27 March 2020

TAMBO:SUMBER PENGETAHUAN TENTANG KEBUDAYAAN ALAM MINANGKABAU


TAMBO:
Sumber Pengetahuan tentang Adat Alam Minangkabau
Muhammad Nasir



A| PENDAHULUAN

Setiap kebudayaan mempunyai cara untuk mewariskan pengetahuan tentang sejarah masyarakatnya, sejarah wilayah, asal-usul, bilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat serta pengetahuan tentang adat istiadatnya. Masyarakat Minangkabau menggunakan Tambo sebagai media untuk menyampaikan pengetahuan tentang wilayah, asal usul dan adat istiadatnya. Sebelum menguraikan Tambo Minangkabau, berikut contoh-contoh “tambo” versi beberapa kebudayaan di lingkar alam Minangkabau.

Tarombo Batak
Berisi silsilah garis keturunan secara patrilineal dalam suku Batak. Sudah menjadi kewajiban bagi masyarakat suku bangsa Batak untuk mengetahui silsilahnya agar mengetahui letak hubungan kekerabatan

Teromba Melayu dan Teromba Negeri Sembilan
Pantun yang berisi panduan dan pengajaran mengenai cara hidup atau sistem hidup bermasyarakat menurut adat, serta peraturan dan undang-undang yang dibentuk.

Seloko Jambi
Seloko adalah salah satu bentuk tradisi lisan masyarakat Jambi yang diwariskan secara turun temurun. Seloko sering kali ditampilkan dalam sebuah prosesi upacara adat, seperti prosesi upacara adat perkawinan. Bentuknya berupa ungkapan-ungkapan, peribahasa, pantun, atau pepatah-petitih

Seloko Jambi berisi:
  •  falsafah hidup yang menjadi dasar kebudayaan masyarakat Jambi
  • seperangkat norma yang mengatur kehidupan sehari-hari masyarakat pemiliknya,
  • nasehat, amanat, dalam pergaulan hidup dan kehidupan sehari-hari. Norma dan nasehat ini disampaikan dalam bentuk ungkapan-ungkapan berupa peribahasa, pantun, atau pepatah-petitih.


B| TAMBO MINANGKABAU
1.    Pengertian
Kata Dt Sangguno Diradjo (1954), Tambo berasal dari bahasa Sanskerta, tambay yang artinya bermula. Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. TAMBO dalam bahasa Minang Kuno arti yang sebenarnya adalah cerita sejarah asal-usul kejadian manusia dan alam semesta (Alam Minangkabau), serta kisah perjalanan para leluhur dan penerapan sistem adat dan hukum undang adat Minangkabau.
Sedangkan menurut Irwansyah Angku Datuak Katumanggungan (2018), TAMBO  diambil  dari makna kalimat TA-AMBO, kalimat Tambo berawalan TA yang artinya (superlatif) yakni paling, sangat, melampaui, dalam atau luas, yang juga bisa di sinonimkan kedalam bahasa Indonesia adalah TER. Contoh apabila kalimat tinggi diawali dengan TER, maka menjadi kalimat tertinggi, artinya paling tinggi atau tidak ada lagi objek yang memiliki predikat lebih tinggi dari itu. Sedangkan kalimat AMBO sinonim bahasa Indonesianya adalah HAMBA, diambil dari salah satu dari empat makna status kepemilikan terhadap diri atau batang tubuh manusia, yakni :
  • Sebutan DENAI atau ADEN menunjukkan simbol diri pribadi yang terletak pada kepala (rasio), memaknai egoisme dan otoritas tertinggi, mutlak menunjukkan status hak milik pribadi yang tidak ada pihak lain besertanya.
  • Kemudian sebutan  AMBO  menunjukkan simbol diri pribadi terletak pada dada (paham), bermakna menunjukkan dirinya adanya pihak lain yang memiliki dan dimilikinya sebagai pribadi yang menyatakan dirinya mempunyai status asal-usul kepemilikan tidak terputus dan tidak terhingga.
  • Lalu sebutan AWAK menunjukkan simbol diri pribadi  yang terletak pada perut, bermakna menunjukkan hak milik pribadi secara bersama-sama namun tidak saling terkait secara status penguasaan pribadi.
  • Terakhir sebutan SAYO bermakna menunjukkan simbol diri pribadi yang terletak pada kaki, bermakna menunjukkan dirinya pribadi dimiliki tuan atau otoritas lebih tinggi sebagai penguasa atas dirinya namun memiliki status terbatas oleh rentang waktu dan kejadian.

Dalam bahasa Minang asli tidak ditemukan dan tidak ada kalimat atau sebutan AKU yang menunjukkan status diri pribadi. Berdasarkan uraian di atas, TA-AMBO dapat dipahami dalam pengertian TANTANG AMBO. Dalam pengertian ini diyakini bahwa seseorang dianggap paling tahu tentang dirinya.

2.    Bentuk Tambo
Tambo Minangkabau awal berbentuk tuturan lisan (tidak ditulis). Tambo disampaikan secara lisan dalam berbagai acara adat seperti, prosesi upacara adat Batagak Pangulu, prosesi upacara adat Rajo Naik Daulat (pelantikan raja),prosesi upacara Batagak Tonggak Tuo Rumah Gadang, prosesi upacara pembukaan alek adat yang di tentukan khusus. Sementara dalam kehidupan sehari-hari, ungkapan yang ada di dalam tambo dijadikan seumpama dalil untuk memperkuat argumen, untuk memberi penilaian dan memberi pengajaran.
Setelah masyarakat Minangkabau mengenal aksara dan tulis baca, maka Tambo Minangkabau ditulis ke berbagai media, sehingga dikenal bentuk tambo sesuai dengan media penulisannya, sebagaimana berikut:
a-      Tambo Batu.
b-      Tambo Tulang.
c-      Tambo Kulik.
d-      Tambo Loyang.
e-      Tambo Kain.
f-       Tambo Buku.
Kelima jenis tambo tersebut tidak begitu berkembang, karena proses pembuatannya memerlukan keahlian khusus, yaitu keahlian memahat sebagaimana prasasti. Selain itu, informasi yang dimuat terbatas, baik dibatasi oleh media tulisnya, maupun oleh tujuannya. Pembatasan yang terpenting justru dari tujuan penulisannya, terbatas untuk lingkungan tertentu. Oleh sebab itu, tambo batu, tambo tulang, tambo kulik, tambo loyang, tambo lain dan tambo buku biasanya digunakan untuk menuliskan sejarah keluarga dan kepemilikan atas pusako dan ulayat kaumnya. Karena alasan ini pulalah diketahui, mengapa begitu sulitnya melihat atau memperoleh tambo ini dari pemiliknya.  
Tambo baik yang berbentuk lisan ataupun yang tertulis disampaikan dalam bentuk prosa, terutama yang terkait dengan cerita. selain prosa, bentuk yang paling banyak ditemui adalah dalam bentuk pantun, bidal, mamang dan ujaran-ujaran hikmah.

3.    Isi Tambo
Secara umum, Tambo di Minangkabau berisi dua hal, yaitu Tambo Alam dan Tambo Adat. Tambo Alam berisi tentang Sejarah Alam Minangkabau, daerah hunian awal (nagari tuo) dan perkembangan nagari serta batas-batas wilayahnya. Sebagai contoh, perhatikan ungkapan tambo berikut:
Tabel Contoh Ungkapan dalam Tambo
Sumber: A. Dt.Batuah, & A. Dt. Madjoindo, (1959)

Ungkapan Tambo
Isinya
dimano tiliek palito,
dibaliek pelong nak batali,
dimano asa niniek kito,
dipuncak gunuang marapi
Tentang asal usul nenek moyang orang Minangkabau
Sirawik bari bahulu
Di asah mako bamato
Lawik sajo nan doulu
Mako banamo pulau paco.
darek basentak naiek,
aie basentak turun,
Tentang kondisi alam atau  bentuk geografis alam Minangkabau masa dahulu.
Menggambarkan proses naiknya nenek moyang ke daratan Minangkabau dari laut
Dari Sikilang Aia Bangih
Sampai ka Taratak Aia Itam
Dari Sipisau pisau Hanyuik
Sampai ka Sialang Balantak Basi
Dari Riak Nan Badabua
Sampai ka Durian Ditakuak Rajo
Menunjukkan batas-batas wilayang alam Minangkabau
turun ka lagundi nan baselo,
sampai ka lurah indak barangin,
mako babanja bataratak,
bakorong bakampuang,
balimo kaum bamulo aso,
basungai bakayu tarok,
bakapak baradai, baikua bakapalo,
bakampuang dibaliek labuah,
bataratak dusun tuo,
batabek basawah tangah,
sawah gadang satampang banieh,
makanan urang tigo luak,
asa mulonagari tuo pariangan.
Menunjukkan tentang proses terbentuknya nagari tuo Minangkabau yaitu di Pariangan Padang Panjang.
Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari.
Alur proses terbentuknya nagari mengikuti alur proses pembentukan nagari tuo

Selanjutnya, Tambo juga berisi tentang ketentuan adat istiadat Minangkabau. Ungkapan yang berisi norma, ketentuan umum dan aneka peraturan dalam tambo dijadikan sebagai kaidah atau yurisprudensi  dalam menyusun aturan-aturan yang lebih rinci.

B| TAMBO SEBAGAI SUMBER PENGETAHUAN ADAT
Secara umum dapat dikemukakan bahwa fungsi utama cerita Tambo Minangkabau adalah untuk menyatukan pandangan orang Minangkabau terhadap asal usul nenek moyang, adat, dan nagari Minangkabau. Adapun Cerita Tambo berfungsi sebagai:
a-      Pewarisan Nilai Adat Minangkabau (Sheiful Yazan, 2016)
b-      Mengukuhkan aturan adat mengenai pewarisan harta pusaka kepada kemenakan,
c-     Mengukuhkan kedudukan penghulu sebagai pemimpin dalam masyarakat. (Djamaris, 1991:76 dan 204)
Adapun cara transmisi pesan dari zaman ke zaman agar dapat menjadi pengetahuan adalah:
a-  Disampaikan dalam bentuk warih bajawek, tutua didanga. Dalam pengertian ini, cerita tambo diaajarkan dan diwariskan secara lisan melalui metode hafalan.
b-  Disampaikan dan diajarkan secara tidak langsung dalam pasambahan atau rundiang dalam berbagai acara adat Minangkabau
c-  Disampaikan dalam komunikasi harian dengan cara mengutip ungkapan-ungkapan tambo
d-   Diungkapkan dan disebarkan dalam penulisan tambo-tambo nagari atau tambo-tambo kaum.
e-   Sebagai alat verifikasi kebenaran cerita, dalam proses pewarisan ini diperlukan ingatan yang kuat agar terhindar dari kesalahan sekecil apapun. Sabarih bapantang lupo. Satitiak bapantang hilang.

Tambo tidak mudah untuk dipahami melalui bentuk tulisan semata, sebab Tambo hanya bisa di pahami melalui empat metode yakni :


a-   Ta- Surek artinya memahami Tambo dengan panca indra yang dimiliki manusia secara umumnya, bisa berupa ditafsirkan dari berupa benda, simbol, aksara, artefak dan situs yang istilahnya bisa dibaca secara tersurat.
b-   Ta-Sirek artinya memahami Tambo dengan akal budi pekerti yang bisa mengetahui maksud dari makna Tasurek, atau mengetahui maksud dari simbol yang tersurat.
c-   Ta-Suruek artinya memahami Tambo dengan ketajaman spritualitas yang bisa mengetahui tujuan dari makna Tasirek, atau mengetahui tujuan Tasirek dari maksud Tasurek.

d-   Ta-Sarak artinya memahami Tambo dengan keilmuan yang mencakup keseluruhan makna simbol maksud dan tujuan dari Tasurek, Tasirek,Tasuruek dalam satu titik akhirnya adalah Paham akan isi Tambo secara utuh zahir dan batin. (Tengku Irwansyah Angku Datuak Katamamnggungan, 2018)

Berdasakan uraian di atas, untuk mengetahui isi Tambo Minangkabau paling tidak sesorang harus mengetahui filosofi Minangkabau minimal memahami dengan baik bahasa Minangkabau.


24 March 2020

Konsep Kekuasaan dan Kepemimpinan di Minangkabau



Konsep Kekuasaan dan Kepemimpinan di Minangkabau
~Muhammad Nasir~


A.  Konsep Kekuasaan
Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh. Di Minangkabau, kekuasaan dijalankan secara kolektif di setiap jenjang di kelarasan yang ada di Minangkabau. jadi, tidak ada kekuasaan tunggal dalam sistem kekuasaan Minangkabau. Berikut akan dijelaskan beberapa peristilahan dalam khazanan kekuasaan Minangkabau yang menunjukkan kekuasan dan kepemimpinan yang dijalankan secara kolektif .

1-   Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai
Istilah Rajo Tigo Selo mncul dalam sistem kerajaan Minangkabau Pagaruyung pada abad ke-16 masehi.  Rajo Tigo Selo terdiri dari  Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Hal ini menunjukkan pembagian kekuasaan dan kewenangann sekaligus menunjukkan asas kesetaraan  duduak samo randah, tagak samo tinggi yang dianut masyarakat Minangkabau. Sementara Basa Ampek Balai adalah dewan menteri yang membantu Rajo Tigo Selo  menjalankan tugas pemerintahan yaitu
a-  Bandaharo atau Tuan Titah di Sungai Tarab. Kedudukannya sama dengan perdana menteri.
b-  Makhudum di Sumanik yang tugasnya menjaga kewibawaan istana dan memelihara hubungan dengan seluruh rantau dari kerajaan lain yang ada hubungan dengan Minangkabau.
c-   Indomo di Saruaso yang menjaga perjalanan adat istiadat agar "setitik tidak boleh hilang, sebaris tidak boleh lupa” dalam seluruh Alam Minangkabau.
d-  Makhudum (Tuan Qadhi) di Padang Ganting yang menjaga perjalanan agama adakah berlaku menurut Kitabullah dan sunnah rasul, berjalan sunnat dan fardhu, terbatas antara halal dan haram.[1]

2-   Tali Tigo Sapilin dan Tungku Tigo Sajarangan (TTS)
Tali Tigo Sapilin dan Tungku Tigo Sajarangan adalah ungkapan yang menyatakan kesatuan kekuasaan dan kesatuan unsur pelaksana kewenangan dalam urusan masyarakat Minangkabau.

a-   Tali Tigo Sapilin
Tali Tigo Sapilin diibaratkan sebagai sebuah tali kokoh berpilin tiga yang mengikat masyarakat adat Minangkabau. Oleh sebab itu, masyarakat adat Minangkabau dalam melaksanakan adatnya berpegang kepada tiga tali, yaitu adat, syara’, undang-undang. 

Tali Adat dibangun di atas adat nan ampek, yaitu Adat nan Sabana Adat,  Adat nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat. Tali Adat berfungsi sebagai:
1)   Sumber ketentuan adat Minangkabau,
2) Pandangan hidup yang dapat mempersatukan masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan hukum adat,
3) Cermin kehidupan yang menuntun masyarakat Minangkabau dalam mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur secara merata, material dan spritual,
4)  Identitas suku bangsa Minangkabau yang berpegang kepada keyakinan agama secara vertikal dan aturan-aturan kemaslahatan manusia secara horizontal.

Tali Syara’ dibangun di atas al Qur’an, Hadis Nabi Muhammad SAW serta sumber-sumber hukum Islam lainnya yang diterima oleh jumhur ulama dan mayoritas umat Islam. Secara sederhana, orang Minangkabau menyebut semua sumber hukum Islam tersebut dengan Kitabullah.  Oeh sebab itu, segala adat Minangkabau yang tersebut dan terkarang di tali adat merujuk kepada Kitabullah.

Tali Undang merupakan seperangkat aturan yang dijadikan pegangan bagi masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau menyebut aturan dengan Undang, bukan dengan menggunakan kata ulang semu Undang-undang. Undang  terambil dari kata kundang artinya diusung atau dibawa ke mana-mana. Oleh sebab itu, masyarakat Minangkabau meyakini seluruh hidupnya berada dalam aturan. Tali undang disusun di atas tiga sumber hukum, yaitu Anggo Tanggo, Alua jo Patuik dan Raso jo Pareso. Anggo Tanggo fungsinya anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Alua Jo Patuik berfungsi sebagai Undang Undang, sementara  Raso – Pareso (rasa – periksa) berfungsi sebagai hukum dalam tatanan kehidupan Minang. Dalam mamang Minangkabau disebutkan:[2]
Badasar ka anggo tanggo
Baundang ka alua jo patuik
Bahukum ka raso jo pareso
Raso Tumbuah di dado
Pareso tumbuah di kapalo

b-   Tungku Tigo Sajarangan
Adapun Tungku Tigo Sajarangan merupakan unsur kepemimpinan yang melaksanakan tugas sesuai dengan pembagian kekuasaan dalam bidang adat, agama dan undang. Tungku Tigo Sajarangan terdiri dari Ninik Mamak (pemimpin adat), alim ulama (pemimpin agama) dan Cadiak Pandai (pelaksana undang-undang). Dengan demikian, kepemimpinan TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan) ini menunjkkan bahwa kekuasaan tidak hanya dipegang oleh satu orang saja. Kekuasaan dalam nagari di Minangkabau dibagi secara proporsional dan fungsional di antara ketiga unsur tripartite tersebut, yaitu ninik mamak (penghulu), alim ulama (tokoh agama) dan cadiak pandai (cendikiawan).[3]
Penghulu adalah pemimpin adat yang dipilih secara turun-temurun. Memilih penghulu harus sesuai dengan aturan dalam acara pengangkatan penghulu. Penghulu atau niniak mamak bertugas melindungi kemenakan, menyelesaikan permasalahan yang ada di kaum atau nagarinya. Penghulu memiliki gelar Datuk sesuai dengan pusaka kaumnya.
Alim ulama adalah tokoh agama yang mengetahui segala hal tentang ilmu agama, mengetahui tata cara dalam melaksanakan aturan agama, mengajarkan pendidikan agama, mencontohkan perilaku yang baik menurut ajaran agama. Ada banyak sebutan untuk tokoh agama ini, antara lai Tuanku, Buya, Inyiak, atau malin (malim). 
Sedangkan Cadiak Pandai merupakan cendekiawan, orang terdidik dan berpendidikan. Tugasnya adalah memberikan solusi dalam penyelesaian masalah di lingkungan masyarakat. Dalam ungkapan Minangkabau ditemukan nan cadiak lawan barudiang artinya cerdik pandai merupakan lawan/ teman berunding/bermusyawarah. Sebutan yang lazim untuk golongan cerdik pandai adalah ungku atau engku.[4] Engku dalam sebutan sehari-hari masyarakat Minangkabau pada abad ke-20 merujuk kepada sosok guru atau tenaga pendidik. Misalnya, Engku Syafe’i (pendiri lembaga pendidikan INS Kayu Tanam), engku Labai (sebutan umum untuk guru mengaji al Qur’an di surau-surau kampung).
Uraian di atas menunjukkan kekuasaan dan pelaksana kepemimpinan di Minangkabau diselenggarakan secara kolektif. Tidak ada kekuasaan tunggal dan tidak ada pula kepemimpinan tunggal. Dalam hal kekuasaan, dibangun berdasarkan tiga sumber yaitu adat, agama dan keputusan-keputusan kontemporer (kekinian). Dalam hal kepemimpinan, peran didistribusikan secara proporsional sesuai dengan kewenangannya.  Adapun gambaran ringkasnya dapat dilihat pada gambar berikut:



3-   Implementasi Kepemimpinan (Kepemimpnan Urang nan Bajinih)
Selain TTS di atas, implementasi kekuasan dan kepemimpinan dalam adat Minangkabau dapat dilihat dari penggunaan istilah Urang Nan Bajinih (orang yang berjenis/berkuasa). Urang Nan Bajinih terdiri dari Urang Nan Ampek Jinih (orang yang empat jenis) dan Jinih nan Ampek (Jenis yang empat). Urang Nan Ampek Jinih adalah istilah untuk menyebutkan 4 (empat) unsur pemangku adat di Minangkabau. Sementara Urang Jinih nan Ampek adalah orang atau unsur yang membantu malin pemangku jabatan pelaksanaan keagamaan (syara’). Unsur Urang Nan Ampek Jinih tersebut adalah Pangulu (Penghulu), Manti (menteri), Malin (malim) dan Dubalang (hulubalang). Sementara Jinih nan Ampek tersebut adalah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal) dan Qadhi. Jabatan Urang nan Ampek Jinih dan Jinih Nan Ampek adalah jabatan turun temurun sebagaimana petitih Minangkabau:
Biriak-biriak turun ka samak
Tibo di samak taruih ka laman
Dari niniak turun ka mamak
Dari mamak turun ka kamanakan

a-  Pangulu atau Penghulu adalah pemimpin suku dalam kaumnya.[5] Tugas Penghulu dalam Adat Minangkabau disebutkan dalam mamangan adat manuruik labuah nan luruih (mengikuti jalan yang lurus), maikuik kato nan bana (mengikuti kebenaran/ mengikuti aturan adat), mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak dan keponakan) dan manjago harato pusako (menjaga harta pusaka). Penjelasannya adalah sebabagi berikut; Pertama, Manuruik Labuah nan Luruih berarti menyelenggarakan pemerintahan adat. Karena itu, penghulu disebut tagak di pintu adat (berdiri di pintu adat. Kedua, Maikuik Kati nan bana memberi keputusan hukum adat sesuai dengan ketentuan adat sesuai dengan pepatah kato pangulu  kato pusako  (kata penghulu kata pusaka). Oleh sebab itu penghulu disebut tagak di pintu bana (berdiri di pintu kebenaran) dan harus Mahukum adia bakato bana (menghukum dengan adil, berkata (berhukum) dengan kebenaran). Ketiga, mamaliharo anak kamanakan (memelihara anak dan keponakan) artinya penghulu bertanggung jawab atas kesejahteraan anak-kemanakan. Keempat, manjago harta pusako (menjaga harta pusaka).
b- Manti (menteri) adalah jabatan pembantu pangulu di dalam tatalaksana pemerintahan adat di nagari. Tugasnya antara lain pertama, tugas administratif memeriksa perkara atau sengketa, menyampaikan keputusan pangulu dan sebagainya.  Kedua, mengkomunikasikan penyelesaian perkara atau sengketa di antara anggota kaum atau anggota masyarakat. Ketiga, Membuat ranji warga suku, memeriksa ranji kepemilikan tanah ulayat berdasarkan verifikasi terhadap mamak kapalo warih sebelum disahkan kerapatan adat.  Manti karena tugasnya di atas disebut tagak di pintu susah (berdiri di pintu kesulitan).
c- Dubalang (hulubalang) adalah pembantu penghulu dalam bidang keamanan. Tugas dubalang adalah pertama, secara teknis bertugas menciptakan keamanan, ketertiban dan kedamaian di dalam kampung. Kedua, membuat pertimbangan alternatif untuk mengangkat atau memberhentikan perangkat keamanan dan ketertiban kampung. Karena tugasnya tersebut, dubalang disebut tagak di pintu mati (Berdiri di pntu mati). Bahwa resiko terbesar yang dihadapi dubalang adalah kehilangan nyawa demi tegakna keamanan. Meski tugasnya terkesan keras dan tegas dubalang tetap harus mengutamakan kesantunan dalam berbahasa dan kesopanan dalam bertindak. Hal ini terungkap dalam kalimat Nan karek makanan takiak, nan lunak makanan sudu (yang keras mesti ditakik, yang lunak mesti disudu). Kalimat itu menunjukkan bahwa dubalang harus proporsional dalam bertugas. Mengambil kebijakan sesuai dengan kemestiannya. Sementara untuk ketegasan, profesionalisme dan konsistensi dalam melaksanakan tugas terungkap dalam kalimat Kok kareh indak tatakiak, kok lunak ndak bisa disudu (keras tak bisa ditakik, lunak tak bisa disudu)
d- Malin atau kadang-kadang disebut Malim adalah orang alim dalam agama Islam. Jabatan ini muncul sebagai bentuk integrasi Islam dengan adat Minangkabau. Adapun tugas Malin adalah Pertama, Bertanggung jawab kepada Pangulu dalam pelaksanaan kebijakan bidang keagamaan. Kedua, bertugas merencanakan kegiatan pendidikan untuk anak kemanakan agar menekuni dan memahami ilmu agama dan ilmu umum.  Dalam istilah Minangkabau tugasnya membuat anak kemanakan pandai sumbayang jo mangaji, pandai sikola jo babudi (pandai sembahyang dan mengaji, berpendidikan tinggi dan berbudi). Ketiga, menegakkan dan mengawasi pelaksanaan acara adat agar sesuai dengan hukum syara’. Karena tugas-tugasnya di atas, Malin disebut tagak dipintu syara’ (agama).  Dalam melaksanakan tugasnya, Malin diperkuat dengan unsure Urang Jinih Nan Ampek. Urang Jinih Nan Ampek tersebut yaitu Imam, Katik, Bilal dan Qadhi.



Contoh Implementasi di Nagari




©Muhammad Nasir/2020



[1] Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, ed. ke-4 Jakarta: Umminda, 1982, h. 6-7
[2] Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Budaya Minangkabau nan Nilai Kepemimpinan Ninik Mamak, Makalah disampaikan pada Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se Sumatera Barat, LKAAM Sumatera Barat, , Padang 13 November 2012.
[3] Aulia Rahmat, Rekonstruksi Adat Minangkabau dalam Pemerintahan Nagari Era Otonomi Daerah; Kajian terhadap Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 jo.Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pokok, Magelang: PKBM “Ngudi Ilmu, 2013  h. 137
[4] Hamka, Op.cit., h.36
[5] Gouzali Saydam, Kamus Lengkap Bahasa Minang (Bagian Pertama), Padang, PPIM, 2004, halaman 281

20 March 2020

ALAM MINANGKABAU


ALAM MINANGKABAU
muhammadnasir@uinib.ac.id


A | Asal-usul Nama Minangkabau            
Minangkabau adalah sebuah kawasan kebudayaan yang penduduk dan masyarakatnya mengamalkan adat dalam kebudayaan Minangkabau. Kawasan kebudayaan Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat sebagaimana dipahami saat ini.
Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri. Sebelum membahas kebudayaan Minangkabau lebih terperinci, ada baiknya ditelusuri asal kata Minangkabau.

1- Menurut cerita rakyat
Pada suatu masa ada satu kerajaan asing (banyak ahli menyebutnya Majapahit) datang untuk melakukan penaklukan. Agar tidak terjadi pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau.
Cerita adu kerbau ini populer dan hidup di tengah masyarakat. Berbagai buku yang menulis tentang sejarah dan kebudayaan Minangkabau juga sering menggunakan cerita ini sebagai salah satu sumber pelacakan asal-usul penamaan Minangkabau. salah satu sumber yang menulis cerita ini adalah Hikayat Raja Pasai, yang menurut Russell Jones ditulis sekitar abad ke-14 masehi.[1]
Legenda adu Kerbau ini dibantah oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, Tuanku Mudo Mahkota Alam H. Sutan Muhammad Taufiq Thaib, SH. Menurut beliau, cerita ini sengaja diciptakan Belanda untuk mengadu domba antar suku bangsa Indonesia. Tidak mungkin orang Minangkabau selicik itu mau menipu raja Jawa.
Selain itu, tak mungkin utusan raja Jawa itu sebodoh itu sehingga mudah ditipu. Menurutnya, Minangkabau adalah sebutan singkat yang berasal dari bahasa Arab Mukminan ka an-Nabawy, yaitu suatu pemerintahan kerajaan mukmin (Islam) yang susunan/tatanan pemerintahannya meniru tata pemerintahan di zaman nabi Muhammad SAW.