04 April 2020

Minangkabau Darurat Kemanusiaan? Lai Subana e Tu?


Tanggapan Atas Tulisan Dedi Marhadi
Minangkabau Darurat Kemanusiaan
di https://geotimes.co.id/kolom/minangkabau-darurat-kemanusiaan/


Oleh Tan Kari
Tulisan ini bagus dan patut kita renungkan, demi memperbaiki akhlak dan moral sesuai dengan tuntutan Adat dan Agama urang Minangkabau. Tapi meskipun demikian, ada pula patutnya mengkritisi beberapa bagian dari tulisan ini yang terkait dengan pengetahuan dasar-dasar Keminangkabauan. Begini...



Minangkabau Darurat Kemanusiaan
DEDI MAHARDI

[Paragraf 1]
Sewaktu kecil tahun 70an, kami bangga sebagai orang Minangkabau, betapa tidak ranah Minang yang begitu indah secara fisik dijalankan dengan sistim atau software adat Minang yang begitu mulia atau bernilai tinggi.
[Paragraf 2]
Ketika kecil atau remaja, mendengar paman (kakak atau adik dari ibu) mendehem saja kami sudah takut dan berjaga-jaga jangan sampai paman marah karena kesalahan yang kami perbuat sebelumnya.
[Paragraf 3]
Begitu juga ketika ada tamu atau ada acara yang banyak tamu, bapak ibu kami tidak perlu mengeluarkan kata-kata untuk menyampaikan agar kami tidak disitu atau kami jangan melakukan itu, tetapi cukup dengan cara melirik atau melihat ke kami dengan cara berbeda.
[Paragraf 4]
Begitu juga dengan adat, bagaimana eloknya cara menghormat orang yang dituakan dalam makan bersama sehingga siapapun tidak akan berani cuci tangan walau sudah selesai makan, sebelum yang dituakan mencuci tangan. Apa tujuannya?
[Paragraf 5]
Disamping [mestinya Di samping] menghormati juga menjaga agar yang dituakan tersebut jangan sampai tidak selesai makannya karena yang lain sudah selesai. Itu salah satu contoh saja, banyak contoh lain yang membuktikan betapa mulia adat Minangkabau tersebut.
[Paragraf 6]
Kebanggaan kami terhadap Minang semakin tinggi lagi atau disempurnakan, ketika kami tahu dari pelajaran sekolah bahwa mayoritas pendiri atau pejuang yang mendirikan bangsa ini adalah tokoh Minang.
[Paragraf7]
Bayangkan 3 dari 4 bapak pendiri bangsa ini adalah orang Minang yaitu Bung Hatta, Bung Sjahrir dan Tan Malaka, kecuali Bung Karno yang bukan orang Minang. Betapa hebatnya Minang kalau itu, bukan saja kami rasakan tetapi juga dikatakan oleh banyak tokoh dan budaya dari daerah lain.
-------------. paragraf 1-7 ok. Data valid dan dapat dikonfirmsi

[Paragraf 8]
Sayangnya, kemuliaan adat dan budaya yang begitu berharga menjadi modal utama melahirkan tokoh dan pemikir Minang serta menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat Minang, sekarang sudah punah. Kenapa kami berani mengatakan sudah punah?
------------- Ok. Memenuhi syarat sebagai sebuah asumsi. Kita catat dua point penting: “kemuliaan adat” dan “sudah punah”

[Paragraf 9]
Karena sekarang Minang, jangankan bicara adat dan budaya untuk bicara tentang adab dan etika saja sekarang sudah susah, begitu juga bicara kepatuhan terhadap hukum dan aturan. Padahal adat dan budaya tersebut posisinya diatas [mestinya di tulis di atas] adab dan etika, lalu posisi adab dan etika ada diatas [mada, pisahkan, mana editor geotimes? Huh!] kepatuhan hukum dan aturan.
------------- Ok. Cuma agak bingung, mengapa paragraf ini dipisah? Padahal gagasan utamanya satu. Narasi yang dibangun, “Kemuliaan adat sudah punah” lalu penulis mengajukan argumen “Karena sekarang Minang, jangankan bicara adat dan budaya untuk bicara tentang adab dan etika saja sekarang sudah susah, begitu juga bicara kepatuhan terhadap hukum dan aturan.” Argumen ini agak lemah, karena bicara adat dan budaya tentang adab dan etika tidak terlalu susah. Klaimnya terlalu besar, data yang ditampilkan seolah-olah mewakili persoalan orang Minang. Perhatian kalimat berikut “karena sekarang Minang...” Klasifikasinya juga tidak jelas, 1) Apakah orang Sumatera Barat otomatis orang Minang? 2) Apakah Minang yang dimaksud penulis adalah orang Minang dan bicara dalam identitas kultural ke-Minangannya?

[Paragraf 10]
Apa buktinya pelanggaran terhadap hukum dan aturan agama banyak yang dilanggar di Minangkabau sekarang? Data dari departemen kesehatan yang mengatakan bahwa kasus penyebaran HIV Aids termasuk tertinggi di sumatera barat [perhatikan penggunaan huruf kapital], dan data kasus pelecehan seksual juga termasuk tertinggi. Begitu juga dengan kasus korupsi yang cukup tinggi, padahal zaman dulu jangankan korupsi atau mencuri, menjual harta pusaka saja yang jelas-jelas halal orang Minang malu. Dulu harta pusaka hanya boleh digadaikan jika ada keperluan yang sangat mendesak dan tidak ada jalan lain, seperti untuk biaya pemakaman keluarga dan tidak ada alternatif lain.
------------- ini soal problem berfikir dan kekuatan data dan kedalaman informasi! Begini;
1) Di Sumatera Barat, mayoritas dihuni oleh etnis Minangkabau. Segala pelanggaran sosial di atas kertas mesti dilakukan oleh orang Minang. Namun, sudah dapatkah dipastikan bahwa pelaku pelanggaran sosial itu orang Minang?
2) Perlu dipertimbangkan apakah masyarakat Minang sekarang hidup dalam sistem sosial yang dibentuk oleh pemuka adat Minangkabau? Apakah limbago rumah tanggo, paruik, kaum dan suku sebagai organisasi sosial Minangkabau yang berbasis kekerabatan masih dihargai oleh sistem sosial modern sekarang? Perhatikan baik-baik. Hubungan langsung unit pemerintah terkecil di NKRI sekarang langsung ke anak kamanakan (warga). Kepala Keluarga (KK) di rumah tanggo sekarang adalah AYAH (lihat di KK). Minimal, Pak RT, RW atau Pak Jorong berkomunikasi langsung dengan Kepala Keluarga baik lisan ataupun tertulis. Tidak ada mamak rumah, tungganai, mamak kaum/mamak kapalo warih, pangulu suku dalam direktori administratif RT, RW atau Jorong. (Kecuali bila akan menjual “harato pusako,” pimpro, pemilik modal, investor baru kaca-kaca-i mencari mamak kaum dan mamak kapalo warih untuk akad jual beli atau apalah).
3) Penulis sepertinya tidak mengikuti perdebatan orang Minang  tentang harta pusako. Masa iya dibilang Harato Pusako jelas-jelas halal? Ok lah, memang ada yang bilang halal namun dapatkah penulis memastikan bagaimana cara perolehan harato pusako itu? Jika itu terkait tanah, apakah pasti tanah itu hasil manaruko, cancang lateh niniak muyang orang Minangkabau? atau jangan-jangan ada unsur rampasan, tipuan atau keadaan-keadaan yang bernuansa keterpaksaan? Atau jangan-jangan harato pusako itu pemberian Bulando karena Niniak Muyang dahulu sangat akrab bakalintin pintin dengan Bulando. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy, karena mengingat status tanah ulayat atau harto pusako ini, maka ia menghukum tanah ulayat ini syubhat. Apa itu syubhat? Googling sendiri.
4) Ini problem berpikir yang inkonsiten. Perhatikan kalimat penulis ini: “Begitu juga dengan kasus korupsi yang cukup tinggi, padahal zaman dulu jangankan korupsi atau mencuri, menjual harta pusaka saja yang jelas-jelas halal orang Minang malu. Dulu harta pusaka hanya boleh digadaikan jika ada keperluan yang sangat mendesak dan tidak ada jalan lain.” Nah, pertama penulis mengatakan menjual harta pusaka yang jelas-jelas halal orang Minang malu. Makna kalimatnya, harta pusaka itu halal, boleh dijual. Padahal harato pusako itu “dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando.” Untuk kalimat pertama, jelas, harato pusako tak boleh dijual, kecuali digadai. Lalu apa makna “malu menjual” dan “boleh menggadai”  terhadap harato pusako? Duh!

[Paragraf 11]
Tetapi yang lebih dasyat dan mengganggu pikiran kami adalah peristiwa dua hari lalu dengan meninggalnya ibunda bapak Presiden, beberapa postingan menghina dan menghujat serta memfitnah sang ibunda dan presiden bermunculan dari Minang.
------------- turut berduka Pak Presiden. Maafkanlah, mudah-mudahan postingan itu hanya perangai buruk sebagian kecil orang Minang yang main medsos saja. Orang Minang sejati, tak akan melakukan itu. Berarti itu dilakukan oleh orang Minang Kantau. 

[Paragraf 12]
Sehingga kami yang sedang asik menikmati suasana social distancing dengan menyelesaikan beberapa buku, terganggu dengan whatsapp beberapa teman dari etnis lain yang mempertanyakan “Kenapa orang Minang begitu?” Secara bergurau dan spontan kami menjawab“ itu yang menulis bukan orang atau manusia karena manusia tidak mungkin sebiadab itu”.
------------- Setuju. Itu bukan prilaku urang Minang sejati, itu dilakukan oleh orang Minang Kantau, abih Minangnya tingga Kabau nya. (tapi, kabau ndak bisa mangecek, Bro!, indak manusia) 

[Paragraf 13]
Kelakuan mereka itu bertolak belakang dengan keluhuran dan kemulian budi alm Buya Hamka, yang telah dipenjarakan oleh Bung Karno tetapi ketika Bung Karno meninggal beliau melayat dan mensholatkan jenazah Bung Karno.
------------- Setuju.

[Paragraf 14]
Kepada mereka yang menaruh dendam kesumat serta kebencian kepada pemerintah dan presiden ini, pernah kami pertanyakan: “Apa yang kalian dapat dari memfitnah dan membenci tersebut? Apakah keadaan akan berubah, apakah bikin orang yang kalian benci berubah, atau akan bikin diri kalian sendiri berubah?”.
------------- Setuju. Tapi ko agak politik nampak e, wak ndak sato do. Lah mulai nge Gas!

[Paragraf 15]
Kami katakan, jika pemerintah atau presiden membalas kebencian kalian ini lalu menghentikan mengiriman dana anggaran ke Sumatera Barat maka seketika sumatera barat ini akan lockdown. Kenapa lockdown? Karena hampir 90 % kebutuhan anggaran Sumatera Barat ini di drop dari pusat, dan sebagian besar rakyat Sumatera Barat yang pegawai ini tidak gajian.
------------- Eit....iko kama lo painyo ko? Indonesia bukan negara kerajaan. Pembangunan beserta anggarannya adalah hak rakyat. Binga! Apa kamu ingin presiden melanggar amanat konstitusi? Apuih capek, apuih lah. Apa kamu kira transakasi warga negara dengan pemerintah berdasarkan peristiwa politik? Tidak mas brooh...Logika anggaran, perimbangan keuangan pusat dan daerah punya aturan tersendiri.

-----------------------------------------
Paragraf 16 - Terakhir ndak sato kito lai, baun tim sukses! Main Gas, tapi rem we'e Blong!

[Paragraf 16]
Malah kebencian dan dendam tersebut telah menyebabkan mayoritas rakyat dirugikan, yaitu dengan penyesatan informasi bahwa bensin lebih baik dari pada pertalite, sehingga rakyat rela antri berjam-jam di spbu untuk bisa membeli premium atau bensin. Dan yang lebih lucu lagi rakyat rela membeli premium dari pedagang eceran pinggir jalan seharga 8 ribuan atau sepuluh ribuan.
[Paragraf 17]
Padahal pertalite dengan kualitas oktan lebih tinggi di SPBU dan tidak perlu antri dijual tidak sampai delapan ribu. Makanya antrin premium yang mengular dibanyak tempat hanya terjadi di Sumatera Barat, dan tidak terjadi di daerah lain.
[Paragraf 18]
Usul kami untuk memberi efek kejut yang menyadarkan mereka, pertamina segera hentikan pengiriman premium kesana untuk beberapa bulan, karena bahan bakar bersubsidi tersebut telah disalah gunakan.
[Paragraf 19]
Usul kami kepada yang masih menaruh dendam kesumat dan kebencian, ubah dan manfaatkan energi dendam tersebut untuk berbuat sesuatu yang membuat kalian dibutuhkan oleh bangsa ini. Sehingga posisi kalian menjadi orang yang dibutuhkan, bukan seperti sekarang posisi kalian hanya seperti mentimun bungkuk yang masuk karung tetapi tidak dihitung.
[Paragraf 20]
Misalnya kalian mampu membuat energi terbarukan atau alternatif atau apa saja sehingga kalian semua menjadi orang penting yang dibutuhkan. Bagaimana memperbaiki kondisi ini?
[Paragraf 21]
Selama pilkada langsung masih berlaku di Sumatera Barat maka kondisi ini akan semakin parah, karena para calon kepala daerah tidak akan berani menyampaikan gagasan yang berlawanan dengan pola pikir masyarakat Minangkabau saat ini.
[Paragraf 22]
Usulan agak eksrim dan mungkin terdengar nyeleneh adalah pemerintah bersama DPR membuat undang-undang propinsi khusus Sumatera Barat yang kepala daerahnya sementara waktu ditunjuk oleh pusat atau cara lain yang bukan dipilih oleh masyarakat Sumatera Barat itu sendiri.
[Paragraf 23]
Demikian tulisan ini kami buat dengan harapan dapat membuka hati yang terus diselubungi dendam kebencian dan meluruskan logika yang tersesat karena merasa benar dan merasa bisa. Wallahu’alam

Jakarta, 27 Maret 2020

Catatn Akhir:
Antah apo korelasi judul dengan uraian. Basis argumen untuk Minangkabau darurat kemanusiaan itu tidak jelas. Apakah karena Bencana Alam, Perang Sipil yang menyebabkan terjadinya genocide, Wabah penyakit dsb. Peristiwa Politik belum dapat dijadikan alasan darurat kemanusiaan. Manusia Minang politik punya lapau sendiri, manusia Minang ka sawah, ka sikola, ka balai lain pulo lapaunyo. Jan samokan sajo sunguik jo bulu iduang

Pak Dedi Marhadi,Mauh banyak-banyak, Namonyo komentar, kadang-kadang yo baitu. Apolagi komentar reviewer jurnal kadang lebih sadis dari itu. Tabik!
Wallahu’alam (dan Allah itu Maha Mengetahui)

2 comments:

RIAU MAGAZINE said...

Jejak digital Dedi Marhadi ko di twitter sambuah, jokower radikal. Sila cek.
Tak heran tulisannya ini tendesius

Muhammad Nasir said...

Riau Magazine. Iyo. Tulisannyo di pangka se nan batua, di ujuang lah amba.