04 February 2021

Apa Yang Saya Banggakan di HMI?

Refleksi Diri 74 Tahun HMI

Oleh Muhammad Nasir  

 

Sejak musim twibbon-twibonize dimulai, saya juga ikut meramaikan. Segera saya pilih foto terbaik agar match dengan desain grafis, warna dan terlihat eye catching. Betapa senangnya hati, dan bertambah semangat untuk hidup bila ada kolega yang berkomentar, wah, keren, mantabbb, makin ganteng abangku dan lain-lain. Terserahlah, mereka serius mengatakannya atau hanya respon sambil tidur-tiduran dan mengangkat kaki tinggi-tinggi ke dinding. Tapi, perasaan yang paling halus pasti dapat mendeteksi, mana pujian yang serius dan mana pula yang asal-asalan.

Beberapa hari yang lalu saya juga pasang twibbonize Dies Natalis 74 tahun HMI di akun  facebook saya. Komentar-komentar seperti itu juga muncul. Termasuk barisan ikon like, share dan urut emoticon aneka ekspresi. Mudah-mudahan semua respon itu sesuailah dengan apa yang tertampilkan di layar.

Tapi yang membuat saya harus merenung adalah sebuah komentar di luar media sosial dari seorang teman, yang notabene juga pernah mengecap asin manis, pahit getir selama di HMI. Katanya, “Apa masih ada yang patut dibanggakan di HMI?” Saya tercenung sejenak. Saya berpikir ingin memukulnya keras-keras sampai ia terjengkang. Tapi apa daya, tubuh saya yang kecil tak memungkinkan untuk itu. Sayang sekali zaman-zaman olah kanuragan sudah lewat, discontinued. Jika zaman itu masih ada, saya akan memukul seraya melambari tangan saya dengan ajian Segoro Geni agar tubuhnya hangus dan hitam menjadi arang.

Bagi saya pertanyaan seperti itu sama menyakitkan dengan pertanyaan: “apa lagi yang bisa diharapkan dari Islam atau apalagi yang bisa diharapkan dari Indonesia?” Tapi syukurlah kesadaran saya segera pulih. Mungkin saja ia sedang bersedih, sedang kecewa atau sedang lupa cara berpikir. Jujur saja, berwaktu-waktu yang lalu saya juga pernah berpikiran serupa itu pula.

Tetapi, pertanyaan teman itu ada juga baiknya. “Apa Yang dibanggakan dari HMI?” Pertanyaan ini sesungguhnya pertanyaan reflektif yang mengajak saya atau kita atau siapupun yang punya sangkut-paut dengan HMI untuk merenung, mengukur-ukur kualitas diri dan kapasitas organisasi agar kebanggan ini mendapatkan sangkutan. Saya sendiri, meskipun belum berniat berbangga diri akan mencoba menimbang-nimbang manfaat apa yang saya dapatkan selama mengasosiasikan diri dengan organisasi yang sudah berdiri sejak 5 Februari 1947 ini. Mudah-mudahan ini menjadi alasan pribadi saya untuk membanggakan HMI. Begini uraian saya:

Pertama: Mendapat Teman

Betapa tidak bangga saya menjadi anggota HMI, karena di sanalah saya mendapatkan teman yang banyak. Teman dari berbagai daerah, berbagai kampus, berbagai ilmu, berbagai perangai dan berbagai-bagai. Dengan banyaknya teman inilah saya bisa mengetahui bahwa manusia itu berbagai-bagai. Dari berbagai-bagai itulah saya tahu bahwa manusia itu ternyata terbagi dua, manusia baik dengan tingkat gradasi kebaikannya dan manusia buruk dengan geseran gradasinya pula.

Dulu, sewaktu menjadi anggota aktif, saya sangat senang dengan manusia-manusia baik dan sangat benci dengan manusia-manusia yang menurut saya tidak baik. Belakangan, seiring berjalannya waktu, manusia-manusia HMI itu mengalami perubahan. Yang baik bertambah baik. Namun ada juga yang dulu baik, agak menurut sedikit kebaikannya. Yang dulu menurut saya tidak baik, berangsur baik bahkan dengan lompatan besar menjadi orang baik-baik.

Dari keberbagaian itu pulalah saya menyadari, bahwa yang namanya teman itu memang berbagai-bagai. Alasan inilah yang membuat kita menentukan jarak dengan teman-teman. Memilih merapat atau menjauh. Bahwa pilihan merapat atau menjauh ini bukanlah selamanya buruk, namun untuk menjaga perasaan sendiri agar tidak jatuh kepada sikap sayang berlebih-lebihan tanpa reserve kepada teman yang kita anggap baik dan membenci berlebih-lebihan kepada teman yang kita anggap tidak baik. Perasaan yang stabil setidaknya menjadi jembatan bagi saya pribadi untuk dapat terus berkomunikasi, berbicara saling menyapa, mengingatkan, mengkritik bahkan memarahi. Bahwa teman sejati pasti dapat memaklumi arti sapaan, kritik dan kemarahan dari temannya.

Kedua; Mendapat Keterampilan

Terus terang saja, ketika ber-HMI kegiatan yang paling saya sukai adalah di dalam forum perkaderan, utamanya dalam training-training formal. Posisi yang paling menyenangkan dalam dunia ini adalah menjadi instruktur. Dunia ini bagi saya menjanjikan dan dapat membuka jalan bagi impian saya.

Ketika menjadi peserta Lartihan Kader 1 (LK-1) dulu, saya sudah mulai berpikir saya harus menjadi instruktur. Sederhana saja alasannya. Saya terobsesi melihat instruktur yang mahir berbicara, berilmu dan mampu mengendalikan kelas dengan baik. Saya juga menyaksikan instruktur yang performance di kelas tidak menggembirakan. Saya berpikir, jika instruktur seperti ini terus ada, bisa rusak perkaderan. Karena itu, setelah saya ukur bayang-bayang dan saya langkahi tiga kali, saya memutuskan bahwa saya mungkin bisa perform lebih baik dari instruktur asal-asalan itu. Bungkus! Akhirnya saya berniat menjadi instruktur. 

Siapa sangka, belakangan setelah lulus dari Hang Tuah 158 saya bekerja di dunia yang mirip-mirip dengan dunia perkaderan. Tak akan saya ingkari, bahwa keterampilan yang saya peroleh dalam pekerjaan, hampir semuanya saya dapatkan dari pengalaman selama menjadi instruktur aktif antara tahun 1998-2003.  Bahkan sekarang, meskipun performance saya di kelas tidak bagus-bagus amat, setidaknya keterampilan selama mengelola kelas training LK-1 cukup dapat diandalkan ditambah dengan keterampilan-keterampilan baru sesuai dengan perkembangan zaman.

 Ketiga; Mendapatkan Ilmu

Bahwa sebagai mahasiswa, ilmu dasar yang saya miliki tentu saja sesuai dengan jurusan yang terdaftar di perguruan tinggi. Namun ketika menjadi instruktur di perkaderan HMI tentu tak cukup berbekal ilmu dasar itu saja. Kurikulum perkaderan dan rangkaian materi yang tersusun dalam kegiatan training sudah pasti tak semuanya sesuai dengan latar belakang keilmuan di perguruan tinggi kita saja. Apalagi kalau bidang ilmu itu tidak dikuasai, malas belajar, acap bolos, hanya maunya nongkrong di Wisma HMI.

Bayangkan saja, kalau jadi instruktur training tapi tak mau belajar. Mau jadi apa dunia perkaderan. Peserta training yang berasal dari berbagai disiplun ilmu dan berbagai tingkat kecerdasan sudah pasti akan memberikan jempol terbalik. Itu sudah syukur dibandingkan serangan verbal yang dilontarkan kepada istruktur atau mungkin saja lontaran kursi. “Sudahlah, kami undur diri dari training ini. Training macam apa ini!” Kata mereka.

Nah, selama menjadi instruktur inilah saya mendapatkan tantangan dan termotivasi untuk terus belajar. Meskipun tak pandai-pandai juga, namun semangat belajar dan keinginan untuk memperbaiki diri menjadi sumbangan terpenting ketika saya ber-HMI. Anda tak dapat menyangkalnya, karena sayalah yang merasakannya. Saya periksa lemari buku saya, hampir sebagian besarnya saya peroleh ketika ber-HMI. Baik beli sendiri, dikasih orang atau dapat pinjam dan lupa (atau tak ingin) mengembalikan. Eits, yang bagian jeleknya jangan khawatir, sudah saya selesaikan dengan yang empunya.

Lalu, apa yang akan dibanggakan?

Saya melihat, HMI adalah sebuah wakaf gagasan yang harus dipelihara dan dilestarikan. Gagasan baik akan selamanya baik. Tak lebih tak kurang. Misalnya,betapa baik cita-cita para penggagas HMI yang kemudian gagasannya ini dikemas sebagai standar kualitas kader HMI di masa depan. Namanya Lima Kualitas Insan Cita.

Lima kualitas insan cita tersebut merupakan penjabaran dari tujuan HMI yang tercantum dalam pasal 5 konstitusi HMI 1) terbinanya insan akademis, 2) pencipta, 3) pengabdi yang 4) bernafaskan islam dan 5) bertanggungjawab atas terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhoi oleh allah swt”

Coba renungkan, apa itu kurang baik dan kurang patut dibanggakan? Wujud profil kader HMI yang memiliki lima kualitas insan cita di atas merupakan ikhtiar membumikan tujuan HMI dalam segala lini kehidupan. Dalam konteks internal HMI, insan cita merupakan profil kader yang menjadi tulang punggung organisasi untuk menjalankan amanah organisasi secara menyeluruh.

Saya pikir, tak sedikit kader-kader HMI yang sudah mendekat ke level (maqam) Insan Cita ini. Mungkin saja kita lupa, bahwa mereka yang berada di maqam ini adalah orang-orang yang luput dari pantauan kita. Sebab mereka bukan pesohor yang dibesarkan media massa. Bukan Wapres, bukan gubernur, bukan walikota, bukan komisaris BUMN atau komisioner ini itu. Kita mungkin tidak sadar, bahwa fasilitas duniawi yang kita peroleh justru adalah buah tangan kader-kader HMI yang tak tersebut-sebut dalam sejarah negara.

Jadi andaipun ada yang kurang berkenan dengan keadaan HMI akhir-akhir ini semestinya berkaca diri, bahwa dirinya sebagai tulang punggung organisasi, bahwa warga himpunan yang lainnya sedang mengalami “sakit punggung” yang membuat cita-cita organisasi tidak tegak dengan baik.

Memang ada waktunya sebuah organisasi terlihat bagus dan mencapai puncak keemasannya, dan ada pula yang terlihat ringkih dan sakit-sakita. Up and down, yazid wa yanqusy. Biasa saja itu. Demikian pula halnya dengan HMI. Tetapi wujud ideal insan cita HMI tidak dapat tercipta serta-merta tanpa melewati proses. (nah, proses! Ini dia apologia yang HMI banget).

Justru karena cita-cita dan tujuan ber-HMI inilah yang membuat saya bersetia dan terus memupuk rasa bangga. Kecuali bilamana HMI sudah mulai memutuskan untuk mengubah cita-citanya dengan yang berlawanan dengan yang sekarang ini. Bahwa kebaikan semestinya terus diperjuangkan dan perkaderan harus terus dijalankan. Semoga saja HMI ketemu jodoh dengan kader-kader yang bersetuju dengan cita-cita HMI dan dapat mendekat ke arah yang ideal, menjadi kader paripurna berkualitas Insan Cita.

Terakhir

Jika ditilik dengan teliti, cita-cita itu tidak mutlak milik HMI dan tidak hanya kader HMI saja yang mesti memiliki kualitas itu. Seluruh atau sebagian cita-cita itu juga ada dalam pikiran organisasi kemahasiswaan lainnya. Tetapi karena kita sudah pernah ikut dalam dinamika berhimpunan di HMI ini, apa salahnya cita-cita itu terus dipelihara seraya terus mendekatkan diri ke arah pencapaian kualitas incan cita.  

Kekecewaan terhadap keadaan terkini HMI mesti ada sebagai pijakan untuk memperbaiki keadaan. Tetapi jangan berlebih-lebihan. Sebab, jika berlebihan, sama saja dengan menyatakan kececewaan terhadap lampu merah (traffic light) yang berdiam diri saja saat orang-orang banyak melanggarnya. Padahal...[the end]

---

Alumni HMI Komisariat Adab IAIN Imam Bonjol Padang/ HMI Cabang Padang. Terlibat aktif dalam aktivitas organisasi selama 1997-2003   

No comments: