31 October 2019

Menjadi Pewarta Kebenaran


Menjadi Pewarta Kebenaran
Oleh Muhammad Nasir

Berita adalah produk manusia yang paling ditunggu-tunggu sepanjang masa. Apalah jadinya dunia tanpa berita, ibarat jemaah tak berustadz, ibarat kampung orang mati. Tetapi bukan berarti berita adalah segala-galanya. Berita bisa jadi surga dan bisa pula menjadi neraka bagi pembacanya. Berita yang baik itu mestilah mengandung kebenaran, karena ia dapat menenteramkan pembacanya, setidak-tidaknya mengandung kepastian yang besar.

Foto: Suara Kampus
Itu pula-lah yang mesti dicermati oleh Suara Kampus, tabloid mahasiswa paling terkenal di IAIN Imam Bonjol Padang. Dalam kesempatan berbuka puasa yang digelar Suara Kampus (27/08) yang lalu, saya ingin mengatakannya tetapi segan, takut dibilang menghejan tuah. Lebih baik saya tulis saja. Hitung-hitung membayar “hutang” sebagai pembina. Wah!

Waktu itu hampir semua orang memuji kesuksesan alumni Suara Kampus. Ada yang jadi wartawan hebat, diplomat, politisi hebat, pengusaha kaya, PNS dan sebagainya. Saya lalu bertanya, apa iya semua itu karena Suara Kampus? Sebab, dari alumni non-Suara Kampus yang lain juga ada jadi wartawan hebat, diplomat, politisi hebat, PNS dan sebagainya. Entah apa pula sebabnya.

25 October 2019

Urang Siak: Tak Sekadar Santri


Urang Siak: Tak Sekadar Santri
Muhammad Nasir


Sebutan Urang Siak masih dikenal dan masih sering digunakan oleh masyarakat Minangkabau. Sebutan itu orisinil milik penutur asli bahasa Minangkabau, digunakan untuk menyebut sosok elit agama di tengah masyarakat, atau untuk menyebut orang-orang yang terhubung dengan tugas-tugas peribadatan dan upacara adat serta keagamaan di tengah masyarakat.


Penggunaan istilah Urang Siak sangat bervariasi dan memberikan maksud yang beragam pula. Masyarakat yang masih terhubung dengan praktik kehidupan tradisional masyarakat Minangkabau di masa-masa lampau diyakini masih terbiasa menggunakan istilah ini.

Menurut teori linguistik, kosa kata yang dipakai oleh masyarakat untuk berkomunikasi menunjukkan adanya benda atau aktivitas khusus yang masih berlangsung. Artinya, istilah Urang Siak yang masih digunakan oleh masyarakat Minangkabau menunjukkan dinamika sosial yang melibatkan peran Urang Siak masih ada dan dialami langsung oleh penuturnya.

Namun tetap perbedaan variasi dalam penyebutan Urang Siak. Di zaman Ojek Online (ojol) ini, variasi penyebutan disebabkan adanya penurunan frekwensi kegiatan sosial dan interaksi sosial yang melibatkan Urang Siak itu. Dari segi usia penutur, istilah buya dan ustadz yang digunakan untuk menyebut Urang Siak dapat dipastikan  adalah generasi termuda yang mulai terpengaruh dengan unsur peubah tradisi dari luar.

13 October 2019

Kadar Wahabi Orang-orang Padri



Kadar Wahabi Orang-orang Padri
dalam catatan J.C Boelhouwer (1831-1834)
Oleh Muhammad Nasir

bakaba.co




Perang Padri
Perang Padri! Inilah episode periode pertengahan sejarah Minangkabau. Perang ini merupakan puncak dari gejolak pembaharuan gelombang pertama di negeri seribu datuk di sekitar tahun 1803 hingga 1838.

Sumber Foto: Pena Santri
Mendengar dan membaca Padri, sebagian besar percakapan netizen di dunia maya sepertinya terhubung dengan radikalisme Wahabi di Saudi Arabia yang memicu perang saudara berkuah darah. Bahkan cara berpakaiannya pun kearab-araban seperti pakaian Tuanku Imam Bonjol itu, dituding pula sebagai pakaian Padri.

“Apakah ada atau tidak ada hubungan langsung antara timing gerakan Padri Sumatera Barat dan gerakan pembaharuan Wahabi di Arab adalah soal lain yang sering diperdebatkan,” kata Elizabet E Graves dalam bukunya The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century (1981)

09 October 2019

Agama dan Kepercayaan Masyarakat Minangkabau Sebelum Islam


Oleh Muhammad Nasir

Pengantar
Tulisan ini disarikan dari Disertasi Doktoral Muhammad Sanusi Latief berjudul “Gerakan Kaum Tua di Minangkabau (1907-1969), IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1981)., halaman 39-42. M Sanusi Latif  pernah menjabat sebagai Rektor IAIN Imam Bonjol, Padang periode 1976–1982. Tujuan penulisan ini antara lain untuk menambah referensi tentang agama dan keyakinan masyarakat Minangkabau sebelum kedatangan Islam. Selain itu, mengingat disertasi ini tidak dicetak, maka salah satu bentuk melestarikan sumber informasi tentang sejarah Minangkabau adalah menyalin sebagian kecil informasi yang dimuat dalam disertasi tersebut. Untuk membantu pemahaman dan mengembangkan informasi, penulis juga memberikan catatan yang bersumber dari literatur yang lain, dan model penyalinanpun pada beberapa bagian dilakukan secara bebas; tak secara persis seperti menulis kutipan langsung. Mudah-mudahan salinan ini bermanfaat bagi yang membutuhkan referensi tentang Agama dan Kepercayaan Masyarakat Minangkabau sebelum Islam.

A. Agama dan Kepercayaan di Minangkabau sebelum Islam.

Masa Pra Agama.
Sanusi Latif menuliskan bahwa sebelum masuknya agama-agama ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau selain menaati adat, juga menganut keyakinan pra-agama,[i] baik animisme dan dinamisme, maupun kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang dapat membahayakan manusia, sehingga kepadanya harus diberikan sesajian serta pembacaan mantera-mantera [M. Sanusi Latief, hal. 39]. Masa Pra Agama ini tidak diulas lebih lanjut oleh M Sanusi Latief, terutama dalam rentang waktu kapan masa ini berlangsung.

Masa Hindu Budha
Sumber Foto: Wikipedia
Masa Hindu Brahma (abad ke-5 M), agama Budha Hinayana (abad ke-7) dan agama Budha Mahayana (abad ke-7 sampai abad ke-10), baik yang dibawa oleh para pedagang dari Hindustan (India) maupun mereka yang datang dari kerajaan Majapahit.[ii]  

Akan tetapi, Agama Hindu dan Budha di Minangkabau tidak sekuat adat, dan tidak pula sekuat pengaruh Hindu dan Budha di Jawa ketika Islam datang. Pengaruhnya tidaklah mendalam dan tidak meninggalkan bekas-bekas yang lama. Kedua agama tersebut belum sempat memasyarakat. Belum banyak didirikan tempat-tempat pengajaran dan penyiaran agama tersebut di daerah ini [M. Sanusi Latief, hal. 40].[iii]

Sejarah Hanya mencatat bahwa sebuah stupa dari biara agama Budha yang berdiri di Muara Takus, abad ke-8 dalam daerah Kerajaan Minangkabau Timur. Muara Takus atau Telaga Udang terletak di hulu Kampar.[iv]  Selain Itu, beberapa prasasti mengenai Adityawarman dan agama Budha, di anatarnya terdapat di Lima Kaum, yaitu Prasasti Kuburajo I (1347) dan Kuburajo II (1339/1351). Salah satu yang diyakini sebagai jejak agama Budha adalah di antaranya yang bergambar matahari atau teratai (lambang agama Buddha) dan sapaan dalam agama budha “Oṃ māṃla”

B. Sebab-sebab lemahnya pengaruh agama Hindu dan Budha di Minangkabau [M. Sanusi Latief, hal.40-41], yaitu:  

Pertama: Karena kedua agama tersebut yang datang ke Minagkabau dari Kerajaan Majapahit, di bawa oleh penyerbu. Dengan demikian menimbulkan citra yang kurang simpatik bagi masyarakat di daerah ini.

Kedua, walaupun Adityawarman akhirnya berhasil menjadi raja di Minangkabau, kekuasaannya tidak dapat menjangkau kehidupan masyarakat di nagari-nagari, terutama di daerah Luhak nan Tigo. Dengan demikian, kalaupun ia ingin menyebarkan agama Budha, namun peluang itu amat terbatas.

Ketiga, misinya dalam bidang politik dan militer jauh lebih menonjol sehingga penyebaran agama kurang menjadi perhatiannya. Kedatangannya ke Minangkabau tidak disertai dengan ahli-ahli agama Budha yang cukup untuk menyebarkan agama tersebut di daerah ini. Tidak seperti raja-raja Islam Aceh yang selalu membawa ahli-ahli agama dalam perjalanannya ke daerah-daerah yang dikuasainya.

Keempat, Pengaruh adat dalam masyarakat Minangkabau jauh lebih kuat dan benar-benar berurat berakar sehingga tidak mudah dimasuki oleh paham-paham lainnya, a[alagi yang tidak sejalan dengannya.

Kelima, susunan masyarakat menurut kasta-kasta dalam agama Hindu tidak berkenan di hati masyarakat Minangkabau karena sangat bertentangan dengan kehidupan demokratis yang telah mendarah daging bagi mereka. Keinginan Adityawarmnan agar susunan masyarakat berkasta-kasta diberlakukan di Minangkabau, segera mendapat tantangan.

Agama Hindu dan Budha walaupun pengaruhnya amat kecil di Minangkabau, telah bercampur aduk  dengan kepercayaan pra agama dan adat.[v] Dalam situasi yang demikianlah kemudian agama Islam sampai ke daerah ini. Agama Islam menemukan masyarakat di sini telah mempunyai adat dan kepercayaan-kepercayaan pra-agama, ditambah dengan unsur-unsur agama Hindu dan Budha yang belum kuat tertanam. [M. Sanusi Latief, hal.40-41]  







   
End Notes


[i] Sanusi Latif menggunakan isltilah pra agama. James  W Fowler menyebutnya dengan kepercayaan eksistensial. Kepercayaan eksistensial itu sendiri menurutnya merupakan suatu kegiatan relasional, artinya ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu. Lebih lanjut lihat  Sari Pemikiran James W. Fowler dalam “Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James W. Fowler”, Editor. A. Supratiknya, Yogyakarta: Kanisius, 1995Kepercayaan
[ii][ii] Dalam catatan kakinya, M Sanusi Latief menulis, “Adityawarman yang datang ke Minangkabau (1340) dari Kerajaan Majapahit, dikatakan menganut agama Hindu-Budha Hinayana. (Lihat J.L. Moens, Budhisme di Jawa dan Sumatera dalam Masa Kejayaannya yang Terakhir, Jakarta, Bharata, 1974, hal. 44)
[iii] M Sanusi Latif merujuk pada sumber yang ia tulis di catatan kaki, yaitu dari Harry J Benda, “Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia dalam buku Islam di Indonesia, editor, Taufik Abdullah, Jakarta, Tintamas, 1974 hal. 34;36.
[iv] Lihat M Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Padang, Sri Dharma, 1970, hal.172
[v] Catatan kaki M Sanusi Latief nomor 49, “Kepercayaan tentang reinkarnasi, keharusan membakar kemenyan sebelum berdo’a, serta bermacam-macang kenduri, selamatan di rumah duka dan berkaul ke kuburan dan tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral, sering dikemukakan sebagai contoh tentang sisa-sisa  pengaruh Hjindu dan atau kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah ada sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha.