16 August 2008

Penanggulangan Bahaya Penyalahgunaan Narkoba Berbasis Masyarakat.

Oleh Muhammad Nasir
Div. Publikasi Yayasan Totalitas)


Data dan Fakta Bahaya Narkoba

Pada awalnya Narkotika dan zat adiktif lainnya dipakai di bidang kedokteran sebagai obat penghilang rasa sakit, cemas dan sebagainya. Namun karena sifat adiktifnya (candu) yang ditimbulkannya, pemakaiannya dihentikan dan dialihkan pada obat-obatan lainnya. Sayangnya, narkotika pada akhirnya disalahgunakan dan dipakai di luar indikasi medis.

Di Sumatera Barat saat ini anak-anak SD terkena kasus penyalahguna narkoba (lihat Padang Ekspres 7/01/2004), disamping siswa SLTP, SLTA, mahasiswa, ibu-ibu dan masyarakat pada umumnya. Dari data yang dikumpulkan relawan Yayasan Totalitas, dari 1 Januari hingga September 2003 tercatat 46 kasus penyalahgunaan narkoba yang melibatkan 71 tersangka dengan barang bukti 535 gram ganja kering, 828 batang ganja, 83 butir pil ekstasi, 2,5 gram sabu-sabu dan 65 gram putaw.

Logikanya, ada sekitar 700-900 orang yang terlibat yang masih berada diluar tahanan polisi, karena biasanya 1 orang pemakai berinteraksi dengan 10-15 temannya, baik dari pegecer, penjual dan pengkonsumsi lainnya.

Data yang dihimpun oleh tim relawan Totalitas itu belum sepenuhnya mengcover angka kejadian penyalahgunaan Narkoba, karena data ini merupakan himpunan pengungkapan kasus dari kepolisian. Jika ditambah dengan kasus yang diungkapkan oleh media massa namun tidak masuk dalam catatan kepolisian, relawan menemukan angka penyalahgunaan narkotika dan psikotropika dua kali lebih besar.

Data diatas akan menjadi sangat mengkhawatirkan jika dilihat dampak fisik, psikologis dan dampak sosial yang ditimbulkan oleh peyalahgunaan Narkotika dan psikotropika ini. Yayasan Totalitas sebagai lembaga yang concern terhadap persoalan anak dan keluarga melihat hal ini sebagai persoalan besar bagi kehidupan anak, keluarga dan masyarakat.

Generasi yang kecanduan akan menjadi generasi invalid dan tidak produktif bahkan jadi beban bagi masyarakat. Dan di tengah masyarakat, persoalan ini akan berpotensi menimbulkan tindak kriminal dan keributan yang meresahkan masyarakat.

Penyalahgunaan narkotika dan psikotropika menjadi bahaya yang tampak jelas (manifest). Kepada pengguna akan berdampak secara medis dan psikologis, dan kepada masyarakat sebagai pemicu kriminalitas dan keresahan sosial. Jika ini terjadi pada remaja, dikhawatirkan generasi muda Padang menjadi generasi cacat dan tidak produktif, dan Padang menjadi kota yang rawan tindak kriminal dan keresahan sosial.

Kota Padang setelah ditelusuri oleh Yayasan Totalitas termasuk daerah peredaran Narkoba dengan tingkat penyalahgunaan Narkoba yang tinggi. Bahkan sasaran peredaran dan penyalahgunaan sudah menyentuh anak Sekolah Dasar. Kalau tidak segera diatasi, kemungkinan bahaya lebih besar akan segera terjadi.

Persoalan ini masih mungkin diatasi. Berdasarkan data yang diperoleh relawan Totalitas, tahun 2003 terjadi penurunan kasus hingga 32 %. Potensi lainnya adalah bahwa masyarakat mulai mengawasi peredaran Narkotika dan psikotropika di lingkungan bermain dan peer group anak remaja dilingkungan mereka.

Berdasarkan potensi ini, semua pihak yang ingin menanggulangi bahaya penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika (Narkoba) taka ada salahnya mencoba mengembangkan model kegiatan berbasis masyarakat.

Masyarakat sebagai basis Penanggulangan

Salah satu pendekatan yang mungkin efektif digunakan dalam kegiatan penanggulangan (preventif) ini adalah pendekatan berbasis masyarakat (partisipatif) yaitu dengan memberdayakan dan menepatkan masyarakat sebagai pelaku utama kegiatan.

Berdasarkan inventaris kegiatan yang dikumpulkan oleh Yayasan Totalitas dalam penanggulangan bahaya Narkotika dan psikotropika ini, masyarakat tidak terlibat langsung dalam kegiatan penanggulangan. Lembaga-lembaga sosial ataupun pemerintah cendrung menjadikan masyarakat sebagai sasaran kegiatan. Belajar dari pengalaman inilah pemerintah, LSM atau ormas perlu mencoba mendesign kegiatan bersama masyarakat dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaksana kegiatan.

Dalam model program ini diupayakan keterlibatan organisasi masyarakat lokal (tingkat kelurahan), organisasi pemuda lokal dan kelompok bermain remaja (peer group). Mereka inilah yang diharapkan nantinya berperan aktif dalam kegiatan. Sementara pemerintah, LSM atau ormas hanya menempatkan beberapa relawan untuk memfasilitasi dan mendampingi kegiatan.

Berkurangnya penyalahgunaan Narkotika dan Psikotropika (Narkoba) di kota Padang merupakan tujuan yang sudah menjadi impian (main dreams) bagi lembaga yang pernah menggerakkan kegiatan penanggulangan bahaya Narkoba. Namun lebih dari itu perlu disusun beberapa indikator pencapaian tujuan kegiatan.

Misalnya dengan mentargetkan  % (sekian persen) menurunnya penyalahgunaan Narkotika,  % institusi masyarakat lokal yang aktif dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan,  % kelompok bermain/peer group yang mempunyai kegiatan positif, atau  % Organisasi pemuda lokal yang aktif dalam melaksanakan kegiatan penanggulangan dan sebagainya.

Pada dasarnya institusi masyarakat lokal sangat berkepentingan dalam penanggulangan bahaya narkoba. Kerena masyarakat setempat merupakan kelompok yang rentan terhadap bahaya narkoba. Disamping itu kelompok bermain (Peer Groups) remaja dan pemuda setempat termasuk kelompok ini yang rentan terhadap penyalahgunaan. Atau bisa saja melibatkan komponen masyarakat lokal lainnya sebagai ujung tombak pelaksana kegiatan penanggulangan penyalahgunaan narkoba. [MN/Januari 2004]

Catatan:
•Tulisan ini ditulis Januari 2004. Data yang digunakan merupakan hasil penelusuran penulis bersama Yayasan Totalitas tahun 2004. Pesan tulisan ini terletak pada model penanggulangan bahaya narkoba seperti terpamapang pada judul tulisan. [MN]
•Credit foto : www.infonarkoba.com

14 August 2008

Yang Muda atau yang Baru?

Oleh Muhammad Nasir


JELANG Pemi- lihan Umum 2009 rakyat direpotkan oleh wacana-wacana yang seakan tidak perlu di-blow-up sedemikian rupa. Misalnya wacana pemimpin muda, capres muda, dan lain-lainnya yang serba muda.

Syukur saja, bila wacana ini datang dari orang muda sekaligus pernyataan kebutuhan bangsa bahwa bangsa ini butuh pemimpin yang muda. Tetapi akan celaka bila ini tidak datang dari semangat yang serba muda, misalnya sebagai bentuk kampanye perlawanan terhadap pemimpin tua, yang sudah lama malang melintang di dunia politik Indonesia.

Sebegitu pentingkah usia dalam dunia politik? Jika usia dimaknai secara fisik, maka pemimpin muda itu adalah orang yang umurnya di bawah empat puluh tahun. Sebaliknya jika dimaknai secara nonfisik, salah satu penafsiran yang mungkin adalah orang baru di dunia perpolitikan. Dalam hal ini, sebuah sintesa yang mesti dianggap penting adalah orang-orang baru, energik, berpengalaman, dan tentu saja baik!

Pemimpin Muda

Pemimpin muda, sebagaimana banyak disuarakan akhir-akhir ini memang sudah jelas ujung pangkalnya. Yang dimaksud adalah pemimpin muda usia secara fisik dengan kemampuan yang dianggap tidak kalah dari pemimpin yang tua. Orang-orang seperti Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Muhammad Jusuf Kalla, Wiranto dan sebagainya tergolong tua, dan serta merta mesti ditolak oleh pengusung wacana pemimpin muda.

Ada alasan utama penolakan ini; di antaranya pemimpin tua kurang energik. Wilayah Indonesia yang luas serta permasalahan yang kompleks mesti diurus dengan stamina yang kuat. Pendapat ini belakangan dikuatkan gaungnya oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang notabene kerajaan politik anak-anak muda.

Alasan lainnya adalah sejarah bangsa. Bangsa ini dipercayai sebagai buah karya anak-anak muda, misalnya Kebangkitan Nasional 1908 dipelopori oleh para pemuda, Sumpah Pemuda 1908 sudah jelas karya anak muda, Proklamasi 1945 menghasilkan Dwitunggal Soekarno-Hatta yang masih muda.

Tentang alasan ini, sepertinya sejarah telah menjadi berhala (idolisasi sejarah). Padahal pemimpin bangsa yang muda sepanjang sejarah tidak sepenuhnya memberikan kesejahteraan bangsa.

Sayang sampai saat ini masih sulit mencari pembenaran, bahwa pemimpin negara, utamanya Presiden harus dari kalangan muda. Tiba-tiba muncul perasaan aneh, orang Indonesia ini yang diwakili oleh para politisinya mulai kehilangan logika dan mudah mengada-ada.

Pemimpin Baru

Boleh jadi wacana pemimpin muda merupakan antitesis dari kegagalan pemimpin bangsa pada saat usianya berangkat senja. Misalnya, betapa amburadulnya Soekarno pada saat usianya menjelang 60 tahun. Begitu juga Soeharto mulai dikendalikan kroni-kroninya pada saat usianya beranjak tua.

Catatan semakin bertambah, betapa orang-orang tua Indonesia gagal memimpin bangsa. Bacharuddin Jusuf Habibie sudah tua, KH Abdurrahman Wahid juga tua, Megawati Soekarno Putri juga nenek tua, Susilo Bambang Yudhoyono adalah pensiunan tentara yang juga sudah tua.

Tetapi sepertinya usia tua seorang pemimpin bukan terjadi begitu saja. Mereka yang tua itu terpilih dari melalui prosedur demokrasi yang sedikit pun tidak mempertimbangkan usia.

Jadi, jika yang dimaksud dengan pemimpin muda adalah pemimpin baru, barangkali akan mudah mencari pembenarannya. Orang-orang yang gagal mesti diganti dengan orang-orang baru yang mungkin lebih mumpuni.

Ada kekhawatiran yang muncul, wacana pemimpin muda justru mejadi alat propaganda menghancurkan karakter (character assasination) orang-orang tertentu di arena politik nasional. Akibat yang perlu dipertimbangkan adalah konflik kepentingan antarpartai yang tidak dapat lagi membedakan usia. Setiap partai politik akan mengajukan jagonya masing-masing, baik yang tua ataupun yang muda.

Kepada yang Muda

Generasi Muda punya beban sejarah. Pertama, negara ini pernah mencatat prestasi gemilang anak-anak muda pemimpin bangsa. Prestasi gemilang ini semestinya tidak boleh tercoreng dengan prestasi jelek pemimpin muda yang muncul kemudian.

Kedua, generasi muda bangsa ini juga terjebak dalam dunia kelam, semisal pengangguran, malnutrisi, putus sekolah, penyalahgunaan narkoba, dan kriminalitas.

Setidaknya kedua beban ini mengharuskan anak-anak muda negeri ini membuktikan diri bahwa mereka bukan pecundang. Anak-anak muda harus berjuang lepas dari belenggu pengangguran, malnutrisi, putus sekolah, penyalahgunaan narkoba dan kriminalitas. Dalam hal ini Agaknya Megawati Soekarno Putri benar juga, "jangan banyak bicara, ayo berbuat saja."

Anak-anak muda Indonesia mestinya tidak boleh meminta-minta. Apalagi meminta kepemimpinan dialihkan ke generasai yang lebih muda. Lakukan saja, mengingat usia pemilih dalam pemilu mendatang adalah pemilih pemula yang notabene berusia muda. Buktikan, bahwa mereka akan memilih pemimpin muda.

Terakhir yang perlu dipertimbangkan sebuah kearifan Minangkabau, "Mumbang Jatuah, Kalapo Jatuah". Kematian tak kenal usia. intinya, yang tua dan yang muda juga bisa mati. Ini berlaku untuk yang muda dan yang tua. Kecuali jika dialektika tua-muda bergerak di atas aras nafsu berkuasa, apalah daya nasib bangsa. Jangan terlalu jumawa.

sudah diterbitkan oleh:
PadangKini.com; Selasa, 12/8/2008, 20:08 WIB

01 August 2008

TENTANG ANJAL; Tangkap dan Pantisosialkan!

Muhammad Nasir
Peneliti Magistra Indonesia

Beribu maaf penulis sampaikan kepada kaum moralis, yang berjuang tentang anak dan kemanusiaan. Apa yang penulis ungkapkan dalam judul diatas hanya sebatas strategi pemetaan anak jalanan. Lebih dari itu, sebagai upaya mencari akar permasalahan fenomena anjal ini dan kemudian menentukan dari mana solusi anjal ini dimulai.

Di perempatan jalan Diponegoro seorang anak datang kepada penulis, "mintak pitih untuk bali nasi da !", ujarnya memelas. "Maaf diak, uda sadang indak bapitih kini”, penulis mencoba berkilah. Masya Allah, sebagai balasannya penulis dihadiahi satu caruik yang terlalu fasih dan terlalucepat diserap anak seusianya. Berlalu lima menit kemudian, aksi berikutnya tertuju pada seorang ibu pejalan kaki, jawaban yang sama dari ibu itu, menolak. Reaksinya adalah, melempari ibu tersebut dengan tutup botol minuman.

Itu hanya sebagian kecil dari suramnya garis hidup anjal di kota Padang ini. Orang pandai mengatakan bahwa apa yang diserap anak dalam usia dini akan sulit dilupakan, bahkan bisa menjadi sel yang akan terus berkembang menjadi akar dan batang yang kokoh. Prilaku kriminal yang dilakukan anak jalanan yang seusia lima sampai tujuh tahun, sebagaimana peristiwa diatas, bukan tidak mungkin menjadi awal dari peristiwa kriminal yang akan terus berkembang sesuai dengan pertambahan usia dan postur tubuhnya. Kalau ini tidak cepat ditanggapi, untuk beberapa waktu kedepan, jangan terlalu susah mencari sumber bencana sosial ini. Anjal, salah satunya.

Dari catatan investigasi relawan sebuah organisasi sosial beberapa waktu yang lalu dengan lokasi pasar, terminal angkutan umum dan pelabuhan, berdasarkan time lines hidup pekerja di sektor tersebut semisal agen liar, makelar dan pelaku premanisme, 42 % diantaranya telah melewati kehidupan sebagai anjal. Bukan bermaksud memberi stigma bagi pekerja sektor ini sebagai sarang criminalism, namun sektor ini termasuk titik rawan tindak kriminal dari berbagai level baik ringan ataupun berat. Sepertinya catatan ini cukup menjadi justifikasi bahwa persoalan anjal akan membawa dampak sosial yang cukup luas dan memprihatinkan.

Tentang penangkapan ini, penulis tawarkan sebagai shock teraphy bagi semua pihak yang terlibat langsung dalam aksi lapangan anak jalanan ini, seperti orang tua anjal bos-bos kecil yang mempekerjapaksakan mereka. Yang ingin dilihat adalah sejauh mana rasa kasihan dan sayang mereka terhadap anak yang dieksploitir, dan sejauh mana tanggungjawab bos-bos kecil yan mempekerjapaksakan mereka. 

Kasihan anjal. Ya, memang kasihan. Tapi sebagai bagian dari upaya pencerahan masa depan anak Indonesia, tidak ada salahnya jika perlakuan yang sedikit keras diberlakukan. Sepinya aktivitas penanggulangan dan salah kaprahnya pemerintah serta beberapa lembaga sosial bekerja demi anjal atas nama proyek, justru melanggengkan keberadaan anjal. 

Belajar dari pengalaman rumah singgah yang diproyekkan beberapa waktu yang lalu, yang dianggap sebagai program yang manusiawi, ternyata tidak banyak membantu. Rumah singgah ternyata tidak lebih sebagai transit bahkan lubang baru bagi anjal untuk mendapatkan uang dan makan gratis. Setelah itu kembali ke jalan.

Bukan sekedar tangkap

Tawaran penulis, tentu bukan sekedar pick and pocket, bawa dan simpan. Tetapi mengasingkan mereka dari komunitas yang berpengaruh buruk terhadap mereka serta memberikan program pendidikan dan rehabilitasi mental bagi anjal ini. Intinya asramakan dan beri pendidikan. 

Negara punya pengalaman semisal men-Sukarami-kan PSK. Negara harus membiayai program ini dan periharalah mereka. Atau jalan lainnya, bagaimana jika program Pendidikan Anak Dini Usia (PADU).

Tentang kompensasi BBM, alangkah baiknya dana ini digunakan untuk mengatasi kesenjangan bertajuk Anjal ini. Selain sasarannya jelas, persoalan yang diatasipun termasuk masalah prioritas di Negara ini. 
Memang, lebih sulit melakukan pendekatan kepada orang tua anjal dibanding kepada anjal itu sendiri. 

Kemungkinan untuk merubah kepribadian mereka masih terbuka dan sangat mungkin. Rasanya mustahil anak seusia mereka (4-10 tahun) ini betul-betul memikirkan uang sebagai kebutuhan dasar mereka. Silakan kaji, apa motivasi mereka untuk ikut serta mencari uang ke jalanan. 

Anak-anak seusia itu mempunyai keinginan bermain yang tinggi, dan kebetulan aktivitas bermain mereka adalah jalanan atau sektor ekonomi lainnya yang berpotensi menyeret mereka ke dunia gelap, criminalism. 

Sekali lagi mohon maaf kepada moralis untuk usul penangkapan ini. Tetapi lihatlah di RTH Imam Bonjol sana, orang tua anjal ini tidur-tiduran di atas rumput, di bawah naungan pohon rindang, sementara anak-anaknya bergelantungan dari angkot ke angkot seraya bernyanyi; “… hati yang gundah lamaran kerja ditolak…”. Mungkinkah anak seusia itu melamar kerja ?.
 
Wallahu a’lam bi al shawab