04 February 2020

Menelusuri Minangkabau di Museum Nasional


Menelusuri Minangkabau di Museum Nasional
Laporan Diskusi Dosen




Koleksi Museum Nasional selama ini tertutup untuk diakses masyarakat. “Padahal banyak sekali sumber primer sejarah lokal dan sejarah nasional,” kata Alfa Noranda Arkeolog Museum Nasional Indonesia pada diskusi dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, Kamis (2/1/2020).

Sederhananya saja masalahnya, “dulu sumberdaya manusia yang akan mengelolanya belum tersedia,” kata Noranda. Sekarang sudah ada perhatian di kementerian kebudayaan. Untuk mengelola koleksi museum yang banyak, termasuk naskah-naskah dan arsip bersejarah sudah disediakan tenaga ahli yang mengerti urusan sejarah, naskah arsip dan ilmu-ilmu lainnya.

Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum Gajah, yang terletak di Jakarta Pusat dan persisnya di Jalan Merdeka Barat 12. Museum ini merupakan museum pertama dan terbesar di Asia Tenggara.  Museum ini berdiri 24 April 1778. Namanya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Berdasarkan permendikbud Nomor 28 tahun 2015 tentang organisasi dan tata kerja Museum Nasional, koleksi Museum Nasional disebut sebagai benda budaya berskala nasional. Jumlah koleksi Museum Nasional pada saat ini ± 142.000 koleksi yang beraneka jenis. koleksi prasejarah, koleksi arkeologi, koleksi etnografi, koleksi numismatik, koleksi geografi, koleksi keramik dan koleksi relik sejarah.

Noranda menyebut, koleksi yang tampak dan ditampilkan ke publik baru sekitar lima belas persen. Informasi dari situs resmi nasional beberapa koleksi yang ditampilkan adalah koleksi masterpiece yang sangat dikenal dunia. Misalnya Arca Prajnaparamita, Arca Bhairawa, keramik, Jogan, keris Riau Lingga, prasasati Yupa, mahkota Banten, kain Geringsing dan lain-lain. Koleksi masterpiece itu  seringkali dipinjam oleh negara lain untuk dipamerkan di negaranya.


Arsip Minangkabau di Museum Gajah
Salah satu masterpiece Museum Nasional berasal dari Minangkabau. Begitu masuk museum orang Minangkabau pasti akan berhadapan dengan Archa Bhairawa dari abad ke-14. Patung bertinggi 41,4 meter itu merupakan perwujudan Adityawarman, Raja Pagaruyuang, Minangkabau. Patung seram ini berupa laki-laki berdiri di atas mayat dan deretan tengkorak. Di tangannya  terpegang cangkir juga terbuat dari tengkorak. Patung ini yang ditemukan di Padang Roco, Dharmasraya tahun 1935 Sumatra Barat. Tapi itu koleksi arkeologi. Lain lagi ceritanya dengan arsip.

Minangkabau termasuk wilayah yang aktif dan sering dicatat oleh Belanda. Selama 4 abad aktivitas Belanda di wilayah ini tentu saja menyediakan bahan dan sumber sejarah berharga bagi penulisan sejarah Minangkabau.

Mayoritas koleksi arsip Museum Nasional tentang Minangkabau bersumber dari arsip pemerintah kolonial Belanda dan catatan-catatan para sarjana Belanda. Semua itulah yang menjadi basis arsip sejarah Minangkabau yang bersumber dari catatan pemerintah kolonial dan peneliti serta sarjana Belanda.


“Belanda sudah mencatat aktivitasnya selama ratusan tahun. Lebih jauh lagi, Belanda sudah meneliti Minangkabau sejak ratusan tahun pula,” kata Noranda, putra Binuang Kampuang Dalam ini. Itulah sisi lain penjajahan yang berdampak terhadap kesediaan sumber sejarah.

Sebagian besar koleksi itu memang berbahasa Belanda. Tentu saja dibutuhkan keahlian khusus untuk membacanya. Selain sumber berbahasa Belanda, perpustakaan Museum Nasional juga menyediakan koleksi beraksara Arab Melayu, Inggris dan Bahasa Arab.

Koleksi-koleksi ini sekarang sudah dapat dibaca online di https://www.museumnasional.or.id. Untuk koleksi Minangkabau bisa dicari dengan mengetikkan kata kunci Menangkerbau atau Padangsche. Kata kunci itu mengikuti ejaan dari penulis pada masa itu. “Belanda sering menggunakan Menangkerbau atau Padangsche dalam dokumen-dokumennya” kata Noranda. 

Di Akhir diskusi ia menjelaskan, masih ada 7000-an naskah yang akan ditayangkan di laman resmi museum nasional. Namun tentu saja dalam waktu yang agak lama. “kita bermasalah dengan jumlah sumber daya. Saat ini hanya ada empat orang tenaga yang mengerjakan digitalisasi naskah ini. Sebagiannya juga saya kerjakan di rumah.” [Muhammad Nasir]

No comments: