Kisah-kisah sekitar Sang Ramapati
Oleh Muhammad Nasir
Akhirnya, Sang Ramapati atau Dyah Halayudha sampai pada puncak ambisi kekuasaannya. Ia ingin menjadi raja Majapahit. Setelah beberapa tahun menjabat Patih Amangkubhumi, ia merasa bahwa kekuasaan atas pemerintahan sudah berada di tangannya. Apalagi, Prabu Jayanegara, raja Majapahit yang masih muda itu tidak begitu peduli dengan urusan pemerintahan.
Menurut Jayanegara, pemerintahan sudah berjalan dengan baik di tangan Sang Ramapati. Karena itu ia amat percaya dengan politisi gaek itu. Selanjutnya ia merasa tertolong dengan kecakapan Sang Ramapati dalam mengurus pemerintahan. Sekarang, ia tinggal menikmati kekuasaan mutlaknya dengan bersenang-senang dengan wanita-wanita persembahan di istana Kapopongan, tempat ia memabukkan diri.
Sang Ramapati setelah melihat kemabukan raja itu, merasa mendapat momentum yang pas untuk melakukan kudeta meraih kuasa semu Mahkota Mayangkara, sebagai raja Majapahit alias negeri Wilwatikta. Segalanya sudah dipersiapkan bersama kaki tangannya yang sudah menjabat sebagai punggawa kerajaan (Pengalasan Winehsuka). Sayangnya, akibat kecerobohannya sendiri, kaki tangan yang sejatinya adalah anak asuhnya sendiri "berbalik arah" mengkhianati rencana makarnya.
Sebab pengkhianatan itu tidak lain karena rasa "percaya tak percaya" terhadap dua orang anak asuhnya sendiri, yaitu Ra Semi dan Ra Kuti. Kedua orang ini ia singkirkan dari rencananya secara halus. Sehalus-halusnya penyingkiran ini, Ra Semi dan Ra Kuti tidak dapat mengelak dari kenyataan bahwa mereka sudah merasa tersingkir. Karena itu, kedua orang ini membuat gerakan sendiri dengan cara mempengaruhi beberapa anak asuh Sang Ramapati yang lain yang bertindak sebagai tim sukses, yaitu Ra Wedeng, Ra Banyak, Ra Pangsa dan Ra Yuyu. Sedangkan satu lagi anak asuhnya yaitu dokter Istana Ra Tanca secara pribadi tidak punya interest politik, namun di hatinya tidak setuju rencana makar itu.
Ra Kuti dan Ra Semi mencoba mempengaruhi beberapa anak asuh Sang Ramapati. Meyakinkan bahwa rencana ini berbahaya, bahkan potensi gagalnya teramat besar. Nah, seandainya rencana ini gagal, apa ini tidak berbahaya untuk masa depan karir mereka? Usaha Ra Semi dan Ra Kuti ini sebenarnya dapat mempengaruhi sikap Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak, Ra Pangsa dan Ra Tanca. Sejatinya mereka juga meragukan keberhasilan upaya makar itu dan tentu saja mereka membayangkan nasib mereka bila upaya itu gagal. Dasar, begitulah watak tim sukses yang hanya berpikir tentang keselamatan diri dan masa depannya.
Akibat problem batin dan kepentingan pribadi para tim suksesnya itulah, rencana makar itu dapat digagalkan. Pembunuhan terhadap Prabu Jayanegara yang sedang ber "asyik wal ma'syuk" dengan gundik-gundiknya di Istana Kapopongan itu gagal. Digagalkan oleh para tim suksesnya dan pihak-pihak lain yang mengetahui adanya rencana jahat itu.
Para tim sukses itu berpikir bahwa berbalik arah menentang rencana makar itu pasti lebih menjamin masa depan mereka dibandingkan meneruskan rencana itu. Apalagi darah mereka terasa "badampuang" bila membayangkan kegagalan-kegagalan atau kerusuhan-kerusuhan yang bakal terjadi andaipun kudeta itu berhasil dilakukan.
Barangkali untuk zaman sekarang ini, para pembesar-pembesar negeri mesti belajar banyak dari kisah sang Ramapati, bahwa anak asuh, tim sukses dan para buzzeRp boleh jadi punya jasa besar mengantarkan dirinya kepada kekuasaan, bahkan dalam situasi-situasi pelik bisa saja mereka itu menjadi kekuatan untuk memerosotkan kekuasaannya.
Begitulah narasi yang terbaca melalui cerita kudeta Sang Ramapati Dyah Halayudha yang direkacitra oleh Sandiwara Radio Mahkota Mayangkara, garapan S. Tidjab penulis skenario sandiwara kawakan di rentang tahun 1980-1990 an itu. Bagi mahasiswa yang belajar sejarah Indonesia abad ke-13 hingga abad ke-14 ada baiknya mendengarkan sandiwara radio ini untuk membaca buku teks sejarah yang menyebalkan itu.
Ada Pekerjaan di Balik Kejahatan
Sejarah sudah mencatat, betapa Sang Ramapati ditulis sebagai tokoh sejarah antagonis. Tak disangka bahwa sejarahpun ternyata menghadirkan tokoh antagonis sebagai "pemanis" sandiwara dunia. Tak dapat disangkal lagi bahwa sejaya apapun sebuah negara sudah dapat dipastikan kejayaan itu dibangun oleh konflik antara tokoh-tokoh protagonis dengan tokoh-tokoh antagonis.
Sederhananya, negara adidaya manapun pasti dibangun dalam suasana pertarungan antara orang-orang baik dan orang-orang jahat. Orang-orang baik itu bisa jadi orang yang kuat dan penuh perhitungan dan bisa pula orang-orang baik yang lugu, lemah hati dan penuh kesembronoan. Sementara orang-orang jahatpun tak lebih sama keadaannya dengan orang-orang baik. Orang-orang jahat yang kuat, cerdas, culas dan penuh kewaspadaan dan orang-orang jahat yang lemah, picik, bodoh dan tanpa perhitungan.
Lain halnya dinamika pertarungan orang baik dan orang jahat dalam sandiwara sebenar sandiwara. Pertarungan kedua kelompok itu benar-benar menjadi perisa sebuah cerita. Saya membaca komentar-komentar penikmat sandiwara radio yang diunggah di youtube. Terutama mereka yang merasa kegagalan Sang Ramapati yang membuatnya harus dihukum bunuh dengan cara dicincang halus (cineleng-cineleng) membuat sandiwara ini sudah tamat. Tak ada lagi ketegangan yang mengguncang emosi. Cerita menurut mereka terasa hambar tanpa perisa sama sekali.
Mengapa bisa begitu? Ya, sejak episode Pemberontakan Ranggalawe pada sekuel Tutur Tinular hingga episode Serigala-serigala Berbulu Domba pada sequel Mahkota Mayangkara, Ramapati seolah-olah menguasai setiap cerita dalam sandiwara tersebut. Terutama dengan ambisi jahatnya yang diiringi sifat licik, culas, busuk hati dan strategi-strategi politiknya yang kejam tanpa ampun.
Semua sifat jahat itu tergambar dengan baik sejak peristiwa pemberontakan Ranggalawe, pemberontakan Gajah Biru dan Demung Wira, Penyingkiran Lembu Sora hingga pembantaian di Istana Pajang yang menewaskan Patih Nambi yang dituduh makar oleh Sang Ramapati. Belum lagi cerita-cerita receh pada semua seri yang berfungsi menguatkan karakter jahat Sang Ramapati.
Berakhirnya kejahatan Ramapati membuat cerita terasa kering kerontang bagi yang menikmatinya. Tak adalagi ketegangan. Sementara bagi penikmat yang lain, meskipun cerita terasa hambar, terselip rasa puas. Kematian Sang Ramapati telah mengakhiri kegilaan mereka terhadap sandiwara ini.
"Syukurlah, Ramapati bangsad keparat, setan alas itu sudah mati. Aku bisa bekerja lagi tanpa harus diuber-uber keinginan mendowload sandiwara yang menghabiskan waktu ini," kata seorang netizen. Haha...
"Ya, dunia tanpa kejahatan mungkin terasa hambar. Pendekar-pendekar akan kehilangan pekerjaan, demikian pula kelompok asipran pendukung kejahatan" kata netizen yang lain, yaitu saya sendiri yang menulis tulisan ini.
Artinya, di balik ambisi dan track record keculasan Sang Ramapati tersedia banyak pekerjaan bagi "anak asuh", dan "tim sukses"-nya. Pekerjaan-pekerjaan itu dapat membuat mereka mendapatkan harta, kekuasaan, kehormatan, antipati dan dosa. Hal yang sama juga berlaku bagi orang-orang baik yang menentang kejahatan Sang Ramapati. Mereka mendapatkan kemuliaan, penghormatan, kekuasaan, harta, simpati dan mungkin juga pahala atas usaha-usaha perlawanannya.
Nah, apakah mungkin apabila cerita menjadi hambar tanpa kejahatan menjadi sebuah tanda akan hadirnya kiamat? Boleh ditanyakan kepada ustadz akhir zaman atau kepada Zelfeni Wimra, pujangga yang berhasil menghimpun aneka Ramuan Penangkal Kiamat.
No comments:
Post a Comment