Menjadi
Pewarta Kebenaran
Oleh
Muhammad Nasir
Berita adalah produk manusia yang paling
ditunggu-tunggu sepanjang masa. Apalah jadinya dunia tanpa berita, ibarat
jemaah tak berustadz, ibarat kampung orang mati. Tetapi bukan berarti berita
adalah segala-galanya. Berita bisa jadi surga dan bisa pula menjadi neraka bagi
pembacanya. Berita yang baik itu mestilah mengandung kebenaran, karena ia dapat
menenteramkan pembacanya, setidak-tidaknya mengandung kepastian yang besar.
Foto: Suara Kampus |
Itu pula-lah yang mesti dicermati oleh Suara
Kampus, tabloid mahasiswa paling terkenal di IAIN Imam Bonjol Padang.
Dalam kesempatan berbuka puasa yang digelar Suara Kampus (27/08)
yang lalu, saya ingin mengatakannya tetapi segan, takut dibilang menghejan
tuah. Lebih baik saya tulis saja. Hitung-hitung membayar “hutang” sebagai
pembina. Wah!
Waktu itu hampir semua orang memuji
kesuksesan alumni Suara Kampus. Ada yang jadi wartawan hebat,
diplomat, politisi hebat, pengusaha kaya, PNS dan sebagainya. Saya lalu
bertanya, apa iya semua itu karena Suara Kampus? Sebab, dari
alumni non-Suara Kampus yang lain juga ada jadi
wartawan hebat, diplomat, politisi hebat, PNS dan sebagainya. Entah apa pula
sebabnya.
Cuma, jika alumni Suara Kampus
ada yang jadi wartawan hebat baru salut dan cap jempol. Jika jadi selain
wartawan, baru namanya penyimpangan positif (positive deviance). Sebab
kita juga harus mempertimbangkan faktor lain yang membuatnya sukses. Misalnya,
latar belakang pendidikan, lingkungan dan pilihan profesi yang diinginkannya.
Ada juga ‘kok’, alumni Suara Kampus yang tak ingin jadi wartawan.
Tetapi, dalam tulisan ini, saya ingin
fokus pada profesi wartawan. Baik saat orang-orang Suara Kampus
menjadi wartawan kampus, hingga kelak menjadi wartawan professional. Saya cuma
ingin orang Suara Kampus menjadi pewarta kebenaran.
Dulu sekali, seorang wartawan koran
terkenal di provinsi ini pernah mengeluh. Sudah sekian narasumber yang ia
wawancarai, tetapi ia merasa belum satupun menemukan kebenaran atau
setidak-tidaknya titik terang tentang satu hal. Kebetulan waktu itu ia sedang
mencari kebenaran tentang SK Rektor baru
IAIN Imam Bonjol Padang.
Satu pihak ketika diwawancara
mengatakan, SK Rektor baru tak kunjung turun karena ada kelompok yang secara
rahasia sengaja menjegal, sehingga SK Rektor tak turun-turun. Pihak lain
mengatakan draft SK Rektor sudah ada di meja Menteri Agama, tetapi entah
bagaimana kelanjutannya wallahu a’lam. Selain dua pihak itu, ada lagi
pendapat dari sumber-sumber yang mengulas dari berbagai perspektif, mulai dari
analisis akademis hingga gossip politik murahan. Entah sahih entah tidak.
Sang wartawan kebingungan, lalu ia
datang ke humas seraya mengeluh, informasi yang mana yang benar? Humas cuma
menjawab, yang benar secara de facto dan de jure : SK Rektor
memang belum turun! Selain itu, semua pihak, baik yang pro dan yang kontra
sedang menunggu Rektor baru. Wartawan itu makin bingung, dan berkata, “Ondeh
Pak, kalau cuma begitu awak tau mah.” Keesokan harinya, humas menemukan
berita yang menurut ukuran humas bernada sadis, “SK Rektor kabur di meja
menteri”.
Cerita usang di atas setidak-tidaknya
dapat diambil pelajaran, bahwa kebenaran itu banyak levelnya dan mengandung
resiko.
Misalnya, jika ada proses
jegal-menjegal, siapakah kelompok penjegal itu? Jika “SK rektor kabur di meja
menteri” ia pasti sudah membuat tuduhan, karena berita itu tidak menyebutkan
sumbernya. Draft SK rektor tidak mungkin kabur dengan sendirinya tanpa ada
orang yang membawa kabur. Kecuali angin di kantor pak menteri bertiup kencang,
sehingga draft SK yang mungkin tak sempat dihimpit pak menteri dengan stapler
(alat penjepit kertas), jadi
beterbangan.
Ternyata tak ada investigasi, tak ada
cerita lanjutan, dan tentu saja berita itu dapat turun derajatnya menjadi
fitnah. Wartawan itu tentu tidak begitu serius dengan “proyek kebenarannya”.
Entahlah kalau waktu itu ia sudah menyadari kekeliruannya.
Akhirnya humas cuma bisa geleng-geleng
kepala, dasar wartawan “tea” (meski di lubuk hati yang paling dalam ada juga
keinginan untuk men-tea-kan redakturnya). Bisanya membuat sensasi,
tetapi tak berusaha keras mengungkap kebenaran dan tentu saja keadilan.
Jangan Kubur kebenaran
Media massa bukanlah alat potret mekanik
yang mampu menampilkan dan menggambarkan suatu realitas apa adanya. Sedangkan
foto saja sering diotak-atik sedemikian rupa agar bernilai berita. Ketika
ditayangkanpun, foto sering menuai interpretasi yang beragam. Oleh sebab itu,
tak salah jika Walter Lippman (1998) mengatakan bahwa pembaca sering
menerima realitas palsu, fatamorgana atau lingkungan palsu hasil olahkreatif
jurnalis .
Weber (1918-1958) mengatakan
bahwa berita bukan lagi semata informasi dan kerja jurnalis, tetapi lebih jauh
ia menyebut jurnalis (wartawan) sebagai “politikus profesional”. Semuanya tentu
saja di-“framing” di meja redaksi dengan mempertimbangkan aspek “safety
first” dan kepentingan media massa itu sendiri.
Beberapa hal di atas bisa dihindari jika
media massa kita adalah media massa yang benar, dan wartawan kita adalah
wartawan yang benar.
Oleh sebab itu, kepada Suara
Kampus, kita cuma dapat berharap agar “kena menceritakan hal-hal yang
benar” (meminjam pesan Cik Gu kepada Jarjit Singh, sebuah karakter kartun dalam
film Upin & Ipin). Kalaupun harus jadi “politikus professional”, tetaplah
berlandaskan kebenaran.
Selain itu jangan pula sampai mengubur
kebenaran tanpa memberi tahu di mana gerangan kuburannya. Kemana pula kelak
kita akan menziarahinya. Tetapi, sepertinya alumni Suara Kampus,
apapun profesinya tetap harus jadi pewarta kebenaran, apakah ia jadi wartawan
hebat, diplomat, politisi hebat, pengusaha kaya, ataupun PNS. Sebab, kebenaran
adalah mata uang kita semua; Alumni IAIN Imam Bonjol Padang.
[Padang, 24-10-2010]
Muhammad Nasir,
Pernah Aktif di
Suara Kampus (1996-2002)
No comments:
Post a Comment