Oleh:
Muhammad Nasir
Beberapa pekan
lalu, orang-orang ramai berdebat. Viral pula tu! Debatnya tentang
pakaian. Padahal sekarang ini zaman globalisasi yang mengusung dagangan food,
fun dan fashion. Selera (makanan), hiburan dan trend berpakaian.
Hanya saja, temanya terutama yang terkait pakaian entah ada atau tidak ada kaitannya dengan globalisasi,
entahlah pula.
Satu kelompok
membahas laku perempuan yang suka berbusana serba hitam, jilbab lebar berkibar-kibar
dan suka bercadar. Maka orang lain (yng berlain paham dengannya) akan
menganggap orang tersebut sebagai seorang fanatis muslim bahkan teroris.
Sungguh debat
yang benar tapi sia-sia. Sesuatu debat yang mestinya sudah selesai berabad-abad
lalu. Apa lacur, karena persoalan politik yang menunggangi miskinnya literasi
beberapa kelompok yang terlibat debat itu, membesar juga efek debat itu.
Pertanyannya,
apakah memang ada kaitannya antara pakaian dengan prilaku teror atau moderat,
sesungguhnya perlu diuji. Menurut ahli kebudayaan, pakaian secara umum
berfungsi sebagai penutup atau pelindung badan, penanda identitas diri, penciri
kebudayaan, pembeda jenis kelamin, pembeda posisi sosial, sebagai tanda
kebesaran, sebagai perhiasan.
Menurut Haji
Abdul Karim Amarullah (HAKA) alias Inyiak DR (baca de-er) atau Inyiak
Rasul dalam Kitab Pertimbangan Adat (1921), adat dan syara’ adalah pakaian
orang Minangkabau yang sebenarnya. Adat dan Syara’ pakaian alam, kata beliau. Sudah termasuk ke dalamnya pakaian fisik yang
melekat di badan. Karena itu, ketentuan berpakaian mengikut kepada ketentuan
adat dan syara’. Inyiak mengingatkan
bahwa “adat dan syara’ kalau bacarai (bercerai) tandanya alam ‘kan binaso.
Sekarang mari
berfokus ke masalah pakaian. Pakaian bagi orang Minangkabau sesuai dengan
fungsi yang sudah umum di atas, ada pula fungsi yang lain. Ada sebuah pantun
dagang yang berbunyi:
Dilamun badan ka lipek kain
Tibo di pakan manjalang subuah
Oto baranti di kantua samsat
Mananti tuan suruah ka mari
Ditanun banang manjadi kain
Tibo di badan panyaok tubuah
Tibo di batin manjadi sifat
Manjadi hiasan di labuah rami
Menurut pantun
dagang tersebut, dapat dikutip tiga 3 fungsi khusus pakaian, pertama, Panyaok
tubuah. Ukuran kepantasannya disesuaikan dengan tuntunan syara’ (agama
Islam). Oleh sebab itu, syarat pakaian sebagai penutup tubuh mestilah sesuai
dengan ketentuan agama tentang aurat. Tentang bagaimana bentuk pakaiannya, tak
ada ketentuan khusus.
Menurut fungsi
yang pertama ini, semestinya selagi dapat menutupi tubuh dari cuaca, gangguan
hewan tertentu dan tentu saja dapat menutup aurat, cukuplah. Zaman dulu,
pakaian sebagai identitas kebudayaan memang teramat penting. Cara berpakaian
dan bahan yang dipakai seseorang dapat menentukan daerah asalnya.
Kedua, Simbol sifat dan prilaku serta kebesaran. Pakaian
orang Minangkabau selalu mempunyai arti simbolis karena sifat dan prilaku orang
yang memakainya akan terlihat dari cara ia berpakaian. Orang Minangkabau
meletakkan sifat dan prilaku tanda kebesaran seseorang pada bentuk dan pola
baju yang ia kenakan. Karena itu, pakaian tak dapat dipertukarkan.
Pakaian penghulu
harus dibedakan dari pakaian anak kemanakan. Setiap pakaian melekat sifat,
prilaku khusus (behavioural base on traditional code) yang menunjukkan
status dan perannya di masyarakat. Misalnya, simak saja satu penjelasan tentang
baju pangulu: baju hitam gadang tangan, langan tasengseng tak bangih, bukan
karano dek pambangih, pangipeh angek nak dingin, pahampeh gabuak nak nyo habih.
Menurut fungsi
yang kedua ini, pakaian merupakan simbol sifat, prilaku dan tanda kebesaran.
Laki-laki mesti berpakaian menurut kodratnya. Bentuknya ditentukan supaya
berbeda dengan yang perempuan. Demikian pula sebaliknya untuk pakaian perempuan
terlarang pula memakai pakaian laki-laki. Zaman sekarang, perempuan sudah
banyak pula memakai baju dengan pola gunting pria. Hanya saja, sedapat mungkin seorang laki-laki
jangan sampai memakai pakaian perempuan, jika tak ingin disebut BG alias bujang
gadih alias bencong.
Ketiga, Tanda Perhiasan Orang Minangkabau tidak
mengabaikan perkembangan mode. Pakaian juga menunjukkan perhiasan agar terlihat
menarik dan menunjukkan tingkat kemakmuran yang didapatkan oleh anggota
kaumnya. Ternyata tak ada halangan bergaya dengan mengembangkan bentuk estitika
dan mode berpakaian, selagi dua fungsi di atas terpenuhi. Boleh berias dan
bergaya.
Dalam pengertian
yang ketiga ini, pakaian selain berfungsi untuk memperindah, juga bertujuan
untuk memperlihatkan tingkat kemampuan ekonomi penggunanya. Adalah aib bagi
orang minangkabau bila anggota kaumnya tak dapat berhias berpakaian baik dan tak
dapat menunjukkan kebesaran kaumnya di tengah masyarakat. Bukan untuk
gaya-gayaan saja, bila nyampang berjalan anggota kaum Minangkabau di labuah
nan goloang (keramaian), mendapat tuah pula kaummnya. Ada pandai
mengurus
Kembali ke isu
awal tulisan ini. Di Minangkabau, bentuk dan jenis pakaian memang dikaitkan
dengan identitas dan integritas penggunanya. Apakah pakaian muslimah bercadar sebagai
pakaian terois harus pula dibuatkan kaidahnya? Untung saja bapak yang kapatang
(kemarin) itu sudah menyudahi perdebatan.
No comments:
Post a Comment