Perjumpaan Islam dengan Budaya Minangkabau
Muhammad Nasir
Pada pembahasan
terdahulu telah ditulis bahwa sebelum Islam masuk ke Minangkabau, masyarakat
sudah hidup dalam susunan adat yang teratur. Meskipun sebelum Islam berkembang
secara masif, telah hadir terlebih dahulu agama Hindu dan Budha, namun tak
banyak informasi sejarah yang menunjukkan bahwa masyarakat Minangkabau hidup
dalam ketaatan dalam aspek keimanan dan peribadatan dalam kedua agama terdahulu. Dapat dikatakan,
“agama” masyarakat Minangkabau pada masa itu adalah adatnya sendiri.
Setelah kedatangan
Islam yang membawa aturan keimanan disertai dengan nilai-nilai yang baru,
muncullah dialektika dengan nilai-nilai yang ada dalam adat Minangkabau.
Beberapa hal yang perlu diperhatian sebelum mencari titik singgung ajaran Islam
dengan adat Minangkabau adalah, pertama, bahwa Islam sudah diterima
sebagai agama baru masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau sudah beralih
keyakinan (konversi) dari keyakinan agama lamanya.[1]
Bahkan hingga saat ini, dalam percakapan sehari-hari orang Minangkabau dengan percaya diri
mengatakan “agama orang Minangkabau adalah Islam, jika tidak Islam, bukanlah
orang Minangkabau.” Tidak banyak warga kebudayaan dunia ini yang mengambil
Islam sebagai identitas keagamaannya. Kedua, kehadiran Agama
Islam tidaklah menghapuskan adat Minangkabau, bahkan menyempurnakan dan
mengokohkannya.[2]
Bahkan setelah revolusi Padri-pun adat Minangkabau terutama sistem matriachaat
sebagai ciri utama Minangkabau justru tetap bertahan hingga sekarang. Hal
ini menurut Jefrey Hadler (2010) dengan formula “adat basandi syarak, syarak
basandi adat” pemimpin-pemimpin Padri dan adat berhasil berkompromi dan
mempertahankan kekhasan budaya Minangkabau.[3]
Kedatangan Islam
secara umum memberikan perubahan dalam kebudayaan Minangkabau. Tidak hanya
orangnya saja yang memeluk Islam tetapi banyak aspek kehidupan terbawa serta.
Mansoer (1970:38) menulis:
Karena itu bukan sadja penduduk sesuatu daerah tempat
agama Islam masuk dan berkembang jang di-Islamkan, tetapi djuga seluruh lembaga
masjarakat dan hasil-hasil kebudajaannja, termasuk tambo2 dan tjerita2 lamanja peninggalan dari
zaman djahiliah." [4]
Namun
keterangan-keterangan ilmiah mengenai pertumbuhan, perkembangan dan
persinggungan dengan lembaga-lembaga Minangkabau, seperti adat-istiadat,
susunan masyarakat, sistem dan struktur pemerintahan masyarakat adat
Minangkabau sejak berislam tidak cukup tersedia. Tulisan ini belum menukik
kepada aspek bagian dalam adat yang mengalami persinggungan dengan ajaran
Islam. Namun, untuk melihat kontak awal yang menyebabkan interaksi Islam dan
adat Minangkabau menjadi lebih intesif perlu dilihat titik singgungnya.
1- Jejak Awal
Sebagai gambaran umum,
jejak pengaruh awal Islam dengan adat Minangkabau dapat dilihat dari beberapa
informasi berikut:
a-
Rajo Tigo Selo dan Basa Ampek Balai (Abad ke-17)
Sebelum Sultan Alif,
raja Pagaruyung pertama yang memeluk Islam (+ 1560), belum tercatat
perubahan mendasar dalam struktur masyarakat Minangkabau di luar istana
Pagaruyung. Oleh Sebab itu, titik singgung Islam dengan struktur kepemimpinan
masyarakat Minangkabau baru dapat dilihat dari perubahan dalam kerajaan
Pagaruyung, yaitu munculnya istilah Rajo Tigo Selo. Mengenai asal usul
Rajo Tigo Selo, Rusli Amran (1981) mengutip sebuah sumber Belanda mengatakan
“Seorang pegawai VOC bernama Van Bazel, pernah pula menulis pertengahan abad
ke-18, bahwa tahun 1680 Kerajaan Minangkabau pecah menjadi tiga, karena rajanya
Alif meninggal tanpa anak. Tetapi keterangan ini masih diragukan kebenarannya.[5]
Rajo Tigo Selo (Raja
Tiga Sila) adalah tiga orang raja dengan masing-masing tahta yang terpisah tapi
merupakan satu kesatuan. Selo dalam bahasa Minangkabau berarti sila (duduk)
kemungkinan, arti harfiahnya adalah raja tiga sila atau tiga kedudukan dengan
tiga fungsi. Selain itu, dikatakan tiga sila (tiga posisi duduk bersila) karena
semenjak dahulu raja-raja Pagaruyung atau Minangkabau tidak mempunyai
singgasana sebagai tempat bersemayamnya melainkan hanya duduk bersila di lantai
istana yang sedikit agak ditinggikan. Rajo Tigo Selo masing-masing terdiri dari
Raja Alam berkedudukan di Pagaruyung, Raja Adat berkedudukan di Buo dan Raja
Ibadat berkedudukan di Sumpur Kudus.
Masing-masing raja
mempunyai tugas, kewenangan dan mempunyai daerah kedudukan tersendiri. Raja
Alam membawahi Raja Adat dan Raja Ibadat. Raja Alam merupakan kepala
pemerintahan, sedangkan Raja Adat mengurus masalah-masalah peradatan dan Raja
Ibadat mengurus masalah-masalah keagamaan dan pendidikan.
Struktur Rajo Selo ini
memberi isyarat bahwa adanya unsur kepemimpinan agama di Pagaruyung. Meskipun
ada yang mengatakan sistem Rajo Tigo Selo muncul jauh sebelum Islam,[6]
namun informasi yang tertulis menyatakan bahwa pengaruh Islam dapat dilihat
dari pembagian kekuasaan dalam sistem ini. Hamka (1982) berpendapat, Raja di
Pagaruyung sebelum Islam (HAMKA menyebutnya zaman "jahiliyah" Budha
Bhairawa) raja di Minangkabau, hanyalah "lambang". Justru eksistensi
raja terlihat setelah kedatangan Islam. Islam ikut mengambil peran dalam
menyusun adat. Ia bekeyakinan bahwa Rajo Tigo Selo adalah salah satu sumbangan
Islam terhadap susunan kepemimpinan raja di Minangkabau.
Rajo Tigo Selo ini
dibantu oleh Basa Ampek Balai, yaitu 1). Bandaharo atau Tuan Titah di Sungai
Tarab. Kedudukannya sama dengan perdana menteri. 2). Makhudum di Sumanik yang
tugasnya menjaga kewibawaan istana dan memelihara hubungan dengan seluruh
rantau dari kerajaan lain yang ada hubungan dengan Minangkabau. 3). Indomo di
Saruaso yang menjaga perjalanan adat istiadat agar "setitik tidak boleh
hilang, sebaris tidak boleh lupa” dalam seluruh Alam Minangkabau. 4). Makhudum
(Tuan Qadhi) di Padang Ganting yang menjaga perjalanan agama adakah berlaku
menurut Kitabullah dan sunnah rasul, berjalan sunnat dan fardhu, terbatas
antara halal dan haram.[7]
Dengan demikian,
keberadaan Rajo Selo dan Basa Ampek Balai ini, menurut Zulqayyim (2012)
menunjukkan penetrasi Islam di Minangkabau masih terbatas pada bidang formal,
yaitu dengan adanya Rajo Ibadat dan Tuan Qadhi. Kedua petinggi
adat ini menatur urusan agama di kerajaan Pagaruyung. Selain itu keberadaan
keduanya juga mencerminkan pengakuan terhadap keberadaan agama Islam di
Minangkabau.[8]
b-
Pendidikan Surau (Abad ke-17-19)
Surau adalah bangunan
tempat ibadah umat Islam. Istilah ini populer di Minangkabau dan di banyak
tempat di bumi melayu. Di Minangkabau, surau kebanyakan lebih dikhususkan
sebagai lembaga pendidikan. Istilah surau sudah dikenal di Minangkabau jauh
sebelum kedatangan Islam. Berdasarkan fungsi dan kepemilikannya ada 3 jenis
surau di Minangkabau, yaitu surau adat, surau ulama dan surau dagang.[9]
Surau adat adalah
surau tempat mendidik anggota kaum tentang pengetahuan adat, msyawarah kaum dan
tempat tidur bagi anggota kaum yang laki-laki, yaitu anak-anak yang sudah
baligh atau laki-laki dewasa yang menduda. Setelah berkembangnya Islam, surau juga
digunakan untuk melaksanakan ibadah shalat bagi anggota kaum.[10]
Dari penamaannya, jelas bahwa surau ini merupakan milik kaum dalam suatu suku
di Minangkabau. Bahkan ada juga surau ini yang dimiliki langsung oleh suku.
Banyak nama surau di Minangkabau yang dilekatkan dengan nama suku, misalnya:
Surau Jambak, Surau Sikumbang, Surau Koto dan lain-lain.
Surau Ulama adalah
surau yang berfungsi sebagai tempat pengajaran agama oleh ulama. Surau ini
lazim dinamakan dengan nama ulama yang memimpin surau ini. Misalnya Surau Angku
Kali, Surau Syekh Burhanuddin, Surau Inyiak Djambek dan sebagainya. Menurut
Firdaus (2014), surau jenis ini berfungsi untuk mengajarkan tarekat.
Lama-kelamaan surau ini berkembang menjadi lembaga pendidikan agama yang resmi.[11]
Di antara surau yang terkenal menjadi lembaga pendidian adalah Surau Tuo atau
Surau Gadang Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan, Ulakan Pariman. AWP Verkerk
Pistorious pada tahun 1868 mencatat belasan surau-surau ulama terkenal yang
memiliki murid antara 100 hingga 1000-an murid. Di antara surau-surau tersebut
ada yang yang menjadi pelopor pembaharuan yang berpengaruh menjembatani
interaksi adat dan agama Islam di di Minangkabau. Surau-surau ini pada akhirnya
berkembang seiring dengan pulangnya murid-murid (urang siak) yang
menuntut ilmu di sana ke negeri masing-masing dan mendirikan surau pula dengan
tujuan yang sama, sehingga terbentuklah jaringan guru-murid yang pada saatnya
memperkuat posisi dan daya tawar ulama dalam masyarakat Minangkabau. Di surau
ini diajarkan pengetahuan agama dan juga pengetahuan adat.
Adapun Surau Dagang
adalah surau yang merupakan tempat persinggahan para pedagang dari berbagai
daerah di Minangkabau bahkan luar Minangkabau. Bagi masyarakat Minang anak
dagang bukanlah orang buangan, bahkan dia sangat dihormati dan memiliki hak-hak
tertentu. Mereka juga dibuatkan surau dagang untuk menginap dalam beberapa
waktu. Penilaian masyarakat tidak terbatas kepada negeri asal anak dagang,
namun lebih kepada kebaikan perilakunya bahkan kerap diambil menantu oleh warga
setempat karena sikap tanggung jawab dan kemandirian yang telah dipraktekkan
dalam kehidupan sehari-hari. Yang terpenting dari itu, anak dagang yang berasal
dari Minangkabau dalam sistem kekerabatan Matrilineal Minangkabau adalah
dunsanak, apalagi jika ditinjau dari sukunya.
Pentingnya menyebut
surau sebagai titik persinggungan Islam dan adat Minangkabau disebabkan: 1). Surau
selain mengajarkan agama sekaligus tempat membicarakan persoalan adat
Minangkabau yang dianut oleh murid atau masyarakat yang belajar di surau
tersebut. dapat diduga, transformasi ide dan persinggungan Islam dan adat
Minangkabau bermula dari sini 2). Dengan munculnya Surau yang berorientasi ke
agama dan pendidikan agama di Minangkabau, bertambah pula jenis, bentuk dan
nilai bangunan adat dari bangunan yang sudah ada sebelumnya. Apalagi bangunan
surau keagamaan ini menghadap ke suatu arah yang berbeda, yaitu arah kiblat ke
Makkah. 3). Surau dalam fungsinya yang lebih luas, merupakan media terpenting
Islamisasi Minangkabau. 4). Ulama, Syekh, Tuanku atau tokoh agama yang memimpin
kegiatan keagamaan di surau pada tahap awal menjelang pembaharuan Islam di
Minangkabau merupakan rujukan bagi masyarakat yang pada akhirnya menjadi ide
untuk menambahkan pemimpin agama dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau.
c-
Islamisasi Tambo
Tambo dalam bahasa
Minangkabau kuno artinya adalah cerita sejarah asal-usul kejadian manusia dan
alam semesta (Alam Minangkabau),
serta kisah perjalanan para leluhur dan penerapan sistem adat dan hukum undang adat
Minangkabau.
Awalnya Tambo yang
tidak dituliskan di sembarang tempat, dan tidak disebarkan kepada masyarakat
umum menjadi sebuah buku bacaan yang bisa di kuasai dan dipunyai oleh siapa
saja. Namun, belakangan banyak didapati Tambo-tambo lama yang bertulisan tangan
dengan memakai aksara Arab Melayu, dengan versi berbeda, dan menjadi pusaka
keramat bagi pemegangnya, bahkan adakalanya dijadikan status legalitas
keabsahan suatu kaum atau pemilik pemegang Tambo tersebut.
Tambo adalah rujukan
dan panduan orang Minangkabau dalam melaksanakan perbuatan hukum menurut adat,
Tambo mengajarkan tata cara dan perikehidupan orang Minangkabau, dari upacara
adat kelahiran sampai upacara adat kematian, semua hukum dan undang telah
diatur dan diajarkan Tambo, kecuali tatacara peribadatan keagamaan. Dalam Tambo
asli (bukan tambo karangan),[12]
tidak ada istilah atau ajaran agama apapum, baik ajaran agama Hindu, Budha, dan
Islam, selain dari kemiripan penamaan dan gelar adat. [13]
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Edwar Djamaris, tambo-tambo yang banyak itu
ditulis dalam bahasa Melayu berbentuk prosa. Naskah Tambo Minangkabau ini
sebagian besar ditulis dengan huruf Arab-Melayu, dan sebagian kecil ditulis
dengan huruf latin.
Tidak ada suatu kisah
tambo yang sama isinya. baik yang menggunakan tulisan Arab. yang mcnggunakun
tulisan Latin. yang baru dikenal pada awal abad ke-20 ini. Penulis yang
menggunakan bahasa Indonesia menambah keragaman kisah tambo karena umumnya
mereka mencoba memberikan tafsiran menurut ilmu dan orientasinya masing·masing.
Kisah tambo yang pertama ditulis dengan tulisan Arab. Oleh karena itu pengaruh
agama Islam dan kisah-kisah yang bersumber dari Arab sangat dominan mewarnai
kisah tambo.[14]
Secara substansi,
Sheiful Yazan (2017) menyatakan amat jelasnya pengaruh Islam dalam Tambo
Minangkabau terutama yang ditulis pada tahun 1800-an. Menurutnya, setidaknya
ada 8 (delapan) kutipan atau kalimat yang senada dengan ayat Al Qur’an dalam
naskah-naskah Tambo. Terdapat tema-tema dan kisah terkait Islam khususnya
tasawuf. Terdapat kalimat, nama dan ungkapan khas Islam mulai dari basmalah,
syahadatain, shalawat nabi, sampai kisah penciptaan Nabi Adam ‘alahissalam.
Sebaliknya tidak terdapat unsur-unsur yang memperlihatkan jejak agama selain
Islam di dalam naskah-naskah Tambo terebut.[15]
d-
Masuknya Bahasa Arab dan
berkembangnya Aksara Arab Melayu
Bahasa merupakan salah satu sistem kebudayaan yang
penting di dalam masyarakat. Dalam terbentuknya suatu kebudayaan dalam masyarakat,
diperlukan bahasa yang memudahkan setiap orang untuk berkomunikasi, berbagi
informasi, nilai, dan kepercayaan. Bahasa mempengaruhi proses kognitif manusia,
serta memudahkan kelompok untuk melakukan ritual agama dan adat bersama-sama.
Sejak masuknya agama Islam ke Minangkabau, bahasa Arab
sebagai bahasa al Qur’an dan bahasa ritual keagamaan ikut berkembang.
Perkembangannya didukung oleh intensifnya pengajaran agama baik secara lisan
maupun tulisan. Bahasa Arab yang dipakai dalam menjelaskan ajaran agama
otomatis membekas dan lestari dalam konunikasi sehari-hari masyarakat
Minangkabau.
Pengaruh Islam yang paling kental dalam kebudayaan
Minangkabau dari segi aspek bahasa adalah penggunaan aksara Arab. Aksara Arab
digunakan untuk menuliskan materi ajaran agama Islam kepada masyarakat
Minangkabau. Di antara naskah yang
menggunakan aksara Arab adalah kitab tafsir Al-Qur’an dari beberapa versi
seperti, kitab-kitab pengajaran bahasa seperti Nahu, Sharf, Balaghah (ilm ma’ani,
bayan, badi’, ma’ani, Mantiq), kitab-kitab fikih. Selain naskah-naskah
berbahasa Arab mrni, juga ditemukan naskah-naskah beraksara Arab-Melayu yang
banyak memuat catatan tentang silsilah keluarga, mantra, syair, legenda, mitos,
metode penyembuhan dan sebagainya.
Selain itu, aksara Arab Melayu juga digunakan untuk menuliskan
pengetahuan adat yang dikenal dengan tambo, naskah-naskah pidato adat,
naskah-naskah pagang-gadai, hutang piutang dan sebagainya. Dengan demikian,
kehadiran Islam juga memberikan pengayaan dalam kebudayaan Minangkabau, yaitu
berkembangnya tradisi menulis melengkapi tradisi lisan yang telah berkembang
sebelumnya.
2- Perjumpaan dengan Budaya
Minangkabau
Proses masuknya
pengaruh ajaran agama Islam ke dalam masyarakat adat Minangkabau tidaklah
berlangsung instan dan mudah. Sejak masyarakat Minangkabau mengenal agama Islam
dan beralih secara massal memeluk agama ini, terlihat ada masa yang panjang di
mana tidak dijumpai informasi tentang pergulatan agama ini dengan adat
Minangkabau. Andaipun diterima teori masuknya Islam ke Minangkabau sejak abad
ke-7 masehi, atau abad ke-12 masehi, pergulatan atau interaksi yang intensif
justru terjadi di akhir abad ke-18 masehi hingga ke paruh pertama abad ke-20
masehi.
Dalam periodesasi
sejarah Minangkabau, masa ini dikenal dengan fase
pemurnian dan pembaharuan. Fase ini merupakan fase terpenting integrasi antara
agama Islam dan Adat Minangkabau. Kehadiran surau-surau pengajaran agama Islam
di Minangkabau pasca-Syekh Burhanuddin memberi andil besar munculnya
ulama-ulama yang memegang kendali atas pengajaran Islam di daerahnya
masing-masing. Kesadaran beragama mulai tumbuh dan para ulama tersebut mulai
melirik dan mengkritik praktik beragama masyarakat muslim Minangkabau yang
masih bercampur dengan ajaran-ajaran lama serta praktik-praktik adat yang tak
sesuai dengan ajaran Islam.
Fase ini dibagi kepada dua
periode, yaitu: 1) Periode Pembaharuan Gelombang Pertama yang dimulai
sejak revolusi Paderi (1803-1838) yang digagas Tuanku nan Renceh (1780-1825)
serta disokong oleh tiga orang ulama Minang yang pulang dan Mekkah pada tahun
1803 M, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Gerakan ini
mengusung agenda pemurnian (purifikasi) agama Islam, kritik adat dan kebiasaan
lama yang mereka anggap tidak sesuai, dan mendesak masyarakat untuk melakukan
kewajiban formal agama Islam. Revolusi ini menyulut terjadinya perang saudara
antara Kaum Padri (kelompok pendukung) dan Kaum Adat (kelompok penentang)
gerakan tersebut. Perang ini yang
diawali masalah konflik adat dan agama akhirnya berubah menjadi peperangan
melawan penjajahan Belanda. 2). Periode Pembaharuan Gelombang Kedua yang
dilaksanakan oleh murid-murid Syekh Ahrnad Khatib Minangkabawi yang baru pulang
dari Mekkah. Kondisi sikap keberagamaan dan tradisi yang sudah turun temurun
yang tidak dapat dirobah kembali mendapat tantangan dari kelompok pembaharu.
Pembaharuan tahap kedua tampil dengan corak yang berbeda dengan yang dilakukan
oleh gerakan Paderi. Gerakan Paderi lebih cenderung mengedepankan corak
militerisme, tetapi pembaharuan tahap dua lebih kepada pergolakan inteletual.
Hal ini dapat dilihat dengan dimunculkannya majalah-majalah, diadakannya
perdebatan umum, dibentuknya organisasi-organisasi masyarakat dan didirikannya
sekolah-sekolah yang bercorak modern. Selama dua abad pergulatan Islam dan Adat
Minangkabau tersebut berlangsung alot, mulai dari bentuk interaksi yang keras
yang berujung bentrok fisik hingga bentuk yang lebih elegan dalam bentuk
debat-debat intelektual. Namun dibalik bentrokan tersebut juga tersedia
informasi tentang bentuk penerimaan, baik secara natural maupun melalui proses
perdamaian.
Dengan demikian, dapat
dikatakan reaksi yang dimunculkan oleh masyarakat adat Minangkabau terhadap
nilai-nilai yang bersumber dari agama Islam adakalanya berbentuk positif (dalam
bentuk penerimaan) dan ada kalanya dalam bentuk negatif (dalam bentuk
penolakan). Reaksi ini sekilas terbaca sebagai bentuk dilematika masyarakat
Minangkabau yang sedang dihadapkan pada dua pilihan antara menerima agama atau
tetap mempertahankan adat. Bahkan dalam banyak literatur -bahkan literatur
modern- masih menulis reaksi ini sebagai bentuk pertentangan Islam dan adat
Minangkabau. Mestinya, keadaan ini ditulis sebagai konsekwensi logis datangnya
nilai-nilai baru yang bersumber dari agama Islam menghampiri nilai-nilai adat
Minangkabau yang sudah tersusun sejak lama yang dianut oleh masyarakat
Minangkabau yang sudah memeluk Islam. Masyarakat Minangkabau dalam posisi ini
sesungguhnya sedang menghadapi proses penyesuaian diri dan menghadapi keharusan
mereformasi adat dengan datangnya ajaran Islam. Akhirnya, dilema yang dihadapi
masyarakat Minangkabau itu justru dapat diselesaikan sebagian besarnya dalam
sebuah konsensus Adat Basandi Syara’-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK).
ABS-SBK ini pada akhirnya diterima sebagai falsafah adat alam Minangkabau.
Berdasarkan uraian di atas,
perjumpaan Islam dengan Budaya Minangkabau dapat diskemakan sebagai berikut: pertama,
Islam dan adat Minangkabau mampu berbaur menjadi identitas
sosial-kultural-religius sehingga melahirkan Tradisi Islam Minangkabau atau
tradisi Minangkabau yang Islami. Kedua,
Islam dan adat tidak berbaur, tetapi juga tidak memicu pertentangan dan
konflik. Ketiga, Islam dan adat Minangkabau bertentangan, baik kemdian
yang memunculkan konflik ataupun tidak.[16]
3- Titik Singgung
Beberapa tema yang
menjadi titik singgung antara ajaran Islam dengan adat Minangkabau, yaitu
persoalan adat matrilineal, sistem pewarisan, sistem residensi matrilokal, dan
sistem perkawinan eksogami. Keempat tema tersebut pada dasarnya merupakan inti dari adat matrilineal minangkabau itu
sendiri. Persoalan garis keturunan, pewarisan harta, sistem residensi dan
perkawinan eksogami merupakan konstruksi dasar dari adat matrilineal
Minangkabau.
[1] Istilah konversi di sini bermakna sebagai
peralihan kepenganutan dari suatu agama ke agama lain. Istilah ini digunakan
oleh Irhash A. Shamad untuk memudahkan dan menyederhanakan penyebutan. Lihat,
Irhash A. Shamad, Danil M. Chaniago, Islam dan Praksis Kultural Masyarakat
Minangkabau, Jakarta: Tintamas, 2007, h.29
[2] M Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di
Minangkabau 1907-1969,(Disertasi)
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:1988, h.65
[3] Jefrey Hadler, Sangketa Tiada Putus;
Matriarkat, Reformisme Islam, dan Kolonialisme di Minangkabau. Jakarta:
Freedom Institut, 2010, h.xi
[4] M.D. Mansoer, Sedjarah Minangkabau,
Jakarta: Bhratara, 1970, h.38
[5] Rusli Amran, Sumatera Barat hingga
Plakat Pandjang,Jakarta: Sinar Harapan, 1981, h. 36
[6] Ibid, h. 51.
[7] Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul
Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, ed. ke-4 Jakarta:
Umminda, 1982, h. 6-7
[8] Zulqayyim, Pedagang Islam dan
Kebangkitan Islam di Luhak Agam, dalam Nurus Shalihin, Yasmadi, Sefriyono,
Muhammad Sholihin, Mozaik Islam Nusantara, Padang: Imam Bonjol Press,
2012., h.127-131
[9][9] Firdaus, Sejarah Pendidikan Islam di
Minangkabau Abak XVII-XVIII M, Padang:Imam Bonjol Press, 2014, h.22-25
[10] Di beberapa daerah Minangkabau terutama di
Agam dikenal istilah Sumbayang berkaum-kaum. Istilah ini menunjukkan
fungsi surau sebagai tempat shalat jamaa’ah bagi anggota kaum
[11] Firdaus, Ibid., h.23
[12] Tambo Asli diyakini sebagai tambo yang
diwariskan secara lisan. Keaslian tambo ini dilihat dari kesamaan bahasa
redaksional dan diksi yang digunakan oleh tambo. Upaya penjagaan keasliannya
dinyatakan dengan ungkapan sabarih bapantang lupo, satitiak bapantang hilang
(sebaris berpantang lupa, setitik berpantang hilang)
[13] Tengku
Irwansyah, Mengungkap Sejarah Minangkabau dalam Perspektif Tambo,
(Makalah Kongres Sejarah Minangkabau, Bukittinggi,16-18 Desember 2018), Dinas
Kebudayaan Propinsi Sumatera Barat,2018
[14] Edwar Djamaris, Tambo Minangkabau, Tinjauan
Strukturl, Seminar Nasional Mengenai Kesusastraan, Kemasyarakatan dan
Kebudayaan Minangkabau, Bukittinggi 1980.
[15] Sheiful Yazan, Menggugat Pemahaman Tambo
Minangkabau, Padang: Penerbit Erka, 2017, h.37
[16] Nelmawarni, dkk., Islam dan Tradisi
Lokal di Minangkabau (Laporan Penelitian), Padang: Pusat Penelitian dan
Penerbitan LPPM IAIN Imam Bonjol Padang, 2014, h. 3
No comments:
Post a Comment