30 December 2019

Manusia Tahan Kieh Binatang Tahan Palu

Muhammad Nasir


bakaba.co 28 Dsember 2019

Kok anok kalian, bara den tabayia? Kata bapak di sudut lapau dengan suaranya yang berat. Dari tadi, orang tua itu diam saja. Matanya terpicing-picing tanggung.  Arti kalimat bapak itu tak lebih ”jika kalian bisa diam, berapa uang yang harus saya bayarkan? Ajiib. Untuk diam pun harus dibayar.

Jangan gembira dulu! Maksud sebenarnya dari kalimat bapak itu versi Betawi-nya adalah, “lu pade bisa diem nggak?” gitu choy!

Tapi, jujur saja, penggalan situasi di atas sudah cukup langka. Peristiwa dramatik itu hanya terjadi di masyarakat kebudayaan yang homogen dan tingkat keintiman sosial yang amat rapat. Kebetulan, kalimat bapak tua tadi berasal dari masyarakat kebudayaan Minangkabau.

Sedikit saya beri ulasan, peristiwa di atas adalah teguran yang diberikan kepada sekumpulan pelapau yang terlalu larut dalam percakapan yang bising dan tak berkesudahan. Tak berujung pangkal bak ketiak ular. Ungkapan itu adalah kiasan, beliaupun tak benar-benar ingin membayar segala pihak yang terlibat dalam pembicaraan yang bising itu. Sebenarnyalah, iya sedang tidak nyaman dengan perkembangan percapakan itu dan mulai agak marah.

Namun, kalimat yang sama bisa memiliki arti yang berbeda. Misalnya, saat sekelompok mahasiswa terlibat dalam pembicaraan yang hangat dan santai. Salah satu di antara mereka sedang dijadikan banca’an, dijadikan bahan kelakar dan gurauan. Lalu yang djadikan bahan kelakar itu berucap, “Kok anok kalian, bara den tabayia?”  Nah, tebaklah apa maknanya. Biasanya kalimat itu diungkapkan dengan bahagia. Intinya, bicaralah terus tentang diriku. Aku amat menikmatinya.

Itulah sepenggal fragmen sebagai ilustrasi pembuka jalan tulisan ini.

Menyampaikan sesuatu dengan terang-terangan, bukak kulik tampak isi bukanlah kebiasaan dan karakter masyarakat Minangkabau. Jika ingin menyampaikan nasehat atau teguran biasanya dalam berbagai bentuk kiasan (kieh), metafora atau sindiran. Itulah sisa-sisa kearifan yang dimiliki masyarakat Minangkabau yang diharapkan terus terjaga sepanjang masa.

Bagi orang Minangkabau yang tak pandai berkias memilih kata, maka berhentilah jadi orang Minangkabau, atau sekalian berhenti juga jadi manusia. Termasuk jika ia sama sekali tidak faham dan tidak mempan dengan berbagai kiasan dan sindiran. Maka jadi kepuyuk sajalah. Sebab, kata pepatah manusia tahan kias, binatang tahan palu.

Jadi, Kok anok kalian, bara den tabayia? adalah ungkapan kiasan (kieh) yang menuntut kearifan dan ketajaman rasa untuk memahaminya. Apalagi kalau anda masih mau mengaku orang Minangkabau.  tak paham jua, sudah patut pula anda digado dengan palu.


Kieh sebagai maxim kesantunan berbahasa

Kieh dalam konteks keahlian berbahasa adalah bentuk kesantunan berbahasa orang Minangkabau,  kata Profesor Oktavianus (2013) ahli bahasa dari Universitas Andalas Padang. Geoffrey Leech (1983) mendefinisikan kesantunan sebagai strategi untuk menghindari konflik yang dapat diukur hasrat berkata-kata yang berpotensi menghadirkan situasi konflik.

Kemampuan berkias juga menunjukkan kemampuan menjaga harga diri masing-masing pihak agar terhindar dari konflik. Sudah lazim, bilamana konflik sering berawal dari kesalahpahaman dalam pemakaian bahasa.

Simaklah, makna terdalam dari petuah Minang ini, kok mangecek maagak-agak (jika berbicara dengan diksi seperlunya), pikia dulu kalau bakato (berpikir dulu sebelum bicara), tapi usah katokan nan tapikia (tak semua yang terpikirkan harus dikatakan), sabab luko di pisau tampak darah (sebab, lukaterkena pisau tampak darahnya), duo tigo taweh panawa (hanya butuh dua tiga tawas penawar luka), tapi luko di lidah sulik ubeknyo (tapi luka karena ucapan lidak sulit diobati)

Oleh karena itu masyarakat Minangkabau dalam  berkomunikasi sangat dianjurkan untuk berhati-hati seperti ungkapan bakato siang caliak-caliak, bakato malam danga-dangaan. Artinya, lihat situasi dulu sebelum berbicara.

Nah, ini kan ndak! Akhirnya, lama-lama habis jua keahlian berkias di Minangkabau ini. Beberapa waktu belakangan beberapa politisi [asal] Minangkabau mulai tak pandai berkias-berkata-kata. Main sembur terlongsong kata. Ketek-gadang sama saja. Datar saja negeri ini di matanya.

Mungkin ia belum membaca Kaba Cinduamato. Meski itu fiksi, namun tak ada salahnya memakai sifat rajo (orang besar) dalam berkata-kata, yaitu cadiak candokio (cerdik cendikia), arif budiman, tahu di ujuang [kieh] kato sampai (tahu kata kiasan), himaik bicaro (hemat berbicara), barani karano bana (berani berkata atas nama kebenaran), lapang dado (lapang dada, tak mudah emosi, tak asal ngegas kata anak milenial). 

Sebagai “orang gadang” Minangkabau tak patutlah para politisi itu bicara seperti sarok balai, kotor dan berserakan. Apalagi bila ia bicara dan disebar di media publik. Isi bicara dan cara menyampaikan akan dinilai oleh publik. Salah bicara di tengah balai, bisa-bisa ditegur bapak yang saya ceritakan di atas tadi. Kok anok kalian, bara den tabayia? Jika tak paham juga, kemungkinan lainnya orang gadang semacam itu bisa kena tubo. [*]




26 December 2019

Ilmu Basi

Oleh: Muhammad Nasir


Jelang siang di simpang empat lampu merah Lubuk Bagaluang. Suasana tak terlalu ramai saat lampu merah menyala. Kendaraan yang mengarah ke Taluak Bayua atau ke kanan ke arah kampus UPI berhenti. Saya berada di sana, dalam susunan yg tak teratur.

Ruas jalan itu sejatinya dapat diisi oleh tiga mobil atau empat banjar dengan kendaran roda dua. Tentu saja bila pengendara dapat membagi jalan dengan sempurna. Tapi tidak untuk siang siang itu [sebenarnya juga pada waktu-waktu yang lain). Crowded.

Satu lajur kiri mestinya dikosongkan untuk pengendara yang belok kiri menuju Indaruang. Namun entah apa yang merasukinya, satu kendaraan berhenti sempurna di lajur kiri itu. Sepertinya ia akan menuju ke arah Taluak Bayua. Alhasil beberapa kendaraan tertahan di belakang mobil yang gagah ganteng itu.

Sumber: graphicmama.com
Tingkah bertingkah bunyi klakson mengingatkan pengendara nakal tersebut. Dari atas motor Mio J biru keluaran 2013, saya lihat pengendara mobil tersebut diam saja seolah tak terjadi apa-apa. Bahkan meski truk besar dengan kesal sudah telolet-telolet di belakangnya, namun ia acuh-acuh jua. Ee...tak tuntuang, jeh!.

Tak dapat lagi bersabar, pada akhirnya sopir truk besar yang mentelolet tadi menjulurkan kepalanya ke luar mobilnya (lewat pintu mobil sebelah kanan ya). Ia lalu berteriak: "Oi...baruak! Di maa ang tagak ko?"

Ajaib, baruak itu- maksudnya sopir mobil yang menghalangi jalan tadi langsung bergerak. Ia melaju ke kesalahan ke-2, menerabas lampu merah. Dalam khazanah Minangkabau, sopir yang diper-baruk itu sedang menerapkan Ilmu Basi.

13 December 2019

Penulisan Tambo Nagari

Oleh: Muhammad Nasir
Tulisan ini sudah dimuat di bakaba.co

Kongres Sejarah Minangkabau yang diselenggarakan di Bukittinggi tanggal 16 - 18 Desember 2018 tahun lalu telah melahirkan resolusi, tentang pengkajian dan penulisan kembali sejarah Minangkabau secara total dan komprehensif dengan periodesasi yang lengkap dari perspektif orang Minangkabau sebagai tokoh.
 
Foto hadiah dari Kawanku Maizal Chaniago
Silakan cigap akun IG beliau di
https://www.instagram.com/maizalchaniago/
Tujuannya ada beberapa, yaitu pertama, untuk penguatan identitas Minangkabau sebagai salah satu identitas bangsa. Kedua, mengangkat kembali tambo sebagai sumber sejarah Minangkabau yang bermartabat sekaligus mengungkapkan aksara Minangkabau tua sebagai aksara penulisan tambo. Ketiga, penulisan sejarah nagari dilakukan oleh anak nagari dengan metode ilmiah. 

Konsekwensinya, perlu dilakukan bimbingan teknis penulisan sejarah nagari untuk anak nagari di seluruh Sumatera Barat. Keempat, memperkuat pembelajaran sejarah Minangkabau sebagai sarana pewarisan nilai-nilai kesejarahan untuk semua lapisan masyarakat.

Bisiak lah kalampauan, imbau lah kadangaran. Usai kongres, belum lagi peserta keluar dari pintu hotel Royal Denai Bukittinggi, tempat acara itu dilaksanakan, muncul lagi diskusi ringan khas orang Minangkabau, yaitu tentang kekuatan Tambo sebagai sumber sejarah Minangkabau, dan apakah ada akasara Minangkabau.

Tapi sudahlah, sementara abaikan saja bagian ini.  Di tengah pro-kontra alih media tambo dari langgam lisan ke bentuk tulisan lebih menarik untuk didiskusikan. Karena di balik niat menuliskan tambo itu ada tujuan mulia, yaitu mewariskan adat dan kebudayaan.

29 November 2019

Pakaian Orang Minangkabau


Oleh: Muhammad Nasir


Beberapa pekan lalu, orang-orang ramai berdebat. Viral pula tu! Debatnya tentang pakaian. Padahal sekarang ini zaman globalisasi yang mengusung dagangan food, fun dan fashion. Selera (makanan), hiburan dan trend berpakaian. Hanya saja, temanya terutama yang terkait pakaian entah ada atau  tidak ada kaitannya dengan globalisasi, entahlah pula.  
Satu kelompok membahas laku perempuan yang suka berbusana serba hitam, jilbab lebar berkibar-kibar dan suka bercadar. Maka orang lain (yng berlain paham dengannya) akan menganggap orang tersebut sebagai seorang fanatis muslim bahkan teroris.

Sungguh debat yang benar tapi sia-sia. Sesuatu debat yang mestinya sudah selesai berabad-abad lalu. Apa lacur, karena persoalan politik yang menunggangi miskinnya literasi beberapa kelompok yang terlibat debat itu, membesar juga efek debat itu.

Pertanyannya, apakah memang ada kaitannya antara pakaian dengan prilaku teror atau moderat, sesungguhnya perlu diuji. Menurut ahli kebudayaan, pakaian secara umum berfungsi sebagai penutup atau pelindung badan, penanda identitas diri, penciri kebudayaan, pembeda jenis kelamin, pembeda posisi sosial, sebagai tanda kebesaran, sebagai perhiasan.

18 November 2019

PENGUMUMAN SELEKSI CPNS UIN IMAM BONJOL PADANG TAHUN 2019


PENGUMUMAN SELEKSI CPNS
UIN IMAM BONJOL PADANG TAHUN 2019


Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, tahun anggaran 2019 ini kembali mendapat jatah formasi pengadan Pegawai Negeri Sipil. Terbukalah peluang bagi warga negara Indonesia yang meenuhi syarat untuk mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

Hal ini didasarkan pada Keputusan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan-RB) nomor 424 tahun 2019 tentang Penetapan Kebutuhan Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Agama RI.

Informasi pendaftaran dan formasi yang dibuka secara lengkap sudah diunggah di situs resmi milik kampus, yaitu https://uinib.ac.id/pengumuman-cpns-uin-imam-bonjol-padang-tahun-anggaran-2019/

Formasi
Formasi yang dibuka sesuai yang tertera di situs tersebut adalah tenaga dosen dan tenaga fungsional umum (tenaga kependidikan). Rinciannya, 43 orang untuk mengisi jabatan dosen (Asisten Ahli) dan 1 orang tenaga yang mengisi Jabatan Fungsional Umum (JFU) Penyusun Laporan Keuangan.

Jangan buru-buru masuk ke situs informasinya. Bisa habis kuota internet anda, karena anda akan diarahkan untuk mendowload informasinya dalam format PDF. Bisa tersedot pulsa anda. Nah, untuk membantu anda, silakan cek Daftar formasi dan kualifikasi ijazah yang dibutuhkan di tabel di bawah ini.

Jika Formasi yang anda inginkan ada tersedia dan andapun memiliki kualifikasi ijazah sesuai yang dibutuhkan, maka silakan lanjutkan ke link berikut:


Silakan mendowload ria dan print sebanyak yang anda suka.

Jadwal 

Saya mendoakan, semoga andalah orang yang terbaik yang dibutuhkan kampus ini. Jangan percaya calo. ingat, ini kampus agama. hanya Allah yang menentukan kelulusan anda. Anda hanya dapat berusaha sebaok mungkin.


Babulu Baji

Oleh Muhammad Nasir 
                                                                                                                                 bakaba.co
Bulu Baji adalah ungkapan (idiom) khas Minangkabau. Pembaca yang merasa ungkapan ini ada tersua di daerah silakan acungkan tangan. Ungkapan ini merupakan gabungan kata yang membentuk arti baru dan tidak dapat ditafsirkan begitu saja sesuai kata dasarnya. Ungkapan ini dibentuk oleh kata bulu dan baji. Dua kata yang tak bersalah.

Kata bulu mungkin tak perlu diterangkan lagi. Bulu ayam, bulu domba, bulu kaki, bulu mata, bulu angsa dan bulu-bulu lainnya. Sikap orang terhadap bulu macam-macam. Ada yang suka dan ada yang alergi. Yang paling menyedihkan yaitu takut (phobia) kepada bulu, namanya pteronophobia.

Baji adalah alat bantu kerja para tukang kayu. Bentuknya sederhana, berupa potongan kayu yang diruncingkan atau dipipihkan pada bagian ujungnya. Bagian yang tipis inilah nantinya diselipkan pada bagian kayu yang akan dibelah. Jadi gunanya untuk membelah kayu, bukan untuk memotong. Pada bagian kepala baji akan berserpihan, berbulu apabila dipukul. Serpihan yang membuat orang geli dan gelinggaman. Bahkan menurut orang kesehatan, takut (phobia) pada serpihan ini ada pula nama penyakitnya.

04 November 2019

Ihwal Tubo-Manubo



Oleh Muhammad Nasir
muhammadnasir@uinib.ac.id


Foto: Wikipedia
Tradisi Tubo-Manubo (Bahasa Indonesia: tuba, racun) jika dikaji-kaji menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan adalah kajian tentang Warisan Budaya Tak Benda (the Intangible Cultural Heritage) Minangkabau. Apakah itu terkait pengetahuan tradisional, kearifan local, pengobatan tradisional, perilaku mistik tradisional dan lain-lain.

Tujuannya tentu saja bukan untuk melestarikan kebiasaan menubo orang, tapi mencatat budaya yang [pernah] hidup di masyarakat. Budaya yang terkait dengan pengetahuan, kebiasaan dan perilaku mengenai alam semesta. Soal tubo yang sebenarnya, dari segi pegamalan, membenar kita. Tak ikut serta!

Tubo di luar wujud bendanya ditinjau dari segi keilmuan merupakan lahan kajian antropologi budaya. Antropologi budaya kata Haviland (1999) memfokuskan perhatianya kepada kebudayaan manusia ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga bagian, yakni arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi. Antropologi budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik social, bentuk-bentuk ekspresif, dan penggunaan bahasa, dimana makna diciptakan, kata Burke (2000).

31 October 2019

Menjadi Pewarta Kebenaran


Menjadi Pewarta Kebenaran
Oleh Muhammad Nasir

Berita adalah produk manusia yang paling ditunggu-tunggu sepanjang masa. Apalah jadinya dunia tanpa berita, ibarat jemaah tak berustadz, ibarat kampung orang mati. Tetapi bukan berarti berita adalah segala-galanya. Berita bisa jadi surga dan bisa pula menjadi neraka bagi pembacanya. Berita yang baik itu mestilah mengandung kebenaran, karena ia dapat menenteramkan pembacanya, setidak-tidaknya mengandung kepastian yang besar.

Foto: Suara Kampus
Itu pula-lah yang mesti dicermati oleh Suara Kampus, tabloid mahasiswa paling terkenal di IAIN Imam Bonjol Padang. Dalam kesempatan berbuka puasa yang digelar Suara Kampus (27/08) yang lalu, saya ingin mengatakannya tetapi segan, takut dibilang menghejan tuah. Lebih baik saya tulis saja. Hitung-hitung membayar “hutang” sebagai pembina. Wah!

Waktu itu hampir semua orang memuji kesuksesan alumni Suara Kampus. Ada yang jadi wartawan hebat, diplomat, politisi hebat, pengusaha kaya, PNS dan sebagainya. Saya lalu bertanya, apa iya semua itu karena Suara Kampus? Sebab, dari alumni non-Suara Kampus yang lain juga ada jadi wartawan hebat, diplomat, politisi hebat, PNS dan sebagainya. Entah apa pula sebabnya.

25 October 2019

Urang Siak: Tak Sekadar Santri


Urang Siak: Tak Sekadar Santri
Muhammad Nasir


Sebutan Urang Siak masih dikenal dan masih sering digunakan oleh masyarakat Minangkabau. Sebutan itu orisinil milik penutur asli bahasa Minangkabau, digunakan untuk menyebut sosok elit agama di tengah masyarakat, atau untuk menyebut orang-orang yang terhubung dengan tugas-tugas peribadatan dan upacara adat serta keagamaan di tengah masyarakat.


Penggunaan istilah Urang Siak sangat bervariasi dan memberikan maksud yang beragam pula. Masyarakat yang masih terhubung dengan praktik kehidupan tradisional masyarakat Minangkabau di masa-masa lampau diyakini masih terbiasa menggunakan istilah ini.

Menurut teori linguistik, kosa kata yang dipakai oleh masyarakat untuk berkomunikasi menunjukkan adanya benda atau aktivitas khusus yang masih berlangsung. Artinya, istilah Urang Siak yang masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau menunjukkan dinamika sosial yang melibatkan peran Urang Siak masih ada dan dialami langsung oleh penuturnya.

Namun tetap perbedaan variasi dalam penyebutan Urang Siak. Di zaman Ojek Online (ojol) ini, variasi penyebutan disebabkan adanya penurunan frekwensi kegiatan sosial dan interaksi sosial yang melibatkan Urang Siak itu. Dari segi usia penutur, istilah buya dan ustadz yang digunakan untuk menyebut Urang Siak dapat dipastikan  adalah generasi termuda yang mulai terpengaruh dengan unsur peubah tradisi dari luar.

13 October 2019

Kadar Wahabi Orang-orang Padri



Kadar Wahabi Orang-orang Padri
dalam catatan J.C Boelhouwer (1831-1834)
Oleh Muhammad Nasir

bakaba.co




Perang Padri
Perang Padri! Inilah episode periode pertengahan sejarah Minangkabau. Perang ini merupakan puncak dari gejolak pembaharuan gelombang pertama di negeri seribu datuk di sekitar tahun 1803 hingga 1838.

Sumber Foto: Pena Santri
Mendengar dan membaca Padri, sebagian besar percakapan netizen di dunia maya sepertinya terhubung dengan radikalisme Wahabi di Saudi Arabia yang memicu perang saudara berkuah darah. Bahkan cara berpakaiannya pun kearab-araban seperti pakaian Tuanku Imam Bonjol itu, dituding pula sebagai pakaian Padri.

“Apakah ada atau tidak ada hubungan langsung antara timing gerakan Padri Sumatera Barat dan gerakan pembaharuan Wahabi di Arab adalah soal lain yang sering diperdebatkan,” kata Elizabet E Graves dalam bukunya The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century (1981)

09 October 2019

Agama dan Kepercayaan Masyarakat Minangkabau Sebelum Islam


Oleh Muhammad Nasir

Pengantar
Tulisan ini disarikan dari Disertasi Doktoral Muhammad Sanusi Latief berjudul “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau (1907-1969), IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981)., halaman 39-42. M Sanusi Latif  pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Imam Bonjol, Padang periode 1976–1982. Tujuan penulisan ini antara lain untuk menambah referensi tentang agama dan keyakinan masyarakat Minangkabau sebelum kedatangan Islam. Selain itu, mengingat disertasi ini tidak dicetak, maka salah satu bentuk melestarikan sumber informasi tentang sejarah Minangkabau adalah menyalin sebagian kecil informasi yang dimuat dalam disertasi tersebut. Untuk membantu pemahaman dan mengembangkan informasi, penulis juga memberikan catatan yang bersumber dari literatur yang lain, dan model penyalinanpun pada beberapa bagian dilakukan secara bebas; tak secara persis seperti menulis kutipan langsung. Mudah-mudahan salinan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan referensi tentang Agama dan Kepercayaan Masyarakat Minangkabau sebelum Islam.

A. Agama dan Kepercayaan di Minangkabau sebelum Islam.

Masa Pra Agama.
Sanusi Latif menuliskan bahwa sebelum masuknya agama-agama ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau selain menaati adat, juga menganut keyakinan pra-agama,[i] baik animisme dan dinamisme, maupun kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang dapat membahayakan manusia, sehingga kepadanya harus diberikan sesajian serta pembacaan mantera-mantera [M. Sanusi Latief, hal. 39]. Masa Pra Agama ini tidak diulas lebih lanjut oleh M Sanusi Latief, terutama dalam rentang waktu kapan masa ini berlangsung.

Masa Hindu Budha
Sumber Foto: Wikipedia
Masa Hindu Brahma (abad ke-5 M), agama Budha Hinayana (abad ke-7) dan agama Budha Mahayana (abad ke-7 sampai abad ke-10), baik yang dibawa oleh para pedagang dari Hindustan (India) maupun mereka yang datang dari kerajaan Majapahit.[ii]  

Akan tetapi, Agama Hindu dan Budha di Minangkabau tidak sekuat adat, dan tidak pula sekuat pengaruh Hindu dan Budha di Jawa ketika Islam datang. Pengaruhnya tidaklah mendalam dan tidak meninggalkan bekas-bekas yang lama. Kedua agama tersebut belum sempat memasyarakat. Belum banyak didirikan tempat-tempat pengajaran dan penyiaran agama tersebut di daerah ini [M. Sanusi Latief, hal. 40].[iii]

Sejarah Hanya mencatat bahwa sebuah stupa dari biara agama Budha yang berdiri di Muara Takus, abad ke-8 dalam daerah Kerajaan Minangkabau Timur. Muara Takus atau Telaga Udang terletak di hulu Kampar.[iv]  Selain Itu, beberapa prasasti mengenai Adityawarman dan agama Budha, di anatarnya terdapat di Lima Kaum, yaitu Prasasti Kuburajo I (1347) dan Kuburajo II (1339/1351). Salah satu yang diyakini sebagai jejak agama Budha adalah di antaranya yang bergambar matahari atau teratai (lambang agama Buddha) dan sapaan dalam agama budha “Oṃ māṃla”

B. Sebab-sebab lemahnya pengaruh agama Hindu dan Budha di Minangkabau [M. Sanusi Latief, hal.40-41], yaitu:  

Pertama: Karena kedua agama tersebut yang datang ke Minagkabau dari Kerajaan Majapahit, di bawa oleh penyerbu. Dengan demikian menimbulkan citra yang kurang simpatik bagi masyarakat di daerah ini.

Kedua, walaupun Adityawarman akhirnya berhasil menjadi raja di Minangkabau, kekuasaannya tidak dapat menjangkau kehidupan masyarakat di nagari-nagari, terutama di daerah Luhak nan Tigo. Dengan demikian, kalaupun ia ingin menyebarkan agama Budha, namun peluang itu amat terbatas.

Ketiga, misinya dalam bidang politik dan militer jauh lebih menonjol sehingga penyebaran agama kurang menjadi perhatiannya. Kedatangannya ke Minangkabau tidak disertai dengan ahli-ahli agama Budha yang cukup untuk menyebarkan agama tersebut di daerah ini. Tidak seperti raja-raja Islam Aceh yang selalu membawa ahli-ahli agama dalam perjalanannya ke daerah-daerah yang dikuasainya.

Keempat, Pengaruh adat dalam masyarakat Minangkabau jauh lebih kuat dan benar-benar berurat berakar sehingga tidak mudah dimasuki oleh paham-paham lainnya, a[alagi yang tidak sejalan dengannya.

Kelima, susunan masyarakat menurut kasta-kasta dalam agama Hindu tidak berkenan di hati masyarakat Minangkabau karena sangat bertentangan dengan kehidupan demokratis yang telah mendarah daging bagi mereka. Keinginan Adityawarmnan agar susunan masyarakat berkasta-kasta diberlakukan di Minangkabau, segera mendapat tantangan.

Agama Hindu dan Budha walaupun pengaruhnya amat kecil di Minangkabau, telah bercampur aduk  dengan kepercayaan pra agama dan adat.[v] Dalam situasi yang demikianlah kemudian agama Islam sampai ke daerah ini. Agama Islam menemukan masyarakat di sini telah mempunyai adat dan kepercayaan-kepercayaan pra-agama, ditambah dengan unsur-unsur agama Hindu dan Budha yang belum kuat tertanam. [M. Sanusi Latief, hal.40-41]  







   
End Notes


[i] Sanusi Latif menggunakan isltilah pra agama. James  W Fowler menyebutnya dengan kepercayaan eksistensial. Kepercayaan eksistensial itu sendiri menurutnya merupakan suatu kegiatan relasional, artinya ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu. Lebih lanjut lihat  Sari Pemikiran James W. Fowler dalam “Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James W. Fowler”, Editor. A. Supratiknya, Yogyakarta: Kanisius, 1995Kepercayaan
[ii][ii] Dalam catatan kakinya, M Sanusi Latief menulis, “Adityawarman yang datang ke Minangkabau (1340) dari Kerajaan Majapahit, dikatakan menganut agama Hindu-Budha Hinayana. (Lihat J.L. Moens, Budhisme di Jawa dan Sumatera dalam Masa Kejayaannya yang Terakhir, Jakarta, Bharata, 1974, hal. 44)
[iii] M Sanusi Latif merujuk pada sumber yang ia tulis di catatan kaki, yaitu dari Harry J Benda, “Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia dalam buku Islam di Indonesia, editor, Taufik Abdullah, Jakarta, Tintamas, 1974 hal. 34;36.
[iv] Lihat M Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Padang, Sri Dharma, 1970, hal.172
[v] Catatan kaki M Sanusi Latief nomor 49, “Kepercayaan tentang reinkarnasi, keharusan membakar kemenyan sebelum berdo’a, serta bermacam-macang kenduri, selamatan di rumah duka dan berkaul ke kuburan dan tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral, sering dikemukakan sebagai contoh tentang sisa-sisa  pengaruh Hjindu dan atau kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah ada sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha.

15 September 2019

Ekspedisi Pamalayu: Rintisan Tulisan


Ekspedisi Pamalayu: Rintisan Tulisan
Muhammad Nasir



Arti Pamalayu
Arca Amoghapasa (Wikipedia)
Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan Singhasari di bawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275–1286 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatra.[1][T1] 

Nagarakretagama[2][T2]  mengisahkan bahwa tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik. Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi[T3]  ternyata melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil memperoleh kemenangan.[3][T4] 

Adapun Pamalayu merupakan sebuah ekspedisi pada abad ke-13, atau 22 Agustus 1286. Ekspedisi itu dilakukan oleh Kerajaan Singasari untuk menjalin persahabatan dengan Malayu-Dharmasraya di bawah pemerintahan Raja Kertanegara. Ekspedisi itu sebagai bentuk bala bantuan untuk mencegah invasi Kekaisaran Mongol yang dipimpin Kubilai Khan.[4]

Berdasarkan sumber-sumber sejarah, terdapat kesamaan informasi bahwa Ekspedisi Pamalayu merupakan ekspedisi yang dijalankan pada masa pemerintahan Raja Kertanegara, Raja Kerajaan Singasari yang terakhir yang memerintah antara tahun 1268 –1292 M.
Kata kunci: Singasari, Melayu, Dharmasraya

14 September 2019

Muaro Padang di Mato Rang Pamapeh

Muaro Padang di Mato Rang Pamapeh
Muhammad Nasir (kari Bagindo Sati


Pemancing Tradisional di Sungai Batang Arau, Padang
Manuruik carito pamapeh gaek nan di ateh umua 60-an, saisuak kalo di kawasan Pasie Nan Tigo hinggo ka Sunua, adolah sarugo ikan bakau nan maha harago no. Ado lauak Nawi (mangrove jack), kakap putiah, kakap merah, Jinaha (ketek banamo jinihin), Balanak (gadang banamo Jumpo a.k.a. Jompo). Tapi antahlah, ambo urang darek nan baru mancandu mamapeh di aie garam.

Dulu... jenis ikan nan disabuik di ateh tu mudah didapek. Kini allahurabi susah no. Karano itu, kok ado pamapeh nan mandapek ikan2 itu bisa naik level ka tingkek suhu.

Kini...apo nan tajadi? Pamapeh (angler) traditional yg menggunakan teknik piyan-piyan-kapoyan alias hand fishing hanyo bisa bernostalgia. "Dulu yuang haa...duluu...aa.. a nan kadisabuik. Ikan apo nio nyo?" Mode tu kalimaik nan acok ambo danga.

Rezim Totalitarisme


Muhammad Nasir

Rezim totalitarisme adalah rezim kecil, berkuasa, despotis dan kejam. Rezim ini dibangun di atas teror dan penciptaan terhadap rasa takut. Selain itu, rezim ini mengarahkan dan memonopoli mimpi rakyat atas nama kemajuan.

Oleh sebab itu, tak mesti ada mimpi lain dari rakyat atas nama agama, kebudayaan lokal dan ideologi. Mimpi dan pengumpulan orang2 harus ada dalam organisasi2 profesional.

Musuh objektif rezim totalitarisme adalah cendekiawan, atau orang-orang yang memiliki kemampuan berfikir, atau kelompok-kelompok penganut ideologi yg solid. Mereka yg jadi musuh ini sering dicurigai karena dapat menggerakkan massa dgn caranya masing2.

Selain itu, "realitas" adalah lawan dari rezim totalitarisme. Oleh sebab itu diperlukan monopoli informasi, pengendalian bacaan mana yg baik dan mana yang tidak menurut rezim, serta serangkaian produk pembohongan.

Beberapa contoh rezim totaliter antara lain, Nazi Jerman dan Khmer Kamboja.

Pasukan khusus Hitler (SS) menyusuri Eropa Timur dan secara sistemik menangkapi kaum cendekiawan dan membunuh mereka.

Demikian pula rezim khmer, pada tahun 1975 menangkapi dokter, orang2 yg diidentifikasi lulus dari perguruan tinggi, guru dan para bhiksu.
..........
Indonesia juga sudah pernah mengalami hidup di zaman totalitarisme. Sudah 20 tahun keluar dari kegelapan. Namun, sisa2 cara buruk yg dilalukan rezim Orba masih tersisa dan dipraktikkan tanpa terasa.

Prinsiipiis obsta!
Lawanlah permulaannya-demikian kata pepatah romawi kuno.

Prof Mestika Zed dan Historiografi Minangkabau

Oleh Muhammad Nasir


Saya harus buru-buru menulis ini sebagai ucapan terimakasih atas ilmu yang diberikan guru saya, Prof. Dr. Mestika Zed, MA dalam mata kuliah Historiografi sekitar tahun 2007 yang lalu. Ia pada hari pertama bulan Muharram 1441 Hijriah (1/9/2019) telah berpulang ke rahmatullah. Berita kepulangannya tampil bergantian di beranda facebook saya, antara ucapan selamat tahun baru hijriah, berita rusuh di Papua dan aneka foto-foto kuliner.

Harian Khazanah, 3 September 2019
Berita itu mengagetkan saya. Akhir-akhir ini tak ada yang saya tunggu dari beliau kecuali karya beliau tentang sejarah Minangkabau. Amat sangat saya tunggu. Sebuah karya yang saya yakini sebagai sumbangan Historiografi terbaru tentang Minangkabau. Karya yang sedang ia tulis, bersama dengan sejarawan Unand “spesialis Pantai Barat” Prof Gusti Asnan dan jurnalis senior yang mengemari penulisan sejarah dan biografi tokoh, yaitu Hasril Caniago.

Karya itu menurut beliau merupakan sebuah pengkajian dan penulisan kembali sejarah Minangkabau secara total dan komprehensif dengan periodesasi yang lengkap dari perspektif orang Minangkabau sebagai tokoh dan sumber sejarahnya. Demikian saya kutip dari ucapan beliau kala mengawal Kongres Sejarah Minangkabau di Bukittingi, 16-18 Desember 2018.


01 September 2019

Prof Mestika Zed (1955-2019) : Di mana saja Asal di Surga


Prof Mestika Zed (1955-2019)
Di mana saja Asal di Surga
Oleh Muhammad Nasir


Suatu siang di sebuah seminar (30 Agustus 2014). Seseorang pria yang amat saya kenal menggamit saya yang baru masuk ke ruangan sebuah seminar. “Sini!” katanya seraya menggeser sebuah kursi kosong di sampingnya. Di barisan paling belakang ruangan. Nervous dan agak grogi saya duduk di sampingnya. Di samping Prof. Dr. Mestika Zed, Guru Besar Sejarah Universitas Negeri Padang. Guru saya juga.

“Bagaimana Tesis anda? Jadi membahas terorisme? Tanya Prof Mestika Zed singkat dan hangat. “Alhamdulillah Prof. Sudah selesai. Ya Allah, Prof. Masih ingat itu,” jawabku sedikit kaget dengan pertanyaan yang lebih mirip sapaan hangat itu. “Ya, ingatlah. Tapi saya hanya  agak-agak lupa nama anda,” jawabnya. Demikian tegur sapa singkat saya dengan beliau di awal pertemuan ilmiah siang itu. Saya terkesan.

Usai tegur sapa hangat itu, beliau berbisik, “tema seminarnya lucu dan menggemaskan.” O, ya...kenapa begitu prof? Kemudian kami ngobrol-ngobrol di sela-sela pembicaraan narasumber yang sedang berkuhampas di depan. Tema seminar itu tentang Islam dan Radikalisme. Beliau menyatakan bahwa radikalisme sejatinya sebuah respon atas situasi yang berlangsung lama. Dalam jangka pendek merupakan reaksi atas suatu peristiwa. “Jadi, ia (radikalis) hadir karena ada yang lain” Demikian ia berpendapat.

Tanpa bermaksud mendalami, saya  mengajukan pertanyaan singkat, takut-takut sekadar memberi respon. Saya takut mengajukan pertanyaan yang dianggap tak bermutu. “Apa kira-kira maksud “yang lain” itu Prof?” tanyaku. Ia menjawab, “Politik dan Kekuasaan. Coba periksa catatan (sejarah) lama. Ideologi (radikal) itu muncul sebagai respon atas tindakan penguasa (kekuasaan) dan konstalasi politik.” Tak lama ia memegang lenganku dan berkata, “sekarang mari kita dengar apa kata narasumber di depan itu!”

Bincang singkat itu, saya tulis di block note hadiah panitia seminar.