Perdebatan
Seputar Adat Matriarkat
Muhammad Nasir
Untuk melihat
bagaimana gambaran konflik seputar tema-tema dalam adat matriarkat Minangkabau,
dipandang perlu melacak konsepsi adat Minangkabau tentang a) hubungan
kekerabatan, b) konsepsi tentang harta dan pewarisannya, dan c) konsepsi
perkawinan. Ketiga konsep tersebut akan dijelaskan sebagai berikut:
1-
Debat tentang Kekerabatan Matrilineal
Sejak kehadiran Islam,
terutama sejak intensifnya pengajaran Islam kepada masyarakat Minangkabau di
pertengahan abad ke-17 masehi, konsep Matrilineal ini mendapat tantangan baru
dari masyarakat Minangkabau yang melihat Islam justru membawa ajaran yang terkesan
patrilinial. Selain itu, debat tentang adat matrilineal ini berkisar sekitar
penentuan suku yang bergaris kepada keturunan ibu yang dianggap menyalahi
prinsip garis keturunan (Nashab) dalam agama Islam.
Pendukung adat Minangkabau
berkeyakinan, Minangkabau itu Matrilineal/matriarkat, jika tidak Matrilineal/matriarkat
bukan Minangkabau lagi namanya. Semua tatanan adat Minangkabau disusun dalam
konsep ini. Oleh sebab itu, debat-debat yang bertema adat Matrilineal ini
menjadi bagian pokok pada gerakan pembaharuan Islam gelombang pertama. Meskipun
bukan menjadi tema awal, namun segala persoalan adat yang diperdebatkan pada
akhirnya bermuara ke tema ini. Debat ini masih berlangsung sampai sekarang.
Namun meskipun setelah melewati masa yang panjang, sebagian besar adat
matriarkat ini justru masih bertahan. Ada kemungkinan, penghormatan terhadap
wanita dalam agama Islam sebagaimana terdapat juga dalam adat Minangkabau yang Matrilineal.
□ Penjelasan
Masyarakat Minangkabu dalam pengetahuan umum disebut
menganut sistem kekerabatan matrilineal dengan ciri-ciri pokok menarik garis
keturunan dari garis ibu. Demikian banya tertulis dalam berbagai teks yang
menjelasakan tentang adat matrilineal Minangkabau. Kesalahan dalam penulisan
frasa garis keturunan ini justru menimbulkan kesalahan dalam memahami
sistem kekerabatan Minangkabau. Apalagi bila frasa garis keturunan ini secara
bersamaan digunakan dengan frasa garis kekerabatan, garis keluargaan
atau garis perkauman tanpa seleksi dan kesadaran atas konsekwensi
penggunaannya. Generasi Minangkabau modern sering memahaminya dengan istilah garis
keturunan, kecuali beberapa di antara mereka yang sudah mendekati sistem
kekerabatan Minangkabau ini dengan pedekatan sosiologis dan antropologis.
Hubungan kekerabatan atau kekeluargaan pada hakikatnya
adalah istilah yang netral untuk menunjukkan hubungan antar individu dalam
sebuah kelompok merupakan hubungan
antara tiap entitas yang memiliki asal usul silsilah yang sama, baik melalui
keturunan biologis, sosial, maupun budaya. Dalam antropologi, sistem
kekerabatan termasuk keturunan dan pernikahan, sementara dalam biologi istilah
ini termasuk keturunan dan perkawinan. Berdasarkan definisi antropologis dan
biologis ini, hubungan kekerabatan yang dimaksud semestinya dapat dipahami
dalam sebuah istilah normal lainnya yang disebut dengan keluarga.
Keluarga merupakan afiliasi individu dalam masyarakat.
Dalam susunan masyarakat, keluarga disebut sebagai unit sosial terkecil.[1]
Dalam susunan ini, ada tiga jenis keluarga, yaitu keluarga inti (nuclear
family), keluarga konjugal dan keluarga luas (extended family).
Keluarga Inti (nuclear family), adalah keluarga
yang dibentuk karena ikatan perkawinan yang direncanakan yang terdiri dari
suami, istri, dan anak- anak baik karena kelahiran (natural) maupun adopsi.
Keluarga Konjugal yang terdiri dari pasangan dewasa (ibu dan ayah) dan anak
mereka yang terdapat interaksi dengan kerabat dari salah satu atau dua pihak
orang tua.[2]
Baik dari keluarga pihak ibu maupun dari pihak ayah. Keluarga luas (extended
family) yang ditarik atas dasar garis keturunan di atas keluarga aslinya.
Keluarga luas meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek, dan
keluarga nenek. Hubungan itu juga dikenal dengan Keluarga Besar, atau hubungan yang
terjadi antargenerasi, misalnya: kakek, orang tua, anak, cucu. [3]
Berdasarkan jenis-jenis keluarga di atas, membaca sistem
kekerabatan di Minangkabau mesti dilakukan dengan pendekatan jenis keluarga
konjugal yang menekankan pada pengelompokan berdasarkan interaksi dengan
kerabat dari salah satu atau dua pihak orang tua. Berdasarkan pendekatan ini,
orang Minangkabau memiliki interaksi dengan kerabat orang tuanya baik dari
pihak ayah maupun di pihak ibu. Status individu dalam kedua kerabat ini akan
berbeda-beda dan memiliki konsekwensi hukum, hak dan kewajiban yang
berbeda-beda. Para anggota keluarga dari jalur ibu dan ayah ini dipandang
sebagai saudara (dunsanak). Ada dua jenis dunsanak di Minangkabau. Pertama,
dunsanak saparuik (seperut) yaitu dunsanak menurut garis keturunan ibu
yang diurutkan dari nenek perempuan. Kedua, Dunsanak Batali Darah, yaitu
dunsanak menurut garis keturunan ayah, baik laki-laki maupun perempuan.
Dunsanak dari pihak ayah ini lazim disebut dengan Bako.
Seorang anak di Minangkabau di kelompok kerabat ibunya
mendapat status sebagai kemanakan. Kelompok keluarga ibunya ini secara
berurutan dari yang paling inti hingga paling luas adalah samande
(seibu/dari satu ibu), saparuik (dari satu nenek), sajurai (dari satu
keturunan), sakaum (dari satu kelompok keluarga) dan sasuku (dari
satu suku).
Dari penjelasan di atas dapat dipahami, yang dimaksud
dengan “garis keturunan” ditarik dari garis ibu adalah pengelompokan keluarga
berdasarkan interaksi dengan kerabat dari garis ibu, hingga terbentuk sebuah
suku yang matrilineal. Suku merupakan identitas sekaligus bentuk pengelompokan terpenting dalam masyarakat
Minangkabau. Meskipun demikian,
pengelompokan keluarga dari jalur kerabat ayah bukan tidak penting dan
ditiadakan. Justru, kerabat dari pihak ayah mempunyai posisi yang penting dalam
penciptaan aneka upacara adat dan acara kekeluargaan di Minangkabau. Misalnya,
acara babako di berbagai acara kelahiran, perkawinan, kematian dan
sebagainya justru diadakan demi menghadirkan eksistensi keluarga pihak ayah
dalam masyarakat Minangkabau.
Ditinjau dari segi ajaran Islam, pengelompokan keluarga
terutama pengelompokan suku, baik dari garis kerabat ibu (matrilineal) atau
garis kerabat ayah (patrilineal) bukanlah hal yang penting untuk
diperdebatkan. Di Arab yang patrilineal
pengelompokan suku berdasarkan kepada garis kerabat ayah (‘Ashabah), hingga di
kenal istilah Bani Hasyim (keluarga Hasyim yang menurunkan Nabi Muhammad SAW,
yang juga nenek moyang pendiri Dinasti Bani Abbasiyah), Bani Umayyah (Keluarga
Umayyah yang menurunkan Utsman bin Affad dan Muawiyah bin Abi Syofyan, pendiri
Dinasti Bani Umayyah), Bani ‘Adi
(Keluarga dan nenek moyang Khalifah Umar bin Khattab), Bani Makhzum (keluarga
dan nenek moyang Khalid bin Walid, panglima perang Islam terkenal), Bani Tamim
(keluarga dan klan Abu Bakar Ash Shiddiq, khalifah Islam pertama) dan
lain-lain.
Nabi Muhammad SAW juga tidak pernah mencela pengelompokan
masyarakat atas identitas kesukuan (Ashabiyah).[4]Adapun
‘ashabiyah secara umum (kekeluargaan, kemargaan, kesukuan dan kebangsaan) yang
muncul dari naluri dan fithrah manusia bukan perkara yang tercela dan haram.
Eksistensi suku dan bangsa, kenyataan yang tidak bisa ditolak oleh siapapun
termasuk oleh kaum radikal, karena Allah swt sendiri yang telah menciptakan
manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.[5]
Rasulullah SAW menyatakan dirinya berasal dari suku Quraisy. Ketika Beliau
hijrah ke Yatsrib, eksistensi suku-suku di sana tetap diakui, dijaga dan
dipelihara. Terbukti di Piagam Madinah, Rasulullah saw menyebut satu per satu
suku-suku yang ada termasuk dari suku-suku dari bangsa Yahudi dan musyrikin.
Setiap suku dibiarkan tetap dengan adat, tata aturan dan hukum yang selama ini
berlaku selama tidak bertentangan dengan risalahnya. Setiap suku punya kepala
suku dan bendera perang (rayah) masing-masing. Mereka juga memiliki rayah
(panji perang). Rayah-rayah di bawah ketika mereka berperang bersama Rasulullah
SAW.
Rasulullah SAW hanya mencela semangat kesukuan yang didasari
atas sikap bodoh (Majhul). Nabi SAW mengatakan Bukan termasuk umatku siapa
saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah (HR Abu Dawud). Maksud ‘ashabiyah
di sini adalah siapa yang mengajak orang untuk berkumpul atas dasar
‘ashabiyah, yaitu bahu-membahu untuk menolong orang yang zalim. Sementara
al-Qari menyatakan, Bahu-membahu untuk menolong orang karena hawa nafsu.[6]
Selain persoalan kesukuan di atas, sesuatu yang patut
dijelaskan adalah soal salah kaprah memahami frasa Garis Keturunan. Adat
Minangkabau, memiliki istilah sendiri untuk menyebutkan pengelompokan garis
kekerabatan ini, baik secara genealogis-biologis, maupun genealogis-konjugal. Secara genealogis-biologis orang Minangkabau
menarik garis keturunan dari ayah yang dikenal dengan ungkapan banasab ka
bapak (bernasab ke Bapak/Ayah). Sedangkan secara genealogis teritorial
dikenal istilah bakarik ka ibu (berkerabat ke keluarga ibu). Kedua
istilah ini relatif baru dan diduga diciptakan setelah kedatangan Islam
ke Minangkabau. Meskipun istilah tersebut baru tercipta, namun secara substansi
tidak ada yang berubah bila dilihat dari praktik interaksi anggota kaum dengan
anggota keluarga mereka dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.
Jika secara keseluruhan urutan keluarga mulai dari
keluarga samande (seibu/dari satu ibu), saparuik (dari satu nenek), sajurai
(dari satu keturunan), hingga sakaum (dari satu kelompok keluarga) menunjukkan
ciri ikatan kekerabatan yang terbentuk dalam garis genealogis, maka keluarga sasuku
(dari satu suku) menunjukkan ikatan kekeluargaan yang berbasis pada genealogis
dan teritorial. Dengan demikian, masyarakat hukum adat Minangkabau ditelaah secara seksama menurut susunannya,
merupakan gabungan kekerabatan yang berdasarkan keturunan (genealogis) dan
lingkungan daerah (teritorial). [7]
2-
Debat tentang Harta dan Sistem Pewarisan
Orang Minangkabau mempunyai
definisi tersendiri tentang harta. Termasuk dalam kategori harta dalam
kebudayaan Minangkabau adalah Harato dan Pusako. Harato adalah
kemakmuran Kaum, sedangkan Pusako adalah benda-benda kehormatan kaum.[8]
Bagi masyarakat Minangkabau. warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan
gelar maupun warisan harta yang biasanya disebut sako dan pusako. Hal ini
sebagaimana disebutkan oleh pepatah adat;
biriak-biriak turun ka samak,
tibo di samak mancari makan.
Dari niniak turun ka mamak,
dari mamak turun ka kamanakan.
Sebagai warisan harta
yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dibagi-bagi oleh yang berhak. Setiap
harta yang telah jadi pusaka tinggi selalu dijaga agar tinggal utuh. demi untuk
menjaga keutuhan kaum kerabat, sebagaimana yang diajarkan falsafah alam dan
hukum adat Minangkabau. Pada gilirannya diturunkan pula kepada kemenakan
berikutnya. Kemenakan laki-Iaki dan perempuan yang berhak menerima warisan
memiliki kewenangan yang berbeda. Kemenakan laki-Iaki mempunyai hak
mengusahakan, sedangkan kemenakan perempuan berhak memiliki. Dalam mamang adat
disebutkan warih dijawek, pusako ditolong (waris diterima, pusaka
ditolong). Maksudnya bahwa sebagai warisan harta itu diterima dari mamak, dan
sebagai pusaka harta itu harus dipelihara dengan baik. Bagi seorang laki-Iaki
yang berhasil mengumpulkan kekayaan, tugasnya yang utama ialah memegang sawah
dan ladang yang diperuntukkan bagi saudara kandung. Maksud saudara kandung di
sinilah ialah saudaranya yang perempuan. Hal ini diungkapkan pantun sebagai berikut:
Apo guno kabau batali,
Lapeh ka rimbo jadi jalang,
Pauikan sajo di pamatang,
Apo guno badan mancari,
Iyo mamaga sawah jo ladang,
Nak mambela sanak kanduang.[9]
Sistem pewarisan Matrilineal
ini kemudian menjadi bahan perdebatan panjang dalam kebudayaan Minangkabau
karena dianggap bertentangan dengan sistem kewarisan Islam yang lebih
berorientasi kepada laki-laki.
□ Penjelasan
Masyarakat Minangkabau membagi harta kepada dua
bentuk, yaitu Sako dan Pusako. Ketentuan adat mengenai Sako dan Harato Pusako dapat
ditemukan dalam ungkapan adat Hak Bapunyo (hak berpunya), Harato
Bamiliak (harta bermilik). Sako maupun Harato Pusako pada dasarnya
dikuasai atau menjadi milik bersama-milik kolektif oleh kelompok Samande
(seibu) atau seperinduaan (satu induk), Sajurai-sakaum, Sasuku dan sa-Nagari.[10]
Sako secara bahasa berarti asal atau tua, seperti tersua dalam
ungkapan Minangkabau Sawah banyak padi dek urang, lai karambia sako pulo
(Sawah banyak, tapi padinya untuk orang lain, ada memiliki kelapa tetapi sudah
tua pula). Sako dalam pengertian adat Minangkabau adalah segala kekayaan
asal atau harta tua berupa hak atau kekayaan tanpa wujud. Kekayaan yang in
material ini disebut juga dengan pusako kebesaran seperti:
-
Sako Induak (adat matrilineal);
-
Gelar
Datuak pada panghulu;
-
Pepatah petitih;
-
Pidato adat;
-
Hukum adat;
-
Tata krama dan hukum sopan santun diwariskan kepada
semua anak kemenakan dalam suatu nagari, dan kepada seluruh ranah Minangkabau.
Soko sebagai kekayaan tanpa wujud merupakan rohnya
adat dan memegang peranan yang sangat menentukan dalam membentuk moralitas masyarakat
adat Minangkabau pada umumnya.
Adapun Pusako adalah
segala kekayaan materi dan harta benda yang dimiliki secara kolektif oleh kaum
di Minangkabau. Pusako dalam bentuk yang lebih kongkrit dapat juga disebut
dengan Harato Pusako. Yang termasuk Pusako Harato ini seperti:
·
Hutan tanah;
·
Sawah Ladang;
·
Kolam dan padang;
·
Rumah dan pekarangan;
·
Pandam perkuburan (Tanah perkuburan yang dimiliki oleh
suku, oleh kaum, kampung );
·
Perhiasan dan uang;
·
Balai Musajik (masjid) dan surau
·
Peralatan dan lain-lain.
·
Banda buatan jo batang aie
·
Lambang kebesaran seperti keris baju kebesaran, saluak, deta dan sebagainya.
Pusako ini merupakan jaminan utama untuk kehidupan dan
perlengkapan bagi anak kamanakan di Minangkabau, terutama untuk kehidupan yang
berlatar belakang kehidupan yang agraris. Dengan
demikian harato pusako merupakan simbol kebersamaan dan kebanggaan keluarga
dalam sistem kekerabatan matirilinial Minangkabau.
Berdasarkan cara memperolehnya, Harato Pusako
terbagi dua, yaitu Harato Pusako Tinggi dan Harato Pusako Randah. Penjelasannya
sebagai berikut :
·
Harato Pusako Tinggi
Yang dimaksud harato pusako tinggi ialah segala harta
pusaka yang diwarisi secara turun temurun sesuai dengan pantun sebagai berikut
:
Biriak-biriak tabang ka sasak
Dari sasak turun ka
halaman
Dari niniak turun ka
mamak
Dari mamak turun ka
kamanakan[11]
Proses pemindahan kekuasaan atas harta pusaka ini dari
mamak ka kemenakan dalam istilah adat disebut juga dengan Pusako Basalin.
Dalam hal pembagian harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat seperti pantun
berikut :
Tajua indak dimakan bali (terjual tidak bisa dibeli)
Tasando indak dimakan
gadai (Agunan yang tak dapat digadaikan)
Hal ini berarti bahwa harta pusaka tinggi tidak boleh
dijual. Oleh karena harta pusaka tinggi sesungguhnya bukan diwariskan dari
mamak kepada kemenakan, tetapi dari ande atau nenek kita, jadi harta pusako
tinggi tidak saja milik orang yang hidup pada masa sekarang ini tetapi juga generasi
berikutnya. Kewajiban orang yang sedang menguasai harato pusako tinggi sekarang
adalah memelihara dan boleh memanfaatkannya, untuk kepentingan dan kehidupan
saat sekarang, seperti tertulis dalam mamang adat aianyo buliah disauak,
buahnya buliah di makan, tanah jo buminya adat nan punyo (airnya boleh
diambil, buah (hasilnya buminya) boleh dimakan, namun tanah dan buminya adalah
kepunyaan adat).
Harato Pusako juga disebut dengan Ulayat.
Karena Harato Pusako merupakan harta berwujud, maka kepemilikan harta ulayat
ini ada di tangan kaum. Ulayat kaum ini tidak boleh di perjual belikan. Ulayat kaum
ini dikuasai oleh mamak kepala kaum atau mamak kepala waris. Ulayat
kaum dimanfaatkan oleh anggota kaum yang perempuan. Pemanfaatan ini tidak
selamanya, namun suatu saat dapat dialihkan apabila satu kelompok dari kaum
yang memakai tanah itu punah,[12]
harta itu kembali dikembalikan kepada mamak kepala kaum untuk dialihkan kepada anggota
kaum yang lain yang tertera di dalam ranji (silsilah) secara adat kaum
tersebut. Keluarga dari kelompok yang punah itu tidak boleh menjual tanah itu
karenah tanah itu bukan hakiki miliknya, tapi hanya hak pakai selagi keturununnya
yang satu ranji masih ada. Harta ulayat
ini juga dapat diambil kembali oleh mamak kepala kaum bila anggota kaum
yang sedang diberi hak untuk memakainya melakukan pelanggaran adat yang
membuatnya kehilangan hak adat dalam kaumnya tersebut.
Di samping kegunaan praktis oleh anggota kaum, hasil
pemanfaatan ulayat ini juga dapat digunakan untuk keperluan kaum yang lebih
luas. Menurut Syekh Sulaiman al Rasuli (1939), hasil pemanfaatan harta ulayat
dapat digunakan untuk keperluan ongkos-ongkos (biaya operasional) penghulu,
mamak rumah dan mamak kepala kaum, karena mereka bekerja untuk keperluan orang nan
serumah, sekaum dan sepayung.[13]
Meskipun dalam teorinya harato pusako tidak
dapat diperjual belikan dan tidak dapat digadaikan, namun ada keadaan darurat yang mesti dilaksanakan
secara ketat bila ingin menggadaikan harato pusako ini, yaitu: pertama,
Mayik tabujua di ateh rumah (mayat terbujur di atas rumah). Maksudnya
untuk keperluan upacara kematian seorang anggota kaum yang dihormati
harus sama agungnya dengan upacara perkawinan ataupun penobatan penghulu. Jadi
bukan untuk sembarang anggota kaum. Kedua, Managakkan Gala Pusako (dalam
istilah lain mambangkik batang tarandam) yaitu untuk biaya mendirikan
gelar pusaka, meresmikan gelar penghulu baru menggantikan penghulu yang tidak
dapat berfungsi lagi karena mengundurkan diri atau karena meninggal. Keadaan
darurat dapat dipahami dari arti pentingnya penghulu dalam masyarakat
Minangkabau. Ketiga, Gadih gadang indak balaki (gadis dewasa
belum bersuami), yaitu untuk biaya persiapan dan pelaksanaan perkawinan seorang
gadis yang biasanya mahal karena perjamuan yang berlarut-larut. Perempuan bagi
adat Minangkabau adalah simbol kewibawaan, keberlanjutan keturunan dan
pewarisan harato pusako. Oleh sebab itu kedaruratannya dapat dilihat urgensi
adat tersbut. Keempat, Rumah gadang katirisan (rumah gadang yang sudah
rusak), yaitu biaya memperbaiki rumah gadang yang telah rusak. Rumah Gadang
merupakan institusi terpenting dalam adat. Kedaruratannya dilihat dari fungsi
rumah gadang sebagai simbol eksistensi kaum, tempat musyawarah dan basis
kepemimpinan penghulu. Sehingga, di banyak daerah Minangkabau, rumah gadang
sering dinamakan dengan nama datuak penghulu kaumnya, misalnya Rumah Gadang
Datuak Bandaro Kuniang di Limo Kaum, Tanah Datar.
·
Harato Pusako Randah
Yang disebut dengan harta pusaka randah adalah segala
harta hasil pencarian dari bapak bersama ibu (orang tua) selama ikatan
perkawinan, ditambah dengan pemberian dari hasil pencaharian kakek (angku)
bersama nenek, termasuk pemberian mamak kepada kamanakannya dari hasil
pencarian mamak dan tungganai itu sendiri. Harta pencaharian dari orang tua
atau bapak bersama ibu ini, setelah diwariskan kepada anak-anaknya disebut
dengan “harta-susuk”. “harta-susuk” ini mempunyai potensi besar di masa
mendatang untuk menambah “ harta pusaka tinggi” di Minangkabau.
3-
Debat tentang Sistem Perkawinan
Perdebatan
yang berlangsung di seputar sistem perkawinan antara lain tentang sistem
residensi matrilokal yang dianggap berdampak pada status dan kewibaan laki-laki
(suami) dalam keluarganya. Sistem residensi matrilokal ini juga dianggap oleh
penentangnya sebagai bentuk pengabaian terhadap agama, dengan menggunakan dalil
Al Qur’an Surat An Nisa’ (4) ayat ke-34 yaitu: “Laki-laki itu pemimpin atas
kaum wanita...”
Debat
yang paling sensasional hingga sekarang adalah tentang perkawinan ke luar suku
(eksogami). Larangan kawin sesuku secara general dianggap sebagai langkah
keliru sebab tidak ada dalil larangannya dalam agama.
Untuk
melihat bagaimana gambaran debat berikut penjelasannya, akan diuraikan sebagai
berikut:
a-
Sistem Residensi Matrilokal
Orang Minangkabau
menganut sistem residensi matrilokal, yaitu bila seorang laki-laki telah
meniah, maka ia akan tinggal di rumah keluarga istrinya. Statusnya di dalam
keluarga istrinya adalah orang datang atau sumando. Ia sama sekali tidak
mempunyai hak atas harta kaum yang ada di bawah penguasaan istrinya.
Pada perkawinan
Matrilokal seorang suami hanya datang ke rumah isterinya pada malam hari,
sedangkan siang hari ia berusaha di rumah orang tuanya (kaumnya) untuk mencari
penghidupan. Perkawinan ini tidak mengubah masing-masing orang masuk ke dalam
kelompok yang satu, tetapi tetap seperti pada awalnya, si suami tetap sebagai
anggota kaum dari suku ibunya, dan si isteri tetap sebagai anggota kaum dari
suku ibunya juga. Jadi masing-masing pihak tetap merupakan anggota dari kaum
masing-masing.[14]
Sistem perkawinan ini
juga menuai perdebatan di kalangan masyarakat Minangkabau. Namun eskalasi
perdebatan tidak terlalu tajam, sebab memperdebatkan hal ini di ruang publik
merupakan suatu yang tabu bagi masyarakat Minangkabau. Meskipun demikian,
suasana kebatinan masyarakat Minangkabau tidak dapat menyembunyikan masalah
ini. Meski tidak dalam debat terbuka, masalah ini muncul dalam berbagai
peristilahan dan pantun-pantun satire.
Laki-laki yang sudah menikah dan menjadi sumando di rumah keluarga
istrinya disebut dengan abu di ateh tunggua. Posisinya sangat rentan dan
setiap saat bisa saja tersingkir ibarat abu di atas tunggul, tak berakar dan
mudah diterbangkan angin.
Situasi inilah yang
menuai kritik setelah kedatangan Islam. Menurut yang mengkriti, Islam
menempatkan laki-laki dalam posisi yang kokoh. Lelaki itu adalah pemimpin bagi
kaum wanita (Q.S. An Nisa’:34), Laki-laki itu adalah kepala keluarga (Hadits).
Nilai-nilai baru yang dibawa Islam ini kemudian menjadi dasar untuk
mempertanyakan kembali sistem residensi matrilokal ini.
Residensi Matrilokal
merupakan konsekwensi dari perkawinan eksogami. Perkawinan eksogami meletakkan
para istri pada status yang sama dengan suaminya. SteIsel matrilineal serta
pola hidup komunal menyebabkan mereka tidak tergantung pada suaminya. Walaupun
suami sangat dimanjakan di dalam rumah tangga, ia bukanlah pemegang kuasa atas
anak dan istrinya. Jika ia ingin terus dimanjakan, maka ia harus pandai-pandai
pula menyesuaikan dirinya.[15]
Sistem ini akhirnya dianggap sebagai penyebab hilangnya wibawa laki-laki di
rumah keluarga istrinya.
Menurut Mochtar Naim[16]sistem
ini tidak cukup memberi tempat yang kokoh bagi laki-laki dalam kehidupan
keluarga, dalam arti bahwa dia tidak mempunyai kekuasaan yang mantap di rumah
isterinya dan tldak pula di rumah ibunya sendiri. Ia oleh karena itu merasa
terombang-ambing, kurang terjamin dan selalu gelisah. Lebih lanjut Mochtar Naim
menjelaskan dalam sistem perkawinan seperti ini, suami dan isteri
masing-masingnya tetap merupakan bahagian dari keluarga induk masing-masing.
Perkawinan mereka tidak lantas berarti bahwa mereka telah menciptakan sebuah
keluarga batih baru yang terlepas dari keluarga induk masing-masing. Hubungan
marital mereka oleh karena itu sering mengalami kegoncangan, karena hubungan
mereka lebih ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, berupa intervensi dari
salah satu atau kedua keluarga induk, dan sebagainya daripada faktor-faktor
internal antara sesama suami-isteri. Dorongan merantau akhirnya muncul sebagai
usaha untuk melepaskan diri dari keluarga induk untuk dapat membangun keluarga
batih sendiri yang terhindar dari berbagai intervensi keluarga besar.
Di sisi yang lain,
laki-laki Minangkabau walaupun terhitung sebagai anggota keluarga di rumah
ibunya, tidak dapat menikmati harta keluarga. Dia tidak dapat mengerjakan sawah
keluarga untuk dibawa hasilnya ke rumah anaknya, kecuali jika seizin saudara-saudara
perempuannya. Karenanya dia merasa tidak terlalu terikat dengan tanah dan
tanahpun tidak mengikatnya untuk tetap tinggal di kampung. Sebaliknya, dari
tugas dan tanggungjawabnya, malah dia didorong untuk memperbanyak tanah yang
ada dari hasil yang diperdapat di rantau. Keluarganya, dan malah dia sendiri,
merasa telah memenuhi panggilan jika dapat berkirim pulang untuk membeli atau
memagang sawah baru.
Selain
itu tanggungjawab ganda yang dia pikul (baik sebagai bapak terhadap anaknya,
sebagai mamak terhadap kemenakannya, sebagai saudara laki-Iaki terhadap
saudara-saudara perempuannya, maupun sebagai anggota keluarga dan sebagai
anggota masyarakat kampungnya) mungkin dirasa terlalu berat untuk dihadapi
secara sekaligus. Karenanya dia cenderung untuk mengelakkan dan malah
melepaskan tanggungjawabnya itu. Ada semacam perasaan “terlalu dibebani” untuk
hidup di kampung, sedang sementara itu dia tahu bahwa di kampung tak banyak
yang bisa dia lakukan untuk penyambung hidupnya.
b-
Sistem Perkawinan Eksogami
Minangkabau menganut
paham Eksogami MatriliniaI dalam hal perkawinan, dalam arti kata seorang pria
Minangkabau tidak boleh mengawini wanita dari kelompok suku asalnya sendiri. Dari
sinilah mulai muncul perdebatan, mengapa pernikahan sesuku dilarang?
Sebagaimana disebut dalam pembahasan terahulu, bahwa
perkawinan dalam adat Minangkabau bukan hanya ikatan pernikahan antara seorang
laki-laki dan perempuan, tetapi ikatan antar keluarga atau antar kaum. Hal ini
digambarkan dalam ungkapan adat:
~kawin
jo mamak, nikah jo parampuan~
Oleh sebab itu, perlu dijelaskan dan dibedakan tentang
istilah pernikahan dan perkawinan. Pernikahan adalah istilah syara’ yang telah
membuat ketentuan yang jelas tentang siapa saja yang boleh dinikahi dan siapa
saja yang tidak. Ketentuan ini disebut dengan Mahram. Mahram adalah
semua orang yang haram untuk dinikahi selamanya karena sebab keturunan,
sepersusuan dan sebab-sebab pernikahan dalam syariat Islam.
Perkawinan sasuku di Minangkabau bukan dalam konteks
perkawinan halal dan haram, tapi perkawinan yang dibangun atas dasar raso jo
pareso dan sumpah/kesepakatan dalam aturan niniak muyang yang telah
menyusun adat Minangkabau.
Sedangkan yang dilarang sepanjang adat Minangkabau
adalah perkawinan sesuku dalam pengertian membangun ikatan kekerabatan
perkawinan antar orang dalam suku dalam bentuk ikatan pernikahan. Hal ini
disebut dengan Kawin Pantang karena akan menyebabkan hilangnya status
dan kehormatan seseorang dalam sistem kekerabatan matrilinial Minangkabau,
serta terbentuknya hubungan yang canggung dalam kaum kerabatnya.
Di Minangkabau Suatu ikatan perkawinan bukan
semata-mata menyangkut perintah dan larangan, yang menyangkut hubungan manusia
dengan tuhannya saja, tapi juga hubungan sesama manusia membawa yang membawa
akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan seperti hak dan kewajiban suami
istri, harta bersama, kedudukan anak dalam keluarga, hak dan kewajiban orang
tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat, kewarisan, kekeluargaan,
kekerabatan dan ketetanggan. Dalam lingkup yang lebih besar menyangkut status
dan posisinya dalam upacara-upacara adat. Bagi yang malaksanakan kawin pantang
ini dianggap tercela dan hina, ibarat ungkapan:
Bak cando buah baluluak,
tacampak ka lauik indak dimakan ikan, Tacampak ka darek indak dicotok ayam
Mereka yang melanggar pantang ini berhak mendapat
hukuman adat. Adapun hukuman yang lazim sepanjang adat Minangkabau adalah:
-
Dibuang sepanjang adat,
-
Membubarkan Perkawinan,
-
Dikeluarkan dari kampung,
-
Hukum denda berupa emas, uang atau hewan ternak
berkaki empat
Tujuan hukuman dan denda secara adat bukan adalah
untuk memberitahukan kepada khalayak ramai bahwa ada pihak-pihak yang telah
melanggar pantang secara adat.
Tingkatan Kondisi Perkawinan Sasuku
1)
Sasuku-Saparuik
Sasuku-Saparuik adalah hubungan satu suku yang
bertalian saurek sarambun. Keduanya berasal dari satu niniak dan
seterusnya. Jika keduanya dibiarkan menikah maka bisa merusak susunan hubungan
kekeluargaan dalam suku. Jika mempunyai anak, maka anaknya sendiri adalah
kemenakannnya, mamak rumahnya adalah dunsanaknya sendiri dan jika terjadi
perselihan antara keduanya dikhawatirkan bisa merusak hubungan satu suku atau
keluarga besar.
Perkawinan Sasuku-Saparuik ini adalah pelanggaran
paling berat. Jenis perkawinan ini tidak dibolehkan (dipakok mati).
Hukuman untuk pernikahan jenis ini biasanya adalah terusir dari kampung dan tak
mempunyai hak atas kaum dan nagarinya. Selain itu, keluarga saparuik juga
dikenakan sanksi adat dan denda adat oleh Kerapatan Niniak Mamak. Sanksi ini
berakhir apabila yang bersangkutan lah tunduak ka barih lah patuah ka
pusako.
2)
Sasuku-Sapayuang
Sasuku-Sapayuang ini adalah bila seorang laki-laki dan
permpuan memiliki suku yang sama tapi berasal dari niniak yang berbeda namun
masih satu Datuk (penghulu kaum). Jenis perkawinan ini juga tidak dibolehkan (dipakok
mati), termasuk pelanggaran yang tergolong berat dan hukumannya
masih sama dengan kondisi sasuku-saparuik. Selain itu, keluarga saparuik juga
dikenakan sanksi adat dan denda oleh Kerapatan Niniak Mamak. Sanksi ini
berakhir apabila yang bersangkutan lah tunduak ka barih lah patuah ka
pusako.
3)
Sasuku-Sakampuang
Sasuku-Sakampuang
adalah bila seorang laki-laki dan perempuan memiliki suku yang sama namun tidak
satu niniak dan tidak satu Datuk, hanya satu kampung. Jenis perkawinan ini juga
tidak dibolehkan (dipakok mati). Kampuang dalam adat Minangkabau
merupakan basis hunian (teritorial) suku. Meskipun orang sesuku dalam sekampung
belum tentu berasal dari satu kaum pesukuan, namun akibat statusnya sebagai
pendatang yang malakok[17]
kepada suku yang menghuni kampung terlebih dahulu, mereka dianggap badunsanak
(bersaudara), dan berbagi hak dalam memakai harta pusaka kaum. Hukuman untuk
hubungan pernikahan sasuku-sakampuang ini adalah denda berat dan keluarga ke
dua belah pihak dikenai dengan sanksi adat dan denda berat.
4)
Sasuku-Sanagari
Sasuku-Sanagari
adalah bila seorang laki-laki dan perempauan menikah tetapi keduanya memiliki
suku yang sama, namun tidak satu nenek, tidak satu Datuk, tidak satu kampung
hanya satu nagari. Hukuman untuk pernikahan Sasuku-Sanagari adalah hukuman adat
dan membayar sanksi kepada Kerapatan Niniak Mamak di tingkat Nagari. Sanksi ini
berakhir apabila yang bersangkutan lah tunduak ka barih lah patuah ka
pusako.
5)
Hanya Nama Suku yang Sama
Jenis pernikahan ini adalah kondisi di mana hanya nama
suku saja yang sama, sementara nagari, kampung dan lainnya sudah berbeda. Kedua
pasangan tak bisa menghindari jenis perkawinan ini diperbolehkan untuk menikah,
namun keluarga kedua belah wajib membayar uang adat kepada Kerapatan Niniak
Mamak di tingkat Nagari.
Berdasarkan uraian di
atas, larangan perkawinan sesuku merupakan sebuah sistem sosial yang dibangun
oleh orang Minangkabau untuk memelihara adatnya. Larangan itu muncul untuk
menyelamatkan status dan kedudukan seseorang dalam adat Minangkabau. Namun agar
terhindari dari kerancuan, maka penggunaan istilah Larangan Kawin Sasuku sebaiknya
dihindari. Ada baiknya menggunakan istilah Pantangan Kawin Sasuku.
Kata “Larang” dalam bahasa Minangkabau harus dipahami sesuai konteksnya.
Beberapa daerah menggunakan kata
“Larang” dengan makna “Jarang”. Selain itu ada juga yang menggunakan kata
“Larang” untuk maksud “Pantang.”
Debat perkawinan
eksogami ini berlangsung terus hingg zaman sekarang. Namun jika dilihat
substansi isunya tidak lebih karena pertama; kesalahan dalam memahami
konsep perkawinan dalam adat Minangkabau, kedua; hubungannya dengan
struktur sosial masyarakat Minangkabau itu sendiri. Selain itu, alasan ketiga;
faktor cinta buta yang membuat orang Minangkabau terutama para generasi
mudanya ingin mewujudkan rumah tangga dengan orang yang dicintainya.
[3] R.B. Soemanto, Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi
Keluarga, Modul Perkuliahan, Universitas Terbuka: 2014
[4] ‘Ashabiyah adalah sifat yang diambil dari
kata ‘ashabah. Dalam bahasa Arab, ‘ashabah berarti kerabat dari pihak
bapak. Menurut Ibn Manzhur, ‘ashabiyyah adalah ajakan seseorang untuk membela
keluarga, tidak peduli keluarganya zalim maupun tidak, dari siapapun yang
menyerang mereka. Lihat
Ibn Mandzur, Lisan al-‘Arab,
Dar al-Fikr: t.t., h. 606).
[6] Muhammad Syamsu al-Haq, ‘Aun
al-Ma’bud, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Jilid XIV., t,t., h.17
[8] A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, h.139
[9] Ibid., h.159
[11] Langgam ini disusun oleh Syekh Sulaiman al Rasuli (Inyiak
Canduang). Pantun adat ini juga disebut oleh Inyiak Canduang dengan istilah
hadis Melayu.
[12] Punah adalah istilah untuk suatu keluarga tanpa anak
perempuan dan karena itu tidak ada keturunan untuk menerima warisan
[13] Syekh Sulaiman Al Rasuli, Pertalian Adat dan Syara’
(1939), Alih tulisan Arab Melayu ke Latin oleh Hamdan Izmy, Jakarta: Ciputat Press, 2003, h. 26
[14] Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo
Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal
Multimedia, h.318-319
[15] A.A. Navis., Op.Cit., h.194
[16] Mochtar Naim, Pola Migrasi Suku Minangkabau,Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 1984, h. 279-280
[17] Malakok adalah proses
bergabungnya seseorang dengan adat Minangkabau, sehingga orang tersebut bisa
disebut orang minangkabau. Malakok diharuskan bagi anggota masyarakat pendatang
yang berasal dari luar adat nan salingka nagari atau dari luar Minangkabau.
Para pendatang dapat dimasukkan kedalam sebuah suku yang ada di nagari
tempatannya. Proses malakok yang paling sering terjadi adalah proses
malakok urang Samando karena hubungan perkawinan,serta para pendatang dari
berbagai negeri Minangkabau yang mencari induk (indu) sukunya kepada suku yang
telah ada di nagari tempatannya. Terakhir, proses malakok juga terjadi di
wilayah Pasaman Barat, warga Mandailing dan Batak yang menghuni ulayat suku
Minangkabau malakok dan mengambil salah satu suku dari suku minangkabab yang
ada di nagari itu. Hal yang sama juga terjadi di Dharmasraya dan Sijunjung oleh
warga Jawa yang menghuni wilayah tersebut melalui program transmigrasi.
No comments:
Post a Comment