10 October 2023

Percakapan Yang Meresahkan Dunia

Oleh Muhammad Nasir

Pagi-pagi sekali, kabut asap sudah menyungkup kota. Memeluk erat-erat warga agar tetap bertahan dalam kemalasan. Berdiam dalam rumah dan bilik pribadi sekiranya lebih aman dari pada menghisap jerebu yang menyesakkan dada. Kabut asap dapat memperburuk asma dan penyakit paru kronis lain, seperti bronkitis kronik, kata orang ahli. 

Engku Emir el Majanin sepagi itu sudah bersiap-siap. Memilih baju paling pantas untuk berpikir santuy. Setelan sarung asli negeri Wakanda, baju kaos polos dan kemeja lengan pendek yang semua kancingnya sengaja dibuka. 

“Ini sekadar menutupi bahwa aku ini orang gila,” batin Engku Majanin. 

Setelah berkaca sepuasnya, Engku Majanin tersenyum tipis. Semakin lama gila, ia merasa semakin bersih dan cemerlang. Ia kemudian berjalan ke teras dan duduk menatap bukit yang berselendang kabut. 

 “Gawat Engku, semalam ada lagi orang gila yang masuk!” kata seorang pria kepada Engku Majanin. 

Engku Majanin menoleh sesaat kepada orang itu. Usai tersenyum tipis ia hanya menjawab, “Apakah yang engkau cemaskan? Bukankan ini adalah tempat bagi orang-orang gila?” 

“Benar Engku, aku baru sadar bahwa ini adalah rumah sakit jiwa,” jawab pria itu sambil terkekeh. 

“Engkau macam tak tahu saja. Orang yang baru gila biasanya memang begitu. Belagak, merasa sok paten, petantang petenteng. Aku yang sudah lama gila, biasa-biasa saja kok,” kata Engku Majanin 

 “Iya pula engku. Agaknya, orang baru kaya, baru berkuasa, baru berilmu dan baru beragama juga begitu. Merasa paling kaya, paling berkuasa, paling berilmu dan paling takwa. Hahaha…” 

“Husy…kemana pula perginya itu. Marah mereka nanti,” balas Engku Majanin. 

 “Tapi benar juga katamu, merasa paling gila itu memang meresahkan. Begitu juga merasa paling kaya, paling berkuasa, paling berilmu dan paling beragama.” Engku Majanin sepertinya sepakat dengan pendapat pria itu. 

 “Sepertinya engku, saya dapat membuat kesimpulan, bahwa kata kunci kegilaan itu adalah “merasa paling” dan “perbuatan meresahkan,” benar begitu engku?” pria itu meminta pendapat Engku Majanin. 

“Terserah kau lah, buyung. Aku mau minum obat dulu!” jawab Engku Majanin seadanya. 

Anda yang merasa waras pasti bisa bayangkan bagaimana suasana yang terbangun dalam percakapan itu. Bagaimana setting tempat yang pas dan apa properti yang tersedia di area teras percakapan itu. Bagi anda yang ingin membuat film pendek, bisa menggambarkan percakapan itu sifilmis mungkin. 

*** 

19 September 2023

Gembel Politik

Gembel Politik 

Oleh Muhammad Nasir 

 

Istilah "orang gembel" adalah frasa yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrem atau kurang mampu secara finansial. Biasanya, orang gembel tidak memiliki tempat tinggal tetap, tidak memiliki pekerjaan yang stabil, dan seringkali bergantung pada bantuan sosial atau sumbangan dari orang lain untuk bertahan hidup. 

Kondisi orang gembel dapat sangat sulit, dan mereka mungkin menghadapi berbagai masalah seperti kelaparan, kekurangan pakaian, masalah kesehatan, dan ketidakstabilan sosial. Penting untuk dicatat bahwa banyak orang yang terjebak dalam kondisi seperti ini mungkin memiliki masalah yang lebih dalam seperti masalah kesehatan mental, kecanduan, atau pengalaman traumatis. 

Seringkali, istilah "orang gembel" digunakan dengan konotasi negatif atau merendahkan, tetapi penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki kisah dan tantangan hidup mereka sendiri. Banyak organisasi dan individu bekerja untuk membantu orang yang menghadapi kondisi tersebut dan memberikan dukungan kepada mereka untuk mendapatkan kembali stabilitas dalam hidup mereka.  

15 August 2023

Konten Cemeeh Politisi Receh

Konten Cemeeh Politisi Receh* Muhammad Nasir
Main-mainlah ke media sosial dan lihat akun-akun politisi Indonesia. Banyak ditemukan pesan-pesan receh, bernada olok-olok, dangkal dan cendrung menunjukkan rendahnya kadar moral dan intelektual. Tak heran, banyak netizen yang kemudian menyerbu postingan politisi itu, meninggalkan komentar pro dan kontra. Kontennya dapat berupa cemeeh terhadap orang-orang , komunitas, agama, atau gagasan tertentu.
Media sosial sepertinya memang dunia artificial, semu dan palsu. Bisa jadi pesan receh dan olok-olok dari politisi itu mungkin sekadar main-main atau mungkin juga memiliki tujuan tertentu. Hanya saja, meski itu hanya “dunia bauru-uru”, istilah Bobby Lukman Piliang, seorang pegiat media sosial, konten remeh bin receh itu dapat pula diukur kadar kepatutan dan kepantasan untuk menyiarkannya ke media sosial. Apalagi, politisi sebenarnya bukanlah pekerjaan receh dan remeh temeh. Politisi adalah persona publik yang terikat etika politik dan mesti memiliki integritas yang baik.
Politisi merupakan aktor penting dalam sistem politik Indonesia. Perilaku politisi akan mencerminkan bagaimana sistem dan budaya politik Indonesia. Politisi yang baik secara ideal mencerminkan adanya budaya politik yang baik. Sebaliknya politisi yang buruk juga mencerminkan budaya politik yang buruk pula. Sebagai pengecualian, politisi yang baik mungkin dapat hadir dalam budaya politik yang buruk dan politisi buruk mungkin tidak berterima dalam budaya politik yang baik.
Franz Magnis Suseno, dalam bukunya Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern (1994), menuliskan bahwa etika politik di sini selain terkait dengan perilaku elit politik, tapi juga terkait pandangan tentang manusia dan kekuasaan, serta sangat terkait dengan hukum dan kekuasaan. Menurutnya, fungsi etika politik adalah untuk mengkritisi legitimasi politik secara rasional, objektif, dan argumentatif, juga sebagai pandangan normatif bagi politisi untuk melaksanakan kekuasaan secara bermartabat.
Tentang konten cemeeh
Cemeeh adalah kosa kata Minangkabau yang sudah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Dalam KBBI, cemeeh diartikan sebagai perbuatan berupa ejekan, hinaan dan cemooh. Dalam kultur masyarakat manapun, mencemooh, mengejek dan menghina merupakan perbuatan yang tidak sopan dan tidak beretika.
Terkait postingan yang berisi konten cemeeh dan olok-olok yang dibahas pada awal tulisan ini, dapat dinilai sebagai sebuah perbuatan tercela dan tidak patut. Apalagi jika menggunakan kata-kata umpatan, kata-kata kotor, kasar, ucapan jorok, sumpah serapah, caci-maki, tidak senonoh, sadis dan rasis. Ungkapan-ungkapan itu dalam kultur bahasa Indonesia adalah ungkapan bahasa yang secara sosial bersifat ofensif, menghina, menistakan, atau merendahkan orang lain.
Dikaitkan dengan pendapat Suseno tentang etika politik, konten cemeeh dan olok-olok para politisi itu menunjukkan kadar rasionalitas, objektifitas, dan kemampuan argumentatifnya. Rasionalitas menjadi alat untuk menakar kemampuan penggunaan akal budinya. Objektifitas adalah kerangka berpikir yang menunjukkan kematangan mental dan emosialnya sehingga ia dapat berkonsentrasi pada substansi objek yang ia pikirkan tanpa perasaan atau emosi. Sementara, kemampuan argumentatif adalah kecakapan menyampaikan pendapat disertai dengan data dan fakta yang nyata.
Politisi yang suka melakukan tindakan cemeeh dan olok-olok dapat disebut sebagai politisi receh, rese, remeh temeh yang menyampaikan gagasan secara bagarebeh tebeh. Garebeh tebeh dalam bahasa Minang berarti tidak rapi. Varian lainnya adalah garosoh posoh (terburu-buru). Terma garebeh tebeh menunjukkan cara berpikir yang tidak sistematis dan asal-asalan. Garosoh posoh menunjukkan cara berpikir yang oversimplikasi dan asal bunyi. Oleh sebab itu, politisi receh adalah sejenis politisi “muncung buruk” yang gemar menyampaikan pesan yang superfisial (tidak berbobot), dangkal, tidak substansial dan cenderung mengada-ada.
Fenomena politik cemeeh dan olok-olok yang marak di akun media sosial politisi itu, menunjukkan kegagalannya dalam berpikir dan menampilkan sikap mental yang baik. Setidaknya, perbuatan itu menunjukkan ketiadaaan niat untuk mendidik dan mencerdaskan publik. Apalagi jika itu ditujukan untuk mengeksploitasi emosi massa lewat pernyataan cemeeh dan olok-olok.
Krisis Kewibawaan
Kewibawaan (charismatic) merupakan salah satu syarat kepemimpinan. Pemimpin kharismatik menurut Al Mawardy, pemikir politik Islam dalam bukunya Adab al Dunya wa al Din (1879 M) menyebut enam sendi dalam menegakkan negara. Salah satunya adalah penguasa kharismatik. Menurutnya, kekuasaan yang berwibawa terlahir dari pemimpin yang bijak. Seorang pemimpin atau penguasa harus mempunyai kharisma berwibawa, dan dapat diteladani. Dengan wibawanya, ia punya otoritas yang melekat pada dirinya yang dapat menjadi pemersatu bagi aspirasi-aspirasi masyarakat yang berbeda.
Konten cemeeh dan olok-olok para politisi tersebut tentu berpotensi menurunkan wibawa, kharisma dan otoritas dirinya sebagai tokoh publik. Apalagi bila konten itu membuat masyarakat terpecah belah dan saling bermusuhan. Selain cap sebagai politisi receh, jatuhnya wibawa akan membawa kepada ketidak percayaan publik terhadap dirinya. Colcuitt (2007) mengatakan orang dipercaya karena tiga hal, yaitu karena kemampuan, kebajikan (reputasi) dan integritas, ditambah dengan pengaruh situasional yang ada di dunia politik.
Tscannen-Moran & Hoy (2000) mengatakan reputasi politisi dibentuk oleh perilaku politisi (karakteristik personal) dan lingkungan (iklim politik dan media massa). Khusus tentang media sosial, memiliki peran penting dalam pembentukan kepercayaan terhadap politisi. Media menyediakan informasi yang digunakan individu dalam proses terbentuknya kepercayaan. Jangan coba-coba berolok-olok tentang makanan di tengah publik yang sedang lapar, atau berjoget ria saat publik sedang berduka.
Kepercayaan terhadap politisi merupakan kepercayaan interpersonal yang bersifat tipis saja (thin interpersonal trust), kata Khodyakov, (2007). Oleh sebab itu, prilaku personal politisi akan sangat mudah mengubah kepercayaan publik kepada dirinya. Dengan hanya menyediakan batas yang tipis, publik akan mudah memutuskan percaya atau tidak percaya kepada seorang politisi. Syukur saja kalau itu hanya sebatas percaya atau tidak percaya. Andai saja rasa tidak percaya itu berlanjut kepada bentuk tindakan verbal, ia akan dicaci maki. Jika dalam bentukan tidak verbal, mungkin dia akan ditelanjangi publik di keramaian. Ya, sebuah kemungkinan.
*Sudah dipublikasikan di Harian Haluan, 7 Desember 2022

10 February 2023

Wabah Politik Muncung Buruk

Muhammad Nasir Pengajar Sejarah pada Fakultas Adab dan Humniora UIN Imam Bonjol Padang Bagi yang sudah membaca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasti sudah terbiasa mendengar istilah ujaran kebencian (hate speech). Dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa hate speech berkisar sekitar penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ujaran Kebencian (hate speech) bisa berupa perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Pelakunya boleh jadi masyarakat biasa, tokoh masyarakat, politisi hingga pejabat publik. Tindakan mereka seringkali memberi goncangan dan suasana gaduh di tengah masyarakat. Sayang sekali, dalam banyak kasus pelakunya justru hanya dituntut melakukan permintaan maaf. Istilah warganet, persoalan itu akan berakhir di atas kertas bermaterai 10 ribu. Padahal, mengingat maraknya kasus-kasus hate speech ini, diperlukan tindakan hukum yang tegas seperti dimuat pada pasal 45 ayat 2 UU ITE, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Tentu saja ini diperlukan untuk memberikan efek jera sekaligus sebagai pernyataan perang terhadap prilaku “muncung buruk” masyarakat kita. Selain prilaku hate speech, ada lagi fenomena yang tak kalah mengkhawatirkan, yaitu prilaku hate spin.
Hate Spin adalah ujaran kebencian yang berisi hasutan dan propaganda hitam.
Lingkar kebencian ini biasanya berkisar sekitar tema keagamaan dan politik, kata Cherian George (2016), dalam bukunya Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy. Tentang Hate Spin Secara teoritis istilah putaran kebencian (hate spin) ini berpijak pada pemikiran sosiologi politik tentang politik kontroversial (contentious politics) yang dikonstruksi oleh McAdam, Tarrow, & Tilly, (2001). Politik jenis ini menghendaki adanya gerakan protes dalam bentuk tindakan kolektif kontroversial yang melibatkan kerja ideologis. Pemimpin gerakan ini sudah pasti terlibat dalam pembingkaian budaya (cultural framing) dan intervensi kognitif (cognitive interventions) untuk membangun dukungan politik dari solidaritas kelompok yang dikelolanya (Benford & Snow, 2000) Menurut Gamson (2013) gerakan ideologis ini sering membingkai ketidakadilan (injustice frames) dengan menggunakan simbol-simbol yang membangkitkan rasa marah suatu komunitas. Hasutan kebencian itu menurut George sering digunakan oleh para politisi untuk memobilisasi pendukung atau massa untuk menyerang kelompok sasaran. Biasanya hasutan kebencian akan digunakan dalam suatu ajang pemilihan umum. Penjelasan pakar di atas menunjukkan bahwa hasutan kebencian ini merupakan gerakan terstrutur, memiliki pemimpin dan memiliki tujuan. Oleh karena dampaknya yang negatif, politik kebencian ini tentu sesuatu yang buruk untuk perkembangan demokrasi dan dapat memecah belah masyarakat. Apalagi menurut Cherian George, dalam hasutan kebencian ini, politisi nasional berada di puncak paling atas dari gerakan ini. Jika itu di Indonesia, coba catat saja dulu siapa orangnya. Proses politik kebencian sebagai sebuah gerakan tidak hanya berlangsung satu arah, bisa karena tergerak oleh hasutan kawan (offence-giving), dan bisa pula sebagai reaksi terhadap hasutan dari pihak lawan (offence-taking). Gabungan dua strategi inilah yang disebut George sebagai hate spin. Dengan menggabungkan metode hate spin dan hate speech pemilik gerakan ini bermaksud memicu kemarahan dan ketersinggungan (vilification atau offence-giving) dari kedua belah pihak. Hindari Politik Muncung Buruk Praktik paling nyata dan masif dari gerakan para hate spinners adalah melalui ujaran-ujaran buruk. Melalui pemelintiran dan plesetan terhadap suatu yang dianggap sakral oleh sebuah komunitas. Baik itu berupa simbol-simbol agama, kelompok etnis, komunitas tertentu atau imagi sebuah komunitas tentang sosok pemimpin yang ideal. Ironisnya hal ini justru dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Keadaan ini boleh disebut sebagai sebuah wabah politik muncung buruk. Sebagai contoh, Senator Texas Ted Cruz pernah menggemakan retorika Islamofobia (Duss, et al., 2015) selama pemilihan pendahuluan Partai Republik. Ia menyerukan penegakan hukum yang ditingkatkan “untuk berpatroli dan mengamankan lingkungan Muslim sebelum mereka menjadi radikal” (Zezima & Goldman, 2016). Atau serupa seruan sensasional Donald Trump untuk larangan Muslim memasuki Amerika Serikat merujuk pada survei yang menunjukkan bahwa Muslim Amerika bersimpati kepada teroris (Carroll & Jacobson, 2015). Politisi nasional seperti Cruz dan Trump cukup menggunakan prinsip kata-kata yang minimalis dan ekonomis telah membenarkan dan mendorong diskriminasi dan kejahatan kebencian terhadap Muslim. Mungkin dalam kasus Indonesia, praktiknya agak berbeda. Para politisi yang jadi aktor puncak dalam kegiatan politik terlihat baik dan santun. Namun peran sebagai hate spinners justru diberikan kepada kelompok tertentu yang belum tentu punya intensi dalam bidang politik dan tidak begitu peduli dengan masa depan demokrasi. Pada umumnya itu dilakukan oleh para pendengung (buzzer), penyebar narasi (influencers) berbayar atau pendukung garis keras (die hard followers) yang bertindak atas kesukarelaan. Kebanyakan beroperasi di media sosial. Di dunia nyata agaknya tak bernyali mereka itu. Takut dihakimi massa dan pulang dengan bibir pecah seribu. Sebanarnya tidak terlalu sulit mendeteksi gerombolan hate spinners ini. Senjata yang paling sering digunakan di media sosial adalah kata-kata kasar, jorok dan rasis. Kata-kata itu bisa saja diiringi dengan manipulasi citra digital (meme, gambar). Hal ini oleh Hamilton (2012) disebut sebagai agresi bahasa (verbal agression). Secara kasat mata, melalui agresi bahasa dapat diprediksi siapa pelakunya, kepada siapa ditujukan dan untuk kepentingan apa dan siapa kata-kata itu dimunculkan. Nama kerennya memang Hate Spin. Tetapi tidak begitu sulit memahami dalam konteks Indonesia. Inilah politik adu ayam, atau boleh juga disebut politik adu kawan dengan lawan. Boleh disebut pelaku atau politisi yang menggunakan cara ini sebagai jalan politiknya sebagai pemutar mesin hasutan (hate spinners) alias tukang adu domba. Politisi busuk yang menghalalkan segala cara untuk meraih ambisinya. Politik hasutan kebencian ini akan menimbulkan rasa curiga dan was-was terhadap orang atau kelompok tak sehaluan politik dalam jangka waktu yang panjang. Maka, akan ber-lego pagai-lah masyarakat yang pada dasarnya memang tak sehaluan politik untuk jangka waktu yang lama. Akhirnya, dapat dipahami mengapa sejak beberapa edisi pemilihan umum baik level legislatif hingga eksekutif, masyarakat Indonesia jadi rusak interaksi personal atau interaksi sosialnya. Tak banyak yang perlu dilakukan jika ingin terhindar dari pecah belah dan saling curiga. Yaitu mengindari aktivitas yang menjadi tanda-tanda politik muncung buruk ini. Bila memungkinkan adakan sebuah kaukus perlawanan terhadap politik muncung buruk ini. Jika itu di media sosial, perlu melaporkan akun-akun tersebut dengan menggunakan fasilitas yang ada di platform medsos itu. Sudah diterbitkan di Harian Haluan EDISI: 042, TAHUN KE-75 20 Rabiul Akhir1444 H SELASA, 15 NOVEMBER 2022