28 September 2009

Fenomena Mubaligh Ramadhan (bag.2)

Oleh: Muhammad Nasir


Menjadi mubaligh bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan gampang yang bisa dikerjakan oleh siapa saja. Menjadi mubaligh memerlukan beberapa kriteria yang harus dipenuhi supaya pekerjaannya mencapai sasaran yang diinginkan.

M. Natsir menjelaskan, pelaksanaan pekerjaan dakwah tentu harus diserahkan atau dipercayakan pada sebuah korps para juru dakwah yang telah menjadi ahli dalam hal ini. Hanya saja beban untuk menyelenggarakjan wajib dipikul oleh seluruh anggota masyarakat Islam , dengan harta, tenaga dan pikiran. Ia harus dirasakan sebagai fardu a’in (M. Natsir, 1996; 53)

Tetapi tradisi kemubalighan ini sedikit terganggu dengan segelintir mubaligh yang melakukan tugas dengan motif-motif yang tidak sesuai dengan tujuan dakwah. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh mubaligh, tetapi juga disebabkan oleh ta’mir ramadhan yang mengutamakan popularitas di banding materi dakwah yang dibutuhkan jama’ah. Hasilnya, tradisi ceramah ramadhan berubah menjadi budaya pop.

Karena dakwah menjadi budaya pop, mubaligh-pun sekarang tampil sebagai selebriti. Hubungan mubaligh dengan pengikutnya sama seperti hubungan artis dengan “fans”. Di wajahnya tidak ada lagi aura sakral. Yang ada adalah sinar yang berasal dari lampu hemat energy. Nasehat agama yang diharapkan muncul dari mulut penasehat agama itu, tak lebih hanya suara-suara indah yang dipoles dengan teknologi sound system yang canggih.

Fenomena itu perlu disadari agar ceramah Ramadhan tidak hanya gebyar-gebyar dakwah sesaat, tetapi menjadi metode menanamkan kesadaran beragama. Harapannya, meriahnya gebyar-geyar tabligh bisa sejalan dengan kualitas ummat. Lemahnya kompetensi para mubaligh bisa menjadi bumerang bukan saja bagi sang mubaligh, tetapi juga bagi setiap gerakan dakwah dan umat Islam sendiri.


Penguasaan Topik

Mubaligh dapat digolongkan sebagai subkonsep elit agama Islam. Sebutan lainnya adalah da’i, ustadz, buya, kiyai dan sebagainya. Setiap sebutan sebenarnya mempunyai makna sendiri. Tetapi pada umumnya masyarakat terlanjur naïf menyamaratakan saja sebutan tersebut. Berkaitan dengan tradisi ceramah ramadhan, jika harus disamakan sebutan mubaligh merupakan sebutan yang tepat, mengingat pekerjaan tabligh yang dilakukannya.

Sebagai penyampai pesan, mubaligh menjadi unjung tombak dalam mensosialisasikan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah-masalah umat Islam baik internal maupun eksternal. Hanya saja, selama pengamatan yang dilakukan dalam rentang waktu 2008-2009 ini terkesan mubaligh justru kurang menguasai persoalan-persoalan itu sendiri.

Topik utama yang sering diungkapkan dalam ceramah ramadhan adalah tentang puasa dan pernak-perniknya, serta anjuran untuk meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT. Tetapi topik ini tidak akan dibahas secara mendalam karena dianggap tidak bermasalah. Justru yang akan didalami adalah persoalan-persoalan umat islam baik internal maupun eksternal.

Tentang persoalan internal, dalam rentang waktu 2008-2009 ditemukan beberapa persoalan yang sering menjadi topic pembicaraan mubaligh. Di antara masalah tersebut antara lain masalah khilafiyah, masalah dalam membedakan mana yang agama dan mana yang tradisi, fenomena Islam yang benar dan yang sesat, serta membedakan isu-isu yang berkembang dalam sejarah pemikiran Islam seperti, tradisionalisme, modernisme, islamisme, liberalisme dan sebagainya.

Dalam masalah khilafiyah, ditemukan kelemahan dalam memahami masalah yang bersifat fiqhiyah dan tidak toleransi terhadap perbedaan cara beribadah sekalipun masih dalam konteks yang diperbolehkan.

Begitu juga sikap ceroboh dalam menyampaikan anjuran dalam beribadah sehingga umat tidak lagi dapat memahami mana-mana saja yang termasuk bagian dari agama dan bukan dari agama, mana yang sesuai syariat dan mana yang tidak.

Sementara itu, fenomena pengkafiran (takfiry) semakin menguat terutama dialamatkan kepada kelompok yang berseberangan dengan mubaligh, seperti kelompok rasionalis yang menggunakan akal fikiran (ar- ra’yu) dalam memahami agama dan kelompok masyarakat yang masih enggan terlibat dalam aktivitas dakwah di masjid dan mushalla.

Lain halnya dengan topik mengenai masalah eksternal. Nyaris seluruh ceramah yang berkaitan dengan kondisi ekternal didominasi semangat peperangan terhadap musuh-musuh Islam (sering disebut Yahudi dan Nashara), serta masalah westernisasi (terutama Amerika Serikat) dan penghancuran nilai-nilai moral pemuda Islam oleh kebudayaan barat.

Sementara topik sekitar terorisme hanya disinggung sedikit dan itupun didapati opini yang terbelah, antara yang menghujat pelaku pemboman sebagai orang Islam yang tidak benar serta opini yang mendukung pelaku pemboman dalam arti bukan teroris sebagai barisan yang dijanjikan Allah untuk melawan dominasi Barat.

Hanya saja, dari beragamnya topik yang disampaikan itu, belum terlihat kedalaman pembahasan. Ada kesan yang ditangkap, bahwa sumber-sumber yang digunakan dalam mendukung bahasan topik tersebut adalah sumber-sumber yang tak jelas. Misalnya, jarang sekali ditemukan mubaligh yang dengan tegas menyebutkan sumber atau referensi yang ia gunakan. Dan tak jarang pula seorang mubaligh itu mengada-ada terutama dalam mendefinisikan sesuatu.

Semakin jelaslah tradisi ceramah ramadhan berubah menjadi budaya pop, dengan mubaligh yang menggunakan sumber-sumber ’ngepop’ dan tradisi ramadhan berubah menjadi tradisi popular tanpa muatan dan tujuan yang jelas.

Namun, upaya perbaikan harus terus dilakukan, terutama dengan menganjurkan para mubaligh untuk terus meningkatkan kompetensinya, baik dalam bidang disiplin kegamaan (tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf dsb) maupun mengenai disiplin atau wawasan kebudayaan dan peradaban Islam (sejarah, politik, ekonomi dsb).


Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

Fenomena Mubaligh Ramadhan (bag.1)

Oleh: Muhammad Nasir


Ramadhan adalah bulan dakwah dan pendidikan ummat. Selama satu bulan penuh syiar Islam menggema secara massal di seluruh penjuru dunia dengan berbagai ibadah pendukung dan tradisi keagamaan yang berkembang menyertainya. Salah satu tradisi yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia adalah ceramah Ramadhan.


Ceramah Ramadhan juga merupakan tradisi masyarakat muslim kota Padang dalam rangka mengisi malam Ramadhan (Qiyam Ramadhan) dengan kegiatan yang bernilai ibadah. Kegiatan itu juga ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat. Tidak heran selama pelaksanaan ibadah Ramadhan mubaligh menjadi aktor yang penting untuk dibicarakan, mengingat besarnya keterlibatan mereka dalam melaksanakan dakwah.



Sepanjang perjalanan sejarah perkembangan Islam, dakwah Islam telah melihatkan eksistensinya dan diakui keberadaannya baik bagi umat Islam itu sendiri, maupun bagi umat lain. Jejak risalah dakwah itu kini diteruskan oleh para pendukung dakwah baik yang bersifat perorangan maupun organisasi, seperti, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah dan Nahdalatul Ulama (NU). Namun kewajiban dakwah itu tetap merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam (Amrullah Ahmad, 1983). Hal ini sesuai dengan firman Allah:



“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, beriman kepada Allah ...” (QS. 3:110).



“Serulah (manusia) ke jalan (agama) Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan berbantahlah (berdebatlah) dengan mereka dengan (jalan) yang terbaik” (QS. 16:125)



Jadi tugas wajib dakwah itu bukanlah terletak hanya di atas pundak para mereka pendukung dakwah saja, tetapi merupakan kewajiban seluruh umat Islam, hanya saja mereka menunaikan sesuai dengan kemampuannya. Sementara M. Natsir menjelaskan, pelaksanaan pekerjaan dakwah tentu harus diserahkan atau dipercayakan pada sebuah korps para juru dakwah yang telah menjadi ahli dalam hal ini. Hanya saja beban untuk menyelenggarakjan wajib dipikul oleh seluruh anggota masyarakat Islam , dengan harta, tenaga dan pikiran. Ia harus dirasakan sebagai fardu a’in (M. Natsir, 1996; 53)



Pendukung jejak risalah dakwah itu sekarang disebut dengan mubaligh, ustadz, guru dan ada lagi sebutan lain untuk kegiatan ini, misalnya da’i, kiyai, dan ulama. Terlepas dari perbedaan nama tadi, yang penulis maksudkan adalah orang yang memberikan ceramah atau wirid secara lisan di mesjid-mesjid. Menurut pendapat penulis yang paling tepat untuk panggilan bagi pengemban tugas ini adalah mubaligh, karena nama kegiatan tersebut disebut dengan tabligh Islam.



Amrullah Ahmad (1995: 18) menjelaskan, mengajak dengan lisan dan tulisan dikenal dengan Tabligh Islam. dan bukan hanya ceramah lewat mimbar saja yang dapat dikatakan dengan tabligh Islam, karena menurut batasan yang dikemukakan oleh Amrullah tadi, kegiatan tersebut meliputi mengajak dengan cara lisan dan tulisan (cetak dan elektronik).



Menjadi mubaligh bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan gampang yang bisa dikerjakan oleh siapa saja. Menjadi mubaligh memerlukan beberapa kriteria yang harus dipenuhi supaya pekerjaannya mencapai sasaran yang diinginkan.



M. Natsir menjelaskan: syarat utama yang harus dipenuhi, ia harus bersih dan berisi, artinya hatinya bersih dan pengetahuannya lumayan. Seyogyanya hendaklah diingat bahwa akhlakul karimah juru dakwah merupakan dakwah dalam bentuk non verbal dari dakwah. Seorang da’i harus berkepribadaan, beriman, dan punya keseimbangan jiwa apalagi bila berhadapan dengan reaksi masyarakat. Sesuai dengan firman Allah:



“Alif, Lam, Shad (inilah) kitab yang diturunkan kepada kamu sekalian, maka janganlah sesak dadamu karenanya, supaya kamu dapat memberi peringatan dengannya (kepada mereka yang sesat) dan (sebagai) penyegar ingatan bagi mereka beriman” (QS 7: 1-2).



M. Natsir menambahkan, selain persiapan yang telah dikemukakan di atas, persiapan yang tidak kalah pentingnya selain persyaratan yang telah di singgung di muka persiapan ilmiah, mereka harus benar-benar tafaqquh fid diin artinya memahami benar-benar risalah yang hendak diteruskan, di samping pengetahuan modern sekarang ini.



Kemampuan berhadapan dengan massa yang heterogen juga diperlukan, karena dakwah tidak hanya disampaikan dalam ruangan atau kelas saja, tetapi berhadapan dengan ribuan massa, karena dakwah merupakan pendidikan massal. Untuk itu juru dakwah juga perlu menguasai retorika.



Sehubungan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh para mubaligh, Munir Mulkan (1996) menyebutnya dengan istilah “kompetensi”. Menurut Mulkan (1996) menyebutnya dengan istilah mubaligh ada tiga, yaitu kompetensi mubaligh, kompetensi substantif dan kompetensi metodologis.



Jadi, menjadi mubaligh itu tidak mudah, perlu mempersiapkan diri sematang mungkin, persiapan fisik dan mental, persiapan materi dan metodologis, karena permasalahan dakwah yang dihadapi semakin hari semakin komplit pula.



Melihat begitu komplitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh mubaligh, disanalah dituntut kepada umat sama-sama menyadari kewajibannya terhadap dakwah. Karena kegiatan dakwah itu tidak hanya merupakan kegiatan sesaat, tetapi merupakan kegiatan yang bersifat kontinuitas, untuk menjadikan Islam ini milik umatnya. Pada akhirnya Islam itu tidak saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetepi efek sosialnya yang dirasakan oleh orang lain.



Menurut hasil pengamatan sementara, kegiatan dakwah di Kota Padang berjalan lancar, namun belum diketahui bagaimana persepsi jemaah terhadap tugas yang dilakukan mubaligh di Kota Padang. Bagaimana persepsi jemaah mesjid terhadap tugas mubaligh, apakah akan sekedar merupakan kegiatan rutinitas, atau suatu budaya yang berkembang di Kota Padang.



Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, ada yang mengatakan bahwa mubaligh yang datang memberikan ceramah di mesjid-mesjid, merupakan tugas suci tanpa harus diberi imbalan yang sesuai oleh jemaah atau masyarakat, dan sebagian dialog di mesjid menginginkan supaya imbalannya ditingkatkan.



Pembicaraan ini akan semakin meningkat pada bulan Ramadhan, ketika para mubaligh menjadi sosok yang paling dicari untuk memenuhi jadwal pelaksanaan ceramah Ramadhan yang telah disusun oleh pengurus Masjid. Jauh hari bahkan beberapa bulan sebelum Ramadhan, para mubaligh, terutama mubaligh kondang telah di-booking oleh pengurus Masjid/ Mushalla di Kota Padang.



Problemnya, bagi Masjid/ Mushalla yang terlambat, dipastikan mendapatkan mubaligh yang mempunyai kemampuan ala kadarnya. Dalam kasus ini dianggap penting lebih jauh membaca dinamika mubaligh Ramadhan di Kota Padang mengingat kompetensi mubaligh sangat berkaitan dengan hasil atau pencapaian tujuan ceramah ramadhan yaitu meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT., memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat.



Fenomena itu perlu disadari agar ceramah Ramadhan tidak hanya gebyar-gebyar dakwah sesaat, tetapi menjadi metode menanamkan kesadaran beragama. Harapannya, meriahnya gebyar-geyar tablig bisa sejalan dengan kualitas ummat. Lemahnya kompetensi para mubaligh bisa menjadi bumerang bukan saja bagi sang mubaligh, tetapi juga bagi setiap gerakan dakwah dan umat.



Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

Manajemen Ceramah Ramadhan

Oleh Muhammad Nasir




Pada umumnya, ceramah ramadhan dilaksanakan di masjid dan mushalla. Oleh sebab itu segala persiapan pelaksanaan ceramah Ramadhan dilakukan oleh pengurus masjid/mushalla. Dalam prosesnya kadang-kadang juga dibantu oleh garin.



Pada moment-moment tertentu, pengurus masjid/mushalla juga mempersiapkan pelaksanaan ceramah agama yang dilakukan oleh pihak tertentu seperti pemerintah Kota Padang, organisasi keagamaan, serta organisasi politik melalui kegiatan safari ramadhan. Bahkan ada juga pengurus yang menyiapkan segala sesuatunya untuk mubaligh yang merupakan utusan dari sekolah, madrasah atau pesantren sebagai wadah pembelajaran dakwah bagi santri atau siswanya.



Saat ini ceramah ramadhan sudah di manage sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan zaman modern. Pengurus Masjid/ Mushalla sudah menyusun jadwal ceramah ramadhan jauh-jauh hari sebelum ramadhan tiba.



Berdasarkan informasi yang didapatkan dari beberapa pengurus, penyusunan jadwal pada umumnya dilakukan tiga bulan sebelum ramadhan tiba. Hal ini dilakukan supaya pengurus dapat mendatangkan mubaligh yang handal dan sesuai dengan keinginan jama’ah. Jika terlambat dalam penyusunan jadwal dapat menimbulkan kesulitan dalam mendapatkan mubaligh karena sudah didahului oleh masjid/mushalla yang lain.



Mencari mubaligh adalah kegiatan yang gampang-gampang susah. Pengurus dihadapkan pada kenyataan padatnya jadwal mubaligh kondang, dan keterbatasan akses pada mubaligh. Tidak sedikit pengurus masjid yang tidak mengenal mubaligh yang akan diundang berceramah. Jika persiapan dilakukan jauh-jauh hari, kesulitan ini dapat diatasi dengan mencari informasi sebanyak mungkin tentang data mubaligh dengan berbagai cara.



Paling tidak ada beberapa tahapan dalam menyusun jadwal ceramah ramadhan. 1). Tahap inventarisir nama-nama mubaligh, 2). Menghubungi dan meminta kesediaan mubaligh yang sudah dikenal oleh pengurus, 3). Mencari informasi tentang mubaligh lainnya yang mungkin diundang untuk memenuhi jadwal, 4) Mengkonfirmasi jadwal ceramah mubaligh melalui surat atau media komunikasi lainnya.



Dalam prakteknya, pada umumnya pengurus masjid/mushalla menentukan mubaligh berdasarkan pengenalan terhadap mubaligh, kemampuan dan kemudahan dalam mendatangkan mubaligh.



Berdasarkan wawancara dengan beberapa pengurus masjid/mushala tahapan di atas merupakan tahapan formil yang direncanakan oleh pengurus. Dalam beberapa kasus, kadangkala pengurus menerapkan system “tembak” tatakala bertemu dengan seorang mubaligh. System tembak berlangsung tidak sengaja. Cara ini seringkali menjadi penyelamat pengurus tatakala kesulitan medapatkan mubaligh karena sebab-sebab tertentu.



Perumusan Topik



Perumusan topik dilakukan oleh pengurus dibantu oleh garin masjid, tokoh masyarakat serta usulan dari jama’ah. Kegiatan ini termasuk kegiatan sulit karena keterbatasan pengetahuan pengurus terhadap tema-tema sentral dalam agama. Tidak heran pada saat penelitian ini dilakukan (2008/1429 H-2009-1430 H), pengurus mengaku belum begitu fokus dalam menyusun topik.



Data dari beberapa masjid/mushalla yang sudah mempunyai usulan topik ceramah dalam bulan ramadhan menggambarkan beberapa metode dalam penyusunan topik. Di antaranya :



Pertama, topik disusun berdasarkan pembagian ramadhan kepada tiga kategori, pertama Rahmat, (10 hari I), kedua maghfirah (10 hari II) dan ketiga Itqun min al nar (10 hari III). Tiga kategori ini dipecah kepada topik-topik kecil yang bermuara pada masing kategori. Misalnya topik “Berlimpahnya Rahmat Allah SWT” mengacu pada kategori pertama.

Ketiga, disusun berdasarkan kompetensi mubaligh. Misalnya topik “Ramadhan dan kesehatan jasmani“ ditangani oleh praktisi kesehatan, misalnya dokter.

Ketiga, disusun berdasarkan pemahaman pengurus masjid/mushalla, garin, tokoh masyarakat tentang persoalan-persoalan penting yang tengah dihadapi masyarakat. Misalnya topik “Berpuasa di tengah krisis multi dimensi”

Keempat, disusun secara acak bahkan ada juga yang mencontoh topik dari masjid/ mushalla lain. Kelima, menggunakan topik ceramah ramadhan tahun sebelumnya. Bahkan Keenam, ada yang menyatakan tidak perlu menentukan topik dan tidak perlu ada pembatasan topik pada kelompok umur atau jenis kelamin tertentu, sebab ceramah ramadhan disampaikan dalam forum terbuka yang dapat diikuti oleh segala usia dan jenis kelamin, dan cara-cara lain-lainnya.



Beberapa pengurus ada yang mengeluh dalam menetukan topik ceramah ini. Mereka mengharapkan ada panduan khusus semisal silabus dalam pelaksanaan ceramah ramadhan.



Durasi dan Efektifitas Ceramah Ramadhan



Ceramah Ramadhan yang menjadi fenomena umum dan dipersiapkan dengan matang adalah ceramah tarawih yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Pada umumnya ceramah dilakukan setelah Shalat Isya’. Beberapa tempat ada yang menyelenggarakan setelah shalat tarawih. Yang terakhir ini sangat sedikit dan sangat jarang terjadi.



Pertimbangan waktu sesudah Isya’ diambil oleh pengurus berdasarkan kesepakatan dengan jama’ah. Waktu setelah shalat Isya’ dianggap waktu yang tepat karena jama’ah masih “segar” dan tidak terlalu malam. Pada waktu ini diharapkan pesan agama yang disampaikan oleh mubaligh dapat sampai kepada jama’ah dengan sempurna.



Sementara ceramah yang dilakukan setelah shalat tarawih biasa berlangsung dalam moment tertentu, misalnya peringatan Nuzul Qur’an atau ada kunjungan safari ramadhan dari pemerintah atau pihak lainnya. Tidak jarang dalam satu malam ada dua ceramah yakni setelah Isya dan setelah tarawih. Hal itu terjadi apabila ada kunjungan mendadak dari pihak tertentu.



Rata-rata waktu yang dipakai dalam ceramah adalah 15 (lima belas) menit. Pengurus pada prinsipnya berharap mubaligh dapat menyampaikan ceramah selama 15 menit. Tetapi harapan ini bukanlah harga mati. Bila ada materi ceramah yang dianggap menarik, pengurus dapat saja meminta mubaligh untuk melanjutkan ceramah sesuai keinginannya.



Pertimbangan lainnya, shalat tarawih biasanya usai pada pukul 21.00 atau 21.30 WIB. 15 menit merupakan takaran yang pas jika waktu Isya’ masuk pukul 19.30, pukul 19.45 sampai pukul 20.00 WIB dialokasikan untuk shalat Isya dan rawatib. 20.00-20.15 digunakan untuk ceramah dan waktu tercepat pelaksanaan shalat tarawih adalah 30 menit (20.45). Lima belas menit akhir yaitu 20.45 sampai 21.00 WIB digunakan untuk istirahat dan silaturahmi antar jama’ah sebelum berangkat pulang ke rumah masing-masing.



Begitulah rutinitas ramadhan kaum muslimin Kota Padang dari waktu-ke waktu. Rutinitas ini tidak hanya terbatas pada kepatuhan dalam melaksanakan ibadah demi mengharapkan prediket taqwa sebagaimana diisyaratkan Allah SWT dalam Q.S.2:183, tetapi sudah berkembang menjadi tradisi kaum muslimin Kota Padang dalam mengidupkan malam ramadhan dan mempertinggi syiar Islam.





Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

Sekilas Tradisi Ceramah Ramadhan

Oleh Muhammad Nasir


Pada akhir khutbahnya Nabi Muhammad SAW di Padang Arafah (haji wada’) bersabda, “Rubba muballighîn aw’â min sâmi’in—Orang yang menyampaikan lebih sering dapat memelihara dari pada yang hanya mendengarkan.”

Sejak itu, sepanjang sejarah Islam, ada sekelompok umat yang bekerja menyampaikan pesan Nabi. Ia bukan saja dihormati Nabi karena memelihara khazanah ilmu Islam, tapi juga disegani umat karena dialah yang sebenarnya memelihara eksistensi Islam. Dialah pewaris para Nabi. Tradisi kemubalighan ini bertahan sampai sekarang, termasuk di Kota Padang yang saat ini tengah berhelat dalam tradisi ceramah Ramadhan.

Ceramah Ramadhan merupakan tradisi khas mengiringi pelaksanaan ibadah puasa wajib dan shalat sunnah tarwih. Kehadirannya datang sehingga menigai (ja’a tsalitsan) ramadhan menjadi trilogy, puasa, tarawih dan ceramah ramadhan. Ia menjadi fenomena tersendiri bagi umat Islam Indonesia selama bulan ramadhan.

Kegiatan itu ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat.

Ceramah Ramadhan memang bukan hanya tradisi umat muslim Sumatera Barat. Tetapi lebih dari itu ternyata juga menjadi prilaku umum umat muslim di seluruh penjuru tanah air. Tidak heran dalam taraf tertentu gaung ceramah Ramadhan menjadi besar karena melibatkan elit muslim yang disebut mubaligh.

Di Kota Padang, ceramah Ramadhan sudah melewati sejarah yang panjang. Pendapat masyarakat yang sudah mengikuti ibadah ramadhan semenjak tahun 60-an menyatakan tradisi tersebut mulai marak di penghujung tahun 1960, khususnya saat konsolidasi umat Islam pasca peristiwa Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pada waktu itu para mubaligh mulai rutin berceramah dari satu masjid ke masjid lain atau dari satu tempat penyelenggaraan ibadah shalat Tarawih ke tempat yang lain.

Pada tahun 70-an, hampir setiap masjid/mushalla telah memiliki jadwal untuk mubaligh. Dalam jumlah mubaligh yang tidak seberapa, syiar ramadhan akibat pelaksanaan ceramah ramadhan itu meningkat tajam. Tempat-tempat ibadah umat Islam di Kota Padang ramai dikunjungi jama’ah karena ada aktivita dakwah di sela-sela pelaksanaan shalat tarawih.

Pada era tujuhpuluhan itu pula pelaksanaan ceramah Ramadhan semakin semarak karena sebagian masjid/ mushalla mulai menggunakan media massa untuk mengumumkan jadwal ceramah ramadhan beserta mubaligh yang menyertainya.

Dalam rentang waktu tahun 60-an hingga 70-an itu, ada banyak sebutan untuk kegiatan ceramah ramadhan. Misalnya, tabalia (Tabligh), mangaji (mengaji agama), badakwah (berdakwah), siraman rohani, santapan rohani dan sebagainya.

Di tengah maraknya aktivitas berdakwah tersebut, ternyata belum dikoordinir dengan rapi. Mubaligh menjadi elit agama yang cendrung diperebutkan. Tidak heran satu mubaligh terkadang harus berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain dalam satu malam yang sama demi memenuhi keibginan jama’ah.

Sementara di beberapa masjid/mushalla terpaksa “mencarter” mubaligh dengan cara membagi jadwal ceramah berdasarkan hari tertentu atau minggu tertentu. Dengan cara tersebut, seorang mubaligh dapat berceramah paling sedikit empat kali di satu tempat.

Tradisi Ceramah Ramadhan semakin meningkat pada decade berikutnya, 1980-an hingga sekarang. IAIN Imam Bonjol Padang sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam terbesar di Sumatera Barat dianggap memberi andil terhadap peningkatan gebyar dan kuantitas ceramah Ramadhan pada waktu itu. Mubaligh tidak begitu sulit dicari, karena IAIN Imam Bonjol Padang mulai dari mahasiswa, karyawan hingga para dosen sudah menyediakan diri untuk pelaksanaan aktivitas ceramah ramadhan.

Sejarah singkat di atas memberi pesan bahwa aktivitas dakwah di Kota Padang berada dalam trend positif, yaitu mengalami peningkatan dari waktu-ke waktu. Bahkan fenomena sekarang ini, mubaligh tidak hanya berasal dari orang-orang yang mempunyai pendidikan agama saja semisal pesantren hingga IAIN, tetapi juga muncul dari kalangan umum, pengusaha, akademisi dengan berbagai disiplin non-agama bahkan mantan penjahat kambuhan (residivis).

Tradisi ceramah ramadhan ini sangat positif dan menjadi potensi sendiri bagi Sumatera Barat untuk mewujudkan impiannya sebagai propinsi religius yang hidup dalam filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.



Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

06 July 2009

Debat Capres : The Lost Message

Muhammad Nasir

Masyarakat harus arif bahwa pertarungan sekarang bukanlah semata-mata pertarungan 3 pasang calon menuju kursi RI-1 dan RI-2. Di balik itu ada pertarungan tersembunyi di dalam tubuh tim pendukung masing-masing calon presiden. Itu belum terungkap ke "alam nyata". Jika hal ini tidak diungkap dan diwaspadai, maka jangan-jangan apa yang disebut Yudi Latif sebagai "Koalisi Tuna Nilai" (Kompas, 28/04/ 2009) bebar-benar nyata adanya.

Tiga orang calon presiden sudah menyampaikan sebagian visi dan misinya dalam debat calon presiden (selanjutnya ditulis capres) yang ditayangkan langsung oleh beberapa stasiun televisi Jum'at (18/06/2009) yang lalu. Secara umum penampilan para calon lebih dari cukup untuk menarik garis pembanding di antara ketiga calon. Namun, apakah peristiwa itu dapat mengubah opini masyarakat sekaligus memengaruhi grafik dukungan terhadap masing-masing calon?

Selain itu, sedikit yang dapat disimpulkan, semua yang telah disampaikan jika itu memang orisinil hasil olah pikir dan pembacaan yang komprehensif dari para calon presiden tersebut, maka itu tidak lebih sekedar repetisi dari pendapat-pendapat yang sudah terlontar sebelumnya dari para pakar, pengamat dan penulis-penulis dalam dan luar negeri.

Dan jika itu tidak orisinil, maka tim masing-masing calon sudah berhasil 'mendandani' calon pemimpin negeri ini dengan berbagai isu yang dianggap penting. Artinya, secara tidak langsung, capres kita merupakan konstruksi multidimensi dan ekslopedi berjalan bagi para tim suksesnya.

Setelah itu, debat capres akan diselenggarakan dua episode lagi dan debat capres juga akan berlangsung selama dua episode. Formalnya, debat sebagai seremonial kampanye yang melibatkan kontestan langsung pemilihan presiden oleh Komisi Pemilihan Umum cukup baik untuk pembelajaran demokrasi di negeri ini.

Soal lainnya, adakah materi debat para capres itu merupakan isu bersama, saripati pergumulan ide dan agenda perjuangan partai-partai pendukungnya?



Ke mana Suara Parpol Koalisi?

Bagaimanapun, para capres adalah fragmentasi kepentingan-kepentingan politik elit, dan lebih lanjut hasil fragmentasi ini akan diuji oleh rakyat dalam pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.Seandainya yang disampaikan oleh capres dalam debatnya itu merupakan kerangka pikir untuk membangun bangsa ke depan, maka hal ini akan mendapat tantangan berat dari elit politik yang mengusungnya.

Presiden bukanlah semata-mata kepala pemerintahan dan kepala negara. Tetapi lebih dari itu, presiden adalah kepala dan pengusung segala kepentingan politik yang tersebar di antara partai-partai pendukungnya. Betapa tidak, sebelumnya sebelum koalisi dibangun oleh partai-partai pendukung, pembicaraan tentang koalisi partai di parlemen sudah mengapung meskipun belum tuntas dibicarakan.

Konsekuensinya, betapun bagus dan indahnya pandangan masing capres tentang masa depan bangsa akan segera berhadapan dengan kepentingan partai-partai pendukung di parlemen. Mau-tidak mau, pandangan dan 'calon' kebijakan presiden ke depan mesti menyesuaikan dengan tuntutan-tuntutan partai pendukung.

Paling tidak pemenang pilpres mendatang akan dihadapkan pada soal-soal perbedaan orientasi politik, ideologi dan pembagian kekuasaan. Hal ini disebabkan masih sumir-nya peran, karakter dan agenda partai pendukung dalam materi debat yang dipertontonkan secara luas.

Agak riskan membayangkan bahwa kedudukan presiden akan menguat pasca helat demokrasi 2009 ini. Selain partai Demokrat yang perolehan suaranya melebihi duapuluh persen, dua kontestan lain akan berhadapan dengan persoalan bagi-bagi kekuasaan jika memenangkan pemilihan. Partai Demokrat-pun juga belum tentu aman jika memenangkan pemilihan.

Bagi partai pendukung Megawati Soekarno Putri-Prabowo Subijanto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto, persoalan ideologi mungkin saja sudah selesai. Rata-rata partai pendukung mereka berasal dari blok nasionalis. Lain halnya dengan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Tantangan pasangan presiden incumbent ini mungkin lebih berat.

Sebagaimana diketahui, SBY-Boediono diusung oleh Partai Demokrat bersama beberapa Partai berbasis Islam dan partai-partai kecil lainnya bertarif nol hingga satu koma persen. Konfigurasi partai pendukung SBY ini jauh lebih rumit dan rentan konflik berbasis ideologi. Belum lagi konflik bertajuk pembagian kekuasaan.



Perlu ditampilkan

Kontestasi pemilihan presiden tidak semata-mata didasari oleh capaian 20 persen suara saat partai pemilu legislatif. Tetapi juga didasari kesepakan koalisi beberapa parpol untuk memperoleh 20 persen suara sebagai syarat pencalonan presiden. Artinya ada banyak kepentingan yang dikompromikan menjelang pendaftaran calon.

Jika kompromi itu atas nama kepentingan, maka sudah pasti ada konsekuensi dan kompensasi atas kompromi tersebut. Begitu juga jika kompromi itu atas nama agenda perjuangan partai. Maka juga sudah pasti agenda-agenda tersebut tertompang pada calon presiden yang didukungnya.

Berdasarkan hal ini, masyarakat sangat memerlukan kejelasan dan keterusterangan dari masing-masing calon presiden serta tim suksesnya. Agak sulit menerima logika bahwa apapun yang disuarakan oleh calon presiden dalam materi debatnya adalah untuk kepentingan bangsa.

Oleh sebab itu jika ada pertanyaan tentang apa saja kepentingan-kepentingan yang dirangkum dalam koalisi harus dijelaskan supaya masyarakat tidak hanya terpesona oleh performance capres. Begitu juga jika ada agenda-agenda perjuangan partai politik yang tergabung dalam koalisi yang ditompangkan kepada capres, juga harus dikemukakan secara gamblang.

Ringkasnya, dengan mengesampingkan kepentingan kampanye, masing-masing pasangan calon harus mau dan mampu mengungkapkan fakta di balik dukungan parpol. Semuanya demi prinsip "transparansi dan akuntabilitas" yang sedang getol-getolnya dikampanyekan oleh masing-masing capres.
dimuat di : http://psik-indonesia.org/home.php?page=fullnews&id=109

Musyawarah : Garis Debat Demokrasi*

Oleh Muhammad Nasir

Mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku kulluhu
tidak bisa dapat semuanya, jangan dibuang semuanya
-Kaidah Ushul Fiqh-


Demokrasi lahir dari debat. Namun di Indonesia seperti ada garis yang hilang dalam perdebatan demokrasi antara kelompok pro-demokrasi dan kelompok anti-demokrasi. Wacana-wacana debat beterbangan, simpangsiur kian kemari tanpa arena dan garis yang pasti laksana tawuran. Ya, perdebatan itu nyaris menyerupai tawuran!

Garis tersebut adalah saling kesepahaman akan argument masing masing kelompok dan ruang bersama di mana nilai mashlahat dan manfaat masing-masing argument dapat ditempatkan. Akibat hilangnya garis tersebut, muncul sikap sinis dan saling ejek di dalam diri masing-masing peserta debat. Sungguh kurang produktif.

Debat sangat penting dilakukan dan demokrasi membutuhkan perdebatan. Dalam sebuah perdebatan eksplorasi dilakukan sangat ketat dan argumen-argumen brilian dipertarungkan. Secara ‘boros’ kontestan debat pasti akan mengeluarkan pemikiran terbaiknya untuk memenangkan “kebenaran”.

Kepada kontestan debat

Dalam dialektika debat demokrasi, setiap kontestan debat mesti juga menegaskan posisinya masing-masing dan menyatakan sikapnya terhadap opini kontestan lain. Hal ini berguna untuk mengatur traffic debat agar tidak keluar dari target pencarian solusi.

Justru yang mengkhawatirkan saat ini adalah pertarungan supremasi teori yang berarti satu teori harus mengalahkan teori yang lain. Dalam praktek, suatu praktek politik harus menggantikan atau menghapus praktek yang lain. Dalam hal ini perdebatan berlangsung dalam logika Nasikh wal Mansukh (ada yang menghapus dan ada yang dihapus).

Debat yang berlangsung dalam semangat nasikh wal mansukh itu berpotensi melahirkan sikap fundamentalisme dan radikalisme. Fundamentalisme, secara konseptual dan semangat yang dianutnya berupaya menafikan kelompok yang lain dan sebesar mungkin menghindar dari kompromi.

Iklim debat mesti didukung oleh satu pemahaman bersama akan titik tolak debat. Dalam konteks Indonesia, titik tolak perdebatan itu mestinya praktek demokrasi yang sedang dijalankan di negara ini. Artinya arah debat nantinya menuju pada satu penilaian, apakah demokrasi yang sedang dipraktekkan hari ini sudah memenuhi harapan serta akomodatif untuk seluruh elemen bangsa.

Kemudian jika ternyata hasilnya kurang memuaskan, apakah harus ada perbaikan terhadap konsep dan penerapan demokrasi atau malah menggantinya dengan sistem yang lain.

Oleh sebab itu, debat demokrasi tidak harus semata-mata diletakkan dalam konteks proses politik, tetapi secara moderat dijadikan sebagai upaya mencari kemashlahatan dan asas manfaat dari teori-teori yang diajukan kontestan perdebatan.
Garis tersebut harus dipertegas lagi dengan membangun lajur-lajur yang harus ditempuh oleh masing-masing kontestan debat dalam memajukan teorinya dan lajur-lajur alternatif di mana secara bersama-sama para kontestan menyimpan mashlahat dan manfaat dari perdebatan tersebut.

Lajur alternatif yang dimaksud adalah Indonesia itu sendiri yang secara empiris sangat terbuka terhadap masukan-masukan yang berharga dari kelompok prodemokrasi dan kelompok antidemokrasi. Lihat saja, bagaimana kedua kelompok tersebut hidup berdampingan (coexistence), meski dalam waktu-waktu tertentu terjadi ketegangan antara ke dua belah pihak.

Sengaja dibahasakan sebagai alternatif, mengingat sejauh ini Indonesia sudah terlalu jauh ditinggalkan oleh anak bangsanya sendiri. Biasanya, alternatif sebagai jalan ketiga, cendrung disukai. Sekedar penegas: lajur alternatif itu adalah musyawarah.
Kaidah Ushul Fikih yang mendahului tulisan ini dapat saja dijadikan sebagai keranjang untuk mengumpulkan hasil debat. Mâ lâ yudraku kulluhu la yutraku kulluhu. Artinya, jika tidak bisa mendapatkan semuanya, jangan dibuang semuanya.

Peran Negara

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah kenyataan dan benar-benar ada. Bukti adanya didukung oleh perdebatan-perdebatan mengenai masa depan negara ini. Segala puja dan caci maki juga sering teralamat ke negara ini.

Negara adalah arus moderat yang menjadi titik temu (melting point)semua ide-ide dalam perdebatan. Oleh sebab itu, daya serap negara terhadap hasil perdebatan-perdebatan yang terjadi di antara warga negara harus tinggi.

Jika demokrasi berarti partisipasi, maka debat demokrasi merupakan bentuk partisipasi warga dalam membangun tatanan hidup bernegara yang lebih baik. Konsekuensinya, dalam membangun iklim partisipasi yang baik, negara harus mampu menjadi penjaga garis agar debat tidak keluar dari koridor bernegara.

Partisipasi yang baik adalah bentuk keterlibatan warga negara terhadap hal-hal yang diperlukan dan menjadi kebutuhan bersama (common need). Partisipasi yang buruk adalah bila peserta debat mengutamakan kepentingan sepihak yang parsial dan mengabaikan pihak lain.

Lagi-lagi, kaidah Ushul Fikih sebagaimana ditulis pada awal tulisan ini sepertinya layak dijadikan dasar berpikir. Negara dapat saja mengakomodir hasil-hasil perdabatan itu meski sedikit mengandung kebenaran namun dapat diterapkan untuk semuanya.

Penolakan (negasi) bahkan ketidakawasan (awareless) negara terhadap wacana yang berkembang dalam perdebatan justru menjadi indikasi negara yang tidak demokratis. Adalah suatu kesombongan saat semua warga negara sedang berdebat tentang kebaikan negara, tentang bagaimana negara ini harus diurus, sementara negara menutup kuping; acuh tak acuh! (Padang,13/06/2009)

*Draft diskusi Magistra Indonesia- Padang. Topik: Etika dan Asesoris Demokrasi

Retorika : Demokrasi dan Tirani

Oleh: Muhammad Nasir


Efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga…
The good man speaks well.
-Cicero-



Sejak zaman dulu, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Cara memperoleh kemenangan politik pun tak lepas dari retorika., yaitu melalui talk it out (membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha­bis). Cara pertama erat kaitannya dengan demokrasi, cara kedua erat kaitannya dengan tirani.

Indonesia pernah mengalami kedua-duanya. Zaman revolusi Indonesia melahirkan ahli retorika seperti HOS Tjokroaminoto, Ir. Soekarno, Muchtar Lutfi dan sebagainya. Pada zaman Orde Baru, hampir tak terdengar ahli retorika yang terkait dengan masalah politik.

Zaman reformasi ini retorika kembali menjadi populer. Retorika kembali menjadi andalan dalam memperoleh kemenangan politik, meski tak sedikit rakyat yang tidak percaya (lagi) dengan retorika. Termasuk pada parade retorika yang baru saja dialami rakyat Indonesia, yaitu kampanye pemilihan presiden dan wakil presiden.

Masa kampanye pemilihan presiden (pilpres) sejatinya adalah masa-masa retorika. Retorika (rethoric) biasanya disinonimkan dengan seni atau kepandaian berpidato, sedangkan tujuannya adalah, menyampaikan fikiran dan perasaan kepada orang lain agar mereka mengikuti kehendak kita. Dalam pengertian ini, semua pikiran sudah diungkapkan, tinggal mengikuti kehendak si empu retorika di bilik suara.

Benar saja, retorika berhubungan dengan suara. Muara retorika ternyata juga berhubungan dengan perolehan suara. Maka siapa saja yang terhanyut dengan retorika kampanye pilpres, akan segera mengganjarnya dengan suara (dalam arti vote).

Hanya saja, masalah akan segera muncul jika para pemilih (the voters) menyandarkan pilihannya pada semata-mata retorika belaka. Dalam konteks kampanye, retorika tidak lebih hanya bagian dari bentuk komunikasi massa.

Menurut Kenneth Burke, bahwa setiap bentuk-bentuk komunikasi adalah sebuah drama. Karenanya seorang pembicara hendaknya mampu ‘mendramatisir’ keadaan khalayaknya (dramaturgical theory). Jangan-jangan retorika yang berhamburan pada masa kampanye pilpres kemaren, tidak lebih hanya drama.

Menurut Aristoteles, retorika memuat tiga bagian inti yaitu Ethos (ethical); karakter pembicara yang dapat dilihat dari cara ia berkomunikasi, Pathos (emotional); perasaan emosional khalayak yang dapat dipahami dengan pendekatan “psikologi massa”, dan Logos (logical) yaitu pemilihan kata atau kalimat atau ungkapan oleh pembicara.

Ketiga bagian itu sudah disampaikan dengan baik oleh ketiga pasang calon. Rakyat sudah disuguhi tontonan yang menarik dalam tiga seri debat (?) capres dan dua kali debat cawapres. Masalahnya, tiba-tiba pesan-pesan tersebut menjadi kacau balau dengan kehadiran terma propaganda sebagai bagian penting dari kampanye.


Perangkap Retorika

Propaganda itu muncul dalam bentuk jargon. Semuanya bentuk propaganda yang digunakan pasangan calon merupakan jargon yang disukai rakyat. Pasangan Megawati Sukarno Putri-Prabowo Subiyanto mengusung tema ”Pro Rakyat”. Rakyat mana yang tidak suka pemimpinnya pro rakyat?

Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mengusung tema ”lanjutkan!”. Siapa yang tidak suka melanjutkan pembangunan bangsa ini? Kecuali maksudnya adalah melanjutkan kepemimpinan SBY. Opini rakyat masih terbelah.

Sementara Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto dengan tegas mengusung tema ”Lebih cepat lebih baik.” Tema ini juga disukai rakyat. Rakyat mana yang tidak ingin taraf hidupnya membaik lebih cepat?

Jika dalam hal ini semua pasangan calon adalah baik, maka pemilihan umum presiden dan wakil presiden mendatang akan kehilangan konteksnya. Partisipasi rakyat dalam pemilu tidak lebih hal yang mubazir. Mengapa presiden tidak diperoleh melalui undian saja?

Iklan capres dan cawapres yang disajikan dengan bahasa yang indah-indah itu ibarat lagu-lagu populer ABG yang enak didengar (easy listening), tetapi kering dari cita rasa seni dan bahkan mudah pergi (easy going)

Akhirnya, propaganda yang digencarkan oleh tim pemenangan pasangan capres dan cawapres harus diwaspadai. Pesan yang disampaikan dalam kampenya yang lalu tidak cukup ditangkap dengan indra pendengaran belaka, karena itu tidak lebih perangkap retorika. Dikhawatirkan perangkap retorika itu berubah menjadi tirani baru bagi rakyat selama lima tahun ke depan.

Termasuk jargon pemilih cerdas sebagaimana diiklankan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terasa menyentuh urat logika rakyat. Rakyat diminta cerdas menentukan pilihan. Sekilas terlintas kesan ”jangan salah pilih” muncul menohok tiga pasang calon yang tengah bertarung. Memangnya ada apa dengan tiga pasang calon tersebut? Adakah di antara mereka yang kurang pantas menjadi presiden?

Mengenang ucapan Cicero sebagaimana diungkap di awal tulisan ini, “Efek pidato akan baik, bila yang ber­pidato adalah orang baik juga.”Oleh sebab itu saat minggu tenang tiba, tiba pula saatnya menginap-renungkan apa-apa yang sudah dibicarakan oleh calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia periode 2009-2014.

Semuanya dapat dilakukan dengan membandingkan apa yang diucapkan pasangan capres dan cawapres selama berpidato dan membandingkan data dan fakta yang terungkap selama kampanye. Itulah demokrasi, memenangkan orang yang pandai beretorika, meyelamatkan orang yang punya jiwa dan logika. (04/07/2009)

Muhammad Nasir
Analis Sejarah Magistra Indonesia - Padang

27 May 2009

Membalas Budi Rakyat

Oleh Muhammad Nasir *

Sampai pada waktu-waktu terakhir, hampir tak ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarnya, kewajiban rodi dan bertanam paksa dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sangat sengsara, memadailah. Senanglah hati pemerintah (van Deventer, De Gids, 1908)

Rezim kolonialpun dulunya sempat berpikir untuk mensejahterakan rakyat jajahannya melalui pendidikan dan peningkatan kualitas akal budi. Agaknya itulah bentuk keresahan Van Deventer, juru bicara pemerintahan Kolonial Belanda yang ia tuangkan dalam tulisannya di Majalah De Gids tahun 1908.

Sebelumnya, van Deventer juga getol menyuarakan pentingnya membalas jasa dan kerja keras rakyat Indonesia untuk mengisi kekosongan pundi-pundi Pemerintah Belanda setelah menghadapi Perang Diponegoro dam Perang Kemerdekaan Belgia.

Dalam majalah yang sama tahun 1899 ia menyatakan sudah sewajarnya pemerintah Belanda membayar mahal kebaikan budi rakyat Indonesia yang “dengan sangat terpaksa” melakukan rodi dan tanam paksa. Kelak, tulisan-tulisannya menjadi pendorong bagi munculnya kebijakan Politik Etis yang berlangsung dari 1900 -1942.

Politik Etis itu sendiri diberlakukan dalam prinsip menetes ke bawah (trickle down effect) yang wujud dalam trias popular “irigasi, edukasi dan emigrasi”. (Suhartono,1994:16). Hasilnya, fasilitas-fasilitas pengairan untuk menunjang pertanian dibangun, sekolah-sekolah digalakkan, dan masalah kepadatan penduduk sementara waktu menemukan titik terang.

Begitulah sejarah menuliskan bagaimana masyarakat Inonesia di zaman Kolonial diurus oleh penjajahnya. Dalam kaidah La Syukra lil Wajib (tidak perlu berterima kasih untuk yang semestinya harus begitu) Politik Etis memang tidak perlu dikenang sebagai budi baik Kolonial Belanda. Tetapi dibalik itu mesti diambil pelajaran bahwa “jiwa manusia yang baik” dibalik jubah kolonialisme sekalipun pandai berterima kasih untuk manusia lain yang memberikan manfaat kepadanya.

Politik Etis berdampak bagus bagi kemajuan pergerakan kemerdekaan Indonesia. Dengan fasilitas umum yang relative memadai, sekolah-sekolah yang menghasilkan elit baru Indonesia dan transmigrasi yang memungkinkan interaksi antar suku bangsa di Indonesia dengan sendirinya menjadi modal besar untuk kemerdekaan Indonesia.
Bagaimanapun politik etis tetap berasal dalam lingkup kapitalis yang bertujuan mengeruk untung yang sebesar-besarnya dari bumi Indonesia. Dengan kata lain politik etis adalah anak kandung dari Kolonial Belanda itu sendiri. Itulah yang menjadi dorongan bagi kaum pergerakan nasional yang notabenenya juga lahir memanfaatkan peluang politik etis itu sendiri. Kesadaran tersebut pada akhirnya menjadi semangat melawan Politik Etis. Era kebangkitan nasionalpun dimulai!

Sejarah berulang?

Sayangnya, setiap membaca sejarah rakyat Indonesia, kita seakan menyaksikan kondisi yang telah lama tersebut secara realtime. Apakah suasana ketertekanan bangsa Indonesia saat itu masih berlaku hingga sekarang (contemporaire)? Atau mungkin juga, kejadian lama itu kembali terulang (cyclic)?

Ada banyak persoalan yang tengah dihadapi bangsa ini saat para elit politik dan pejabat Negara mengalami kekosongan kas dan kemerosotan mental pasca pemilu legislative 9 April 2009 yang lalu.

Di bidang pendidikan, anak-anak sekolah mengalami tekanan hebat akibat konspirasi politik dan kapitalisme dalam kancah Ujian Nasional 2009. Nasib rakyat terabaikan akibat pergeseran agenda pemerintah yang cendrung memperhatikan suksesi kepemimpinan jelang pemilihan presiden 8 Juli 2009. Apakah memang keadaan rakyat tidak sedang sangat sengsara?

Tentang soal yang disebutkan di atas, dalam skala nasional belum menjadi perdebatan yang berarti di kalangan elit politik kita. Harap mafhum, akrobatik pemilu baik legislative maupun presiden begitu menyita waktu dan pikiran pemimpin kita.

Rasanya semua itu tidak adil bila dilihat kewajiban rakyat membayar segala jenis iuran yang menjadi pemasukan negara. Begitu juga partisipasi atau tepatnya mobilisasi rakyat yang mencapai 60 persen dalam Pemilihan Umum 2009 dianggap lebih dari cukup, mengingat point of return yang diterima rakyat juga tak seberapa.

Bila digunakan teorema Mazlish (1966) untuk menganalisa sejarah Indonesia, perjalanan sejarah Indonesia tidak memadai dan tidak dapat dijelaskan dengan semata-mata berpegang dengan pola kausalitas. Lebih lanjut, sejarah bangsa Indonesia selama berabad-abad tidak lebih lingkaran nasib belaka.

Toh, selama berabad-abad, suku-suku bangsa sebelum menjadi Indonesia bahkan saat meng-Indonesia-pun belum memberi sumbangan besar dalam sejarah dunia. Tanpa bermaksud melupakan kebesaran Kutai Kartanegara, Sriwijaya, Pasai, Majapahit dan sebagainya, kita harus mengatakan “itu belum cukup untuk menopang sejarah dunia!”

Saatnya membalas budi

Disadari, pemberitaan media massa begitu dahsyatnya sehingga ingatan kita seolah kembali ke masa-masa penjajahan yang menyengsarakan. Jika demikian adanya, maka dengan pesimis kita akan mengatakan bahwa kebangkitan nasional yang akan berusia 101 tahun secara langsung semakna dengan angka symbol 1-0-1. Kebangkitan nasional (1) – kebangkrutan nasional (0) - kebangkitan nasional (1). Begitulah siklus nasib.

Jika demikian, kita membutuhkan kebangkitan nasional kedua. Kebangkrutan nasional bukanlah menihilkan atau menafikan apa yang sudah dikerjakan anak bangsa selama periode pengisian kemerdekaan. Yang justru menjadi permasalahan adalah mental-mental pejuang para elite nasional justru menjadi penyumbang terbesar kebangkrutan itu.

Rakyat dalam sejarahnya selalu patuh dan loyal kepada negara dan penguasanya. Loyalitas ini disebabkan rasa cinta tanah air dan kuasa memaksa (coercive power) dari para penguasanya. Semua itu adalah alasan historis untuk membayar hutang kepada rakyat.

Sebelum semuanya terlanjur lupa, ada baiknya pemilu 2009 dalam semangat kebangkitan nasional mengupayakan tindakan balas budi kepada rakyat dalam bentuk pengabdian yang sempurna di legislative, dan pengambilan keputusan yang akurat dan pro rakyat di eksekutif. Tidak hanya pelepas hutang yang terkesan asal jadi, tetapi karena balas budi pada rakyat yang selalu patuh.

Dalam suasana “perpecahan dalam tubuh masyarakat” merujuk A.J. Toynbee, dibutuhkan individu-individu kreatif yang lahir dari mesin Pemilu 2009. Seandainya kita tidak juga keluar dari krisis ini, minimal terjadi penghalusan masalah yang diselesaikan dengan cara yang juga lebih halus dan santun.

*Muhammad Nasir,
Peneliti Majelis Sinergi Islam dan Tradisi (Magistra) Indonesia Padang

07 April 2009

ABU YAZID AL BUSTHAMY (188-261 H)

ABU YAZID AL BUSTHAMY (188-261 H)

I.PENDAHULUAN

Istilah "tasawuf"(sufism), telah sangat populer digunakan selama berabad-abad. Penting diperhatikan bahwa istilah ini hampir tak pernah digunakan pada dua abad pertama Hijriah. Banyak pengritik sufi, mengingatkan bahwa istilah tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad SAW, atau orang sesudah beliau, atau yang hidup setelah mereka.

Namun, di abad kedua dan ketiga setelah kedatangan Islam, ada sebagian orang yang mulai menyebut dirinya sufi, atau menggunakan istilah serupa lainnya yang berhubungan dengan tasawuf. Abdul Mun’im Khafaji mengatakan, orang pertama yang digelari sufi adalah Abu Hasyim al Shufy (w.150 H/761 M). Orang yang pertama berbicara atas nama kaum shufi adalah Abu Hamzah al Shufi. Hal ini terungkap dalam pertanyaan Ibn Hanbal kepada Hamzah tentang suatu hal; "apa pendapatmu tentang (masalah) ini hai Shufi?" Menurut Reynold Allen Nicholson, orang pertama yang digelari shufi adalah Jabir bin Hayyan. Ia juga dikenal dengan sebutan Jabir al Shufi.

Beberapa pendapat di atas dapat mewakili anggapan bahwa sufi secara isthilahya mendapat arti yang bermacam-macam. Tidak hanya dari segi istilah, dari segi asalnya pun tidak luput dari perbedaan. Ada yang mengkaitkannya dengan ajaran Hindu semisal Nirvana dan Vedanta. Ada yang mengakaitkan silsilahnya kepada praktek ruhbaniyah al masihiyah (Nasrani) dan sebagainya. Meskipun demikian tidak sedikit pendapat yang mengatakan sufisme lahir dari ajaran Islam itu sendiri, terutama dalam upaya mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Perdebatan di atas tidak berhenti sampai di situ. Beberapa tokoh sufi sendiri tidak luput dari kontroversi. Bahkan disebabkan keadaan, pemikiran dan ucapannya yang tidak lazim, para sufi pun tidak luput dari tuduhan gila dan kafir. Misalnya, seperti yang dialami al Hallaj, Suhrawardy al Maqtul dan lain-lain. Lain halnya dengan Abu Yazid yang akan dibahas dalam makalah ini. Sufi Persia yang menggagas pemikiran, fana’, baqa dan ittihad ini, tak kalah fenomenal dan besar dengan mazhabnya itu.

Berdasarkan objek dan sasarannya, tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu; tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah agar diperoleh penghayatan spiritual dalam beribadah, pembidangan ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis. Abu Yazid, berdasarkan pendapat di atas dapat digolongkan pada kelompok tasawuf falsafi, karena objek dan sasarannya mengarah pada hal-hal yang mistis dan metafisis.

Untuk mengenal lebih lanjut Abu Yazi al Busthamy dan corak sufistiknya, berikut ini penulis akan membagi pembahasan kepada dua sub bahasan yaitu Profil Abu Yazid al Busthamy dan Pemikiran Sufistiknya.

II.PROFIL ABU YAZID AL BUSTHAMY

1. Riwayat Singkat

Abu Yazid al Busthamy yang mempunyai nama kecil Thaifur dilahirkan di Bistham Khurasan, Persia pada tahun 188 H. Nama lengkapnya Sulthan al ‘Arifin Abu Yazid al Akbar Thaifur bin Isa. Ia merupakan salah satu dari tiga bersaudara: Adam, Thayfur dan Ali. Mereka semua ahli zuhud dan ibadat. Dalam literatur berbahasa Inggris sering ditulis dengan Bayazid Bistami, atau Bayazid Bustamy al Khurasany. Kadang-kadang juga digunakan nama Abu Yazid Thaifur bin Isa. Literatur berbahasa Indonesia cenderung menggunakan kata al Busthamy untuk menulis penisbahan namanya pada kota kelahirannya, Bistham. Bagaimanapun cara penulisannya, yang jelas ia tetap mengacu pada sosok sufi kontroversial dari Bistham Persia.

Perbedaan cara orang menyebut dan menulis namanya, tidak mengurangi ketenaran Abu Yazid al Busthamy (selanjutnya ditulis Abu Yazid) sebagai seorang sufi. Akan tetapi riwayat hidupnya tidak banyak diketahui, kecuali pada fase hidup sufistiknya. Berbagai ungkapan dan hal ihwal kesufiannya (ahwaluhu al shufiyyah) tercatat dalam sejarah sebagai satu corak pemikiran sufi Persia, bahkan sangat mewarnai pada masanya.

Sekilas tentang riwayat hidupnya yang dapat ditulis adalah, bahwa Abu Yazid sejak kecilnya dikenal sebagai pribadi yang saleh. Ia dilahirkan dari keluarga yang taat beragama. Ibunya secara rutin mengirmnya mengaji ke Mesjid untuk belajar al Qur’an dan ilmu-ilmu agama. Kakeknya seorang Majusi namun telah masuk Islam. Setelah besar ia melanjutkan pelajaran ke berbagai daerah. Di antara gurunya adalah Abu Ali dari Sind, yang mengajarinya ilmu tauhid dan tasawuf yang sangat bertentangan dengan paham Sunni.

Abu Yazid mengawali kehidupannya sebagai sufi melalui jalan pertama yaitu zuhd. Zuhd adalah merupakan awal dari gerakan Sufi. Gerakan Zuhud pada prinsipnya merupakan gerakan Islam itu sendiri. Bahkan Nicholson sendiri menyatakan bahwa kelahiran zuhud merupakan keharusan bagi aktifitas berpikir tentang Allah.

Pilihan hidup zuhud bagi Abu Yazid merupakan pilihan sadar, begitu juga untuk menjadi ahl al shufi. Sepertinya pilihan itu merupakan jalan tengah baginya. Jika memang demikian keadaannya sangat sesuai dengan analisis al Afify yang menyatakan; Sufisme merupakan sintesa dari pertentangan fuqaha’ dan mutakallimin dalam memahami Islam. Kaum Sufi/ ahli ibadah tidak dapat menerima ke dua model atau corak pemahaman Islam tersebut, sehingga amalan kaum sufi itu menjadi trend tersendiri dalam beribadah kepada Allah SWT.

Selama 30 tahun ia berkelana di sepanjang padang pasir Syiria dengan keadaan yang sederhana, sedikit makan, sedikit minum dan sedikit tidur. Abu Yazid pernah ditanya, "Bagaimana Anda dapat sampai pada tahap ini?" Ia menjawab, "Dengan perut yang lapar dan tubuh yang telanjang." Apa yang ia lakukan dapat disebut sebagai bentuk “perlawanan” kepada model pemikiran fuqaha’ dan mutakallimin tentang Islam.
Selanjutnya bukti kesadarannya masuk ke dalam dunia sufi sebagaimana pernyataannya berikut:

"Aku bermujahadah selama tigapuluh tahun. Tidak ada yang lebih memberatkan diriku, kecuali ilmu dan melaksanakannya. Kalau bukan karena adanya perbedaan pandangan antar ulama, tentu aku masih muncul. Sedangkan perbedaan di antara para ulama merupakan rahmat, kecuali dalam masalah konsentrasi (tajrid) tauhid."

Pernyataan Abu Yazid di atas menunjukkan titik tolak keberangkatannya ke dalam dunia sufi. Perbedaan dalam memahami Islam antara fuqaha’ dan Mutakallimin (ulama) sebagaimana ia sebutkan pada dasarnya bukanlah pemicu utama. Namun selaku ahli ibadah, persoalan tauhid adalah persoalan yang sangat mendasar dan hanya didapatkan melalui latihan (tajribat) khusus sebagaimana dilakukan ahli ibadah.

Abu Yazid juga memakai pakaian yang sangat sederhana dan cendrung lusuh. Pakaian kaum sufi Persia dikenal dengan basynemabusy (بشنيمابوش), istilah khusus untuk pakaian kaum sufi (ahl al Shufiy).

2.Posisi Abu Yazid Al Busthami dalam Sejarah Sufi

Abu Yazid al Busthamy tidak hanya menjadi bagian dari wacana sufistik pada zamannya, tetapi lebih dari itu ia adalah pendiri dari perkumpulan tarikat yang dinamakan oleh muridnya “Thariqah Thaifuriyah”. Tarikat yang dinisbahkan kepada nama kecilnya Taifur itu mengajarkan konsep al fana’. Ajaran inilah yang menjadikannya terkenal di kalangan sufi. Thaifuriyah merupakan aliran tasawuf yang diterima oleh Islam.

Tasawuf itu terdiri dari dua belas aliran: dua di antaranya dikutuk (mardud), sementara sisanya yang sepuluh diterima (maqbul). Yang diterima ini ialah Muhasibiyah, Qashshariyah, Thayfuriyah, Junaydiyah, Nuriyah, Sahliyah, Hakimiyah, Kharraziyah, Khafifiyah, dan Sayyariyah. Dua aliran yang dituduh sesat itu, pertama, Hululiyah, yang mengambil namanya dari doktrin inkarnasi (hulul) dan inkorporasi (imtizaj), dan yang berkaitan dengan mereka adalah aliran kaum antropomorfis Salimi, dan kedua, Hallajiyah, yang meninggalkan hukum suci (Syari'at), dan telah menempuh jalan bid'ah, dan yang berkaitan dengan mereka adalah aliran Ibahatiyah dan aliran Farisiyah. Doktrin utama aliran ini adalah kegairahan (ghalabat) dan kemabukan (sukr). Mengenai etika, Abu Yazid menjauhkan diri dari pergaulan dan memilih mengundurkan diri dari dunia. Menurutnya, itulah tindakan yang terpuji. Ia menyuruh murid-muridnya melakukan tindakan yang sama. Ajaran lainnya adalah konsepsi (ittihad).

Abu Yazid juga dikenal dengan ucapannya yang aneh, seperti ungkapan orang mabuk dan tidak sadarkan diri yang dikenal dengan ungkapan al Syathah. Syath (the Paradoxes of the Sufis) atau 'perkataan ekstatis' adalah 'cara-cara pengungkapan teofanik' namun tidak dapat diterima ‘aqly dan naqly muslim pada waktu itu. Karena dari sudut pandang manusia murni, perkataan semacam ini tidak masuk akal. Misalnya, teriakan ekstatis yang diucapkan Abu Yazid "Subhani- Mahasuci aku, betapa besar Kemuliaan-ku!"

Dalam sastra Persia, syatah yang diawali Abu Yazid menjadi genre baru dan mencapai puncaknya. Dalam kalangan Sufi, genre ini mewakili sebagian besar keabsahan spiritual pada Sufisme Persia awal.

Corak sufistik Abu Yazid seringkali menjadi bahan diskusi para penulis tentang dunia sufi. Hal ini disebabkan posisinya sebagai orang Persia yang punya akar sendiri dalam praktek kesufian. Disamping itu, ajarannya juga dicurigai sebagai perpaduan mysticism India dan sufistik Islam. Tentang pendapat ini sangat sulit diterima. Von Kremer juga mengindikasikan hal yang sama. Ia berpendapat Tasawuf Islam terinspirasi dan terpengaruh dari pemikiran Nirvana atau Vedanta dalam agama Hindu. Tetapi Nicholson menolak dengan tegas. Alasannya, tidak mungkin orang Islam beramal dengan amalan orang Hindu yang jelas-jelas menyembah berhala (musyrik).

Abu Yazid tidak meninggalkan karangan yang dapat dipelajari, kecuali sebuah kitab berjudul al Nur min Kalimat Abi Taifur, karangan Al Sahlaji. Dalam kitab ini banyak ditemukan kalimat-kalimat atau perkataannya yang aneh dan kadang-kadang terkesan paradok. Bisa dikatakan, kitab itu merupakan rekaman perkataan yang dicatat oleh muridnya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Abu Yazid al Busthamy merupakan seorang Sufi besar. Kebesarannya itu ditunjang oleh kepeloporannya dalam menggagas doktrin al fana’ dan al ittihad yang banyak dianut dan dikembangkan oleh berbagai aliran tasawuf sejak dahulu hingga saat ini. Kerana itulah ia berhak mendapatkan posisi khusus dalam sejarah sufi.

III.PEMIKIRAN ABU YAZID AL BUSTHAMY

1.Sekilas Sufisme Persia

Pada abad-abad pertama, praktis semua perkembangan penting dalam sejarah awal sufi secara geografis berkaitan dengan Persia. Meskipun tidak hanya terbatas pada wilayah Persia yang sekarang dikenal sebagai Iran, namun kebanyakan tokoh besar sufi berasal dari Persia.

Bagi yang berpendapat bahwa terma dan segenap amalan sufi berasal dari pengaruh Persia (mu’atsarat al Farisiah), seperti Annemarie Schimmel, mendasari pendapatnya pada kenyataan bahwa sebagian besar tokoh sufi Islam yang terkenal berasal dari Tanah Persia. Misalnya Ma’ruf al Karkhy dan Abu Yazid al Busthamy.

Secara umum, kajian sufistik bergerak dalam dimensi tuhan dan manusia. Jika boleh bereksperimen, alam sufi merupakan dimensi ketiga. Tetapi bagaimanapun, debat tentang wacana sufistik sering menghangat pada kajian ketuhanan. Karena itu fokus kajian berikut juga berangkat dari titik ini. Dengan memperhatikan perkembangan tasawuf serta tipologinya, secara global dapat diformasikan adanya tiga konsepsi tentang Tuhan, yaitu; konsepsi etikal, konsepsi estetikal dan konsepsi union mistikal. Sufistik Persia pada umumnya menganut konsepsi yang ketiga, union mistikal.

Konsepsi yang ketiga itu menarik perhatian para pemikir muslim yang berlatar belakang teologi dan filsafat. Dari kelompok inilah tampil sejumlah sufi yang filosofis atau filosof yang sufis. Konsep-konsep tasawuf mereka disebut tasawuf falsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Ajaran filsafat yang paling banyak dipergunakan dalam analisis tasawuf adalah paham emanasi Neo-Platonisme dalam semua variasinya. Abu Yazid berdasarkan latarbelakang kehidupannya diduga kuat menjadi bagian dari pendukung konsep tasawuf yang juga dikenal dengan istilah teosofi sebagai sintesa falsafi terhadap teologi dan sufistik


Pada umumnya, mereka yang bermazhab Syi'ah dan atau yang berpola pikir Muktazilah dalam teologi dapat merima konsep-konsep tasawuf falsafi. Oleh karena itu, aliran tasawuf ini berkembang pesat di kawasan di mana umat Islamnya bermazhab Syi'ah dan atau beraliran Muktazilah. Hal ini menjadi sebab utama kenapa sebagian orang menamainya dengan Tasawuf Syi'i. Diterimanya konsep-konsep atau pola pikir tasawuf falsafi di kawasan Persia, dimungkinkan mengingat kawasan itu jauh sebe¬lum Islam sudah mengenal filsafat.

2. Konsep Al Fana’Menurut Abu Yazid, manusia yang pada hakikatnya seesensi dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu meleburkan eksistensi (keberadaannya) sebagai suatu pribadi sehingga ia tidak menyadari pribadinya (fana'an nafs). Fana'an nafs, adalah hilangnya kesadaran kemanusiaannya dan menyatu ke dalam iradah Allah, bukan jasad tubuhnya yang menyatu dengan Dzat Allah. Salah satu ungkapannya yang sangat terkenal tentang al fana’ sebagaimana cerita berikut:

“Pertama kali saya masuk ke rumah suci (Baitullah-pen), saya melihat rumah suci itu. Ketika saya masuk untuk kedua kalinya, saya melihat Penguasa rumah itu. Ketika saya masuk untuk ketiga kalinya, aku tidak melihat rumah itu, maupun penguasanya”


Dengan ungkapan di atas, Abu Yazid bermaksud mengatakan bahwa “Saya menjadi hilang dalam Tuhan, sehingga saya tidak tahu apa-apa. Ketika saya melihat sama sekali, saya telah menjadi Tuhan.” Ungkapan yang berarti sama terjadi saat seseorang mendatangi rumah Abu Yazid dan memanggil-manggilnya. Abu Yazid menjawab;

“Siapa yang kamu cari?” Abu Yazid bertanya.
“Abu Yazid,” jawab orang itu.
“Orang yang malang!” kata Abu Yazid. “Saya telah mencari Abu Yazid selama tigapuluh tahun dan tidak menemukan jejak dan tanda-tandanya.”

Pada perkembangannya yang awal, kelihatannya ada dua aliran al-fana, satu aliran yang berpaham moderat yang diwakili al-Junaid al-Baghdadi, biasanya disebut fana fi't tauhid. Kalau seorang telah larut dalam ma'rifatullah dan ia tidak menyadari segala sesuatu selain Allah, maka ia telah fana dalam tauhid.

Al-fana dalam pengertiannya yang umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi berikut ini:

Hilangnya daya kesadaran qalbu dari hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara silih berganti sehingga tiada lagi yang disadari dan dirasakan oleh indera.

Dari pengertian ini terlihat, bahwa yang lebur atau fana itu adalah kemampuan dan kepekaan menangkap yang bersifat materi atau inderawi, sedangkan materi (jasad) manusianya tetap utuh dan sama sekali tidak hancur. Jadi, yang hilang hanyalah kesadaran akan dirinya sebagai manusia, sebagaimana dijelaskan oleh al-Qusyairi:

"Fananya seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya terjadi karena hilangnya kesadaran seseorang dari dirinya dan dari makhluk lainnya itu. Sebenarnya dirinya tetap ada tetapi ia tidak sadar dengan dirinya sendiri dan dengan alam sekitarnya.
Dalam proses al-fana ada empat situasi getaran psikis yang dialami seseorang, yaitu al-sakar (mabuk) al-syathahat (ucapan/ocehan), al-zawal al-hijab (keluar dari dimensi kemanusiaan/keluar dari alam materi ) dan ghalab al-syuhud (kesempurnaan penglihatan). Sakar adalah situasi kejiwaan yang terpusat penuh kepada satu titik sehingga ia melihat dengan perasaannya, seperti apa yang dialami oleh Nabi Musa AS di Tursina.

Secara bahasa, syathahat berarti gerakan, sedangkan dalam istilah tasawuf dipahami sebagai suatu ucapan yang terlontar di luar kesadaran, kata-kata yang diucapkan dalam keadaan sakar, al-zawal al hijab, nampaknya diartikan dengan bebas dari dimensi sehingga ia keluar dari alam materi dan telah ber"ada" di alam ilahiyat sehingga getar jiwanya dapat menangkap gelombang cahaya dan suara Tuhan. Nampaknya pengertian ini sama dengan atau mirip dengan al-mukasyafah. Sedangkan ghalab al-syuhud diartikan sebagai tingkat kesempurnaan musyahadah, pada tingkat mana ia lupa pada dirinya dan alam sekitarnya, yang diingat dan dirasa hanya Allah seutuhnya. Dalam literatur barat ditemukan pengertian al-fana sebagai "the passing away of the sufi from his phenomenal existence, involves baqa, the continuance of his real existence".

Apabila dilihat dari sudut kajian psikologis, terlihat suatu karakteristik fana mistis, yaitu hilangnya kesadaran dan perasaan, di mana seseorang (sufi) tidak merasakan lagi apa yang terjadi dalam organismenya dan tidak pula merasakan ka-aku-annya serta alam sekitarnya. Dengan demikian terlihat, bahwa fana adalah kondisi intuitif, di mana seseorang untuk beberapa saat kehilangan kesadarannya terhadap ego-nya, yang dalam bahasa awam barangkali dapat dikatakan sebagai terkesima atau bahasa yang sejenis. Karena, apabila diteliti apa yang dikatakan al Qusyairi di atas bahwa fana itu adalah terkesimanya seseorang dari segala rangsangan dan yang tinggal hanyalah satu kesadaran, yaitu hanya Zat Mutlak.

Dengan demikian, pada umumnya diasumsikan bahwa tujuan dari semua kehidupan tasawuf seorang sufi adalah untuk mencapai penyatuan (ittihad) dengan Tuhan, yang diistilahkan dalam simbol "fana". Sebelum masa Abu Yazid, fana diartikan kaum sufi sebagai "pengabdian", sehingga fana diri berarti pengabdian kesadaran diri atau pengabdian kualitas diri. Tetapi setelah munculnya Ibn Arabi, ia mendefinisikan fana kepada dua pengertian, yakni:"

1.Fana dalam pengertian mistis, yaitu "hilangnya" ketidaktahuan dan tinggallah pengetahuan sejati yang diperoleh melalui intuisi tentang kesatuan esensial keseluruhan itu. Sufi tidak menghilangkan dirinya, tetapi ia "menyadari" non-eksistensi esensial itu sebagai suatu bentuk.

2.Fana dalam pengertian metafisika, yang berarti "hilangnya bentuk-bentuk" dunia fenomena dan berlangsungnya substansi universal yang satu. Menghilangnya suatu bentuk adalah "fananya" bentuk itu pada saat Tuhan memanifestasi (tajalli) dirinya dalam bentuk lain. Oleh karena itu kata Ibn Arabi, fana yang benar itu adalah hilangnya "diri" dalam keadaan pengetahuan intuitif di mana kesatuan esensial dari keseluruhan itu diungkapkan.

Sufisme yang sempurna adalah seseorang yang melihat Tuhan dan "dirinya" sendiri di dalam pengalaman mistikal, baik dengan pengetahuan mistikal maupun dengan penghayatan esoteris. Artinya, seorang sufi yang sempurna adalah seseorang yang mengakui adanya Esensi dan bentuk (form), tetapi menyadari kesatuan esensial keduanya serta kemutlakan non-eksistensi dari form atau bentuk itu. Ini adalah fana yang paling tinggi yang bisa dicapai oleh seorang sufi.

3. Konsep Al Baqa’Al Baqa’ adalah kelanjutan dari al fana. Apabila Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana dalam pengertian tersebut di atas, maka pada saat itu ia telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga wujudiyahnya kekal atau al-baqa. Sedangkan seorang sufi yang notabenenya manusia (materi) dianggap hilang tinggallah yang maha kekal, yaitu Allah SWT. Diduga kuat, pemikiran ini didasari pada Firman Allah dalam al Qur’an, surat al Rahman (55) ayat 27 sebagaimana berikut: Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.

Keterserapan atau kefanaan sangat uth sehingga yang benar-benar tinggal dan kekal (Baqa’) adalah Allah. Pada suatu saat Abu Yazid dipanggil oleh seorang muridnya yang telah tinggal bersamanya selama duapuluh tahun. Setiap bertemu Abu Yazid justru bertanya nama muridnya itu;


============================================
“Wahai anakku, siapa namamu?” Tanya Abu Yazid.
“Guru, engkau mengolok-olokku. Selama duapuluh tahun aku melayanimu, selama itu pula engkau bertanya tentang namaku,” jawab sang murid.
“Anakku,” balas Abu Yazid. “Aku tidak mengejekmu, tetapi Nama-NYA telah masuk ke dalam hatiku dan mengeluarkan nama-nama yang lain. Begitu aku tahu nama-nama baru, aku segera melupakannya.”


============================================


4. Konsep Al Ittihad

Sebagaimana diuraikan dalam point al Baqa’ di atas, seorang sufi telah hilang karena ke fana’ annya, dan tinggalah wajah Allah yang kekal, (Baqa). Al Fani, telah lebur dan menyatu dengan Allah. Di dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal dari Tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Paham ini timbul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya, bahwa jiwa manusia adalah pancaran dari Nur Ilahi, akunya manusia itu adalah pancaran dari yang Maha Esa.

Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriahnya, atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadarannya sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumber asalnya. Ia akan menyatu padu dengan Yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya satu. Keadaan seperti itulah yang disebut ittihad, yang oleh Bayazid disebut tajrid fana at-tauhid, yaitu perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai sesuatu apapun. Ungkapan Abu Yazid yang puitis berikut ini akan memperjelas pengertian ittihad itu. Abu Yazid berkata:

Pada suatu ketika saya dinaikkan kehadirat Allah seraya la berkata, hai Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab hiasilah aku dengan keEsaan-Mu, dan pakailah aku sifat-sifat ke-dirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata: "Kami telah melihat Engkau. Tetapi sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saat itu aku tidak berada di sana.

Rangkaian ungkapan Abu Yazid itu merupakan ilustrasi proses terjadinya ittihad. Pada bagian awal ungkapannya itu melukiskan alam ma'rifat dan selanjutnya memasuki alam fana'an nafs sehingga ia berada sangat dekat dengan Tuhan dan akhirnya terjadi perpaduan. Situasi ittihad itu diperjelas lagi oleh Abu Yazid dalam ungkapannya :

Tuhan berkata : Semua mereka kecuali engkau , adalah makhluk-Ku. Aku pun berkata : Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku.

Selanjutnya Abu Yazid berkata :

Saya inilah Allah, tiada Tuhan selain Aku, sembahlah Aku

Secara harfiah, ungkapan-ungkapan Abu Yazid itu adalah pengakuan dirinya sebagai Tuhan dan atau sama dengan Tuhan. Akan tetapi sebenarnya bukan demikian maksudnya. Dengan ucapannya Aku adalah Engkau bukan ia maksudkan akunya Abu Yazid pribadi. Dialog yang terjadi ketika itu pada hakikatnya adalah monolog. Kata-kata itu adalah sabda Tuhan yang disalurkan melalui lidah Abu Yazid yang sedang dalam keadaan fana'an nafs. Pada saat bersatunya Abu Yazid dengan Tuhan ia berbicara atas nama Tuhan karena yang ada pada ketika itu hanya satu wujud yaitu Tuhan, sehingga ucapan-ucapan itu pada hakikatnya adalah kata-kata Tuhan. Dalam hal ini Abu Yazid menjelaskan:

Sebenarnya Dia berbicara melalui lidah saya sedangkan saya sendiri dalam keadaan fana.

Oleh karena itu sebenarnya Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagai Tuhan seperti apa yang dilakukan oleh Firaun. Proses ittihad menurut versi Abu Yazid ini adalah naiknya jiwa manusia ke hadirat Ilahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya kakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari dirinya sendiri karena dirinya terlebur dalam Dia yang dilihat.

IV.PENUTUP

Memahami pemikiran sufi, ibarat menyelami samudera yang penuh misteri, sekaligus hikmah (bihar al hikmah). Untuk mencari apa yang dimaksudkan para sufi dalam tajrib al ruhy-nya membutuhkan usaha yang sungguh-sungguh dan bebas dari prasangka negative. Sebagaimana ungkapan Abu Yazid,”Sesuatu yang kita tunjukkan tidak dapat ditemukan dengan keinginan, tetapi hanya pencari yang menemukannya.” Dalam pencarian singkat dan penyelaman yang dangkal ini, penulis ingin menyimpulkan;

1.Abu Yazid al Busthami adalah sufi besar Persia yang muncul setelah mensintesa perbedaan antara fuqaha’ dan Mutakallimin (Ulama) dalam memahami Islam. Pilihan Abu Yazid akhirnya jatuh pada jalan sufi.

2.Abu Yazid selain seorang sufi, bisa dianggap sebagai seorang seorang filosof. Pendapat ini didasari fakta bahwa tidak mungkin Abu Yazid mensintesa perbedaan fuqaha’ dan mutakallimin tanpa pengetahui corak fikir kedua model ulama tersebut.

3.Abu Yazid, dapat digolongkan pada kelompok tasawuf falsafi, karena objek dan sasarannya mengarah pada hal-hal yang mistis dan metafisis.

4.Pemikiran Abu Yazid tentang al fana’, al baqa’ dan ittihad, memang kontroversial. Tetapi belum dapat dianggap sesat karena semua itu ia lakukan karena/ untuk menuju Allah. dan ia tidak pernah mengaku sebagai tuhan.

5.Pada batas dan keperluan tertentu, mabuk dan kegilaan Abu Yazid terhadap Allah dapat ditiru sebagai pendekatan untuk khusyu’ saat beribadah kepada Allah SWT.

Wallahu a’lam bi al shawab.
Padang, April 2007
(Muhammad Nasir)


DAFTAR BACAAN

Muhammad Nasir, Atsar al Harakah al Shufiyah fi al Adab al ‘Abbasy, (Skripsi, IAIN Imam Bonjol Padang, 2002) h. 6-14

Muhammad Abd. Mun’im Khafaji, al Adab fi al Turatsi al Shufy, (Maktabah Gharib: Fujalah), h. 14

R.A. Nicholson, fi al tashaufi al Islamy wa al tarikhihy

Abd. Mun’im al Khafajy, al Mausu’ah al Shufiyah, (al Qahirah: Dar al Irsyad, 1992), h. 51

Leonard Lewisohn, The Heritage of Sufism; Classcal Persian Sufism form its Origin to Rumi (England: Oneworld Publication, 1999)

Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h. 85

R.A. Nicholson, The Mystics of Islam, (London, 1966) h.3

Abu al Wafa’ al Ghanimy al Taftazany, Madkhal ila Tashawwufi al Islamy, (Fujalah/ t.t.p.) h.61

http://www.sufinews.com, diakses tanggal 28/03/2007 jam 19:07:52

Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh al Islamy, (Kairo: al Maktabah al Nahdhah al Mishriyyah, 1979) h. 220

Al Hujwiry, Kasyful Mahjub, edisi bahsa Indonesia oleh Suwardjo Muthary dan Abdul Hadi WM, (Bandung: Mizan, 1994), h. 126

Sayyed Hossein Nasr, Kemunculan dan Perkembangan Sufisme Persia, dalam Warisan Sufi (Jakarta: Pustaka Sufi, 2002) h. 33

Endang Saifuddin Anshary, Wawasan Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993) h. 392

Prof. H.A Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufisme Klasik Ke Neo Sufisme, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 141

Ibrahim Basyuni, Nas’ah al Tasawuf al Islam, (Kairo, Dar al Ma’arif, 1969), h 138

Al Qusyairy, al Risalah al Qusyairiyah, Kairo, 1966,h. 33

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978, h.85

A. Kadir Mahmud, Falsafah al Shufiyah fi al Islam, Dar al Fikri al Arabi, Kairo, 1966.