20 February 2020

Nostalgia Sumando


Oleh Muhammad Nasir
sudah dimuat di 


Orang Minangkabau menganut sistem residensi matrilokal. Bila seorang laki-laki telah menikah, ia akan tinggal di rumah keluarga istrinya. Statusnya di dalam keluarga istrinya adalah orang datang atau sumando. Ia sama sekali tidak mempunyai hak atas harta kaum yang ada di bawah penguasaan istrinya. Si suami tetap sebagai anggota kaum dari suku ibunya, dan si isteri tetap sebagai anggota kaum dari suku ibunya juga. Jadi masing-masing pihak tetap merupakan anggota dari kaum masing-masing. Begitulah adanya.

Sistem perkawinan ini menuai perdebatan di kalangan masyarakat Minangkabau. Tapi,  eskalasi perdebatan tidak terlalu tajam, sebab pantang bagi masyarakat Minangkabau memperdebatkan hal ini di ruang publik. Meskipun demikian, suasana kebatinan masyarakat Minangkabau tidak dapat menyembunyikan ini. Kadang isu ini muncul dalam berbagai peristilahan dan pantun-pantun satire.

Beberapa kritik terhadap pola residensi matrilokal ini antara lain tentang tugas laki-laki minangkabau sebagai suami dan ayah, ketidak jelasan pekerjaan di rumah keluarga istrinya, hubungan dengan pambayan, konflik antara ayah dengan mamak.

04 February 2020

Menelusuri Minangkabau di Museum Nasional


Menelusuri Minangkabau di Museum Nasional
Laporan Diskusi Dosen




Koleksi Museum Nasional selama ini tertutup untuk diakses masyarakat. “Padahal banyak sekali sumber primer sejarah lokal dan sejarah nasional,” kata Alfa Noranda Arkeolog Museum Nasional Indonesia pada diskusi dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, Kamis (2/1/2020).

Sederhananya saja masalahnya, “dulu sumberdaya manusia yang akan mengelolanya belum tersedia,” kata Noranda. Sekarang sudah ada perhatian di kementerian kebudayaan. Untuk mengelola koleksi museum yang banyak, termasuk naskah-naskah dan arsip bersejarah sudah disediakan tenaga ahli yang mengerti urusan sejarah, naskah arsip dan ilmu-ilmu lainnya.

Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum Gajah, yang terletak di Jakarta Pusat dan persisnya di Jalan Merdeka Barat 12. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara.  Museum ini berdiri 24 April 1778. Namanya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Berdasarkan permendikbud Nomor 28 tahun 2015 tentang organisasi dan tata kerja Museum Nasional, koleksi Museum Nasional disebut sebagai benda budaya berskala nasional. Jumlah koleksi Museum Nasional pada saat ini ± 142.000 koleksi yang beraneka jenis. koleksi prasejarah, koleksi arkeologi, koleksi etnografi, koleksi numismatik, koleksi geografi, koleksi keramik dan koleksi relik sejarah.

Noranda menyebut, koleksi yang tampak dan ditampilkan ke publik baru sekitar lima belas persen. Informasi dari situs resmi nasional beberapa koleksi yang ditampilkan adalah koleksi masterpiece yang sangat dikenal dunia. Misalnya Arca Prajnaparamita, Arca Bhairawa, keramik, Jogan, keris Riau Lingga, prasasati Yupa, mahkota Banten, kain Geringsing dan lain-lain. Koleksi masterpiece itu  seringkali dipinjam oleh negara lain untuk dipamerkan di negaranya.


Arsip Minangkabau di Museum Gajah
Salah satu masterpiece Museum Nasional berasal dari Minangkabau. Begitu masuk museum orang Minangkabau pasti akan berhadapan dengan Archa Bhairawa dari abad ke-14. Patung bertinggi 41,4 meter itu merupakan perwujudan Adityawarman, Raja Pagaruyuang, Minangkabau. Patung seram ini berupa laki-laki berdiri di atas mayat dan deretan tengkorak. Di tangannya  terpegang cangkir juga terbuat dari tengkorak. Patung ini yang ditemukan di Padang Roco, Dharmasraya tahun 1935 Sumatra Barat. Tapi itu koleksi arkeologi. Lain lagi ceritanya dengan arsip.

Minangkabau termasuk wilayah yang aktif dan sering dicatat oleh Belanda. Selama 4 abad aktivitas Belanda di wilayah ini tentu saja menyediakan bahan dan sumber sejarah berharga bagi penulisan sejarah Minangkabau.

Mayoritas koleksi arsip Museum Nasional tentang Minangkabau bersumber dari arsip pemerintah kolonial Belanda dan catatan-catatan para sarjana Belanda. Semua itulah yang menjadi basis arsip sejarah Minangkabau yang bersumber dari catatan pemerintah kolonial dan peneliti serta sarjana Belanda.


“Belanda sudah mencatat aktivitasnya selama ratusan tahun. Lebih jauh lagi, Belanda sudah meneliti Minangkabau sejak ratusan tahun pula,” kata Noranda, putra Binuang Kampuang Dalam ini. Itulah sisi lain penjajahan yang berdampak terhadap kesediaan sumber sejarah.

Sebagian besar koleksi itu memang berbahasa Belanda. Tentu saja dibutuhkan keahlian khusus untuk membacanya. Selain sumber berbahasa Belanda, perpustakaan Museum Nasional juga menyediakan koleksi beraksara Arab Melayu, Inggris dan Bahasa Arab.

Koleksi-koleksi ini sekarang sudah dapat dibaca online di https://www.museumnasional.or.id. Untuk koleksi Minangkabau bisa dicari dengan mengetikkan kata kunci Menangkerbau atau Padangsche. Kata kunci itu mengikuti ejaan dari penulis pada masa itu. “Belanda sering menggunakan Menangkerbau atau Padangsche dalam dokumen-dokumennya” kata Noranda. 

Di Akhir diskusi ia menjelaskan, masih ada 7000-an naskah yang akan ditayangkan di laman resmi museum nasional. Namun tentu saja dalam waktu yang agak lama. “kita bermasalah dengan jumlah sumber daya. Saat ini hanya ada empat orang tenaga yang mengerjakan digitalisasi naskah ini. Sebagiannya juga saya kerjakan di rumah.” [Muhammad Nasir]

Dinasti Ayyubiyah (1171-1254 M)


PERADABAN ISLAM
MASA DINASTI AYYUBIYAH (1171–1254 M)[1]
Oleh: Muhammad Nasir[2]




Pendahuluan
Dinasti Ayyubiyah atau Bani Ayyubiyah (al-Ayyūbīyūn) adalah sebuah dinasti Muslim Sunni beretnis Kurdi. Kurdi adalah sebuah kelompok etnis di Timur Tengah, yang sebagian besar menghuni di suatu daerah yang kemudian dikenal sebagai Kurdistan, meliputi bagian yang berdekatan dari Iran, Irak, Suriah, dan Turki. Orang Kurdi adalah orang-orang Iran dan berbicara dalam bahasa Kurdi, yang merupakan anggota bahasa Iran cabang dari Indo-Eropa.[3]
Sekarang, etnis Kurdi menyebar di banyak negara, di antaranya Mesir, Irak, Israel, Yordania, Lebanon, Libya, Palestina, Arab Saudi, Sudan, Suriah, Tunisia, Turki dan Yaman. Problema Kurdi kontemporer adalah kisah suku bangsa tanpa negara. Mereka tak memiliki wilayah yang berdaulat. Wilayah yang mereka sebut sebagai Kurdistan bukanlah sebuah negara resmi yang diakui dunia.
Di masa lalu, bangsa Kurdi pernah mengalami masa jaya. Tercatat beberapa dinasti berbangsa Kurdi yang sempat menderikan kekuasaan pemerintahan sendiri. Di antaranya, al-Barzuqani, (348-406 H/959-1015 M), Abu 'Ali, (380-489 H/990-1095 M), serta yang paling signifikan kekuasaannya yaitu dinasti al-Ayyubiyyah, (564-648 H/1167-1254 M).[4]
Untuk dinasti al Barzuqani belum ada catatan yang cukup untuk menjelaskan signifikansi kekuasaannya. Sementara Abu ‘Ali merupakan salah satu dari penguasa Dinasty Ghurid yang memeluk Islam Sunni setelah sebelumnya menganut ajaran Budhisme. Dinasti Ghurid memeluk Islam setelah ditaklukkan oleh Dinasti Ghaznawi (1011 M). Kekuasaannya dilegitimasi oleh khalifah Abbasiyah Harun al-Rasyid. Sebelum pertengahan abad ke-12, Ghurid telah terikat dengan Dinasti Ghaznawi dan Seljuk selama sekitar 150 tahun.  Wilayahnya mencakup meliputi Khorasan di barat dan mencapai India utara sejauh Bengal di timur. Ibu kota pertama mereka adalah Firozkoh di Mandesh, Ghor, yang kemudian digantikan oleh Herat, dan akhirnya Ghazna.[5]
Dinasti Ayyubiyah adalah yang terbesar dari suku Kurdi yang memerintah di dunia Islam. Umur dinasti ini tercatat selama 2 abad lebih, namun kekuasan efektifnya hanya berlangsung selama 79 tahun (1175-1254 M) dengan kekuasaan efektif di wilayah Mesir. Penguasa Ayyubiyah yang terakhir di Hamat tutup usia pada tahun 1299, dan Hamat kemudian sempat dikuasai oleh Mamluk. Namun, pada tahun 1310, sultan Mamluk an-Nasir Muhammad memberikan Hamat kepada salah satu anggota Dinasti Ayyubiyah yang dikenal sebagai ahli geografi dan penulis, Abu al-Fida. Abu al-Fida wafat pada tahun 1331 dan digantikan oleh putranya, al-Afdhal Muhammad. Hubungan al-Afdhal Muhammad dengan Mamluk pada akhirnya memburuk, sehingga ia dicabut dari jabatannya pada tahun 1341 dan kota Hamat secara resmi dikuasai oleh Mamluk
Secara berturut ibukota Dinasti Ayyubiyah ini berpindah-pindah dari Kairo (1171–1174 M), Damaskus (1174–1218 M), kembali ke Kairo (1218–1250 M), terakhir di Aleppo (1250–1260). Dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad sebagai penguasa di Mesir, Afrika Utara, Nubia, Hijaz, dan Suriah Tengah. Selanjutnya, kekuasaan Ayyubiah berkembang hingga ke Yaman, Palestina dan Suriah.

Daulah Bani Abbasiyah (750- 1258 M)


Peradaban Islam Masa Daulah Bani Abbasiyah (750- 1258 M)[1]
Oleh: Muhammad Nasir, S.S., M.A.[2]





Pendahuluan
Daulah Bani Abbasiyah adalah pemerintahan Islam terlama dalam sejarah Islam. Selama lebih dari lima abad (750-1258 M/132-656 H) pemerintahan ini telah mengadministrasi wilayah yang telah menerima Islam sebagai agama yang mempengaruhi kebudayaan di wilayah-wilayah tersebut. Wilayah itu mencakup daerah-daerah yang sudah terkenal sejak lama sebagai daerah yang sudah memiliki peradaban yang maju,  antara lain  Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki, dan India. Wilayahnya memanjang mencapai perbatasan Cina di sebelah timur dan Perancis Selatan di sebelah barat, termasuk Andalus.
Dari segi garis waktu (time line) sejarah Islam, Daulah Bani Abbasiyah adalah pelanjut pemerintahan Islam yang sebelumnya diampu oleh Khulafa’ al Rasyidin (632-661 M), Daulah Bani Umayyah (661-750 M). Artinya, Daulah Bani Abbasiyah secara total telah mewarisi wilayah yang telah tunduk kepada kekuasaan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Dari sisi ini, Daulah Bani Umayyah sesungguhnya juga telah mewarisi tugas yang berat.
Praktis, Daulah Bani Umayyah berhadapan dengan persoalan yang sama sekali berbeda dan penuh tantangan. Persoalan keagamaan yang kompleks, kehidupan ekonomi, berbedanya ras dan suku bangsa pendukung peradaban Islam adalah di antara tantangan nyata daulah ini. Belum lagi tantangan dari luar Islam. Negeri-negeri Eropa Barat dan Timur yang bernaung dalam kekuasaan Byzantium merupakan rival politik potensial yang mengancam setiap waktu. Dalam situasi seperti disebut di atas itulah Daulah Bani Abbasiyah bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama, lima abad lebih. Bahkan dalam waktu itu, umat Islam di bawah Bani Abbasiyah telah memberi kontribusi besar dalam pembangunan peradaban dunia secara umum.