menyadari ketertinggalannya dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam hal yang menyangkut kebutuhan praktis manusia. Untuk urusan ini, umat Islam dapat menerima Barat tetapi sesuatu yang tidak patut ditiru adalah keterlepasan ilmu Barat dengan nilai-nilai agama, terutama pasca “perang” supremasi ilmu dan geraja era modern (abad ke-17 M). Hal ini mendorong ilmuwan muslim untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi berbasis agama.
Persoalan yang muncul, mengapa Islam berkepentingan mendasari ilmu (termasuk ilmu yang berasal dari barat) dengan agama? Apakah Ilmu keislaman punya metodologi sendiri?Menjawab hal tersebut, yang perlu didudukkan pemahamannya adalah; apakah agama itu ilmu atau ilmu itu agama? Atau mungkinkah kedua kata itu muradif (sinonym) atau Musytarak?
Menurut Dr. Imaduddin Khalil (1994) ilmu dan agama mengacu kepada makna yang sama. Menurutnya, Al Qur’an sering menggunakan kata al’ilm sebagai istilah untuk agama yang diajarkan para nabi.
Jika Ilmu keislaman merujuk pendapat Imaduddin Khalil di atas berarti Agama Islam itu sendiri, maka ilmu keislaman memeiliki metodologi sendiri. Menurut Mukti Ali (1996) metodologi memahami Agama Islam adalah metode tradisional (naqly) dengan menggunakan petunjuk dalil-dalil (nash) al Qur’an dan al Hadits, metode rasional (Aqly) dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan kaidah-kaidah berpikir logis (manthiq) dan metode mistis (kasyf) dengan menggunakan pendekatan intuisi, illumiation, ma’rifah dan istilah lain yang mengacu kepada makna yang sama.
Etika Ilmu Pengetahuan
Pada masa Yunani ilmu tidak terikat dengan nilai. Menurut Aristoteles ilmu tidak mengabdi kepada fihak lain. Ilmu digeluti manusia untuk ilmu itu sendiri (le’science pour le’science). Ilmu adalah sesuatu yang mewah yang dapat dilakukan oleh segelintir orang yang sudah mapan. Hal ini berangkat dari ucapan primum vivere, diende philosophari.
Pada fase rasional dan empiric (abad ke 17), ilmu mulai terikat nilai. Hal ini berangkat dari pertanyaan, apa sebenarnya tujuan ilmu pengetahuan? Pertanyaan ini memunculkan jawaban kegunaan ilmu untuk menjawab kebutuhan manusia. Van Peursen menyatakan, tugas ilmu adalah menjawab keresahan manusia. Maka keresahan adalah jarak yang prinsipil ke arah kebenaran. Kebenaran sebagai tugas ilmu pada hakikatnya adalah sebuah nilai.
Pada masa keemasan keilmuan Barat modern perdebatan tentang etika keilmuan beralih kepada aspek teoritis dan aspek praktis ilmu pengetahuan. Paradigma keilmuan Barat modern cendrung berpendapat ilmu pengetahuan dari aspek teoritis bebas nilai (netral). Hal ini disebabkan kegiatan ilmiah bertujuan hanya menyusun teori-teori keilmuan dan mewujudkan karya praktis ilmu pengetahuan (teknologi). Orang bebas berbuat apa saja untuk kepentingan ilmiah.
Setelah jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki tahun 1945, perdebatan tentang ini terus berlanjut. Pembahasan melebar kepada aspek konsekwensi logis dan tanggung jawab ilmu pengetahuan. Apakah penemu atom (yang bergerak dalam tataran teoritis) dapat disalahkan atas kejadian tersebut? Ataukah tentara sekutu yang menjatuhkan (secara praktis) menggunakan bom atom untuk tujuan membunuh manusia?
Untuk melihat apakah ilmu bebas nilai atau terikat nilai, maka harus dilihat dari dua aspek; pertama, etika teleologis (tujuan ilmu), kedua, etika ontologis (hakikat ilmu).
Jadi ilmu pengetahuan dalam tataran teoritis bebas nilai dalam arti secara ontologis, kegiatan ilmiah dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang agama, etnis, ideology dan bangsa. Kecuali nilai yang boleh mengikat adalah kebenaran/ hikmah/ kebijaksanaan. Dalam tataran praktis ilmu harus tunduk kepada nilai-nilai universal yaitu mengabdi untuk kebenaran. Berdasarkan uraian di atas, tidak mungkin ilmu lepas dari nilai.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan bergerak pada dua poros utama yaitu: teoritis dan praktis. Dari segi teoritis pembahasan menyangkut paradigma bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan. Dari segi praktis pembahasan menyangkut nilai kegunaan, tujuan sains modern yang rasional obyektif serta menyangkut nilai pemanfaatan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Ada yang mengatakan sains yang sekarang tidak islami seperti kata Sayyed Hossein Nasr, karena ilmu pengetahuan modern yang berkiblat ke Barat sudah lepas dari nilai teologisnya (agama). Cara kerja ilmu pengetahuan sudah mengabaikan prinsi-prinsip agama. Ada yang mengatakan bahwa sains itu netral seperti almarhum Abdussalam. Oleh karena itu yang perlu dilakukan bukanlah islamisasi sains, tetapi modernisasi ilmu-ilmu kalam, fiqh dan tasawwuf. Kemunduran peradaban Islam bersumber pada ketidak mampuan umat Islam menggali Quran secara ilmiah di satu pihak dan kegagalan mengakomodasi tuntutan-tuntutan zaman sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi.(Armahedi Mahzar, 2002)
Dengan demikian terdapat sebuah spektrum pandangan mengenai relasi sains modern dan Islam. Dari sains itu tak islami, lewat sains itu netral hingga sains itu sudah islami (terikat nilai).Sebagai proses, sains tak dapat dilepaskan dan konteks sosial dan kultural yang selalu berkembang sesuai dengan kemajuan sains sebagai produk dan teknologi sebagai aplikasi sains.
Dari segi prakteknya, sains terapan (teknologi) itu bagaikan pisau: di tangan pembunuh dia menjadi senjata yang mematikan, di tangan dokter bedah dia menjadi penyelamat manusia. Begitu juga teknologi, misalnya teknologi nuklir bisa digunakan untuk penghancur, namun dia bisa digunakan untuk sumber energi pengganti teknologi energi yang menggunakan bahan bakar fosil.
Ilmu dalam Islam bersifat spiritual. Di dorong oleh semangat semacam ini epistemologi Islam melahirkan rumus peran sosial ilmu dan hal-hal terlibat di dalamnya. Ilmu ditujukan untuk ibadah. Dalam hal ini al-Ghazalı merumuskan 3 kelompok ilmu yaitu 1) jenis-jenis ilmu terpuji dan tercela, 2) etika orang berilmu, dan 3) etika pengajar dan pelajar.(Nanang Tahqiq, 2002) Oleh karena itu di dalam Islam persoalan “relevansi sosial” lebih diunggulkan daripada “relevansi intelektual”, dan Islam tidak mengenal klaim “bebas nilai” dalam ilmu-pengetahuan.
Dari penjalasan di atas Islamisasi ilmu sangat perlu dilakukan, baik dari segi teoritis maupun dari segi praktis. Tetapi dalam hal penamaan, tidak perlu mencantumkan Islamnya dalam satu frasa semisal, Sastra Islam, Sosiologi Islam, metalurgi Islam, kimia Islam dan sebagainya. Selain bid’ah secara syari’at, epistemologinya pun tidak mendesak sampai ke arah itu. Kecuali dalam ilmu-ilmu tertentu yang menunjukkan kekhasannya, seperti politik Islam dan ekonomi Islam. DR. Imaduddin Khalil bahkan mengusulkan agar disusun khusus sebuah Kode Etik Keilmuan Islam.
Sekadar ilustrasi, pentingnya islamisasi, Shustery mengatakan; metode ilmiah dari Barat, etika dari Timur. Einstein, ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh (Jujun S. Suriasumantri, 1992) meskipun Shustery mengklaim ilmu itu dari Barat, namun ia tetap mengakui etika itu datang dari Timur. Islam sekarang identik dengan Timur. Wallahu a’lam bi al shawab
Penulis Aktivis
Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia
(Magistra Indonesia)Padang
Telah dimuat di Harian Haluan, Rabu 26 Maret 2008
No comments:
Post a Comment