10 April 2020

Konsep Kebudayaan Minangkabau tentang Perkawinan


Konsep Kebudayaan Minangkabau tentang Perkawinan
Oleh Muhamad Nasir

Konsep Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan hubungan antar pribadi antara kedua belah pihak yang terikat perkawinan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk membentuk keluarga.
Minangkabau adalah suku bangsa yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sistem matrilineal adalah suatu sistem yang mengatur kehidupan dan ketertiban suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jalinan kekerabatan dalam garis ibu.
Perkawinan dalam adat Minangkabau bukan hanya ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan, tetapi ikatan antar keluarga atau antar kaum. Hal ini digambarkan dalam ungkapan adat:
~kawin jo mamak, nikah jo parampuan~
Berdasarkan ungkapan di atas, perkawinan di Minangkabau mengandung dua makna, yaitu makna adat dan makna syara’. Dengan adanya dua makna ini, maka akan muncul dua kewajiban bagi orang Minangkabau dalam melaksanakan perkawinan, yaitu kewajiban adat dan kewajibat syara’. Oleh sebab itu, maka ikatan yang muncul akibat perkawinan di Minangkabau bukan hanya ikatan keluarga yang terdiri dari suami dan istri saja, tetapi meluas dalam ikatan yang lebih besar, yaitu ikatan kekerabatan. Adapun bentuk kekerabatan yang muncul akibat perkawinan di Minangkabau adalah:
·           Ikatan suami dan istri
·           Ikatan sumando dengan mamak rumah
·           Ikatan ipar dengan bisan
·           Ikatan andan basumandan
·           Ikatan bako dan anak pisang
·           Ikatan pambayan
·           dll.
Oleh sebab itu, pernikahan dalam adat Minangkabau adalah pintu masuk untuk membentuk sebuah sistem kekerabatan yang lebih luas. Meskipun demikian, maka sesuai dengan tuntunan falsafah Adat Basandi Syara’ – Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK), adat Minangkabau telah memberikan nilai tambah terhadap tujuan pernikahan secara Islam tanpa mengurangi tujuan yang prinsipil dari pernikahan itu sendiri. Adapun tujuan pernikahan secara Islam adalah:
·           Menyempurnakan dan menjaga agama
·           Menjalankan sunnah rasul
·           Menghindarkan diri dari maksiat
·           Membentuk keluarga sakinah
·           Memperoleh keturunan

Hukum Perkawinan menurut adat Minangkabau
Yang dimaksud dengan hukum perkawinan menurut orang Minangkabau adalah pandangan tentang kedudukan hukum secara adat kebiasaan yang berlaku di masyarakat Minangkabau sehingga mempengaruhi hubungan sosial kekerabatan di Minangkabau. Adapun hukum perkawinan di dalam adat adalah:
  1.  Suruhan (wajib) apabila sudah memenuhi syarat secara syara’
  2. Anjuran yaitu pernikahan yang ditujukan untuk memelihara hubungan kekerabatan. Misalnya pernikahan ganti lapiak. Tujuannya adalah: mendukung tali kekerabatan agar tetap utuh dan, anak-anak dari perkawinan lama tidak memperoleh ibu yang menurut perkiraannya tidak dapat memperhatikan mereka sesuai dengan hak-haknya dalam kaum.
  3. Larangan, dilarang menikah apabila tidak sesuai dengan ajaran Islam
  4. Pantangan, penikahan dapat dilangsungkan tetapi menerima sanksi hukum adat, misalnya menikah dengan kerabat sesuku.
  5. Sumbang, perkawinan tidak dilarang dan tidak melanggar pantangan tetapi lebih baik ditinggalkan karena tidak dibiasakan secara adat setempat. Misalnya;

  • menikahi  orang yang telah diceraikan kaum kerabat, sahabat atau tetangga dekatnya,
  • menikahi seorang perempuan dengan tujuan balas dendam atau mempermalukan perempuan yang sekerabat sepergaulan atau setetangga, 
  • mengawini anak tiri saudara kandung.
  • perkawinan cino buto, yaitu pernikahan seorang laki-laki dengan perempuan yang telah diceraikan sebanyak tiga kali. Agar ia dapat menikah kembali dengan istri yang telah diceraikannya itu, ia atau pihak istrinya mencarikan atau membayar laki-laki lain untuk menikahi perempuan itu untuk sementara waktu.
Pernikahan seperti disebut di atas dinilai tercela karena tidak didasari niat yang baik dan tidak menimbang rasa malu, raso dan pareso.

Perkawinan ideal menurut orang Minangkabau
Menurut alam pikiran orang Minangkabau, perkawinan atau pernikahan yang paling ideal ialah perkawinan antara keluarga dekat atau diistilahkan dengan perkawinan awak samo awak. Bentuknya adalah:
  1. Pulang ka mamak, yaitu pernikahan antara anak dengan kemenakan, atau menikah dengan anak mamak.
  2. Pulang ka bako, yaitu menikah dengan kemanakan ayah.
  3. Pernikahan selanjutnya adalah pernikahan dengan orang sekorong, sekampuang, sanagari dan sesama orang Minangkabau asalkan tidak sesuku.

 Tujuan pernikahan yang disebut ideal ini adalah untuk memelihara agar identitas keturunan sebagai orang Minangkabau, sistem kekerabatan dan adat Minangkabau tetap lestari.

09 April 2020

Perjumpaan Islam dengan Budaya Minangkabau


Perjumpaan Islam dengan Budaya Minangkabau
Muhammad Nasir

Pada pembahasan terdahulu telah ditulis bahwa sebelum Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat sudah hidup dalam susunan adat yang teratur. Meskipun sebelum Islam berkembang secara masif, telah hadir terlebih dahulu agama Hindu dan Budha, namun tak banyak informasi sejarah yang menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau hidup dalam ketaatan dalam aspek keimanan dan peribadatan  dalam kedua agama terdahulu. Dapat dikatakan, “agama” masyarakat Minangkabau pada masa itu adalah adatnya sendiri.
Setelah kedatangan Islam yang membawa aturan keimanan disertai dengan nilai-nilai yang baru, muncullah dialektika dengan nilai-nilai yang ada dalam adat Minangkabau. Beberapa hal yang perlu diperhatian sebelum mencari titik singgung ajaran Islam dengan adat Minangkabau adalah, pertama, bahwa Islam sudah diterima sebagai agama baru masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau sudah beralih keyakinan (konversi) dari keyakinan agama lamanya.[1] Bahkan hingga saat ini, dalam percakapan sehari-hari  orang Minangkabau dengan percaya diri mengatakan “agama orang Minangkabau adalah Islam, jika tidak Islam, bukanlah orang Minangkabau.” Tidak banyak warga kebudayaan dunia ini yang mengambil Islam sebagai identitas keagamaannya. Kedua, kehadiran Agama Islam tidaklah menghapuskan adat Minangkabau, bahkan menyempurnakan dan mengokohkannya.[2] Bahkan setelah revolusi Padri-pun adat Minangkabau terutama sistem matriachaat sebagai ciri utama Minangkabau justru tetap bertahan hingga sekarang. Hal ini menurut Jefrey Hadler (2010) dengan formula “adat basandi syarak, syarak basandi adat” pemimpin-pemimpin Padri dan adat berhasil berkompromi dan mempertahankan kekhasan budaya Minangkabau.[3]
Kedatangan Islam secara umum memberikan perubahan dalam kebudayaan Minangkabau. Tidak hanya orangnya saja yang memeluk Islam tetapi banyak aspek kehidupan terbawa serta. Mansoer (1970:38) menulis:
Karena itu bukan sadja penduduk sesuatu daerah tempat agama Islam masuk dan berkembang jang di-Islamkan, tetapi djuga seluruh lembaga masjarakat dan hasil-hasil kebudajaannja, termasuk  tambo2 dan tjerita2 lamanja peninggalan dari zaman djahiliah." [4]

Namun keterangan-keterangan ilmiah mengenai pertumbuhan, perkembangan dan persinggungan dengan lembaga-lembaga Minangkabau, seperti adat-istiadat, susunan masyarakat, sistem dan struktur pemerintahan masyarakat adat Minangkabau sejak berislam tidak cukup tersedia. Tulisan ini belum menukik kepada aspek bagian dalam adat yang mengalami persinggungan dengan ajaran Islam. Namun, untuk melihat kontak awal yang menyebabkan interaksi Islam dan adat Minangkabau menjadi lebih intesif perlu dilihat titik singgungnya.

1- Jejak Awal
Sebagai gambaran umum, jejak pengaruh awal Islam dengan adat Minangkabau dapat dilihat dari beberapa informasi berikut:
a-   Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai (Abad ke-17)
Sebelum Sultan Alif, raja Pagaruyung pertama yang memeluk Islam (+ 1560), belum tercatat perubahan mendasar dalam struktur masyarakat Minangkabau di luar istana Pagaruyung. Oleh Sebab itu, titik singgung Islam dengan struktur kepemimpinan masyarakat Minangkabau baru dapat dilihat dari perubahan dalam kerajaan Pagaruyung, yaitu munculnya istilah Rajo Tigo Selo. Mengenai asal usul Rajo Tigo Selo, Rusli Amran (1981) mengutip sebuah sumber Belanda mengatakan “Seorang pegawai VOC bernama Van Bazel, pernah pula menulis pertengahan abad ke-18, bahwa tahun 1680 Kerajaan Minangkabau pecah menjadi tiga, karena rajanya Alif meninggal tanpa anak. Tetapi keterangan ini masih diragukan kebenarannya.[5]
Rajo Tigo Selo (Raja Tiga Sila) adalah tiga orang raja dengan masing-masing tahta yang terpisah tapi merupakan satu kesatuan. Selo dalam bahasa Minangkabau berarti sila (duduk) kemungkinan, arti harfiahnya adalah raja tiga sila atau tiga kedudukan dengan tiga fungsi. Selain itu, dikatakan tiga sila (tiga posisi duduk bersila) karena semenjak dahulu raja-raja Pagaruyung atau Minangkabau tidak mempunyai singgasana sebagai tempat bersemayamnya melainkan hanya duduk bersila di lantai istana yang sedikit agak ditinggikan. Rajo Tigo Selo masing-masing terdiri dari Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo dan Raja Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus.
Masing-masing raja mempunyai tugas, kewenangan dan mempunyai daerah kedudukan tersendiri. Raja Alam membawahi Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam merupakan kepala pemerintahan, sedangkan Raja Adat mengurus masalah-masalah peradatan dan Raja Ibadat mengurus masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.
Struktur Rajo Selo ini memberi isyarat bahwa adanya unsur kepemimpinan agama di Pagaruyung. Meskipun ada yang mengatakan sistem Rajo Tigo Selo muncul jauh sebelum Islam,[6] namun informasi yang tertulis menyatakan bahwa pengaruh Islam dapat dilihat dari pembagian kekuasaan dalam sistem ini. Hamka (1982) berpendapat, Raja di Pagaruyung sebelum Islam (HAMKA menyebutnya zaman "jahiliyah" Budha Bhairawa) raja di Minangkabau, hanyalah "lambang". Justru eksistensi raja terlihat setelah kedatangan Islam. Islam ikut mengambil peran dalam menyusun adat. Ia bekeyakinan bahwa Rajo Tigo Selo adalah salah satu sumbangan Islam terhadap susunan kepemimpinan raja di Minangkabau.
Rajo Tigo Selo ini dibantu oleh Basa Ampek Balai, yaitu 1). Bandaharo atau Tuan Titah di Sungai Tarab. Kedudukannya sama dengan perdana menteri. 2). Makhudum di Sumanik yang tugasnya menjaga kewibawaan istana dan memelihara hubungan dengan seluruh rantau dari kerajaan lain yang ada hubungan dengan Minangkabau. 3). Indomo di Saruaso yang menjaga perjalanan adat istiadat agar "setitik tidak boleh hilang, sebaris tidak boleh lupa” dalam seluruh Alam Minangkabau. 4). Makhudum (Tuan Qadhi) di Padang Ganting yang menjaga perjalanan agama adakah berlaku menurut Kitabullah dan sunnah rasul, berjalan sunnat dan fardhu, terbatas antara halal dan haram.[7]
Dengan demikian, keberadaan Rajo Selo dan Basa Ampek Balai ini, menurut Zulqayyim (2012) menunjukkan penetrasi Islam di Minangkabau masih terbatas pada bidang formal, yaitu dengan adanya Rajo Ibadat dan Tuan Qadhi. Kedua petinggi adat ini menatur urusan agama di kerajaan Pagaruyung. Selain itu keberadaan keduanya juga mencerminkan pengakuan terhadap keberadaan agama Islam di Minangkabau.[8]

b-   Pendidikan Surau (Abad ke-17-19)
Surau adalah bangunan tempat ibadah umat Islam. Istilah ini populer di Minangkabau dan di banyak tempat di bumi melayu. Di Minangkabau, surau kebanyakan lebih dikhususkan sebagai lembaga pendidikan. Istilah surau sudah dikenal di Minangkabau jauh sebelum kedatangan Islam. Berdasarkan fungsi dan kepemilikannya ada 3 jenis surau di Minangkabau, yaitu surau adat, surau ulama dan surau dagang.[9]
Surau adat adalah surau tempat mendidik anggota kaum tentang pengetahuan adat, msyawarah kaum dan tempat tidur bagi anggota kaum yang laki-laki, yaitu anak-anak yang sudah baligh atau laki-laki dewasa yang menduda. Setelah berkembangnya Islam, surau juga digunakan untuk melaksanakan ibadah shalat bagi anggota kaum.[10] Dari penamaannya, jelas bahwa surau ini merupakan milik kaum dalam suatu suku di Minangkabau. Bahkan ada juga surau ini yang dimiliki langsung oleh suku. Banyak nama surau di Minangkabau yang dilekatkan dengan nama suku, misalnya: Surau Jambak, Surau Sikumbang, Surau Koto dan lain-lain.
Surau Ulama adalah surau yang berfungsi sebagai tempat pengajaran agama oleh ulama. Surau ini lazim dinamakan dengan nama ulama yang memimpin surau ini. Misalnya Surau Angku Kali, Surau Syekh Burhanuddin, Surau Inyiak Djambek dan sebagainya. Menurut Firdaus (2014), surau jenis ini berfungsi untuk mengajarkan tarekat. Lama-kelamaan surau ini berkembang menjadi lembaga pendidikan agama yang resmi.[11] Di antara surau yang terkenal menjadi lembaga pendidian adalah Surau Tuo atau Surau Gadang Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan, Ulakan Pariman. AWP Verkerk Pistorious pada tahun 1868 mencatat belasan surau-surau ulama terkenal yang memiliki murid antara 100 hingga 1000-an murid. Di antara surau-surau tersebut ada yang yang menjadi pelopor pembaharuan yang berpengaruh menjembatani interaksi adat dan agama Islam di di Minangkabau. Surau-surau ini pada akhirnya berkembang seiring dengan pulangnya murid-murid (urang siak) yang menuntut ilmu di sana ke negeri masing-masing dan mendirikan surau pula dengan tujuan yang sama, sehingga terbentuklah jaringan guru-murid yang pada saatnya memperkuat posisi dan daya tawar ulama dalam masyarakat Minangkabau. Di surau ini diajarkan pengetahuan agama dan juga pengetahuan adat.
Adapun Surau Dagang adalah surau yang merupakan tempat persinggahan para pedagang dari berbagai daerah di Minangkabau bahkan luar Minangkabau. Bagi masyarakat Minang anak dagang bukanlah orang buangan, bahkan dia sangat dihormati dan memiliki hak-hak tertentu. Mereka juga dibuatkan surau dagang untuk menginap dalam beberapa waktu. Penilaian masyarakat tidak terbatas kepada negeri asal anak dagang, namun lebih kepada kebaikan perilakunya bahkan kerap diambil menantu oleh warga setempat karena sikap tanggung jawab dan kemandirian yang telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Yang terpenting dari itu, anak dagang yang berasal dari Minangkabau dalam sistem kekerabatan Matrilineal Minangkabau adalah dunsanak, apalagi jika ditinjau dari sukunya.
Pentingnya menyebut surau sebagai titik persinggungan Islam dan adat Minangkabau disebabkan: 1). Surau selain mengajarkan agama sekaligus tempat membicarakan persoalan adat Minangkabau yang dianut oleh murid atau masyarakat yang belajar di surau tersebut. dapat diduga, transformasi ide dan persinggungan Islam dan adat Minangkabau bermula dari sini 2). Dengan munculnya Surau yang berorientasi ke agama dan pendidikan agama di Minangkabau, bertambah pula jenis, bentuk dan nilai bangunan adat dari bangunan yang sudah ada sebelumnya. Apalagi bangunan surau keagamaan ini menghadap ke suatu arah yang berbeda, yaitu arah kiblat ke Makkah. 3). Surau dalam fungsinya yang lebih luas, merupakan media terpenting Islamisasi Minangkabau. 4). Ulama, Syekh, Tuanku atau tokoh agama yang memimpin kegiatan keagamaan di surau pada tahap awal menjelang pembaharuan Islam di Minangkabau merupakan rujukan bagi masyarakat yang pada akhirnya menjadi ide untuk menambahkan pemimpin agama dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau.

c-    Islamisasi Tambo
Tambo dalam bahasa Minangkabau kuno artinya adalah cerita sejarah asal-usul kejadian manusia dan alam semesta (Alam Minangkabau), serta kisah perjalanan para leluhur dan penerapan sistem adat dan hukum undang adat Minangkabau.
Awalnya Tambo yang tidak dituliskan di sembarang tempat, dan tidak disebarkan kepada masyarakat umum menjadi sebuah buku bacaan yang bisa di kuasai dan dipunyai oleh siapa saja. Namun, belakangan banyak didapati Tambo-tambo lama yang bertulisan tangan dengan memakai aksara Arab Melayu, dengan versi berbeda, dan menjadi pusaka keramat bagi pemegangnya, bahkan adakalanya dijadikan status legalitas keabsahan suatu kaum atau pemilik pemegang Tambo tersebut.
Tambo adalah rujukan dan panduan orang Minangkabau dalam melaksanakan perbuatan hukum menurut adat, Tambo mengajarkan tata cara dan perikehidupan orang Minangkabau, dari upacara adat kelahiran sampai upacara adat kematian, semua hukum dan undang telah diatur dan diajarkan Tambo, kecuali tatacara peribadatan keagamaan. Dalam Tambo asli (bukan tambo karangan),[12] tidak ada istilah atau ajaran agama apapum, baik ajaran agama Hindu, Budha, dan Islam, selain dari kemiripan penamaan dan gelar adat. [13]
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Edwar Djamaris, tambo-tambo yang banyak itu ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan sebagian kecil ditulis dengan huruf latin. 
Tidak ada suatu kisah tambo yang sama isinya. baik yang menggunakan tulisan Arab. yang mcnggunakun tulisan Latin. yang baru dikenal pada awal abad ke-20 ini. Penulis yang menggunakan bahasa Indonesia menambah keragaman kisah tambo karena umumnya mereka mencoba memberikan tafsiran menurut ilmu dan orientasinya masing·masing. Kisah tambo yang pertama ditulis dengan tulisan Arab. Oleh karena itu pengaruh agama Islam dan kisah-kisah yang bersumber dari Arab sangat dominan mewarnai kisah tambo.[14]
Secara substansi, Sheiful Yazan (2017) menyatakan amat jelasnya pengaruh Islam dalam Tambo Minangkabau terutama yang ditulis pada tahun 1800-an. Menurutnya, setidaknya ada 8 (delapan) kutipan atau kalimat yang senada dengan ayat Al Qur’an dalam naskah-naskah Tambo. Terdapat tema-tema dan kisah terkait Islam khususnya tasawuf. Terdapat kalimat, nama dan ungkapan khas Islam mulai dari basmalah, syahadatain, shalawat nabi, sampai kisah penciptaan Nabi Adam ‘alahissalam. Sebaliknya tidak terdapat unsur-unsur yang memperlihatkan jejak agama selain Islam di dalam naskah-naskah Tambo terebut.[15]

d-   Masuknya Bahasa Arab dan berkembangnya Aksara Arab Melayu
Bahasa merupakan salah satu sistem kebudayaan yang penting di dalam masyarakat. Dalam terbentuknya suatu kebudayaan dalam masyarakat, diperlukan bahasa yang memudahkan setiap orang untuk berkomunikasi, berbagi informasi, nilai, dan kepercayaan. Bahasa mempengaruhi proses kognitif manusia, serta memudahkan kelompok untuk melakukan ritual agama dan adat bersama-sama.
Sejak masuknya agama Islam ke Minangkabau, bahasa Arab sebagai bahasa al Qur’an dan bahasa ritual keagamaan ikut berkembang. Perkembangannya didukung oleh intensifnya pengajaran agama baik secara lisan maupun tulisan. Bahasa Arab yang dipakai dalam menjelaskan ajaran agama otomatis membekas dan lestari dalam konunikasi sehari-hari masyarakat Minangkabau.
Pengaruh Islam yang paling kental dalam kebudayaan Minangkabau dari segi aspek bahasa adalah penggunaan aksara Arab. Aksara Arab digunakan untuk menuliskan materi ajaran agama Islam kepada masyarakat Minangkabau. Di  antara naskah yang menggunakan aksara Arab adalah kitab tafsir Al-Qur’an dari beberapa versi seperti, kitab-kitab pengajaran bahasa seperti Nahu, Sharf, Balaghah (ilm ma’ani, bayan, badi’, ma’ani, Mantiq), kitab-kitab fikih. Selain naskah-naskah berbahasa Arab mrni, juga ditemukan naskah-naskah beraksara Arab-Melayu yang banyak memuat catatan tentang silsilah keluarga, mantra, syair, legenda, mitos, metode penyembuhan dan sebagainya.  Selain itu, aksara Arab Melayu juga digunakan untuk menuliskan pengetahuan adat yang dikenal dengan tambo, naskah-naskah pidato adat, naskah-naskah pagang-gadai, hutang piutang dan sebagainya. Dengan demikian, kehadiran Islam juga memberikan pengayaan dalam kebudayaan Minangkabau, yaitu berkembangnya tradisi menulis melengkapi tradisi lisan yang telah berkembang sebelumnya.

2- Perjumpaan dengan Budaya Minangkabau
Proses masuknya pengaruh ajaran agama Islam ke dalam masyarakat adat Minangkabau tidaklah berlangsung instan dan mudah. Sejak masyarakat Minangkabau mengenal agama Islam dan beralih secara massal memeluk agama ini, terlihat ada masa yang panjang di mana tidak dijumpai informasi tentang pergulatan agama ini dengan adat Minangkabau. Andaipun diterima teori masuknya Islam ke Minangkabau sejak abad ke-7 masehi, atau abad ke-12 masehi, pergulatan atau interaksi yang intensif justru terjadi di akhir abad ke-18 masehi hingga ke paruh pertama abad ke-20 masehi.
Dalam periodesasi sejarah Minangkabau, masa ini dikenal dengan fase pemurnian dan pembaharuan. Fase ini merupakan fase terpenting integrasi antara agama Islam dan Adat Minangkabau. Kehadiran surau-surau pengajaran agama Islam di Minangkabau pasca-Syekh Burhanuddin memberi andil besar munculnya ulama-ulama yang memegang kendali atas pengajaran Islam di daerahnya masing-masing. Kesadaran beragama mulai tumbuh dan para ulama tersebut mulai melirik dan mengkritik praktik beragama masyarakat muslim Minangkabau yang masih bercampur dengan ajaran-ajaran lama serta praktik-praktik adat yang tak sesuai dengan ajaran Islam.
Fase ini dibagi kepada dua periode, yaitu: 1) Periode Pembaharuan Gelombang Pertama yang dimulai sejak revolusi Paderi (1803-1838) yang digagas Tuanku nan Renceh (1780-1825) serta disokong oleh tiga orang ulama Minang yang pulang dan Mekkah pada tahun 1803 M, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Gerakan ini mengusung agenda pemurnian (purifikasi) agama Islam, kritik adat dan kebiasaan lama yang mereka anggap tidak sesuai, dan mendesak masyarakat untuk melakukan kewajiban formal agama Islam. Revolusi ini menyulut terjadinya perang saudara antara Kaum Padri (kelompok pendukung) dan Kaum Adat (kelompok penentang) gerakan tersebut.  Perang ini yang diawali masalah konflik adat dan agama akhirnya berubah menjadi peperangan melawan penjajahan Belanda. 2). Periode Pembaharuan Gelombang Kedua yang dilaksanakan oleh murid-murid Syekh Ahrnad Khatib Minangkabawi yang baru pulang dari Mekkah. Kondisi sikap keberagamaan dan tradisi yang sudah turun temurun yang tidak dapat dirobah kembali mendapat tantangan dari kelompok pembaharu. Pembaharuan tahap kedua tampil dengan corak yang berbeda dengan yang dilakukan oleh gerakan Paderi. Gerakan Paderi lebih cenderung mengedepankan corak militerisme, tetapi pembaharuan tahap dua lebih kepada pergolakan inteletual. Hal ini dapat dilihat dengan dimunculkannya majalah-majalah, diadakannya perdebatan umum, dibentuknya organisasi-organisasi masyarakat dan didirikannya sekolah-sekolah yang bercorak modern. Selama dua abad pergulatan Islam dan Adat Minangkabau tersebut berlangsung alot, mulai dari bentuk interaksi yang keras yang berujung bentrok fisik hingga bentuk yang lebih elegan dalam bentuk debat-debat intelektual. Namun dibalik bentrokan tersebut juga tersedia informasi tentang bentuk penerimaan, baik secara natural maupun melalui proses perdamaian.
Dengan demikian, dapat dikatakan reaksi yang dimunculkan oleh masyarakat adat Minangkabau terhadap nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam adakalanya berbentuk positif (dalam bentuk penerimaan) dan ada kalanya dalam bentuk negatif (dalam bentuk penolakan). Reaksi ini sekilas terbaca sebagai bentuk dilematika masyarakat Minangkabau yang sedang dihadapkan pada dua pilihan antara menerima agama atau tetap mempertahankan adat. Bahkan dalam banyak literatur -bahkan literatur modern- masih menulis reaksi ini sebagai bentuk pertentangan Islam dan adat Minangkabau. Mestinya, keadaan ini ditulis sebagai konsekwensi logis datangnya nilai-nilai baru yang bersumber dari agama Islam menghampiri nilai-nilai adat Minangkabau yang sudah tersusun sejak lama yang dianut oleh masyarakat Minangkabau yang sudah memeluk Islam. Masyarakat Minangkabau dalam posisi ini sesungguhnya sedang menghadapi proses penyesuaian diri dan menghadapi keharusan mereformasi adat dengan datangnya ajaran Islam. Akhirnya, dilema yang dihadapi masyarakat Minangkabau itu justru dapat diselesaikan sebagian besarnya dalam sebuah konsensus Adat Basandi Syara’-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). ABS-SBK ini pada akhirnya diterima sebagai falsafah adat alam Minangkabau.
Berdasarkan uraian di atas, perjumpaan Islam dengan Budaya Minangkabau dapat diskemakan sebagai berikut: pertama, Islam dan adat Minangkabau mampu berbaur menjadi identitas sosial-kultural-religius sehingga melahirkan Tradisi Islam Minangkabau atau tradisi Minangkabau yang Islami. Kedua,  Islam dan adat tidak berbaur, tetapi juga tidak memicu pertentangan dan konflik. Ketiga, Islam dan adat Minangkabau bertentangan, baik kemdian yang memunculkan konflik ataupun tidak.[16]

3- Titik Singgung
Beberapa tema yang menjadi titik singgung antara ajaran Islam dengan adat Minangkabau, yaitu persoalan adat matrilineal, sistem pewarisan, sistem residensi matrilokal, dan sistem perkawinan eksogami. Keempat tema tersebut pada dasarnya merupakan  inti dari adat matrilineal minangkabau itu sendiri. Persoalan garis keturunan, pewarisan harta, sistem residensi dan perkawinan eksogami merupakan konstruksi dasar dari adat matrilineal Minangkabau.


[1] Istilah konversi di sini bermakna sebagai peralihan kepenganutan dari suatu agama ke agama lain. Istilah ini digunakan oleh Irhash A. Shamad untuk memudahkan dan menyederhanakan penyebutan. Lihat, Irhash A. Shamad, Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat Minangkabau, Jakarta: Tintamas, 2007, h.29
[2] M Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969,(Disertasi)  IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:1988, h.65
[3] Jefrey Hadler, Sangketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta: Freedom Institut, 2010, h.xi
[4] M.D. Mansoer, Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970, h.38
[5] Rusli Amran, Sumatera Barat hingga Plakat Pandjang,Jakarta: Sinar Harapan, 1981, h. 36
[6] Ibid, h. 51.
[7] Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, ed. ke-4 Jakarta: Umminda, 1982, h. 6-7
[8] Zulqayyim, Pedagang Islam dan Kebangkitan Islam di Luhak Agam, dalam Nurus Shalihin, Yasmadi, Sefriyono, Muhammad Sholihin, Mozaik Islam Nusantara, Padang: Imam Bonjol Press, 2012., h.127-131
[9][9] Firdaus, Sejarah Pendidikan Islam di Minangkabau Abak XVII-XVIII M, Padang:Imam Bonjol Press, 2014, h.22-25
[10] Di beberapa daerah Minangkabau terutama di Agam dikenal istilah Sumbayang berkaum-kaum. Istilah ini menunjukkan fungsi surau sebagai tempat shalat jamaa’ah bagi anggota kaum
[11] Firdaus, Ibid., h.23
[12] Tambo Asli diyakini sebagai tambo yang diwariskan secara lisan. Keaslian tambo ini dilihat dari kesamaan bahasa redaksional dan diksi yang digunakan oleh tambo. Upaya penjagaan keasliannya dinyatakan dengan ungkapan sabarih bapantang lupo, satitiak bapantang hilang (sebaris berpantang lupa, setitik berpantang hilang)
[13] Tengku Irwansyah, Mengungkap Sejarah Minangkabau dalam Perspektif Tambo, (Makalah Kongres Sejarah Minangkabau, Bukittinggi,16-18 Desember 2018), Dinas Kebudayaan Propinsi Sumatera Barat,2018
[14] Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau, Tinjauan Strukturl, Seminar Nasional Mengenai Kesusastraan, Kemasyarakatan dan Kebudayaan Minangkabau, Bukittinggi 1980.
[15] Sheiful Yazan, Menggugat Pemahaman Tambo Minangkabau, Padang: Penerbit Erka, 2017, h.37
[16] Nelmawarni, dkk., Islam dan Tradisi Lokal di Minangkabau (Laporan Penelitian), Padang: Pusat Penelitian dan Penerbitan LPPM IAIN Imam Bonjol Padang, 2014, h. 3

Minangkabau sebelum Islam


Minangkabau sebelum Islam
Muhammad Nasir

Sanusi Latif menuliskan bahwa sebelum masuknya agama-agama ke Minangkabau, masyarakat Minangkabau selain menaati adat, juga menganut keyakinan pra-agama,[1] baik animisme dan  dinamisme, maupun kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang dapat membahayakan manusia, sehingga kepadanya harus diberikan sesajian serta pembacaan mantera-mantera.[2]
Dalam konteks ini, masyarakat Minangkabau tidak jauh berbeda dengan masyarakat kuno lainnya yang percaya kepada kekuatan roh atau sesuatu yang ghaib. Dalam perkembangannya, praktik kepercayaan-kepercayaan kuno ini masih berbekas dalam keseharian masyarakat Minangkabau modern.

Masa Hindu-Budha
Agama Hindu diduga masuk lebih awal ke Minangkabau, yaitu aliran Hindu Brahma (abad ke-5 M). Namun catatan yang lengkap tentang kedatangan dan perkembangan agama Hindu di sekitar abad ini tidak memadai. Berat dugaan, bahwa kehadiran agama hindu di Minangkabau pada abad ke-5 ini hanya terbatas pada adanya pemuka-pemuka agama Hindu (kasta Brahma) dalam jumlah yang sedikit.
Agama Hindu mengenal banyak dewa. Dewa-dewa terpenting dalam agama ini adalah Brahma, Syiwa dan Wisnu, yang ketiganya terkenal dengan sebutan Tri Murti. Masyarakat pemeluk agama Hindu diketahui hidup dalam kasta-kasta yang disusun berdasarkan pembagian pekerjaan, yaitu Kasta Brahmana (pemuka agama/pendeta), Kasta Ksatria (Raja dan para bangsawan istana), Kasta Waisya (petani, pedagang dan peternak) serta Kasta Sudra (orang miskin dan buruh). Selain keempat kasta tersebut ada kasta kelima yang disebut Paria, namun kasta ini tidak populer di nusantara. 
Kemudian menyusul agama Budha Hinayana (abad ke-7) dan agama Budha Mahayana (abad ke-7 sampai abad ke-10),[3] baik yang dibawa oleh para pedagang dari Hindustan (India) maupun mereka yang datang dari kerajaan Majapahit.[4]
Menurut MD. Mansoer (1970) Hingga Iebih kurang pertengahan abad ke-7 negeri Cina meramaikan dan memainkan peranan yang penting sebagai "supplier" terbesar dari rempah-rempah termasuk Iada, bagi daerah Timur Tengah. Lada itu terutama diangkut dari Muara Tembesi (keradjaan Melayu Tua) dan Muara Sabak (Kerajaan Sriwijaya, Jambi) dengan jung-jung Cina ke Kanton. Menurut catatan I’tsing, pendeta Budha dari Cina, dalam perdjalanannja ke India (671) menuliskan bahwa kerajaan-kerajaan di mo-lo-jue (Melayu) menganut agama Budha Hinayana. Candi Muaro Jambi adalah salah satu sumber informasi keberadaan agama Budha Hinayana di Minangkabau Timur. Namun, seberapa besar pengaruh agama Budha Hinayana ke daerah inti (darek) Minangkabau, belum ada catatan resmi.
Adapun agama Budha Mahayana, perkembangannya di wilayah Minangkabau tidak lepas dari usaha Dinasti Tang dalam menyebarkannya. Sejak pertengahan abad ke-7, Cina telah bangkit sebagai kekuasaan besar di Asia (Timur) di bawah pimpinan Dinasti Tang (607-908). Daerah taklukannya meliputi sebagian besar daratan Asia Tengah. Agama resmi Cina Tang ialah agama Budha Mahayana. Pada kurun waktu tersebut, Dinasti Tang berkembang sebagai kekuatan perdagangan maritim.
Menurut Mansoer, Dinasti Tang melakukan “move politik” yang bersumber pada ideologi agama Budha Mahayana dan bersandar pada kekuatan mlliter. Penguasa Dinasti Tang mengutus dua orang sarjana Budha Mahayana yang terkenal ke "San-fo-tsi" jaitu Wadjarabodhi dan Amoghabadjra untuk mengembangkan agama Budha Mahayana di Minangkabau Timur (680)[5] untuk menggantikan agama Budha Hinayana.
Akan tetapi, Agama Hindu dan Budha di Minangkabau tidak sekuat adat, dan tidak pula sekuat pengaruh Hindu dan Budha di Jawa ketika Islam datang. Pengaruhnya tidaklah mendalam dan tidak meninggalkan bekas-bekas yang lama. Kedua agama tersebut belum sempat memasyarakat. Belum banyak didirikan tempat-tempat pengajaran dan penyiaran agama tersebut di daerah ini.[6]
Sejarah Hanya mencatat bahwa sebuah stupa dari biara agama Budha yang berdiri di Muara Takus, abad ke-8 dalam daerah Kerajaan Minangkabau Timur. Muara Takus atau Telaga Udang terletak di hulu Kampar.[7]  Selain Itu, beberapa prasasti mengenai Adityawarman dan agama Budha, di anatarnya terdapat di Lima Kaum, yaitu Prasasti Kuburajo I (1347) dan Kuburajo II (1339/1351). Salah satu yang diyakini sebagai jejak agama Budha adalah di antaranya yang bergambar matahari atau teratai (lambang agama Buddha) dan sapaan dalam agama budha Oṃ māṃla.
Sejak era Aditiawarman inilah agama Budha kembali disebut-sebut. Semestinya kehadiran Aditiawarman yang menganut Budha Tantrayana ikut memberi pengaruh perkembangan agama ini.  Ternyata tidak. Untuk hal ini, Hamka menulis:
meskipun rajanya memeIuk agama Hindu atau Budha, orang Minangkabau rupanya telah menyusun kebudayaan dan adat istiadatnya sendiri. Susunan adat dan pemerintahnya berdasarkan kepada dua, yaitu Koto Piliang dan Budi Caniago. Setiap negeri menyusun masyarakatnya dengan dasar kata mufakat dan Maharaja hanyalah sebagai lambang saja, sebab rakyat, disusun dan diatap oleh kepala sukunya masing-masing.[8]
Sanusi Latif juga mengemukaan sebab-sebab lemahnya pengaruh agama Hindu dan Budha di Minangkabau, yaitu:[9]
Pertama: Karena kedua agama tersebut yang datang ke Minangkabau dari Kerajaan Majapahit, di bawa oleh penyerbu. Dengan demikian menimbulkan citra yang kurang simpatik bagi masyarakat di daerah ini.
Kedua, walaupun Adityawarman akhirnya berhasil menjadi raja di Minangkabau, kekuasaannya tidak dapat menjangkau kehidupan masyarakat di nagari-nagari, terutama di daerah Luhak nan Tigo. Dengan demikian, kalaupun ia ingin menyebarkan agama Budha, namun peluang itu amat terbatas.
Ketiga, misinya dalam bidang politik dan militer jauh lebih menonjol sehingga penyebaran agama kurang menjadi perhatiannya. Kedatangannya ke Minangkabau tidak disertai dengan ahli-ahli agama Budha yang cukup untuk menyebarkan agama tersebut di daerah ini. Tidak seperti raja-raja Islam Aceh yang selalu membawa ahli-ahli agama dalam perjalanannya ke daerah-daerah yang dikuasainya.
Keempat, Pengaruh adat dalam masyarakat Minangkabau jauh lebih kuat dan benar-benar berurat berakar sehingga tidak mudah dimasuki oleh paham-paham lainnya, apalagi yang tidak sejalan dengannya.
Kelima, susunan masyarakat menurut kasta-kasta dalam agama Hindu tidak berkenan di hati masyarakat Minangkabau karena sangat bertentangan dengan kehidupan demokratis yang telah mendarah daging bagi mereka. Keinginan Adityawarmnan agar susunan masyarakat berkasta-kasta diberlakukan di Minangkabau, segera mendapat tantangan.
Agama Hindu dan Budha walaupun pengaruhnya amat kecil di Minangkabau, telah bercampur aduk  dengan kepercayaan pra agama dan adat. Menurut Sanusi Latief, kepercayaan tentang reinkarnasi, keharusan membakar kemenyan sebelum berdo’a, serta bermacam-macang kenduri, selamatan di rumah duka dan berkaul ke kuburan dan tempat-tempat yang dipandang keramat atau sakral, sering dikemukakan sebagai contoh tentang sisa-sisa  pengaruh Hindu dan atau kepercayaan animisme dan dinamisme yang telah ada sebelum kedatangan agama Hindu dan Budha.
Dalam situasi yang demikianlah kemudian agama Islam sampai ke daerah ini. Agama Islam menemukan masyarakat di sini telah mempunyai adat dan kepercayaan-kepercayaan pra-agama, ditambah dengan unsur-unsur agama Hindu dan Budha ang belum kuat tertanam.


[1] Sanusi Latif menggunakan isltilah pra agama. James  W Fowler menyebutnya dengan kepercayaan eksistensial. Kepercayaan eksistensial itu sendiri menurutnya merupakan suatu kegiatan relasional, artinya ‘berada-dalam-relasi-dengan-sesuatu. Lebih lanjut lihat  Sari Pemikiran James W. Fowler dalam “Teori Perkembangan Kepercayaan: Karya-karya Penting James W. Fowler”, Editor. A. Supratiknya, Yogyakarta: Kanisius, 1995Kepercaya an
[2] M Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969,(Disertasi)  IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:1988, h.39
[3] MD Mansoer dkk., Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970, h.41
[4] J.L. Moens, Budhisme di Jawa dan Sumatera dalam Masa Kejayaannya yang Terakhir, Jakrata: Bharata, 1974, h. 44
[5] Minangkabau Timur adalah kawasan pertumbuhan kekuasaan Kerajaan Melayu, Sriwijaya, dan Dharmasraya. Wilayahnya membentang sepanjang hulu hingga hilir aliran Sungai Dareh atau Batanghari. Batanghari dan Sungai Dareh pada masa Minangkabau Timur berkembang sebagai pusat perdagangan lada, pusat perekonomian, politik dan budaya Minangkabau  dari abad ke tujuh sampai pertengahan abad keempat belas.
[6] M Sanusi Latif merujuk pada sumber yang ia tulis di catatan kaki, yaitu dari Harry J Benda, Kontinuitas dan Perubahan dalam Islam di Indonesia dalam buku Islam di Indonesia, editor, Taufik Abdullah, Jakarta, Tintamas, 1974 hal. 34;36.
[7] Lihat M Rasyid Manggis, Minangkabau, Sejarah Ringkas dan Adatnya, Padang, Sri Dharma, 1970, hal.172
[8] Hamka, Ayahku, h.3
[9] M Sanusi Latief, Op.Cit., h. 40-42