02 April 2020

Perdebatan Seputar Adat Matriarkat


Perdebatan Seputar Adat Matriarkat
Muhammad Nasir

Untuk melihat bagaimana gambaran konflik seputar tema-tema dalam adat matriarkat Minangkabau, dipandang perlu melacak konsepsi adat Minangkabau tentang a) hubungan kekerabatan, b) konsepsi tentang harta dan pewarisannya, dan c) konsepsi perkawinan. Ketiga konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:

1-   Debat tentang Kekerabatan Matrilineal
Sejak kehadiran Islam, terutama sejak intensifnya pengajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau di pertengahan abad ke-17 masehi, konsep Matrilineal ini mendapat tantangan baru dari masyarakat Minangkabau yang melihat Islam justru membawa ajaran yang terkesan patrilinial. Selain itu, debat tentang adat matrilineal ini berkisar sekitar penentuan suku yang bergaris kepada keturunan ibu yang dianggap menyalahi prinsip garis keturunan (Nashab) dalam agama Islam.
Pendukung adat Minangkabau berkeyakinan, Minangkabau itu Matrilineal/matriarkat, jika tidak Matrilineal/matriarkat bukan Minangkabau lagi namanya. Semua tatanan adat Minangkabau disusun dalam konsep ini. Oleh sebab itu, debat-debat yang bertema adat Matrilineal ini menjadi bagian pokok pada gerakan pembaharuan Islam gelombang pertama. Meskipun bukan menjadi tema awal, namun segala persoalan adat yang diperdebatkan pada akhirnya bermuara ke tema ini. Debat ini masih berlangsung sampai sekarang. Namun meskipun setelah melewati masa yang panjang, sebagian besar adat matriarkat ini justru masih bertahan. Ada kemungkinan, penghormatan terhadap wanita dalam agama Islam sebagaimana terdapat juga dalam adat Minangkabau yang Matrilineal.
Penjelasan
Masyarakat Minangkabu dalam pengetahuan umum disebut menganut sistem kekerabatan matrilineal dengan ciri-ciri pokok menarik garis keturunan dari garis ibu. Demikian banya tertulis dalam berbagai teks yang menjelasakan tentang adat matrilineal Minangkabau. Kesalahan dalam penulisan frasa garis keturunan ini justru menimbulkan kesalahan dalam memahami sistem kekerabatan Minangkabau. Apalagi bila frasa garis keturunan ini secara bersamaan digunakan dengan frasa garis kekerabatan, garis keluargaan atau garis perkauman tanpa seleksi dan kesadaran atas konsekwensi penggunaannya. Generasi Minangkabau modern sering memahaminya dengan istilah garis keturunan, kecuali beberapa di antara mereka yang sudah mendekati sistem kekerabatan Minangkabau ini dengan pedekatan sosiologis dan antropologis.
Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan pada hakikatnya adalah istilah yang netral untuk menunjukkan hubungan antar individu dalam sebuah kelompok  merupakan hubungan antara tiap entitas yang memiliki asal usul silsilah yang sama, baik melalui keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Dalam antropologi, sistem kekerabatan termasuk keturunan dan pernikahan, sementara dalam biologi istilah ini termasuk keturunan dan perkawinan. Berdasarkan definisi antropologis dan biologis ini, hubungan kekerabatan yang dimaksud semestinya dapat dipahami dalam sebuah istilah normal lainnya yang disebut dengan keluarga.
Keluarga merupakan afiliasi individu dalam masyarakat. Dalam susunan masyarakat, keluarga disebut sebagai unit sosial terkecil.[1] Dalam susunan ini, ada tiga jenis keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear family), keluarga konjugal dan keluarga luas (extended family).
Keluarga Inti (nuclear family), adalah keluarga yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari suami, istri, dan anak- anak baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi. Keluarga Konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak mereka yang terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua.[2] Baik dari keluarga pihak ibu maupun dari pihak ayah. Keluarga luas (extended family) yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya. Keluarga luas meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan keluarga nenek. Hubungan itu juga dikenal dengan Keluarga Besar, atau hubungan yang terjadi antargenerasi, misalnya: kakek, orang tua, anak, cucu. [3]
Berdasarkan jenis-jenis keluarga di atas, membaca sistem kekerabatan di Minangkabau mesti dilakukan dengan pendekatan jenis keluarga konjugal yang menekankan pada pengelompokan berdasarkan interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Berdasarkan pendekatan ini, orang Minangkabau memiliki interaksi dengan kerabat orang tuanya baik dari pihak ayah maupun di pihak ibu. Status individu dalam kedua kerabat ini akan berbeda-beda dan memiliki konsekwensi hukum, hak dan kewajiban yang berbeda-beda. Para anggota keluarga dari jalur ibu dan ayah ini dipandang sebagai saudara (dunsanak). Ada dua jenis dunsanak di Minangkabau. Pertama, dunsanak saparuik (seperut) yaitu dunsanak menurut garis keturunan ibu yang diurutkan dari nenek perempuan. Kedua, Dunsanak Batali Darah, yaitu dunsanak menurut garis keturunan ayah, baik laki-laki maupun perempuan. Dunsanak dari pihak ayah ini lazim disebut dengan Bako.
Seorang anak di Minangkabau di kelompok kerabat ibunya mendapat status sebagai kemanakan. Kelompok keluarga ibunya ini secara berurutan dari yang paling inti hingga paling luas adalah samande (seibu/dari satu ibu), saparuik (dari satu nenek), sajurai (dari satu keturunan), sakaum (dari satu kelompok keluarga) dan sasuku (dari satu suku).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, yang dimaksud dengan “garis keturunan” ditarik dari garis ibu adalah pengelompokan keluarga berdasarkan interaksi dengan kerabat dari garis ibu, hingga terbentuk sebuah suku yang matrilineal. Suku merupakan identitas sekaligus bentuk  pengelompokan terpenting dalam masyarakat Minangkabau.  Meskipun demikian, pengelompokan keluarga dari jalur kerabat ayah bukan tidak penting dan ditiadakan. Justru, kerabat dari pihak ayah mempunyai posisi yang penting dalam penciptaan aneka upacara adat dan acara kekeluargaan di Minangkabau. Misalnya, acara babako di berbagai acara kelahiran, perkawinan, kematian dan sebagainya justru diadakan demi menghadirkan eksistensi keluarga pihak ayah dalam masyarakat Minangkabau.
Ditinjau dari segi ajaran Islam, pengelompokan keluarga terutama pengelompokan suku, baik dari garis kerabat ibu (matrilineal) atau garis kerabat ayah (patrilineal) bukanlah hal yang penting untuk diperdebatkan.  Di Arab yang patrilineal pengelompokan suku berdasarkan kepada garis kerabat ayah (‘Ashabah), hingga di kenal istilah Bani Hasyim (keluarga Hasyim yang menurunkan Nabi Muhammad SAW, yang juga nenek moyang pendiri Dinasti Bani Abbasiyah), Bani Umayyah (Keluarga Umayyah yang menurunkan Utsman bin Affad dan Muawiyah bin Abi Syofyan, pendiri Dinasti Bani Umayyah), Bani  ‘Adi (Keluarga dan nenek moyang Khalifah Umar bin Khattab), Bani Makhzum (keluarga dan nenek moyang Khalid bin Walid, panglima perang Islam terkenal), Bani Tamim (keluarga dan klan Abu Bakar Ash Shiddiq, khalifah Islam pertama) dan lain-lain.
Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah mencela pengelompokan masyarakat atas identitas kesukuan (Ashabiyah).[4]Adapun ‘ashabiyah secara umum (kekeluargaan, kemargaan, kesukuan dan kebangsaan) yang muncul dari naluri dan fithrah manusia bukan perkara yang tercela dan haram. Eksistensi suku dan bangsa, kenyataan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun termasuk oleh kaum radikal, karena Allah swt sendiri yang telah menciptakan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.[5] Rasulullah SAW menyatakan dirinya berasal dari suku Quraisy. Ketika Beliau hijrah ke Yatsrib, eksistensi suku-suku di sana tetap diakui, dijaga dan dipelihara. Terbukti di Piagam Madinah, Rasulullah saw menyebut satu per satu suku-suku yang ada termasuk dari suku-suku dari bangsa Yahudi dan musyrikin. Setiap suku dibiarkan tetap dengan adat, tata aturan dan hukum yang selama ini berlaku selama tidak bertentangan dengan risalahnya. Setiap suku punya kepala suku dan bendera perang (rayah) masing-masing. Mereka juga memiliki rayah (panji perang). Rayah-rayah di bawah ketika mereka berperang bersama Rasulullah SAW.
Rasulullah SAW hanya mencela semangat kesukuan yang didasari atas sikap bodoh (Majhul). Nabi SAW mengatakan Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah (HR Abu Dawud). Maksud ‘ashabiyah di sini adalah siapa yang mengajak orang untuk berkumpul atas dasar ‘ashabiyah, yaitu bahu-membahu untuk menolong orang yang zalim. Sementara al-Qari menyatakan, Bahu-membahu untuk menolong orang karena hawa nafsu.[6]
Selain persoalan kesukuan di atas, sesuatu yang patut dijelaskan adalah soal salah kaprah memahami frasa Garis Keturunan. Adat Minangkabau, memiliki istilah sendiri untuk menyebutkan pengelompokan garis kekerabatan ini, baik secara genealogis-biologis, maupun genealogis-konjugal.  Secara genealogis-biologis orang Minangkabau menarik garis keturunan dari ayah yang dikenal dengan ungkapan banasab ka bapak (bernasab ke Bapak/Ayah). Sedangkan secara genealogis teritorial dikenal istilah bakarik ka ibu (berkerabat ke keluarga ibu). Kedua istilah ini relatif baru dan diduga diciptakan setelah kedatangan Islam ke Minangkabau. Meskipun istilah tersebut baru tercipta, namun secara substansi tidak ada yang berubah bila dilihat dari praktik interaksi anggota kaum dengan anggota keluarga mereka dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Jika secara keseluruhan urutan keluarga mulai dari keluarga samande (seibu/dari satu ibu), saparuik (dari satu nenek), sajurai (dari satu keturunan), hingga sakaum (dari satu kelompok keluarga) menunjukkan ciri ikatan kekerabatan yang terbentuk dalam garis genealogis, maka keluarga sasuku (dari satu suku) menunjukkan ikatan kekeluargaan yang berbasis pada genealogis dan teritorial. Dengan demikian, masyarakat hukum adat Minangkabau  ditelaah secara seksama menurut susunannya, merupakan gabungan kekerabatan yang berdasarkan keturunan (genealogis) dan lingkungan daerah (teritorial). [7]

2-   Debat tentang Harta dan Sistem Pewarisan
Orang Minangkabau mempunyai definisi tersendiri tentang harta. Termasuk dalam kategori harta dalam kebudayaan Minangkabau adalah Harato dan Pusako. Harato adalah kemakmuran Kaum, sedangkan Pusako adalah benda-benda kehormatan kaum.[8] Bagi masyarakat Minangkabau. warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan gelar maupun warisan harta yang biasanya disebut sako dan pusako. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh pepatah adat;
biriak-biriak turun ka samak,
tibo di samak mancari makan.
Dari niniak turun ka mamak,
dari mamak turun ka kamanakan.

Sebagai warisan harta yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dibagi-bagi oleh yang berhak. Setiap harta yang telah jadi pusaka tinggi selalu dijaga agar tinggal utuh. demi untuk menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana yang diajarkan falsafah alam dan hukum adat Minangkabau. Pada gilirannya diturunkan pula kepada kemenakan berikutnya. Kemenakan laki-Iaki dan perempuan yang berhak menerima warisan memiliki kewenangan yang berbeda. Kemenakan laki-Iaki mempunyai hak mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki. Dalam mamang adat disebutkan warih dijawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka ditolong). Maksudnya bahwa sebagai warisan harta itu diterima dari mamak, dan sebagai pusaka harta itu harus dipelihara dengan baik. Bagi seorang laki-Iaki yang berhasil mengumpulkan kekayaan, tugasnya yang utama ialah memegang sawah dan ladang yang diperuntukkan bagi saudara kandung. Maksud saudara kandung di sinilah ialah saudaranya yang perempuan. Hal ini diungkapkan pantun sebagai berikut:
Apo guno kabau batali,
Lapeh ka rimbo jadi jalang,
Pauikan sajo di pamatang,
Apo guno badan mancari,
Iyo mamaga sawah jo ladang,
Nak mambela sanak kanduang.[9]

Sistem pewarisan Matrilineal ini kemudian menjadi bahan perdebatan panjang dalam kebudayaan Minangkabau karena dianggap bertentangan dengan sistem kewarisan Islam yang lebih berorientasi kepada laki-laki.

Penjelasan
Masyarakat Minangkabau membagi harta kepada dua bentuk, yaitu Sako dan Pusako. Ketentuan adat mengenai Sako dan Harato Pusako dapat ditemukan dalam ungkapan adat Hak Bapunyo (hak berpunya), Harato Bamiliak (harta bermilik). Sako maupun Harato Pusako pada dasarnya dikuasai atau menjadi milik bersama-milik kolektif oleh kelompok Samande (seibu) atau seperinduaan (satu induk), Sajurai-sakaum, Sasuku dan sa-Nagari.[10]
Sako secara bahasa berarti asal atau tua, seperti tersua dalam ungkapan Minangkabau Sawah banyak padi dek urang, lai karambia sako pulo (Sawah banyak, tapi padinya untuk orang lain, ada memiliki kelapa tetapi sudah tua pula). Sako dalam pengertian adat Minangkabau adalah segala kekayaan asal atau harta tua berupa hak atau kekayaan tanpa wujud. Kekayaan yang in material ini disebut juga dengan pusako kebesaran seperti:
-          Sako Induak (adat matrilineal);
-          Gelar Datuak pada panghulu;
-          Pepatah petitih;
-          Pidato adat;
-          Hukum adat;
-          Tata krama dan hukum sopan santun diwariskan kepada semua anak kemenakan dalam suatu nagari, dan kepada seluruh ranah Minangkabau.
Soko sebagai kekayaan tanpa wujud merupakan rohnya adat dan memegang peranan yang sangat menentukan dalam membentuk moralitas masyarakat adat Minangkabau pada umumnya.
Adapun Pusako adalah segala kekayaan materi dan harta benda yang dimiliki secara kolektif oleh kaum di Minangkabau. Pusako dalam bentuk yang lebih kongkrit dapat juga disebut dengan Harato Pusako. Yang termasuk Pusako Harato ini seperti:
·         Hutan tanah;
·         Sawah Ladang;
·         Kolam dan padang;
·         Rumah dan pekarangan;
·         Pandam perkuburan (Tanah perkuburan yang dimiliki oleh suku, oleh kaum, kampung );
·         Perhiasan dan uang;
·         Balai Musajik (masjid) dan surau
·         Peralatan dan lain-lain.
·         Banda buatan jo batang aie
·         Lambang kebesaran seperti keris baju kebesaran, saluak, deta dan sebagainya.

Pusako ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan perlengkapan bagi anak kamanakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan yang berlatar belakang kehidupan yang agraris. Dengan demikian harato pusako merupakan  simbol kebersamaan dan kebanggaan keluarga dalam sistem kekerabatan matirilinial Minangkabau.
Berdasarkan cara memperolehnya, Harato Pusako terbagi dua, yaitu Harato Pusako Tinggi dan Harato Pusako Randah. Penjelasannya sebagai berikut :

·      Harato Pusako Tinggi
Yang dimaksud harato pusako tinggi ialah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun temurun sesuai dengan pantun sebagai berikut :
Biriak-biriak tabang ka sasak
Dari sasak turun ka halaman
Dari niniak turun ka mamak
Dari mamak turun ka kamanakan[11]

Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari mamak ka kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan Pusako Basalin. Dalam hal pembagian harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat seperti pantun berikut :
Tajua indak dimakan bali (terjual tidak bisa dibeli)
Tasando indak dimakan gadai (Agunan yang tak dapat digadaikan)

Hal ini berarti bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh dijual. Oleh karena harta pusaka tinggi sesungguhnya bukan diwariskan dari mamak kepada kemenakan, tetapi dari ande atau nenek kita, jadi harta pusako tinggi tidak saja milik orang yang hidup pada masa sekarang ini tetapi juga generasi berikutnya. Kewajiban orang yang sedang menguasai harato pusako tinggi sekarang adalah memelihara dan boleh memanfaatkannya, untuk kepentingan dan kehidupan saat sekarang, seperti tertulis dalam mamang adat aianyo buliah disauak, buahnya buliah di makan, tanah jo buminya adat nan punyo (airnya boleh diambil, buah (hasilnya buminya) boleh dimakan, namun tanah dan buminya adalah kepunyaan adat).
Harato Pusako juga disebut dengan Ulayat. Karena Harato Pusako merupakan harta berwujud, maka kepemilikan harta ulayat ini ada di tangan kaum. Ulayat kaum ini tidak boleh di perjual belikan. Ulayat kaum ini dikuasai oleh mamak kepala kaum atau mamak kepala waris. Ulayat kaum dimanfaatkan oleh anggota kaum yang perempuan. Pemanfaatan ini tidak selamanya, namun suatu saat dapat dialihkan apabila satu kelompok dari kaum yang memakai tanah itu punah,[12] harta itu kembali dikembalikan kepada mamak kepala kaum untuk dialihkan kepada anggota kaum yang lain yang tertera di dalam ranji (silsilah) secara adat kaum tersebut. Keluarga dari kelompok yang punah itu tidak boleh menjual tanah itu karenah tanah itu bukan hakiki miliknya, tapi hanya hak pakai selagi keturununnya yang satu ranji masih ada.  Harta ulayat ini juga dapat diambil kembali oleh mamak kepala kaum bila anggota kaum yang sedang diberi hak untuk memakainya melakukan pelanggaran adat yang membuatnya kehilangan hak adat dalam kaumnya tersebut.
Di samping kegunaan praktis oleh anggota kaum, hasil pemanfaatan ulayat ini juga dapat digunakan untuk keperluan kaum yang lebih luas. Menurut Syekh Sulaiman al Rasuli (1939), hasil pemanfaatan harta ulayat dapat digunakan untuk keperluan ongkos-ongkos (biaya operasional) penghulu, mamak rumah dan mamak kepala kaum, karena mereka bekerja untuk keperluan orang nan serumah, sekaum dan sepayung.[13]
Meskipun dalam teorinya harato pusako tidak dapat diperjual belikan dan tidak dapat digadaikan, namun  ada keadaan darurat yang mesti dilaksanakan secara ketat bila ingin menggadaikan harato pusako ini, yaitu: pertama, Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah). Maksudnya untuk keperluan upacara kematian seorang anggota kaum yang dihormati harus sama agungnya dengan upacara perkawinan ataupun penobatan penghulu. Jadi bukan untuk sembarang anggota kaum. Kedua, Managakkan Gala Pusako (dalam istilah lain mambangkik batang tarandam) yaitu untuk biaya mendirikan gelar pusaka, meresmikan gelar penghulu baru menggantikan penghulu yang tidak dapat berfungsi lagi karena mengundurkan diri atau karena meninggal. Keadaan darurat dapat dipahami dari arti pentingnya penghulu dalam masyarakat Minangkabau. Ketiga, Gadih gadang indak balaki (gadis dewasa belum bersuami), yaitu untuk biaya persiapan dan pelaksanaan perkawinan seorang gadis yang biasanya mahal karena perjamuan yang berlarut-larut. Perempuan bagi adat Minangkabau adalah simbol kewibawaan, keberlanjutan keturunan dan pewarisan harato pusako. Oleh sebab itu kedaruratannya dapat dilihat urgensi adat tersbut. Keempat, Rumah gadang katirisan (rumah gadang yang sudah rusak), yaitu biaya memperbaiki rumah gadang yang telah rusak. Rumah Gadang merupakan institusi terpenting dalam adat. Kedaruratannya dilihat dari fungsi rumah gadang sebagai simbol eksistensi kaum, tempat musyawarah dan basis kepemimpinan penghulu. Sehingga, di banyak daerah Minangkabau, rumah gadang sering dinamakan dengan nama datuak penghulu kaumnya, misalnya Rumah Gadang Datuak Bandaro Kuniang di Limo Kaum, Tanah Datar.

·      Harato Pusako Randah
Yang disebut dengan harta pusaka randah adalah segala harta hasil pencarian dari bapak bersama ibu (orang tua) selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian dari hasil pencaharian kakek (angku) bersama nenek, termasuk pemberian mamak kepada kamanakannya dari hasil pencarian mamak dan tungganai itu sendiri. Harta pencaharian dari orang tua atau bapak bersama ibu ini, setelah diwariskan kepada anak-anaknya disebut dengan “harta-susuk”. “harta-susuk” ini mempunyai potensi besar di masa mendatang untuk menambah “ harta pusaka tinggi” di Minangkabau.

3-   Debat tentang Sistem Perkawinan
Perdebatan yang berlangsung di seputar sistem perkawinan antara lain tentang sistem residensi matrilokal yang dianggap berdampak pada status dan kewibaan laki-laki (suami) dalam keluarganya. Sistem residensi matrilokal ini juga dianggap oleh penentangnya sebagai bentuk pengabaian terhadap agama, dengan menggunakan dalil Al Qur’an Surat An Nisa’ (4) ayat ke-34 yaitu: “Laki-laki itu pemimpin atas kaum wanita...” 
Debat yang paling sensasional hingga sekarang adalah tentang perkawinan ke luar suku (eksogami). Larangan kawin sesuku secara general dianggap sebagai langkah keliru sebab tidak ada dalil larangannya dalam agama.
Untuk melihat bagaimana gambaran debat berikut penjelasannya, akan diuraikan sebagai berikut:
a-   Sistem Residensi Matrilokal
Orang Minangkabau menganut sistem residensi matrilokal, yaitu bila seorang laki-laki telah meniah, maka ia akan tinggal di rumah keluarga istrinya. Statusnya di dalam keluarga istrinya adalah orang datang atau sumando. Ia sama sekali tidak mempunyai hak atas harta kaum yang ada di bawah penguasaan istrinya.
Pada perkawinan Matrilokal seorang suami hanya datang ke rumah isterinya pada malam hari, sedangkan siang hari ia berusaha di rumah orang tuanya (kaumnya) untuk mencari penghidupan. Perkawinan ini tidak mengubah masing-masing orang masuk ke dalam kelompok yang satu, tetapi tetap seperti pada awalnya, si suami tetap sebagai anggota kaum dari suku ibunya, dan si isteri tetap sebagai anggota kaum dari suku ibunya juga. Jadi masing-masing pihak tetap merupakan anggota dari kaum masing-masing.[14]
Sistem perkawinan ini juga menuai perdebatan di kalangan masyarakat Minangkabau. Namun eskalasi perdebatan tidak terlalu tajam, sebab memperdebatkan hal ini di ruang publik merupakan suatu yang tabu bagi masyarakat Minangkabau. Meskipun demikian, suasana kebatinan masyarakat Minangkabau tidak dapat menyembunyikan masalah ini. Meski tidak dalam debat terbuka, masalah ini muncul dalam berbagai peristilahan dan pantun-pantun satire.  Laki-laki yang sudah menikah dan menjadi sumando di rumah keluarga istrinya disebut dengan abu di ateh tunggua. Posisinya sangat rentan dan setiap saat bisa saja tersingkir ibarat abu di atas tunggul, tak berakar dan mudah diterbangkan angin.
Situasi inilah yang menuai kritik setelah kedatangan Islam. Menurut yang mengkriti, Islam menempatkan laki-laki dalam posisi yang kokoh. Lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita (Q.S. An Nisa’:34), Laki-laki itu adalah kepala keluarga (Hadits). Nilai-nilai baru yang dibawa Islam ini kemudian menjadi dasar untuk mempertanyakan kembali sistem residensi matrilokal ini.
Residensi Matrilokal merupakan konsekwensi dari perkawinan eksogami. Perkawinan eksogami meletakkan para istri pada status yang sama dengan suaminya. SteIsel matrilineal serta pola hidup komunal menyebabkan mereka tidak tergantung pada suaminya. Walaupun suami sangat dimanjakan di dalam rumah tangga, ia bukanlah pemegang kuasa atas anak dan istrinya. Jika ia ingin terus dimanjakan, maka ia harus pandai-pandai pula menyesuaikan dirinya.[15] Sistem ini akhirnya dianggap sebagai penyebab hilangnya wibawa laki-laki di rumah keluarga istrinya.
Menurut Mochtar Naim[16]sistem ini tidak cukup memberi tempat yang kokoh bagi laki-laki dalam kehidupan keluarga, dalam arti bahwa dia tidak mempunyai kekuasaan yang mantap di rumah isterinya dan tldak pula di rumah ibunya sendiri. Ia oleh karena itu merasa terombang-ambing, kurang terjamin dan selalu gelisah. Lebih lanjut Mochtar Naim menjelaskan dalam sistem perkawinan seperti ini, suami dan isteri masing-masingnya tetap merupakan bahagian dari keluarga induk masing-masing. Perkawinan mereka tidak lantas berarti bahwa mereka telah menciptakan sebuah keluarga batih baru yang terlepas dari keluarga induk masing-masing. Hubungan marital mereka oleh karena itu sering mengalami kegoncangan, karena hubungan mereka lebih ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, berupa intervensi dari salah satu atau kedua keluarga induk, dan sebagainya daripada faktor-faktor internal antara sesama suami-isteri. Dorongan merantau akhirnya muncul sebagai usaha untuk melepaskan diri dari keluarga induk untuk dapat membangun keluarga batih sendiri yang terhindar dari berbagai intervensi keluarga besar.
Di sisi yang lain, laki-laki Minangkabau walaupun terhitung sebagai anggota keluarga di rumah ibunya, tidak dapat menikmati harta keluarga. Dia tidak dapat mengerjakan sawah keluarga untuk dibawa hasilnya ke rumah anaknya, kecuali jika seizin saudara-saudara perempuannya. Karenanya dia merasa tidak terlalu terikat dengan tanah dan tanahpun tidak mengikatnya untuk tetap tinggal di kampung. Sebaliknya, dari tugas dan tanggungjawabnya, malah dia didorong untuk memperbanyak tanah yang ada dari hasil yang diperdapat di rantau. Keluarganya, dan malah dia sendiri, merasa telah memenuhi panggilan jika dapat berkirim pulang untuk membeli atau memagang sawah baru.
Selain itu tanggungjawab ganda yang dia pikul (baik sebagai bapak terhadap anaknya, sebagai mamak terhadap kemenakannya, sebagai saudara laki-Iaki terhadap saudara-saudara perempuannya, maupun sebagai anggota keluarga dan sebagai anggota masyarakat kampungnya) mungkin dirasa terlalu berat untuk dihadapi secara sekaligus. Karenanya dia cenderung untuk mengelakkan dan malah melepaskan tanggungjawabnya itu. Ada semacam perasaan “terlalu dibebani” untuk hidup di kampung, sedang sementara itu dia tahu bahwa di kampung tak banyak yang bisa dia lakukan untuk penyambung hidupnya.

b-   Sistem Perkawinan Eksogami
Minangkabau menganut paham Eksogami MatriliniaI dalam hal perkawinan, dalam arti kata seorang pria Minangkabau tidak boleh mengawini wanita dari kelompok suku asalnya sendiri. Dari sinilah mulai muncul perdebatan, mengapa pernikahan sesuku dilarang?
Sebagaimana disebut dalam pembahasan terahulu, bahwa perkawinan dalam adat Minangkabau bukan hanya ikatan pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan, tetapi ikatan antar keluarga atau antar kaum. Hal ini digambarkan dalam ungkapan adat:
~kawin jo mamak, nikah jo parampuan~
Oleh sebab itu, perlu dijelaskan dan dibedakan tentang istilah pernikahan dan perkawinan. Pernikahan adalah istilah syara’ yang telah membuat ketentuan yang jelas tentang siapa saja yang boleh dinikahi dan siapa saja yang tidak. Ketentuan ini disebut dengan Mahram. Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan, sepersusuan dan sebab-sebab pernikahan dalam syariat Islam.
Perkawinan sasuku di Minangkabau bukan dalam konteks perkawinan halal dan haram, tapi perkawinan yang dibangun atas dasar raso jo pareso dan sumpah/kesepakatan dalam aturan niniak muyang yang telah menyusun adat Minangkabau.
Sedangkan yang dilarang sepanjang adat Minangkabau adalah perkawinan sesuku dalam pengertian membangun ikatan kekerabatan perkawinan antar orang dalam suku dalam bentuk ikatan pernikahan. Hal ini disebut dengan Kawin Pantang karena akan menyebabkan hilangnya status dan kehormatan seseorang dalam sistem kekerabatan matrilinial Minangkabau, serta terbentuknya hubungan yang canggung dalam kaum kerabatnya.
Di Minangkabau Suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata menyangkut perintah dan larangan, yang menyangkut hubungan manusia dengan tuhannya saja, tapi juga hubungan sesama manusia membawa yang membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami istri, harta bersama, kedudukan anak dalam keluarga, hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggan. Dalam lingkup yang lebih besar menyangkut status dan posisinya dalam upacara-upacara adat. Bagi yang malaksanakan kawin pantang ini dianggap tercela dan hina, ibarat ungkapan:
Bak cando buah baluluak, tacampak ka lauik indak dimakan ikan, Tacampak ka darek indak dicotok ayam
Mereka yang melanggar pantang ini berhak mendapat hukuman adat. Adapun hukuman yang lazim sepanjang adat Minangkabau adalah:
-          Dibuang sepanjang adat,
-          Membubarkan Perkawinan,
-          Dikeluarkan dari kampung,
-          Hukum denda berupa emas, uang atau hewan ternak berkaki empat
Tujuan hukuman dan denda secara adat bukan adalah untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa ada pihak-pihak yang telah melanggar pantang secara adat.

Tingkatan Kondisi Perkawinan Sasuku
1)   Sasuku-Saparuik
Sasuku-Saparuik adalah hubungan satu suku yang bertalian saurek sarambun. Keduanya berasal dari satu niniak dan seterusnya. Jika keduanya dibiarkan menikah maka bisa merusak susunan hubungan kekeluargaan dalam suku. Jika mempunyai anak, maka anaknya sendiri adalah kemenakannnya, mamak rumahnya adalah dunsanaknya sendiri dan jika terjadi perselihan antara keduanya dikhawatirkan bisa merusak hubungan satu suku atau keluarga besar.
Perkawinan Sasuku-Saparuik ini adalah pelanggaran paling berat. Jenis perkawinan ini tidak dibolehkan (dipakok mati). Hukuman untuk pernikahan jenis ini biasanya adalah terusir dari kampung dan tak mempunyai hak atas kaum dan nagarinya. Selain itu, keluarga saparuik juga dikenakan sanksi adat dan denda adat oleh Kerapatan Niniak Mamak. Sanksi ini berakhir apabila yang bersangkutan lah tunduak ka barih lah patuah ka pusako.
2)   Sasuku-Sapayuang
Sasuku-Sapayuang ini adalah bila seorang laki-laki dan permpuan memiliki suku yang sama tapi berasal dari niniak yang berbeda namun masih satu Datuk (penghulu kaum). Jenis perkawinan ini juga tidak dibolehkan (dipakok mati), termasuk pelanggaran yang tergolong berat dan hukumannya masih sama dengan kondisi sasuku-saparuik. Selain itu, keluarga saparuik juga dikenakan sanksi adat dan denda oleh Kerapatan Niniak Mamak. Sanksi ini berakhir apabila yang bersangkutan lah tunduak ka barih lah patuah ka pusako.
3)   Sasuku-Sakampuang
Sasuku-Sakampuang adalah bila seorang laki-laki dan perempuan memiliki suku yang sama namun tidak satu niniak dan tidak satu Datuk, hanya satu kampung. Jenis perkawinan ini juga tidak dibolehkan (dipakok mati). Kampuang dalam adat Minangkabau merupakan basis hunian (teritorial) suku. Meskipun orang sesuku dalam sekampung belum tentu berasal dari satu kaum pesukuan, namun akibat statusnya sebagai pendatang yang malakok[17] kepada suku yang menghuni kampung terlebih dahulu, mereka dianggap badunsanak (bersaudara), dan berbagi hak dalam memakai harta pusaka kaum. Hukuman untuk hubungan pernikahan sasuku-sakampuang ini adalah denda berat dan keluarga ke dua belah pihak dikenai dengan sanksi adat dan denda berat.
4)   Sasuku-Sanagari
Sasuku-Sanagari adalah bila seorang laki-laki dan perempauan menikah tetapi keduanya memiliki suku yang sama, namun tidak satu nenek, tidak satu Datuk, tidak satu kampung hanya satu nagari. Hukuman untuk pernikahan Sasuku-Sanagari adalah hukuman adat dan membayar sanksi kepada Kerapatan Niniak Mamak di tingkat Nagari. Sanksi ini berakhir apabila yang bersangkutan lah tunduak ka barih lah patuah ka pusako.
5)   Hanya Nama Suku yang Sama
Jenis pernikahan ini adalah kondisi di mana hanya nama suku saja yang sama, sementara nagari, kampung dan lainnya sudah berbeda. Kedua pasangan tak bisa menghindari jenis perkawinan ini diperbolehkan untuk menikah, namun keluarga kedua belah wajib membayar uang adat kepada Kerapatan Niniak Mamak di tingkat Nagari.
Berdasarkan uraian di atas, larangan perkawinan sesuku merupakan sebuah sistem sosial yang dibangun oleh orang Minangkabau untuk memelihara adatnya. Larangan itu muncul untuk menyelamatkan status dan kedudukan seseorang dalam adat Minangkabau. Namun agar terhindari dari kerancuan, maka penggunaan istilah Larangan Kawin Sasuku sebaiknya dihindari. Ada baiknya menggunakan istilah Pantangan Kawin Sasuku. Kata “Larang” dalam bahasa Minangkabau harus dipahami sesuai konteksnya. Beberapa daerah  menggunakan kata “Larang” dengan makna “Jarang”. Selain itu ada juga yang menggunakan kata “Larang” untuk maksud “Pantang.”

Debat perkawinan eksogami ini berlangsung terus hingg zaman sekarang. Namun jika dilihat substansi isunya tidak lebih karena pertama; kesalahan dalam memahami konsep perkawinan dalam adat Minangkabau, kedua; hubungannya dengan struktur sosial masyarakat Minangkabau itu sendiri. Selain itu, alasan ketiga; faktor cinta buta yang membuat orang Minangkabau terutama para generasi mudanya ingin mewujudkan rumah tangga dengan orang yang dicintainya.



[1] William J.Goode, Sosiologi Keluarga, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, h.4
[2] Richard R Clayton. The Family, Mariage and Social Change. Lexington: DC Heath, 1975
[3] R.B. Soemanto, Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Keluarga, Modul Perkuliahan, Universitas Terbuka: 2014
[4] ‘Ashabiyah adalah sifat yang diambil dari kata ‘ashabah. Dalam bahasa Arab, ‘ashabah berarti kerabat dari pihak bapak. Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela keluarga, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak, dari siapapun yang menyerang mereka. Lihat Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab, Dar al-Fikr: t.t., h. 606).
[5] Lihat Al Quran surat al-Hujurat (10) ayat 13
[6] Muhammad Syamsu al-Haq, ‘Aun al-Ma’bud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Jilid XIV., t,t., h.17
[7] Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, h. 95.
[8] A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, h.139
[9] Ibid., h.159
[10] Tentang istilah ini, lihat pembahasan sebelumnya poin a- tentang kekerabatan matrilineal
[11] Langgam ini disusun oleh Syekh Sulaiman al Rasuli (Inyiak Canduang). Pantun adat ini juga disebut oleh Inyiak Canduang dengan istilah hadis Melayu.
[12] Punah adalah istilah untuk suatu keluarga tanpa anak perempuan dan karena itu tidak ada keturunan untuk menerima warisan
[13] Syekh Sulaiman Al Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’ (1939), Alih tulisan Arab Melayu ke Latin oleh Hamdan Izmy,  Jakarta: Ciputat Press, 2003, h. 26
[14] Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia, h.318-319
[15] A.A. Navis., Op.Cit., h.194
[16] Mochtar Naim, Pola Migrasi Suku Minangkabau,Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984, h. 279-280
[17] Malakok adalah proses bergabungnya seseorang dengan adat Minangkabau, sehingga orang tersebut bisa disebut orang minangkabau. Malakok diharuskan bagi anggota masyarakat pendatang yang berasal dari luar adat nan salingka nagari atau dari luar Minangkabau. Para pendatang dapat dimasukkan kedalam sebuah suku yang ada di nagari tempatannya. Proses malakok yang paling sering terjadi adalah proses malakok urang Samando karena hubungan perkawinan,serta para pendatang dari berbagai negeri Minangkabau yang mencari induk (indu) sukunya kepada suku yang telah ada di nagari tempatannya. Terakhir, proses malakok juga terjadi di wilayah Pasaman Barat, warga Mandailing dan Batak yang menghuni ulayat suku Minangkabau malakok dan mengambil salah satu suku dari suku minangkabab yang ada di nagari itu. Hal yang sama juga terjadi di Dharmasraya dan Sijunjung oleh warga Jawa yang menghuni wilayah tersebut melalui program transmigrasi.

No comments: