20 March 2020

ALAM MINANGKABAU


ALAM MINANGKABAU
muhammadnasir@uinib.ac.id


A | Asal-usul Nama Minangkabau            
Minangkabau adalah sebuah kawasan kebudayaan yang penduduk dan masyarakatnya mengamalkan adat dalam kebudayaan Minangkabau. Kawasan kebudayaan Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat sebagaimana dipahami saat ini.
Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri. Sebelum membahas kebudayaan Minangkabau lebih terperinci, ada baiknya ditelusuri asal kata Minangkabau.

1- Menurut cerita rakyat
Pada suatu masa ada satu kerajaan asing (banyak ahli menyebutnya Majapahit) datang untuk melakukan penaklukan. Agar tidak terjadi pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau. Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau.
Cerita adu kerbau ini populer dan hidup di tengah masyarakat. Berbagai buku yang menulis tentang sejarah dan kebudayaan Minangkabau juga sering menggunakan cerita ini sebagai salah satu sumber pelacakan asal-usul penamaan Minangkabau. salah satu sumber yang menulis cerita ini adalah Hikayat Raja Pasai, yang menurut Russell Jones ditulis sekitar abad ke-14 masehi.[1]
Legenda adu Kerbau ini dibantah oleh Daulat Yang Dipertuan Raja Alam Pagaruyung, Tuanku Mudo Mahkota Alam H. Sutan Muhammad Taufiq Thaib, SH. Menurut beliau, cerita ini sengaja diciptakan Belanda untuk mengadu domba antar suku bangsa Indonesia. Tidak mungkin orang Minangkabau selicik itu mau menipu raja Jawa.
Selain itu, tak mungkin utusan raja Jawa itu sebodoh itu sehingga mudah ditipu. Menurutnya, Minangkabau adalah sebutan singkat yang berasal dari bahasa Arab Mukminan ka an-Nabawy, yaitu suatu pemerintahan kerajaan mukmin (Islam) yang susunan/tatanan pemerintahannya meniru tata pemerintahan di zaman nabi Muhammad SAW.


2- Menurut Catatan Sejarah
Ada banyak kemungkinan yang diajukan oleh ahli sejarah tetang asal-usul penamaan Minangkabau. Pelacakan asal-usul nama Minangkabau ini berangkat dari sumber sejarah berupa catatan-catatan dari sumber tertulis baik yang bersumber dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Dari dalam negeri sendiri, sumber yang dirujuk adalah dari prasasti dan kitab-kitab kuno yang tersebar di seluruh nusantara. Sementara, sumber asing didapatkan dari tulisan ataupun catatan dari pengelana asing, terutama dari Cina, Arab dan India.  Berikut nama-nama yang diduga kuat menjadi asal-usul penamaan Minagkabau sekarang:

Minang (Kerajaan Minanga)
Nama ini dituliskan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682. Kata Minang ditulis dalam bahasa Sanskerta.  Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hiyang bertolak dari "Minānga”

Minangkabau
Kata Minangkabau dapat dilihat dalam Hikayat Raja-raja Pasai (akhir abad ke-14) juga menyebutkan bahwa bahwa kemenangan yang diperoleh dalam adu kerbau menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Pariangan menggunakan nama Minangkabau.

Minangkabwa
Dalam catatan kerajaan Majapahit (Negarakretagama) bertanggal 1365, juga telah menyebutkan nama Minangkabwa sebagai salah satu dari negeri Melayau yang ditaklukannya. [2]

Minanggebu
Dalam catatan Cina (Ming) tahun 1405, terdapat nama kerajaan Mi-nang-ge-bu, yaitu satu dari enam kerajaan yang mengirimkan utusan menghadap kepada Kaisar Yongle di Nanjing 

Minanga Kabawa atau Minanga Tamwan
Menurut Purbacaraka, Minangkabau berasal dari kata Minanga Kabawa atau Minanga Tamwan yang maksudnya adalah daerah-daerah disekitar pertemuan dua sungai; Kampar Kiri dan Kampar Kanan. Hal ini dikaitkannya dengan adanya candi Muara Takus yang didirikan abad ke 12.[3]

Phinang Khabu
Herman Neubronner van der Tuuk (1824-1894) penerjemah dan ahli bahasa melayu asal Belanda mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Phinang Khabu yang artinya tanah asal.

Bhinanga Kamvar
Sutan Mhd Zain mengatakan kata Minangkabau berasal dari Binanga Kamvar maksudnya muara Batang Kampar.[4] Pendapat ini didasarkan pada sebagian lokasi Minangkabau di wilayah timur yang terbentang dari muara batang Kampar di Riau hingga ke Batanghari Jambi. Wilayah ini menurut M.D.Mansoer (1970) disebut dengan Minangkabau Timur.

Menon Khabu
Syed Muhammad Husayn Nainar mengatakan kata Minangkabau Minangkabau adalah perubahan fonetik dari menon khabu bahasa tamil yang artinya tanah pangkal, tanah yang mulya.[5]

Minang Kabau
Slamet Mulyana mengatakan kata Minangkabau berasal dari kata Minang Kabau. Artinya, daerah-daerah yang berada di sekitar pinggiran sungai-sungai yang ditumbuhi batang sikabau (jengkol).

Berdasarkan uraian di atas, asal-usul nama Minangkabau dapat dilacak melalui catatan dan prasasti bersejarah yang memuat variasi penamaan/penyebutan Minangkabau. Meskipun ada perbedaan pendapat tentang asal usul kata Minangkabau, perbedaan tersebut tidak mengurangi arti Minangkabau, justru perbedaan itu memberi beberapa petunjuk yang berguna untuk menelusuri asal kata Minangkabau.

B | Konsep Alam Minangkabau
Masyarakat Minangkabau mempunyai pengertian khusus tentang kata Alam. Ada dua pengertian Alam yang dapat dikemukakan, yaitu pengertian secara filosofis dan pengertian wilayah (geografis/ teritorial).

Makna filosofis
Alam dalam makna filosofis adalah makna non materi. Alam dalam pengertian non materi ini berarti pemikiran, ide dan gagasan. Contoh penggunaan kata alam dalam makna ini dapat diperiksa dari frasa baalam laweh (ber-alam luas). Ba alam laweh artinya berfikiran luas. Pangulu baalam laweh – bapadang data. Dalam versi lain bapadang leba. Artinya, seorang penghulu, pimpinan adat itu harus berpikiran, berwawasan luas dan berpadang atau berhati lapang.
Penghulu merupakan pantulan dari masyarakat (anak kamanakan) yang dipimpinnya. Oleh sebab itu sifat baalam laweh juga berlaku untuk seluruh orang-orang Minangkabau. Alam dalam pengertian ini digunakan oleh orang Minangkabau untuk menyusun adatnya.
Selain itu juga ditemukan makna alam dalam pengertian jiwa, seperti istilah bapadang leba di atas. Bahwa orang Minangkabau juga dituntut berjiwa lapang, berhati lapang. Hal ini ditemukan dalam tuturan adat sebagai berikut :
Pandai baksa duduak, bakisa di lapiak nan sahalai
Pandai bakisa tagak, bapaliang di tanah nan sabingkah
Artinya:
Orang Minangkabau dapat menyesuaikan dengan alam. Menyesuaikan diri dengan dengan hati dan jiwa. Sempitlah alam itu jika dihadapi dengan hati yang sempit. Sebaliknya, alam akan terasa lapang jika dihadapi dengan hati yang lapang.

Makna wilayah geografis/teritorial
Alam dalam pengertian kedua adalah pengertian wilayah geografis dan teritorial. Alam dalam pengertian wilayah adalah wilayah tempat bermukimnya suku bangsa Minangkabau. Wilayah ini dibagi kepada tiga kawasan yang menunjukkan asal hunian, daerah pengembangan dan daerah batas pengaruh. Untuk semua kategori wilayah ini, orang Minangkabau menyebut wilayahnya dengan Alam Minangkabau.
Wilayah Alam Minangkabau secara umum dibagi kepada dua, yaitu  Luhak dan Rantau Luhak merupakan kawasan pusat atau wilayah inti dari alam Minangkabau. Sedangkan Rantau adalah kawasan pinggiran sekaligus daerah perbatasan yang mengelilingi kawasan pusat. Kedua kawasan ini akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
Luhak secara memiliki arti yang beragam. Di antara arti Luhak adalah “kurang”. Misalnya, Luhak Tanahdatar berarti kurang datar. Arti kata luhak ini dapat dipahami sebagai penjelasan atas kondisi alam geografis Tanahdatar yang berbukit, berlembah serta dialiri sungai-sungai dangkal.
Ada juga yang memahami kata luhak dalam arti sumur. Sumur dalam masyarakat Minangkabau memiliki arti penting. Dalam arti ini, luhak dapat dipahami sebagai kecendrungan manusia membentuk pemukiman yang mendekat kea rah mata air (sumur). Semaksud dengan sumur antara lain, mendekat ke sungai atau sumber-sumber air lainnya.
Namun, penjelasan asal kata dan arti kata luhak tersebut belum ditemukan arti pastinya. Yang jelas, kesepakatan yang diperoleh, bahwa Luhak secara geografis adalah daerah pemukiman awal masyarakat Minangkabau. Secara politik Luhak adalah wilayah konfederasi dari beberapa nagari di Minangkabau yang terletak di pedalaman Sumatra Barat.  Luhak juga dapat disebut sebagai wilayah awal perkembangan peradaban adat dan kebudayaan Minangkabau. 
Luhak juga dikenal dengan istilah Darek (bahasa Indonesia: darat) untuk membedakannya dengan wilayah rantau Minangkabau, baik Rantau Pasisie di sepanjang pantai barat Sumatra maupun Rantau Hilia di wilayah Riau dan bagian barat Jambi. Luhak sesuai tambo dibagi kepada tiga wilayah yang dikenal dengan Luhak Nan Tigo (Luhak yang Tiga). Luhak tersebut adalah Luhak Tanah Datar, Luhak Agam, dan Luhak Limo Puluah Koto

Luhak Tanah Data  
Luhak Tanah Data, disebut dengan Luhak Nan Tuo (Luhak yang tertua). Orang Minangkabau meyakini bahwa asal usul mereka berasal dari gunuang Marapi. Di kaki merapi inilah terletak Luhak Tanah Data. Menurut Tambo Minangkabau Pariangan di Luhak Tanah Data  merupakan nagari tertua di ranah Minang. Nagari ini terletak di lereng Gunung Marapi pada ketinggian 500-700 meter di atas permukaan laut.
Dalam pantun adat disebutkan tentang asal usul sebagai penguat makna luhak sebagai daerah asal (hunian awal dan tertua). Dari ma titiak palito dibaliak telong nan batali dari mano asa niniek kito dari puncak gunuang marapi (dari mana cahaya pelita, dari telong [obor] yang bertali. Dari mana asal nenek moyang kita, dari puncak gunung merapi).
Kawasan Luhak Tanah Datar merupakan kawasan utama dalam tradisi masyarakat Minangkabau. Sejak abad ke-13, Luhak Tanah Data menjadi tempat kedudukan Yang Dipertuan Pagaruyung atau Raja Alam Minangkabau. Kerajaan pertama di Minangkabau pun juga terdapat Luhak ini, bernama Kerajaan Pasumayan Koto Batu. Dari Luhak Tanah Datar inilah kemudian orang Minangkabau berkembang dan berpindah ke daerah lain seperti Luhak Limo Puluah dan Luhak Agam.
Masyarakat Luhak Tanah Data umumnya menganut kelarasan Koto Piliang, kelarasan atau aturan yang digagas oleh Datuk Katumanggungan. Sedangkan Kelarasan Bodi Caniago yang digagas Datuak Parpatiah nan Sabatang memiliki basis pengikut di Limo Kaum.
Gambaran kondisi geografis dan karakter penduduk luhak Tanah Data dapat dibaca melalui ungkapan Buminyo lembang, aianyo tawa, ikannyo banyak. Warna bendera kebesaran Luhak Tanah Data adalah Kuning.
Wilayah Luhak Tanah Data meliputi daerah di sekitar kaki gunung Marapi bagian selatan sampai ke kaki gunung Sago bagian timur. Nagari-nagari yang termasuk ke dalam wilayah Luhak Tanah Datar ini adalah:
1.  Tampuak Tangkai Pariangan Salapan Koto: Pariangan, Padang Panjang, Guguak, Sikaladi, Koto Tuo, Tanjuang Limau, Sialahan, Batu Basa.
2.  Tujuah Langgam di Hilia: Turawan, Padang Lua, Galogandang, Sawah Kareh, Kinawai, Balimbiang, Bukik Tamusu.
3.  Limo Kaum Duo Baleh Koto: Dusun Tuo, Balah Labuah, Balai Batu, Kubu Rajo, Piliang, Ngungun, Panti, Silabuak Ampalu, Parambahan, Cubadak, Supanjang, Pabalutan, Sawah Jauah, Rambatan, Tabek Sawah Tangah.
4.  Sambilan Koto di Dalam: Tabek Boto, Salagondo, Baringin, Koto, Baranjak, Lantai Batu, Bukik Gombak, Sungai Ameh, Ambacang Baririk, Rajo Dani.
5.  Tanjuang Nan Tigo, Lubuak Nan Tigo: Tanjuang Alam, Tanjuang Sungayang, Tanjuang Barulak, Lubuak Sikarah, Lubuak Simauang, Lubuak Sipurai.
6.  Sungai Tarab Tujuah Batu: Limo Batu, Tigo Batu, Ikua Kapalo Kapak, Randai Gombak Katitiran, Koto Tuo Pasia Laweh, Koto Baru, Rao-Rao, Salo Patir Sumaniak, Supayang, Situmbuak, Gurun Ampalu, Sijangek Koto Badampiang.
7.  Langgam Nan Tujuah: Labutan, Sungai Jambu, Batipuah Nagari Gadang, Tanjuang Balik Sulik Aia, Singkarak, Saniang Baka, Silungkang, Padang Sibusuak, Sumaniak, Suraso.
8.  Batipuah Sapuluah Koto: Batipuah, Koto Baru Aia Angek, Koto Laweh Pandai Sikek, Panyalaian, Bukik Suruangan, Gunuang, Paninjauan, Jaho Tambangan, Pitalah Bungo Tanjuang, Sumpu Malalo, Singgalang.
9.  Lintau Buo Sambilan Koto : Batu Bulek, Balai Tangah, Tanjuang Bonai, Tapi Selo Lubuak Jantan, Buo, Pangian, Taluak Tigo Jangko.

Daerah Rantau Luhak Tanah Data disebut dengan Rantau Nan Kurang Aso Duo Puluah, mencakup daerah-daerah sebagai berikut:
Lubuak Ambacang, Lubuak Jambi, Gunuang Koto, Benai, Pangian, Basra, Sitinjua, Kopa, Taluak Ingin, Inuman, Surantiah, Taluak Rayo, Simpang Kulayang, Aia Molek, Pasia Ringgit, Kuantan, Talang Mamak, Kualo Tehok, Rantau Alam Surambi Sungai Pagu, Rantau Duo Baleh Koto, Rantau Pasisia Panjang, Padang, Pasisia Salatan/Banda Sapuluah, Mukomuko, Kerinci

Di samping daerah Rantau juga dikenal istilah Ujuang Darek Kapalo Rantau, yaitu daerah perbatasan yang wilayahnya diujung Luhak dan memasuki wilayah rantau. Daerah yang termasuk Ujuang Darek Kapalo Rantau Luhak Tanah Data adalah:
Anduriang Kayu Tanam
Guguak Kapalo Hilalang
Sicincin
Toboh Pakandangan
Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang
Tujuah Koto
Sungai Sariak.

Luhak Agam
Luhak Agam disebut dengan Luhak Nan Tangah (Luhak yang Tengah). Agam dapat diartikan dengan danau atau kolam atau rawa-rawa serta juga dapat serumpun dengan kata agamon yang berarti alang-alang. Selain itu juga dapat dipahami sebagai mansiang tumbuhan rawa endemik di Luhak Agam.
Menurut Tambo, awal mula didirikannya Luhak Agam ialah perpindahan penduduk dari nagari Pariangan yang berlangsung selama empat periode.
1.  Periode pertama, melahirkan empat buah nagari, yakni Biaro, Balai Gurah, Lambah dan Panampuang.
2.  Periode kedua, melahirkan tiga buah nagari, yakni Canduang Koto Laweh, Kurai dan Banuhampu.
3.  Periode ketiga, melahirkan 4 buah nagari, yakni Sianok, Koto Gadang, Guguak dan Guguak Tabek Sarojo.
4.  Periode keempat, melahirkan lima buah nagari, yakni Sariak, Sungai Puar, Batagak dan Batu Palano.

Setelah empat periode tersebut di atas, lahir pula nagari-nagari lainnya seperti Kapau, Gadut, Salo, Koto Baru, Magek, Tilatang Kamang, Tabek Panjang, Pincuran Puti, Koto Tinggi, Simarasok dan Padang Tarok.
Ungkapan yang mewakli gambaran geografis dan karakter masyarakat Luhak Agam adalah Buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia. Warna bendera yang digunakan adalah Sirah (merah).
Di samping kawasan inti atau daerah asal, Luhak Agam juga memiliki daerah rantau, yaitu:
Rantau Tiku Pariaman/Piaman Laweh, meliputi:
Tiku, Gasan, Aua Malintang, Malai Sungai Garinggiang, Sungai Limau, Limo Koto (Padang Alai, Kudu Gantiang, Limau Puruik, Sikucua, dan Cimpago), Tujuah Koto (Tandikek, Sungai Durian, Batu Kalang, Koto Dalam, Koto Baru, Sungai Sariak, dan Ampalu), Pariaman, Nan Sabarih,Ulakan, Anduriang Kayu Tanam, Guguak Kapalo Hilalang, Duo Kali Sabaleh Anam Lingkuang Sicincin, Pakandangan, Parik Malintang, Sintuak Lubuak Aluang, Kasang, Katapiang, Rantau Pasaman

Ujuang Darek Kapalo Rantau, meliputi:
Palembayan, Silareh Aia, Lubuak Basuang, Kampuang Pinang, Simpang Ampek, Sungai Garinggiang, Lambah, Bawan, Tigo Koto, Garagahan, Manggopoh

Luhak Limopuluah Koto
Luhak Limopuluah Koto, disebut dengan Luhak Nan Bungsu. Sesuai dengan namanya, Luhak Limopuluoh Koto merupakan salah satu kawasan konfederasi termuda dari beberapa nagari dalam budaya Alam Minangkabau. Dalam tambo Alam Minangkabau, Luak Limo Puluah Koto merupakan daerah paling terakhir yang menjadi daerah inti di Minangkabau, oleh karena itu dikenal dengan Luak Nan Bungsu.
Meskipun menurut Tambo Alam Minangkabau Luhak ini merupakan Luhak termuda, namun daerah ini pernah mengalami kehidupan masa pra-sejarah. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peninggalan-peninggalan megalitikum Minangkabau yang ditemukan di Luhak Limo Puluah Koto. Di antaranya yang masih dapat disaksikan sekarang ini adalah kawasan situs purbakala berupa ratusan menhir berbagai ukuran di daerah Maek, Kabupaten Lima Puluh Kota.
Ungkapan yang mewakli gambaran geografis dan karakter masyarakat Luhak Limopuluah: Buminyo lembang, aianyo janiah, ikanyo jinak, sayaknyo landai. Warna bendera: Hitam.  Menurut Tambo, nagari-nagari yang ada di luhak Limopuluah terdiri dari lima bagian, yakni:
1.    Sandi
Dari Bukik Sikabau Hilia sampai ke Muaro Mudiak, dari Nasi Randam sampai ke Padang Samuik. Nagarinya adalah Koto nan Gadang dan Koto nan Ampek.
2.    Luhak
Dari Mungo Mudiak sampai ke Limbukan, Mungo, Koto Kaciak, Andaleh, Tanjuang Kubu, Banda Tunggang, Sungai Kamuyang, Aua Kuniang, Tanjuang Patai, Gadih Angik, Padang Karambia, Limau Kapeh, dan Aia Tabik Nan Limo Suku.
3.    Lareh
Dari Bukik Cubadak sampai Padang Balimbiang, nagarinya adalah Ampalu, Halaban, Labuah Gunuang, Tanjuang Gadang.
4.    Ranah
Dari Gantiang, Koto Laweh, Suliki, Sungai Rimbang, Tiakar, Balai Mansiro, Talago, Balai Kubang, Taeh, Simalanggang, Piobang, Sungai Baringin, Gurun, Luhak Batingkok, Torantang, Sari Lamak, Padang Laweh.
5.    Hulu
Dari Padang Laweh, Sungai Patai, Suliki, Gunuang Sago, Labuah Gunuang, Balai Koto Tinggi

Di samping lima daerah bagian tersebut, Luhak Limapuluah juga memiliki daerah rantau, yaitu:
Mangilang, Tanjuang Balik, Pangkalan, Koto Alam, Gunuang Malintang, Muaro Paiti, Rantau, Barangin, Rokan (Rokan Ampek Koto, Kunto, Tambusai, Kapanuhan, dan Rambah), Gunuang Sailan, Kuntu, Lipek Kain, Ludai, Ujuang Bukik, Sanggan, Tigo Baleh Koto Kampar, Sibiruang, Gunuang Malelo, Tabiang, Tanjuang, Gunuang Bungsu, Muaro Takuih, Pangkai, Binamang, Tanjuang Abai, Pulau Gadang, Baluang Koto Sitangkai, Tigo Baleh, Lubuak Aguang, Limo Koto Kampar (Kuok, Bangkinang, Salo, Rumbio, dan Aia Tirih), Taratak Buluah, Pangkalan Indawang, Pangkalan Kapeh, Pangkalan Sarai, Koto Laweh,

Selain itu ada juga daerah transisi dari darek ke rantau yang disebut daerah Ujuang Darek Kapalo Rantau, yaitu:
Kapua Sambilan
Pangkalan Koto Baru



[1] Russell Jones , Transliterasi Hikayat Raja Pasai,(Kuala Lumpur: Fajar Bakti, 1999, 68-69
[2] Slamet Muljana, Tafsir Sejarah Negara Kretagama, Yogyakarta: LKIS, 2011
[3] R.Ng. Poerbatjaraka, Riwajat Indonesia. Djilid I,  Jakarta: Yayasan Pembangunan, 1952
[4] Sutan Muhammad Zain, Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan di Sumatra era klasik, Jakarta: Kakilangit Kencana, 2017
[5] Syed Muhammad Husayn Nainar, Makalah, Islam di India dan Hubungan-hubungannya dengan Indonesia, Jakarta: Information Service of India, 1956

No comments: