31 October 2019

Menjadi Pewarta Kebenaran


Menjadi Pewarta Kebenaran
Oleh Muhammad Nasir

Berita adalah produk manusia yang paling ditunggu-tunggu sepanjang masa. Apalah jadinya dunia tanpa berita, ibarat jemaah tak berustadz, ibarat kampung orang mati. Tetapi bukan berarti berita adalah segala-galanya. Berita bisa jadi surga dan bisa pula menjadi neraka bagi pembacanya. Berita yang baik itu mestilah mengandung kebenaran, karena ia dapat menenteramkan pembacanya, setidak-tidaknya mengandung kepastian yang besar.

Foto: Suara Kampus
Itu pula-lah yang mesti dicermati oleh Suara Kampus, tabloid mahasiswa paling terkenal di IAIN Imam Bonjol Padang. Dalam kesempatan berbuka puasa yang digelar Suara Kampus (27/08) yang lalu, saya ingin mengatakannya tetapi segan, takut dibilang menghejan tuah. Lebih baik saya tulis saja. Hitung-hitung membayar “hutang” sebagai pembina. Wah!

Waktu itu hampir semua orang memuji kesuksesan alumni Suara Kampus. Ada yang jadi wartawan hebat, diplomat, politisi hebat, pengusaha kaya, PNS dan sebagainya. Saya lalu bertanya, apa iya semua itu karena Suara Kampus? Sebab, dari alumni non-Suara Kampus yang lain juga ada jadi wartawan hebat, diplomat, politisi hebat, PNS dan sebagainya. Entah apa pula sebabnya.


Cuma, jika alumni Suara Kampus ada yang jadi wartawan hebat baru salut dan cap jempol. Jika jadi selain wartawan, baru namanya penyimpangan positif (positive deviance). Sebab kita juga harus mempertimbangkan faktor lain yang membuatnya sukses. Misalnya, latar belakang pendidikan, lingkungan dan pilihan profesi yang diinginkannya. Ada juga ‘kok’, alumni Suara Kampus yang tak ingin jadi wartawan.

Tetapi, dalam tulisan ini, saya ingin fokus pada profesi wartawan. Baik saat orang-orang Suara Kampus menjadi wartawan kampus, hingga kelak menjadi wartawan professional. Saya cuma ingin orang Suara Kampus menjadi pewarta kebenaran.

Dulu sekali, seorang wartawan koran terkenal di provinsi ini pernah mengeluh. Sudah sekian narasumber yang ia wawancarai, tetapi ia merasa belum satupun menemukan kebenaran atau setidak-tidaknya titik terang tentang satu hal. Kebetulan waktu itu ia sedang mencari kebenaran tentang  SK Rektor baru IAIN Imam Bonjol Padang.

Satu pihak ketika diwawancara mengatakan, SK Rektor baru tak kunjung turun karena ada kelompok yang secara rahasia sengaja menjegal, sehingga SK Rektor tak turun-turun. Pihak lain mengatakan draft SK Rektor sudah ada di meja Menteri Agama, tetapi entah bagaimana kelanjutannya wallahu a’lam. Selain dua pihak itu, ada lagi pendapat dari sumber-sumber yang mengulas dari berbagai perspektif, mulai dari analisis akademis hingga gossip politik murahan. Entah sahih entah tidak.

Sang wartawan kebingungan, lalu ia datang ke humas seraya mengeluh, informasi yang mana yang benar? Humas cuma menjawab, yang benar secara de facto dan de jure : SK Rektor memang belum turun! Selain itu, semua pihak, baik yang pro dan yang kontra sedang menunggu Rektor baru. Wartawan itu makin bingung, dan berkata, “Ondeh Pak, kalau cuma begitu awak tau mah.” Keesokan harinya, humas menemukan berita yang menurut ukuran humas bernada sadis, “SK Rektor kabur di meja menteri”.

Cerita usang di atas setidak-tidaknya dapat diambil pelajaran, bahwa kebenaran itu banyak levelnya dan mengandung resiko.

Misalnya, jika ada proses jegal-menjegal, siapakah kelompok penjegal itu? Jika “SK rektor kabur di meja menteri” ia pasti sudah membuat tuduhan, karena berita itu tidak menyebutkan sumbernya. Draft SK rektor tidak mungkin kabur dengan sendirinya tanpa ada orang yang membawa kabur. Kecuali angin di kantor pak menteri bertiup kencang, sehingga draft SK yang mungkin tak sempat dihimpit pak menteri dengan stapler (alat penjepit kertas), jadi  beterbangan.

Ternyata tak ada investigasi, tak ada cerita lanjutan, dan tentu saja berita itu dapat turun derajatnya menjadi fitnah. Wartawan itu tentu tidak begitu serius dengan “proyek kebenarannya”. Entahlah kalau waktu itu ia sudah menyadari kekeliruannya.

Akhirnya humas cuma bisa geleng-geleng kepala, dasar wartawan “tea” (meski di lubuk hati yang paling dalam ada juga keinginan untuk men-tea-kan redakturnya). Bisanya membuat sensasi, tetapi tak berusaha keras mengungkap kebenaran dan tentu saja keadilan.

Jangan Kubur kebenaran

Media massa bukanlah alat potret mekanik yang mampu menampilkan dan menggambarkan suatu realitas apa adanya. Sedangkan foto saja sering diotak-atik sedemikian rupa agar bernilai berita. Ketika ditayangkanpun, foto sering menuai interpretasi yang beragam. Oleh sebab itu, tak salah jika Walter Lippman (1998) mengatakan bahwa pembaca sering menerima realitas palsu, fatamorgana atau lingkungan palsu hasil olahkreatif jurnalis .

Weber (1918-1958) mengatakan bahwa berita bukan lagi semata informasi dan kerja jurnalis, tetapi lebih jauh ia menyebut jurnalis (wartawan) sebagai “politikus profesional”. Semuanya tentu saja di-“framing” di meja redaksi dengan mempertimbangkan aspek “safety first” dan kepentingan media massa itu sendiri.

Beberapa hal di atas bisa dihindari jika media massa kita adalah media massa yang benar, dan wartawan kita adalah wartawan yang benar.

Oleh sebab itu, kepada Suara Kampus, kita cuma dapat berharap agar “kena menceritakan hal-hal yang benar” (meminjam pesan Cik Gu kepada Jarjit Singh, sebuah karakter kartun dalam film Upin & Ipin). Kalaupun harus jadi “politikus professional”, tetaplah berlandaskan kebenaran.

Selain itu jangan pula sampai mengubur kebenaran tanpa memberi tahu di mana gerangan kuburannya. Kemana pula kelak kita akan menziarahinya. Tetapi, sepertinya alumni Suara Kampus, apapun profesinya tetap harus jadi pewarta kebenaran, apakah ia jadi wartawan hebat, diplomat, politisi hebat, pengusaha kaya, ataupun PNS. Sebab, kebenaran adalah mata uang kita semua; Alumni IAIN Imam Bonjol Padang.
[Padang, 24-10-2010]

Muhammad Nasir, 
Pernah Aktif di Suara Kampus (1996-2002)

No comments: