28 September 2009

Fenomena Mubaligh Ramadhan (bag.2)

Oleh: Muhammad Nasir


Menjadi mubaligh bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan gampang yang bisa dikerjakan oleh siapa saja. Menjadi mubaligh memerlukan beberapa kriteria yang harus dipenuhi supaya pekerjaannya mencapai sasaran yang diinginkan.

M. Natsir menjelaskan, pelaksanaan pekerjaan dakwah tentu harus diserahkan atau dipercayakan pada sebuah korps para juru dakwah yang telah menjadi ahli dalam hal ini. Hanya saja beban untuk menyelenggarakjan wajib dipikul oleh seluruh anggota masyarakat Islam , dengan harta, tenaga dan pikiran. Ia harus dirasakan sebagai fardu a’in (M. Natsir, 1996; 53)

Tetapi tradisi kemubalighan ini sedikit terganggu dengan segelintir mubaligh yang melakukan tugas dengan motif-motif yang tidak sesuai dengan tujuan dakwah. Kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh mubaligh, tetapi juga disebabkan oleh ta’mir ramadhan yang mengutamakan popularitas di banding materi dakwah yang dibutuhkan jama’ah. Hasilnya, tradisi ceramah ramadhan berubah menjadi budaya pop.

Karena dakwah menjadi budaya pop, mubaligh-pun sekarang tampil sebagai selebriti. Hubungan mubaligh dengan pengikutnya sama seperti hubungan artis dengan “fans”. Di wajahnya tidak ada lagi aura sakral. Yang ada adalah sinar yang berasal dari lampu hemat energy. Nasehat agama yang diharapkan muncul dari mulut penasehat agama itu, tak lebih hanya suara-suara indah yang dipoles dengan teknologi sound system yang canggih.

Fenomena itu perlu disadari agar ceramah Ramadhan tidak hanya gebyar-gebyar dakwah sesaat, tetapi menjadi metode menanamkan kesadaran beragama. Harapannya, meriahnya gebyar-geyar tabligh bisa sejalan dengan kualitas ummat. Lemahnya kompetensi para mubaligh bisa menjadi bumerang bukan saja bagi sang mubaligh, tetapi juga bagi setiap gerakan dakwah dan umat Islam sendiri.


Penguasaan Topik

Mubaligh dapat digolongkan sebagai subkonsep elit agama Islam. Sebutan lainnya adalah da’i, ustadz, buya, kiyai dan sebagainya. Setiap sebutan sebenarnya mempunyai makna sendiri. Tetapi pada umumnya masyarakat terlanjur naïf menyamaratakan saja sebutan tersebut. Berkaitan dengan tradisi ceramah ramadhan, jika harus disamakan sebutan mubaligh merupakan sebutan yang tepat, mengingat pekerjaan tabligh yang dilakukannya.

Sebagai penyampai pesan, mubaligh menjadi unjung tombak dalam mensosialisasikan langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah-masalah umat Islam baik internal maupun eksternal. Hanya saja, selama pengamatan yang dilakukan dalam rentang waktu 2008-2009 ini terkesan mubaligh justru kurang menguasai persoalan-persoalan itu sendiri.

Topik utama yang sering diungkapkan dalam ceramah ramadhan adalah tentang puasa dan pernak-perniknya, serta anjuran untuk meningkatkan kualitas ibadah dan ketakwaan kepada Allah SWT. Tetapi topik ini tidak akan dibahas secara mendalam karena dianggap tidak bermasalah. Justru yang akan didalami adalah persoalan-persoalan umat islam baik internal maupun eksternal.

Tentang persoalan internal, dalam rentang waktu 2008-2009 ditemukan beberapa persoalan yang sering menjadi topic pembicaraan mubaligh. Di antara masalah tersebut antara lain masalah khilafiyah, masalah dalam membedakan mana yang agama dan mana yang tradisi, fenomena Islam yang benar dan yang sesat, serta membedakan isu-isu yang berkembang dalam sejarah pemikiran Islam seperti, tradisionalisme, modernisme, islamisme, liberalisme dan sebagainya.

Dalam masalah khilafiyah, ditemukan kelemahan dalam memahami masalah yang bersifat fiqhiyah dan tidak toleransi terhadap perbedaan cara beribadah sekalipun masih dalam konteks yang diperbolehkan.

Begitu juga sikap ceroboh dalam menyampaikan anjuran dalam beribadah sehingga umat tidak lagi dapat memahami mana-mana saja yang termasuk bagian dari agama dan bukan dari agama, mana yang sesuai syariat dan mana yang tidak.

Sementara itu, fenomena pengkafiran (takfiry) semakin menguat terutama dialamatkan kepada kelompok yang berseberangan dengan mubaligh, seperti kelompok rasionalis yang menggunakan akal fikiran (ar- ra’yu) dalam memahami agama dan kelompok masyarakat yang masih enggan terlibat dalam aktivitas dakwah di masjid dan mushalla.

Lain halnya dengan topik mengenai masalah eksternal. Nyaris seluruh ceramah yang berkaitan dengan kondisi ekternal didominasi semangat peperangan terhadap musuh-musuh Islam (sering disebut Yahudi dan Nashara), serta masalah westernisasi (terutama Amerika Serikat) dan penghancuran nilai-nilai moral pemuda Islam oleh kebudayaan barat.

Sementara topik sekitar terorisme hanya disinggung sedikit dan itupun didapati opini yang terbelah, antara yang menghujat pelaku pemboman sebagai orang Islam yang tidak benar serta opini yang mendukung pelaku pemboman dalam arti bukan teroris sebagai barisan yang dijanjikan Allah untuk melawan dominasi Barat.

Hanya saja, dari beragamnya topik yang disampaikan itu, belum terlihat kedalaman pembahasan. Ada kesan yang ditangkap, bahwa sumber-sumber yang digunakan dalam mendukung bahasan topik tersebut adalah sumber-sumber yang tak jelas. Misalnya, jarang sekali ditemukan mubaligh yang dengan tegas menyebutkan sumber atau referensi yang ia gunakan. Dan tak jarang pula seorang mubaligh itu mengada-ada terutama dalam mendefinisikan sesuatu.

Semakin jelaslah tradisi ceramah ramadhan berubah menjadi budaya pop, dengan mubaligh yang menggunakan sumber-sumber ’ngepop’ dan tradisi ramadhan berubah menjadi tradisi popular tanpa muatan dan tujuan yang jelas.

Namun, upaya perbaikan harus terus dilakukan, terutama dengan menganjurkan para mubaligh untuk terus meningkatkan kompetensinya, baik dalam bidang disiplin kegamaan (tauhid, fiqh, akhlak, tasawwuf dsb) maupun mengenai disiplin atau wawasan kebudayaan dan peradaban Islam (sejarah, politik, ekonomi dsb).


Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

Fenomena Mubaligh Ramadhan (bag.1)

Oleh: Muhammad Nasir


Ramadhan adalah bulan dakwah dan pendidikan ummat. Selama satu bulan penuh syiar Islam menggema secara massal di seluruh penjuru dunia dengan berbagai ibadah pendukung dan tradisi keagamaan yang berkembang menyertainya. Salah satu tradisi yang dikembangkan oleh umat Islam Indonesia adalah ceramah Ramadhan.


Ceramah Ramadhan juga merupakan tradisi masyarakat muslim kota Padang dalam rangka mengisi malam Ramadhan (Qiyam Ramadhan) dengan kegiatan yang bernilai ibadah. Kegiatan itu juga ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat. Tidak heran selama pelaksanaan ibadah Ramadhan mubaligh menjadi aktor yang penting untuk dibicarakan, mengingat besarnya keterlibatan mereka dalam melaksanakan dakwah.



Sepanjang perjalanan sejarah perkembangan Islam, dakwah Islam telah melihatkan eksistensinya dan diakui keberadaannya baik bagi umat Islam itu sendiri, maupun bagi umat lain. Jejak risalah dakwah itu kini diteruskan oleh para pendukung dakwah baik yang bersifat perorangan maupun organisasi, seperti, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Muhammadiyah dan Nahdalatul Ulama (NU). Namun kewajiban dakwah itu tetap merupakan kewajiban bagi setiap umat Islam (Amrullah Ahmad, 1983). Hal ini sesuai dengan firman Allah:



“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, beriman kepada Allah ...” (QS. 3:110).



“Serulah (manusia) ke jalan (agama) Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan berbantahlah (berdebatlah) dengan mereka dengan (jalan) yang terbaik” (QS. 16:125)



Jadi tugas wajib dakwah itu bukanlah terletak hanya di atas pundak para mereka pendukung dakwah saja, tetapi merupakan kewajiban seluruh umat Islam, hanya saja mereka menunaikan sesuai dengan kemampuannya. Sementara M. Natsir menjelaskan, pelaksanaan pekerjaan dakwah tentu harus diserahkan atau dipercayakan pada sebuah korps para juru dakwah yang telah menjadi ahli dalam hal ini. Hanya saja beban untuk menyelenggarakjan wajib dipikul oleh seluruh anggota masyarakat Islam , dengan harta, tenaga dan pikiran. Ia harus dirasakan sebagai fardu a’in (M. Natsir, 1996; 53)



Pendukung jejak risalah dakwah itu sekarang disebut dengan mubaligh, ustadz, guru dan ada lagi sebutan lain untuk kegiatan ini, misalnya da’i, kiyai, dan ulama. Terlepas dari perbedaan nama tadi, yang penulis maksudkan adalah orang yang memberikan ceramah atau wirid secara lisan di mesjid-mesjid. Menurut pendapat penulis yang paling tepat untuk panggilan bagi pengemban tugas ini adalah mubaligh, karena nama kegiatan tersebut disebut dengan tabligh Islam.



Amrullah Ahmad (1995: 18) menjelaskan, mengajak dengan lisan dan tulisan dikenal dengan Tabligh Islam. dan bukan hanya ceramah lewat mimbar saja yang dapat dikatakan dengan tabligh Islam, karena menurut batasan yang dikemukakan oleh Amrullah tadi, kegiatan tersebut meliputi mengajak dengan cara lisan dan tulisan (cetak dan elektronik).



Menjadi mubaligh bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah dan gampang yang bisa dikerjakan oleh siapa saja. Menjadi mubaligh memerlukan beberapa kriteria yang harus dipenuhi supaya pekerjaannya mencapai sasaran yang diinginkan.



M. Natsir menjelaskan: syarat utama yang harus dipenuhi, ia harus bersih dan berisi, artinya hatinya bersih dan pengetahuannya lumayan. Seyogyanya hendaklah diingat bahwa akhlakul karimah juru dakwah merupakan dakwah dalam bentuk non verbal dari dakwah. Seorang da’i harus berkepribadaan, beriman, dan punya keseimbangan jiwa apalagi bila berhadapan dengan reaksi masyarakat. Sesuai dengan firman Allah:



“Alif, Lam, Shad (inilah) kitab yang diturunkan kepada kamu sekalian, maka janganlah sesak dadamu karenanya, supaya kamu dapat memberi peringatan dengannya (kepada mereka yang sesat) dan (sebagai) penyegar ingatan bagi mereka beriman” (QS 7: 1-2).



M. Natsir menambahkan, selain persiapan yang telah dikemukakan di atas, persiapan yang tidak kalah pentingnya selain persyaratan yang telah di singgung di muka persiapan ilmiah, mereka harus benar-benar tafaqquh fid diin artinya memahami benar-benar risalah yang hendak diteruskan, di samping pengetahuan modern sekarang ini.



Kemampuan berhadapan dengan massa yang heterogen juga diperlukan, karena dakwah tidak hanya disampaikan dalam ruangan atau kelas saja, tetapi berhadapan dengan ribuan massa, karena dakwah merupakan pendidikan massal. Untuk itu juru dakwah juga perlu menguasai retorika.



Sehubungan dengan persyaratan yang harus dipenuhi oleh para mubaligh, Munir Mulkan (1996) menyebutnya dengan istilah “kompetensi”. Menurut Mulkan (1996) menyebutnya dengan istilah mubaligh ada tiga, yaitu kompetensi mubaligh, kompetensi substantif dan kompetensi metodologis.



Jadi, menjadi mubaligh itu tidak mudah, perlu mempersiapkan diri sematang mungkin, persiapan fisik dan mental, persiapan materi dan metodologis, karena permasalahan dakwah yang dihadapi semakin hari semakin komplit pula.



Melihat begitu komplitnya persyaratan yang harus dipenuhi oleh mubaligh, disanalah dituntut kepada umat sama-sama menyadari kewajibannya terhadap dakwah. Karena kegiatan dakwah itu tidak hanya merupakan kegiatan sesaat, tetapi merupakan kegiatan yang bersifat kontinuitas, untuk menjadikan Islam ini milik umatnya. Pada akhirnya Islam itu tidak saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetepi efek sosialnya yang dirasakan oleh orang lain.



Menurut hasil pengamatan sementara, kegiatan dakwah di Kota Padang berjalan lancar, namun belum diketahui bagaimana persepsi jemaah terhadap tugas yang dilakukan mubaligh di Kota Padang. Bagaimana persepsi jemaah mesjid terhadap tugas mubaligh, apakah akan sekedar merupakan kegiatan rutinitas, atau suatu budaya yang berkembang di Kota Padang.



Berdasarkan hasil pengamatan tersebut, ada yang mengatakan bahwa mubaligh yang datang memberikan ceramah di mesjid-mesjid, merupakan tugas suci tanpa harus diberi imbalan yang sesuai oleh jemaah atau masyarakat, dan sebagian dialog di mesjid menginginkan supaya imbalannya ditingkatkan.



Pembicaraan ini akan semakin meningkat pada bulan Ramadhan, ketika para mubaligh menjadi sosok yang paling dicari untuk memenuhi jadwal pelaksanaan ceramah Ramadhan yang telah disusun oleh pengurus Masjid. Jauh hari bahkan beberapa bulan sebelum Ramadhan, para mubaligh, terutama mubaligh kondang telah di-booking oleh pengurus Masjid/ Mushalla di Kota Padang.



Problemnya, bagi Masjid/ Mushalla yang terlambat, dipastikan mendapatkan mubaligh yang mempunyai kemampuan ala kadarnya. Dalam kasus ini dianggap penting lebih jauh membaca dinamika mubaligh Ramadhan di Kota Padang mengingat kompetensi mubaligh sangat berkaitan dengan hasil atau pencapaian tujuan ceramah ramadhan yaitu meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT., memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat.



Fenomena itu perlu disadari agar ceramah Ramadhan tidak hanya gebyar-gebyar dakwah sesaat, tetapi menjadi metode menanamkan kesadaran beragama. Harapannya, meriahnya gebyar-geyar tablig bisa sejalan dengan kualitas ummat. Lemahnya kompetensi para mubaligh bisa menjadi bumerang bukan saja bagi sang mubaligh, tetapi juga bagi setiap gerakan dakwah dan umat.



Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

Manajemen Ceramah Ramadhan

Oleh Muhammad Nasir




Pada umumnya, ceramah ramadhan dilaksanakan di masjid dan mushalla. Oleh sebab itu segala persiapan pelaksanaan ceramah Ramadhan dilakukan oleh pengurus masjid/mushalla. Dalam prosesnya kadang-kadang juga dibantu oleh garin.



Pada moment-moment tertentu, pengurus masjid/mushalla juga mempersiapkan pelaksanaan ceramah agama yang dilakukan oleh pihak tertentu seperti pemerintah Kota Padang, organisasi keagamaan, serta organisasi politik melalui kegiatan safari ramadhan. Bahkan ada juga pengurus yang menyiapkan segala sesuatunya untuk mubaligh yang merupakan utusan dari sekolah, madrasah atau pesantren sebagai wadah pembelajaran dakwah bagi santri atau siswanya.



Saat ini ceramah ramadhan sudah di manage sedemikian rupa sesuai dengan tuntutan zaman modern. Pengurus Masjid/ Mushalla sudah menyusun jadwal ceramah ramadhan jauh-jauh hari sebelum ramadhan tiba.



Berdasarkan informasi yang didapatkan dari beberapa pengurus, penyusunan jadwal pada umumnya dilakukan tiga bulan sebelum ramadhan tiba. Hal ini dilakukan supaya pengurus dapat mendatangkan mubaligh yang handal dan sesuai dengan keinginan jama’ah. Jika terlambat dalam penyusunan jadwal dapat menimbulkan kesulitan dalam mendapatkan mubaligh karena sudah didahului oleh masjid/mushalla yang lain.



Mencari mubaligh adalah kegiatan yang gampang-gampang susah. Pengurus dihadapkan pada kenyataan padatnya jadwal mubaligh kondang, dan keterbatasan akses pada mubaligh. Tidak sedikit pengurus masjid yang tidak mengenal mubaligh yang akan diundang berceramah. Jika persiapan dilakukan jauh-jauh hari, kesulitan ini dapat diatasi dengan mencari informasi sebanyak mungkin tentang data mubaligh dengan berbagai cara.



Paling tidak ada beberapa tahapan dalam menyusun jadwal ceramah ramadhan. 1). Tahap inventarisir nama-nama mubaligh, 2). Menghubungi dan meminta kesediaan mubaligh yang sudah dikenal oleh pengurus, 3). Mencari informasi tentang mubaligh lainnya yang mungkin diundang untuk memenuhi jadwal, 4) Mengkonfirmasi jadwal ceramah mubaligh melalui surat atau media komunikasi lainnya.



Dalam prakteknya, pada umumnya pengurus masjid/mushalla menentukan mubaligh berdasarkan pengenalan terhadap mubaligh, kemampuan dan kemudahan dalam mendatangkan mubaligh.



Berdasarkan wawancara dengan beberapa pengurus masjid/mushala tahapan di atas merupakan tahapan formil yang direncanakan oleh pengurus. Dalam beberapa kasus, kadangkala pengurus menerapkan system “tembak” tatakala bertemu dengan seorang mubaligh. System tembak berlangsung tidak sengaja. Cara ini seringkali menjadi penyelamat pengurus tatakala kesulitan medapatkan mubaligh karena sebab-sebab tertentu.



Perumusan Topik



Perumusan topik dilakukan oleh pengurus dibantu oleh garin masjid, tokoh masyarakat serta usulan dari jama’ah. Kegiatan ini termasuk kegiatan sulit karena keterbatasan pengetahuan pengurus terhadap tema-tema sentral dalam agama. Tidak heran pada saat penelitian ini dilakukan (2008/1429 H-2009-1430 H), pengurus mengaku belum begitu fokus dalam menyusun topik.



Data dari beberapa masjid/mushalla yang sudah mempunyai usulan topik ceramah dalam bulan ramadhan menggambarkan beberapa metode dalam penyusunan topik. Di antaranya :



Pertama, topik disusun berdasarkan pembagian ramadhan kepada tiga kategori, pertama Rahmat, (10 hari I), kedua maghfirah (10 hari II) dan ketiga Itqun min al nar (10 hari III). Tiga kategori ini dipecah kepada topik-topik kecil yang bermuara pada masing kategori. Misalnya topik “Berlimpahnya Rahmat Allah SWT” mengacu pada kategori pertama.

Ketiga, disusun berdasarkan kompetensi mubaligh. Misalnya topik “Ramadhan dan kesehatan jasmani“ ditangani oleh praktisi kesehatan, misalnya dokter.

Ketiga, disusun berdasarkan pemahaman pengurus masjid/mushalla, garin, tokoh masyarakat tentang persoalan-persoalan penting yang tengah dihadapi masyarakat. Misalnya topik “Berpuasa di tengah krisis multi dimensi”

Keempat, disusun secara acak bahkan ada juga yang mencontoh topik dari masjid/ mushalla lain. Kelima, menggunakan topik ceramah ramadhan tahun sebelumnya. Bahkan Keenam, ada yang menyatakan tidak perlu menentukan topik dan tidak perlu ada pembatasan topik pada kelompok umur atau jenis kelamin tertentu, sebab ceramah ramadhan disampaikan dalam forum terbuka yang dapat diikuti oleh segala usia dan jenis kelamin, dan cara-cara lain-lainnya.



Beberapa pengurus ada yang mengeluh dalam menetukan topik ceramah ini. Mereka mengharapkan ada panduan khusus semisal silabus dalam pelaksanaan ceramah ramadhan.



Durasi dan Efektifitas Ceramah Ramadhan



Ceramah Ramadhan yang menjadi fenomena umum dan dipersiapkan dengan matang adalah ceramah tarawih yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Pada umumnya ceramah dilakukan setelah Shalat Isya’. Beberapa tempat ada yang menyelenggarakan setelah shalat tarawih. Yang terakhir ini sangat sedikit dan sangat jarang terjadi.



Pertimbangan waktu sesudah Isya’ diambil oleh pengurus berdasarkan kesepakatan dengan jama’ah. Waktu setelah shalat Isya’ dianggap waktu yang tepat karena jama’ah masih “segar” dan tidak terlalu malam. Pada waktu ini diharapkan pesan agama yang disampaikan oleh mubaligh dapat sampai kepada jama’ah dengan sempurna.



Sementara ceramah yang dilakukan setelah shalat tarawih biasa berlangsung dalam moment tertentu, misalnya peringatan Nuzul Qur’an atau ada kunjungan safari ramadhan dari pemerintah atau pihak lainnya. Tidak jarang dalam satu malam ada dua ceramah yakni setelah Isya dan setelah tarawih. Hal itu terjadi apabila ada kunjungan mendadak dari pihak tertentu.



Rata-rata waktu yang dipakai dalam ceramah adalah 15 (lima belas) menit. Pengurus pada prinsipnya berharap mubaligh dapat menyampaikan ceramah selama 15 menit. Tetapi harapan ini bukanlah harga mati. Bila ada materi ceramah yang dianggap menarik, pengurus dapat saja meminta mubaligh untuk melanjutkan ceramah sesuai keinginannya.



Pertimbangan lainnya, shalat tarawih biasanya usai pada pukul 21.00 atau 21.30 WIB. 15 menit merupakan takaran yang pas jika waktu Isya’ masuk pukul 19.30, pukul 19.45 sampai pukul 20.00 WIB dialokasikan untuk shalat Isya dan rawatib. 20.00-20.15 digunakan untuk ceramah dan waktu tercepat pelaksanaan shalat tarawih adalah 30 menit (20.45). Lima belas menit akhir yaitu 20.45 sampai 21.00 WIB digunakan untuk istirahat dan silaturahmi antar jama’ah sebelum berangkat pulang ke rumah masing-masing.



Begitulah rutinitas ramadhan kaum muslimin Kota Padang dari waktu-ke waktu. Rutinitas ini tidak hanya terbatas pada kepatuhan dalam melaksanakan ibadah demi mengharapkan prediket taqwa sebagaimana diisyaratkan Allah SWT dalam Q.S.2:183, tetapi sudah berkembang menjadi tradisi kaum muslimin Kota Padang dalam mengidupkan malam ramadhan dan mempertinggi syiar Islam.





Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang

Sekilas Tradisi Ceramah Ramadhan

Oleh Muhammad Nasir


Pada akhir khutbahnya Nabi Muhammad SAW di Padang Arafah (haji wada’) bersabda, “Rubba muballighîn aw’â min sâmi’in—Orang yang menyampaikan lebih sering dapat memelihara dari pada yang hanya mendengarkan.”

Sejak itu, sepanjang sejarah Islam, ada sekelompok umat yang bekerja menyampaikan pesan Nabi. Ia bukan saja dihormati Nabi karena memelihara khazanah ilmu Islam, tapi juga disegani umat karena dialah yang sebenarnya memelihara eksistensi Islam. Dialah pewaris para Nabi. Tradisi kemubalighan ini bertahan sampai sekarang, termasuk di Kota Padang yang saat ini tengah berhelat dalam tradisi ceramah Ramadhan.

Ceramah Ramadhan merupakan tradisi khas mengiringi pelaksanaan ibadah puasa wajib dan shalat sunnah tarwih. Kehadirannya datang sehingga menigai (ja’a tsalitsan) ramadhan menjadi trilogy, puasa, tarawih dan ceramah ramadhan. Ia menjadi fenomena tersendiri bagi umat Islam Indonesia selama bulan ramadhan.

Kegiatan itu ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT, memotivasi kaum muslimin untuk terus beribadah dan memberikan tambahan ilmu pengetahuan agama bagi masyarakat.

Ceramah Ramadhan memang bukan hanya tradisi umat muslim Sumatera Barat. Tetapi lebih dari itu ternyata juga menjadi prilaku umum umat muslim di seluruh penjuru tanah air. Tidak heran dalam taraf tertentu gaung ceramah Ramadhan menjadi besar karena melibatkan elit muslim yang disebut mubaligh.

Di Kota Padang, ceramah Ramadhan sudah melewati sejarah yang panjang. Pendapat masyarakat yang sudah mengikuti ibadah ramadhan semenjak tahun 60-an menyatakan tradisi tersebut mulai marak di penghujung tahun 1960, khususnya saat konsolidasi umat Islam pasca peristiwa Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI). Pada waktu itu para mubaligh mulai rutin berceramah dari satu masjid ke masjid lain atau dari satu tempat penyelenggaraan ibadah shalat Tarawih ke tempat yang lain.

Pada tahun 70-an, hampir setiap masjid/mushalla telah memiliki jadwal untuk mubaligh. Dalam jumlah mubaligh yang tidak seberapa, syiar ramadhan akibat pelaksanaan ceramah ramadhan itu meningkat tajam. Tempat-tempat ibadah umat Islam di Kota Padang ramai dikunjungi jama’ah karena ada aktivita dakwah di sela-sela pelaksanaan shalat tarawih.

Pada era tujuhpuluhan itu pula pelaksanaan ceramah Ramadhan semakin semarak karena sebagian masjid/ mushalla mulai menggunakan media massa untuk mengumumkan jadwal ceramah ramadhan beserta mubaligh yang menyertainya.

Dalam rentang waktu tahun 60-an hingga 70-an itu, ada banyak sebutan untuk kegiatan ceramah ramadhan. Misalnya, tabalia (Tabligh), mangaji (mengaji agama), badakwah (berdakwah), siraman rohani, santapan rohani dan sebagainya.

Di tengah maraknya aktivitas berdakwah tersebut, ternyata belum dikoordinir dengan rapi. Mubaligh menjadi elit agama yang cendrung diperebutkan. Tidak heran satu mubaligh terkadang harus berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain dalam satu malam yang sama demi memenuhi keibginan jama’ah.

Sementara di beberapa masjid/mushalla terpaksa “mencarter” mubaligh dengan cara membagi jadwal ceramah berdasarkan hari tertentu atau minggu tertentu. Dengan cara tersebut, seorang mubaligh dapat berceramah paling sedikit empat kali di satu tempat.

Tradisi Ceramah Ramadhan semakin meningkat pada decade berikutnya, 1980-an hingga sekarang. IAIN Imam Bonjol Padang sebagai Perguruan Tinggi Agama Islam terbesar di Sumatera Barat dianggap memberi andil terhadap peningkatan gebyar dan kuantitas ceramah Ramadhan pada waktu itu. Mubaligh tidak begitu sulit dicari, karena IAIN Imam Bonjol Padang mulai dari mahasiswa, karyawan hingga para dosen sudah menyediakan diri untuk pelaksanaan aktivitas ceramah ramadhan.

Sejarah singkat di atas memberi pesan bahwa aktivitas dakwah di Kota Padang berada dalam trend positif, yaitu mengalami peningkatan dari waktu-ke waktu. Bahkan fenomena sekarang ini, mubaligh tidak hanya berasal dari orang-orang yang mempunyai pendidikan agama saja semisal pesantren hingga IAIN, tetapi juga muncul dari kalangan umum, pengusaha, akademisi dengan berbagai disiplin non-agama bahkan mantan penjahat kambuhan (residivis).

Tradisi ceramah ramadhan ini sangat positif dan menjadi potensi sendiri bagi Sumatera Barat untuk mewujudkan impiannya sebagai propinsi religius yang hidup dalam filosofi Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah.



Muhammad Nasir
Peneliti Lembaga Magistra Indonesia-Padang