Kadar Wahabi Orang-orang Padri
dalam catatan J.C Boelhouwer (1831-1834)
Oleh Muhammad Nasir
bakaba.co |
Perang Padri
Perang Padri! Inilah episode periode pertengahan sejarah Minangkabau.
Perang ini merupakan puncak dari gejolak pembaharuan gelombang pertama di
negeri seribu datuk di sekitar tahun 1803 hingga 1838.
Sumber Foto: Pena Santri |
Mendengar dan membaca Padri, sebagian besar percakapan netizen di dunia
maya sepertinya terhubung dengan radikalisme Wahabi di Saudi Arabia yang memicu
perang saudara berkuah darah. Bahkan cara berpakaiannya pun kearab-araban seperti
pakaian Tuanku Imam Bonjol itu, dituding pula sebagai pakaian Padri.
“Apakah ada atau tidak ada hubungan langsung antara timing gerakan
Padri Sumatera Barat dan gerakan pembaharuan Wahabi di Arab adalah soal lain
yang sering diperdebatkan,” kata Elizabet E Graves dalam bukunya The
Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule Nineteenth Century (1981)
Sesungguhnya ada banyak sumber untuk mengetahui bagaimana gambaran
orang-orang Padri sebagaimana
ditulis oleh para penulis yang hidup sezaman dengan peristiwa
tersebut. pada umumnya sumber itu berasal dari pejabat militer dan
administratur kolonial Belanda.
Di antaranya yang paling rajin mencatat adalah Jenderal De Stuers yang
menjabat sebagai komandan militer dan residen kolonial Belanda di Padang
1824-1829, Jenderal AV Michiels yang menjabat gubernur Belanda untuk Pantai
Barat Sumatera (1837). Selain itu, ada juga Letnan J.C. Boelhower, seorang
komandan perang Balanda yang akan dibahas tulisan ini. Apa katanya tentang
oran-orang Padri?
Tentang J.C. Boelhouwer
Letnan I Infanteri Joannis Cornelis
(J.C) Boelhouwer adalah tentara Belanda yang pernah bertugas sebagai Komandan
Sipil dan Milter di Pariaman, Sumatera Barat (Civiele en Militaire Kommandant van Pariaman). Dr. Suryadi Sunuri
menulis bahwa ia bertugas di Pariaman selama kurang lebih tiga tahun
(1831-1834) dan menjabat Komandan sipil dan militer hanya satu tahun. J.C.
Boelhouwer lahir pada 14 Mei 1809 di Didam Nederland dan meninggal di Leiden
Provinsi Zuid Holland pada 10 Januari 1883 dalam usia 72 tahun.
Pokok pembahasan tentang
Boelhouwer yang akan dibahas di sini adalah pandangan dan catatannya tentang
orang Minagkabau terutama di daerah Rantau Minagkabau yaitu Pariaman dan
Pasaman, serta beberapa daerah di Tanah Batak. Catatan itu ia tuangkan dalam
bukunya “Kenang-kenangan di Sumatera
Barat selama tahun-tahun 1831-1834. Judul asli: Herrineringen van mijn verblijf op Sumatera Weskust gedurende 1831-1834.
Penerbit, Lembaga Kajian Gerakan Padri 1803-1838, Padang, 2009.
JC Boelhouwer termasuk jajaran
tentara Belanda yang bertugas di “Indonesia” yang menulis catatan selama
bertugas. Catatannya selama bertugas Hindia Belanda terutama di daerah Minangkabau
alias Sumatera Barat, akan menjadi topik tulisan ini.
Boelhouwer adalah Komandan Sipil dan
Militer di Pariaman, Sumatera Barat (Civiele
en Militaire Kommandant van Pariaman) selama 1831-1834. Ia bertugas dalam
rangkaian aksi untuk memadamkan perlawananan rakyat selama perang Padri di
Minangkabau.
Catatan yang ia buat sangat menarik dan ringan, sekaligus menunjukkan sikap
humanis dari seorang serdadu yang berada di garis depan dalam pertempuran.
Sikap ini menurut Suryadi dalam pengantar edisi Indonesia buku Boelhouwer tersebut, disebabkan karena ia adalah pejabat militer tingkat
menengah ke bawah yang tentu saja lebih sering berada di lapangan dan banyak
bergaul dengan penduduk pribumi di mana ia ditugaskan. Boelhouwer pun tak
segan-segan makan bajamba tanpa sendok dan garpu bersama para pemimpin
pribumi. Berikut disarikan beberapa ceritanya tentang orang-orang Padri yang
katanya “Wahabi” itu.
Orang Padri Tak
bercelana Cingkrang
Boelhouwer membagi orang Minangkabau
sesuai dengan kepentingan tugasnya dengan sebutan orang pribumi (Melayu) dan
orang Padri. Pembagian itu agak aneh karena, Boelhouwer menyebutkan orang Padri
itu -sebenarnya
orang melayu juga-.
Katanya, “orang Padri adalah
orang pribumi, tetapi kira-kira 50 tahun yang lalu seorang pemuka agama yang
kembali dari Mekah memberi penerangan bahwa agama yang dianut sekarang sudah
menyimpang dari yang seharusnya dan banyak bercampur dengan agama berhala,
karena itu harus diperbaiki.” Lebih lanjut, Boelhouwer juga menjelaskan asal usul kata Padri. Katanya “pemuka agama dalam bahasa Melayu
dinamakan penduduk Padri.”
Ia juga
membedakan orang melayu dengan Padri. Ia menjelaskan, “Dalam segala hal, orang Padri berbeda dengan orang Melayu.
Pakaiannya lebih sopan, ia malu bercelana pendek seperti orang Melayu.
Celananya sampai ke mata kaki [ternyata
tidak itsbal]. Bagian atas ditutup dengan kain, kepala yang botak ditutup
dengan sorban putih, janggut dibiarkan panjang.”
Perempuan Padri memakai Cadar
Bagaimana
penampilan perempuan-perempuan Padri? Boelhouwer menulis “perempuan-perempuan mereka memakai kudung yang hanya
mempunyai lobang untuk mata. Seluruh badan ditutup dengan kain hitam. Nah, lho? Apakah ada alasan-alasan syar’i
yang menyebabkan perempuan Padri memakai cadar? Secara teori pasti ada. Orang-orang
Padri pasti paham arti aurat dan aneka ketentuan dalam berpakaian.
Tetapi
bagaimana jika alasan mereka menggunakan cadar hanya untuk menjaga perasaan
suami mereka? Simaklah tulisan Boelhower berikut, “Orang Padri sangat cemburu
terhadap istri mereka, karena itu kita hanya menemukan anak dan
perempuan-perempuan tua saja. Orang Padri hanya beristri seorang saja, jadi
tidak seperti orang Melayu (Minangkabau).
Orang Padri
Membawa Tasbih
Tasbih biasanya
digunakan oleh orang Islam untuk menghitung jumlah zikir. Perhatikanlah, “Orang
Padri sangat suka membawa Tasbih. “Tasbih tidak pernah dilupakan dan begitu juga
sembahyang,” kata
Boelhower. Lho, bukankah tasbih itu termasuk yang tidak disukai oleh sebagian
besar faksi keagamaan yang disebut terhubung dengan orang-orang Wahabi?
Tasbih itu
bid’ah kata “orang-orang yang konon dituduh wahabi” oleh orang-orang moderat
dan washatiyah. Alasannya, tasbih bila digunakan untuk pamer kesalehan adalah
haram. Menghitung jumlah zikir juga dianggap sebagai perbuatan tak sopan kepada
Allah, yaitu bersengaja menghitung-hitung kebaikan kepada Allah. Selain itu,
tasbih merupakan benda ritual agama budha, seperti yang dipakai oleh
pendeta-pendeta shaolin.
Orang Padri
Percaya Jimat
Wahai,
Wahabi apa ini? Bolehlah meragukan motif Boelhouwer menulis fenomena ini. Ia
bercerita, “Orang Padri langsung akan kehilangan nyali begitu mengetahui
pemimpin mereka terluka atau terbunuh. Mereka akan kocar-kacir melarikan diri,
walaupun sebenamya mereka hampir mencapai kemenangan.
Menurut
analisa Boelhouwer, hal itu mungkin ada hubungannya dengan kepercayaan di
kalangan orang Padri bahwa seorang pemimpin punya tuah dan kekebalan, dan
apabila si pemimpin itu terkena tembakan musuh berarti kekebalannya hilang dan
itu dianggap sebagai 'hukuman' Tuhan karena ia telah melakukan sesuatu.
Itulah di
antara keunikan dan kadar ke-Wahabi-an yang dapat disimpulkan dari laporan JC
Boelhouwer. Terlepas benar atau tidaknya informasi Letnan Belanda itu, ditakar
sajalah sendiri. Sebagai pembaca, ada baiknya disimak cara orang Minangkabau
menyikapi sebuah berita. Tabik!
Banda urang kami bandakan,
banda urang ampek koto,
gubalo itiak ka batupalano
Kaba urang kami kabakan,
duto urang kami ndak sato,
diambiak sajo nan paguno
----------------------------------------
Tulisan ini sudah dipublikasikan di:
No comments:
Post a Comment