Menelusuri Minangkabau di Museum Nasional
Laporan Diskusi Dosen
Koleksi Museum Nasional selama ini tertutup untuk
diakses masyarakat. “Padahal banyak sekali sumber primer sejarah lokal dan
sejarah nasional,” kata Alfa Noranda Arkeolog Museum Nasional Indonesia pada
diskusi dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, Kamis
(2/1/2020).
Sederhananya saja masalahnya, “dulu sumberdaya
manusia yang akan mengelolanya belum tersedia,” kata Noranda. Sekarang sudah
ada perhatian di kementerian kebudayaan. Untuk mengelola koleksi museum yang
banyak, termasuk naskah-naskah dan arsip bersejarah sudah disediakan tenaga
ahli yang mengerti urusan sejarah, naskah arsip dan ilmu-ilmu lainnya.
Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum
Gajah, yang terletak di Jakarta Pusat dan persisnya di Jalan Merdeka Barat 12.
Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara. Museum ini berdiri 24 April 1778. Namanya Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Berdasarkan permendikbud Nomor 28 tahun 2015
tentang organisasi dan tata kerja Museum Nasional, koleksi Museum Nasional
disebut sebagai benda budaya berskala nasional. Jumlah koleksi Museum Nasional
pada saat ini ± 142.000 koleksi yang beraneka jenis. koleksi prasejarah, koleksi
arkeologi, koleksi etnografi, koleksi numismatik, koleksi geografi, koleksi
keramik dan koleksi relik sejarah.
Noranda menyebut, koleksi yang tampak dan
ditampilkan ke publik baru sekitar lima belas persen. Informasi dari situs resmi
nasional beberapa koleksi yang ditampilkan adalah koleksi masterpiece yang
sangat dikenal dunia. Misalnya Arca Prajnaparamita, Arca Bhairawa, keramik,
Jogan, keris Riau Lingga, prasasati Yupa, mahkota Banten, kain Geringsing dan
lain-lain. Koleksi masterpiece itu seringkali dipinjam oleh negara lain untuk
dipamerkan di negaranya.
Arsip Minangkabau di Museum Gajah
Salah satu masterpiece Museum Nasional berasal dari
Minangkabau. Begitu masuk museum orang Minangkabau pasti akan berhadapan dengan
Archa Bhairawa dari abad ke-14. Patung bertinggi 41,4 meter itu merupakan
perwujudan Adityawarman, Raja Pagaruyuang, Minangkabau. Patung seram ini berupa
laki-laki berdiri di atas mayat dan deretan tengkorak. Di tangannya terpegang cangkir juga terbuat dari tengkorak.
Patung ini yang ditemukan di Padang Roco, Dharmasraya tahun 1935 Sumatra Barat.
Tapi itu koleksi arkeologi. Lain lagi ceritanya dengan arsip.
Minangkabau termasuk wilayah yang aktif dan sering
dicatat oleh Belanda. Selama 4 abad aktivitas Belanda di wilayah ini tentu saja
menyediakan bahan dan sumber sejarah berharga bagi penulisan sejarah
Minangkabau.
Mayoritas koleksi arsip Museum Nasional tentang
Minangkabau bersumber dari arsip pemerintah kolonial Belanda dan
catatan-catatan para sarjana Belanda. Semua itulah yang menjadi basis arsip
sejarah Minangkabau yang bersumber dari catatan pemerintah kolonial dan
peneliti serta sarjana Belanda.
“Belanda sudah mencatat aktivitasnya selama ratusan
tahun. Lebih jauh lagi, Belanda sudah meneliti Minangkabau sejak ratusan tahun
pula,” kata Noranda, putra Binuang Kampuang Dalam ini. Itulah sisi lain
penjajahan yang berdampak terhadap kesediaan sumber sejarah.
Sebagian besar koleksi itu memang berbahasa
Belanda. Tentu saja dibutuhkan keahlian khusus untuk membacanya. Selain sumber
berbahasa Belanda, perpustakaan Museum Nasional juga menyediakan koleksi
beraksara Arab Melayu, Inggris dan Bahasa Arab.
Koleksi-koleksi ini sekarang sudah dapat dibaca
online di https://www.museumnasional.or.id.
Untuk koleksi Minangkabau bisa dicari dengan mengetikkan kata kunci Menangkerbau
atau Padangsche. Kata kunci itu mengikuti ejaan dari penulis pada masa
itu. “Belanda sering menggunakan Menangkerbau atau Padangsche dalam
dokumen-dokumennya” kata Noranda.
Di Akhir diskusi ia menjelaskan, masih ada 7000-an
naskah yang akan ditayangkan di laman resmi museum nasional. Namun tentu saja
dalam waktu yang agak lama. “kita bermasalah dengan jumlah sumber daya. Saat
ini hanya ada empat orang tenaga yang mengerjakan digitalisasi naskah ini.
Sebagiannya juga saya kerjakan di rumah.” [Muhammad Nasir]
No comments:
Post a Comment