Oleh: Muhammad Nasir
Tapi jika peran bako melemah atau bahkan tak diakui, atau peran keluarga kaumnya juga tak berkeruncingan, maka anak-anak ini terpaksa bermamak ke bansos dan berbapak ke open donasi di group WhatsApp.
Novel Tenggelamnya
Kapal Van der Wijck (TKVW) karya Hamka (ditulis sekitar 1938) sering dibaca sebagai kisah cinta
tragis antara Zainuddin dan Hayati. Tapi bila dibaca lebih dalam, novel ini
bukan hanya tentang cinta yang kandas. Ia adalah kisah tentang kegagalan
struktur keluarga dan salah kaprah dalam memahami adat Minangkabau,
khususnya adat matrilineal.
Zainuddin,
tokoh utama dalam cerita ini, adalah anak dari seorang Minangkabau yang menikah
dengan perempuan Bugis. Karena ibunya bukan orang Minang, Zainuddin ditolak
sebagai bagian dari suku ibunya. Padahal dalam adat Minangkabau, suku
diturunkan melalui ibu. Sayangnya, garis ibu Zainuddin bukan bagian dari sistem
adat lokal, membuatnya tak bersuku, dan karenanya, dianggap tak “berhak”.
Namun
masalahnya tak berhenti di sana. Zainuddin juga terkesan tak punya bako, yaitu pihak
keluarga ayah yang bisa membelanya. Mirip dengan istilah Ipank (2016) "Baayah lai, babako tido", meski dalam cerita dan konteks yang berbeda. Dalam sistem adat, bako seharusnya hadir
memberi dukungan moral dan sosial, apalagi dalam situasi penolakan seperti ini.
Tapi dalam kisah ini, fungsi bako nyaris tak terdengar. Ia hilang, tak tampak,
dan tak peduli. Zainuddin menjadi anak biologis dan ideologis Minang tanpa rumah sosial,
korban dari adat yang kehilangan fungsinya, atau lebih tepatnya: adat yang
kehilangan jiwa aslinya.