08 September 2010

Nasib Pembaca Masih “Malang”

Dari Refleksi Setahun Kepenulisan Sastra di Sumbar :
Nasib Pembaca Masih “Malang”



“Hidup yang tak terperiksa tak layak dijalani”,
- Socrates -


Menulis merupakan keahlian ekslusif manusia sebagai makhluk hidup sekaligus menjadi pembeda (differentia/al fashl) manusia dengan makhluk lainnya. Melalui tulisan manusia dapat mengekspesikan pikirannya, mencatat perjalanan hidupnya bahkan membuat perintah untuk mensejahterakan atau order untuk membunuh sesama manusia. Keahlian eksklusif di sini tidak termasuk keahlian menulis short message service (SMS), status update di jejaring sosial facebook.

Terasa aneh jika ada penulis yang mengaku belum tahu apa sebenarnya tujuannya menulis. Misalnya, Romi Zarman dan Deddy Arsya --dua di antara puluhan penulis muda Sumatera Barat-- saat diskusi “Refleksi Setahun Kepenulisan Sastra di Sumatera Barat” yang dihelat Majelis Sinergi Islam dan Tradisi Indonesia (Magistra Indonesia), Kamis 31/12/2009, mengaku belum dapat menjawab pertanyaan tersebut.

Pertanyaan itu sepertinya wajar diungkapkan, mengingat kenyataan yang sulit dielakkan begitu banyaknya penulis muda Sumatera Barat yang mempublikasikan karyanya di media cetak lokal Sumatera Barat bahkan media cetak nasional. Belum lagi publikasi yang menggunakan media maya semisal koran online berbasis internet atau malah blog pribadi dan komunitas.

Pertanyaan itu juga bisa diharapkan menjadi titik pandang (point of view) untuk menyingkap epistemology gerakan kepenulisan sastra di Sumatera Barat. Apakah booming tulisan, karya sastra dan penulis muda itu pertanda baik bagi dunia intelektualitas Sumatera Barat, atau malah menjadi bentuk “kegenitan intelektual” kaum muda Sumatera Barat agar disebut cendikiawan, sastrawan, budayawan dan segenap julukan keren lainnya?

Atau, mungkin saja ada motif yang menurut Abraham Maslow sebagai kebutuhan aktualisasi diri semisal hasrat unjuk kepandaian demi mengungkap kebodohan yang lain? Kemungkinan lainnya, media massa tidak punya pilihan, di saat kemarau panjang di ranah kepenulisan Sumbar, berpuluh kecambah penulis yang tumbuh dibiarkan tampil seraya menunggu alam menyeleksi siapa yang bertahan [menurut Engku Charles Darwin] “Survival of the fittest.”
Problem Komunitas
Lazimnya sebuah gerakan, tentu lahir dari sebuah ide untuk berbuat sesuatu dalam rangka mencapai maksud tertentu. Jika boleh disebutkan maraknya komunitas-komunitas kepenulisan sebagai sebuah gerakan, sebut saja; Komunitas Daun, Komunitas Kandang Padati, Komunitas Ruang Sempit, Komunitas Ilalang Senja, dan komunitas lainnya yang tak dapat tersebut saking banyaknya, maka sebenarnya idea apa yang tengah diperjuangkan oleh para aktivis komunitas tersebut?

Apakah mereka sedang mengurung diri mereka, mengikat tangannya dengan tali keyboard Komputer dan mematri pantatnya ke kursi atau malah ke lantai agar makhluk yang bernama “imajinasi” turun ibarat embun ke dalam kepala penulis di komunitas-komunitas tersebut? Lalu embun imajinasi itu menumbuhkan kata-kata yang dapat dilihat di monitor computer, dicetak atau soft copy-nya dibawa ke internet, send to email redaktur surat kabar. Setelah itu patut pula mereka disebut sesuai corak tulisannya. Si penulis cerpen disebut cerpenis, si penulis syair disebut penyair, dan si tukang kritik disebut kritikus.

Jika seperti ini prosesnya yang mereka sebut proses kreatif, maka tidak ada gunanya sama sekali. Meskipun banyak karya yang telah dilahirkan, maka secara tak sadar mereka telah meracuni masyarakat dengan imajinasi penghuni alam malakut yang keberadaannya ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berurat dan di tengah-tengah digirik kumbang. Jika digunakan bahasa Max Horkheimer dan Theodor Adorno (penjaga Sekolah Frankfurt) karya mereka “tidak berbeda dari para pinatang totemic, mimpi-mimpi ahli peramal hantu” dan sedikit tambahan pen-gonani ide yang sok absolute.

Semestinya, (meski ini sebuah tawaran) sebuah gerakan itu harus tumbuh dari kesadaran universal yaitu pembebasan manusia dari sifat-sifat hantu belau, ahli mitos dan bahkan dari peramal selegendaris Nostradamus sekalipun.

Dalam tataran praksis, kesadaran tersebut juga mesti menggambarkan proyeksi dari dari alam subyektif. Alam subjektif tersebut adalah kenyataan yang mesih tercecer di masa lalu, kenyataan kesekarangan dan kedisinian di area kreatifitas penulis dan proyeksi kenyataan yang mungkin di masa datang.

Sayangnya, dari banyak karya sastrawan (utamanya cerpen dan puisi) yang muncul di media massa justru menuai kekecewaan dari kalangan pembaca. Dari segi isi (content) nyaris berupa pengulangan (repetisi) dari realitas yang juga terceritakan dalam tradisi lisan. Boro-boro menemukan ideology atau mazhab tertentu dalam kepenulisan. “Alamaaak!”


Mencoba memahami

Agar tak terlalu jauh mencak-mencak atau “menghajan tuah” sebagai pembaca saya mencoba memahami gejala booming penulis [tentu saja termasuk karya] di Sumatera Barat. Memahami dalam bahasa keren sosiologi disebut versetehen. Theodore Abel mendefinisikan verstehen sebagai proses yang bertolak pada penerapan pengalaman personal pada perilaku yang teramati. Kita bisa dikatakan memahami sebuah keberhubungan antar perilaku yang teramati jika kita mampu mencari garis paralelnya dengan sesuatu yang kita ketahui lewat introspeksi atau observasi diri.

Sedikit berteori agar tak sesat, verstehen bukan metode verifikasi melainkan semata bantuan heuristik untuk mengkonstruk, memeriksa dan menggunakan hukum statistik sehubungan dengan sekuensi perilaku yang teramati (tulis Donny Gahral Adian: 2003)
Sesuatu yang saya ketahui dari penulis dan karya-karyanya adalah lemahnya interaksi penulis sastra Sumatera Barat (terutama rekan penulis muda) terhadap realitas sosial, utamanya isu-isu terkini (current issues) yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Sayang sekali, tidak banyak sastrawan muda kita yang sudi menulis dalam tema atau peristiwa besar seperti reformasi, korupsi, trafficking, demokrasi bahkan hingga kasus Bank Century. Sejatinya, tentang tema, besar atau kecil, sepele atau penting memang suatu pilihan, tetapi tidak dapatkah sastrawan kita mempertaruhkan keahlian menulisnya dalam ragam tulis yang sastrawi?

Kata ilmuan sosial, realitas sosial bukan realitas fisik,tetapi ia dapat dirasakan. Tentu saja, sastrawan apakah ia muda atau berpengalaman pastilah pelaku sosial. Realitas sosial mestilah harus dihayati oleh para pelakunya.

Kalangan pembaca pun wajar menggugat, pascamembaca karya sastrawan di media masa, mereka terpaksa harus mengukur realitas sosial yang terstruktur secara maknawi dalam karya bahkan dalam alam batin penulisnya. Bukankah makna itu berada di relung terdalam batin yang tak terjangkau pengukuran kuantitatif? Bagaimana para pembaca bisa menarik sebuah maksim sosial dari sesuatu yang subjektif sifatnya? Akhirnya terpaksalah pembaca mengabstraksi perilaku sosial sastrawan dalam satu konsep pilihan rasional (rational choice) yaitu menimbang bobot karya seraya melihat cara hidup para penulisnya yang kebanyakan mahasiswa, mantan mahasiswa yang hidup soliter, jikapun berkawan-kawan terbatas dalam satu komunitas yang eksklusif dan “cendrung tinggi hati!”

Menimbang Pembaca

Sedikit kecewa dengan pernyataan Papa panggilan akrab Rusli Marzuki Saria yang juga menjadi pembicara dalam refleksi di Surau Magistra Indonesia di Jalan Bandes Parak Jigarang malam atau pagi itu. Papa mengatakan “sastrawan harus sombong” dan tak terbujuk dengan “hek hok” pembaca. Tapi yang saya maksud adalah bagaimana para sastrawan menulis cerpen, sajak atau ragam sastra lainnya untuk kalangan “orang besar”, kelas menengah ke atas. Tujuan saya tak lain agar karya sastrawan Sumatera Barat itu dapat dihargai dan menjadi besar.

Toh kenyataannya, saat ini para pembaca sastra tinggi memang datang dari kalangan melek sastra semata. Jika sastrawan muda Sumbar tak mencobal menulis hal-hal yang besar, saya khawatir dahaga sastra pembaca hanya terpuaskan oleh karya kacang goreng. Saya sendiri misalnya, lebih baik membaca Tikam Samurai ‘Oom Makmur Hendrik yang dimuat bersambung di Harian Singgalang atau menonton sinetron cengeng saja di rumah.

Itulah sebabnya, saya menganggap penting sebuah riset terhadap alam pikiran pembaca supaya karya sastra tersebut dapat diterima dan dibaca dengan baik. Ini lebih baik dari pada penerbit atau pihak industri kata-kata yang melakukannya, karena kepentingannya tentu saja bisnis.

Riset ini dapat menjadi jembatan mengatasi keganjilan hubungan dan ketimpangan pengetahuan antara sastrawan dengan membaca. Sebagai ilustrasi, dapat saya ceritakan sebuah kasus yang matan-nya diperoleh dari seorang teman; “ketika seorang pengendara sepeda motor yang tidak pakai helm atau tidak memakai kaca spion, adalah seorang doktor, ditangkap oleh polantas yang tamat SMA, maka benturan kualitas SDM akan tampak ganjil. Saya tidak ingin relasi penulis-pembaca menjadi suatu yang timpang dan hanya asyik didebatkusirkan di atas “syahwat ego kuasa otoritas.”

Sebagai pembaca inilah yang dapat saya sumbangkan. Jangan pula saya digertak dengan kata-kata “jangan hanya menceracau, mana karya sastra anda!”. Padahal jelas-jelas saya pembaca bukan sastrawan! Tabik…


Muhammad Nasir,
Pembaca Sastra tinggal di Magistra Indonesia