Konsep Kekuasaan dan Kepemimpinan di Minangkabau
~Muhammad Nasir~
A. Konsep Kekuasaan
Kekuasaan
adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna menjalankan
kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan, kewenangan tidak
boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh. Di Minangkabau, kekuasaan
dijalankan secara kolektif di setiap jenjang di kelarasan yang ada di
Minangkabau. jadi, tidak ada kekuasaan tunggal dalam sistem kekuasaan
Minangkabau. Berikut akan dijelaskan beberapa peristilahan dalam khazanan
kekuasaan Minangkabau yang menunjukkan kekuasan dan kepemimpinan yang
dijalankan secara kolektif .
1-
Rajo
Tigo Selo dan Basa Ampek Balai
Istilah
Rajo Tigo Selo mncul dalam sistem kerajaan Minangkabau Pagaruyung pada abad
ke-16 masehi. Rajo Tigo Selo terdiri
dari Raja Alam di Pagaruyung, Raja Adat
di Buo dan Raja Ibadat di Sumpur Kudus. Hal ini menunjukkan pembagian kekuasaan
dan kewenangann sekaligus menunjukkan asas kesetaraan duduak samo randah, tagak samo tinggi yang
dianut masyarakat Minangkabau. Sementara Basa Ampek Balai adalah
dewan menteri yang membantu Rajo Tigo Selo
menjalankan tugas pemerintahan yaitu
a- Bandaharo atau
Tuan Titah di Sungai Tarab. Kedudukannya sama dengan perdana menteri.
b- Makhudum di
Sumanik yang tugasnya menjaga kewibawaan istana dan memelihara hubungan dengan
seluruh rantau dari kerajaan lain yang ada hubungan dengan Minangkabau.
c- Indomo di
Saruaso yang menjaga perjalanan adat istiadat agar "setitik tidak boleh
hilang, sebaris tidak boleh lupa” dalam seluruh Alam Minangkabau.
d- Makhudum (Tuan
Qadhi) di Padang Ganting yang menjaga perjalanan agama adakah berlaku menurut
Kitabullah dan sunnah rasul, berjalan sunnat dan fardhu, terbatas antara halal
dan haram.[1]
2-
Tali
Tigo Sapilin dan Tungku Tigo Sajarangan (TTS)
Tali Tigo
Sapilin dan Tungku Tigo Sajarangan adalah ungkapan yang menyatakan kesatuan
kekuasaan dan kesatuan unsur pelaksana kewenangan dalam urusan masyarakat
Minangkabau.
a-
Tali
Tigo Sapilin
Tali Tigo
Sapilin diibaratkan sebagai sebuah tali kokoh berpilin tiga yang mengikat
masyarakat adat Minangkabau. Oleh sebab itu, masyarakat adat Minangkabau dalam
melaksanakan adatnya berpegang kepada tiga tali, yaitu adat, syara’,
undang-undang.
Tali Adat dibangun di atas adat nan ampek,
yaitu Adat nan Sabana Adat, Adat
nan Diadatkan, Adat nan Teradat dan Adat Istiadat. Tali Adat berfungsi sebagai:
1)
Sumber
ketentuan adat Minangkabau,
2) Pandangan hidup
yang dapat mempersatukan masyarakat Minangkabau dalam satu kesatuan hukum adat,
3) Cermin kehidupan
yang menuntun masyarakat Minangkabau dalam mencapai tujuannya, yaitu mewujudkan
masyarakat yang adil dan makmur secara merata, material dan spritual,
4) Identitas suku
bangsa Minangkabau yang berpegang kepada keyakinan agama secara vertikal dan
aturan-aturan kemaslahatan manusia secara horizontal.
Tali Syara’ dibangun di atas al Qur’an, Hadis
Nabi Muhammad SAW serta sumber-sumber hukum Islam lainnya yang diterima oleh
jumhur ulama dan mayoritas umat Islam. Secara sederhana, orang Minangkabau
menyebut semua sumber hukum Islam tersebut dengan Kitabullah. Oeh sebab itu, segala adat Minangkabau yang
tersebut dan terkarang di tali adat merujuk kepada Kitabullah.
Tali Undang merupakan seperangkat aturan
yang dijadikan pegangan bagi masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau
menyebut aturan dengan Undang, bukan dengan menggunakan kata ulang semu
Undang-undang. Undang terambil
dari kata kundang artinya diusung atau dibawa ke mana-mana. Oleh sebab
itu, masyarakat Minangkabau meyakini seluruh hidupnya berada dalam aturan. Tali
undang disusun di atas tiga sumber hukum, yaitu Anggo Tanggo, Alua jo Patuik
dan Raso jo Pareso. Anggo Tanggo fungsinya anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Alua Jo Patuik berfungsi sebagai Undang Undang, sementara Raso
– Pareso (rasa – periksa) berfungsi sebagai hukum dalam tatanan kehidupan Minang. Dalam
mamang Minangkabau disebutkan:[2]
Badasar ka anggo tanggo
Baundang ka alua jo
patuik
Bahukum ka raso jo pareso
Raso Tumbuah di dado
Pareso tumbuah di kapalo
b-
Tungku
Tigo Sajarangan
Adapun Tungku
Tigo Sajarangan merupakan unsur kepemimpinan yang melaksanakan tugas sesuai
dengan pembagian kekuasaan dalam bidang adat, agama dan undang. Tungku Tigo
Sajarangan terdiri dari Ninik Mamak (pemimpin adat), alim ulama (pemimpin
agama) dan Cadiak Pandai (pelaksana undang-undang). Dengan demikian,
kepemimpinan TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan) ini menunjkkan bahwa kekuasaan
tidak hanya dipegang oleh satu orang saja. Kekuasaan dalam nagari di
Minangkabau dibagi secara proporsional dan fungsional di antara ketiga unsur
tripartite tersebut, yaitu ninik mamak (penghulu), alim ulama (tokoh agama) dan
cadiak pandai (cendikiawan).[3]
Penghulu adalah
pemimpin adat yang dipilih secara turun-temurun. Memilih penghulu harus sesuai
dengan aturan dalam acara pengangkatan penghulu. Penghulu atau niniak mamak
bertugas melindungi kemenakan, menyelesaikan permasalahan yang ada di kaum atau
nagarinya. Penghulu memiliki gelar Datuk sesuai dengan pusaka kaumnya.
Alim ulama
adalah tokoh agama yang mengetahui segala hal tentang ilmu agama, mengetahui
tata cara dalam melaksanakan aturan agama, mengajarkan pendidikan agama,
mencontohkan perilaku yang baik menurut ajaran agama. Ada banyak sebutan untuk
tokoh agama ini, antara lai Tuanku, Buya, Inyiak, atau malin (malim).
Sedangkan Cadiak
Pandai merupakan cendekiawan, orang terdidik dan berpendidikan. Tugasnya
adalah memberikan solusi dalam penyelesaian masalah di lingkungan masyarakat.
Dalam ungkapan Minangkabau ditemukan nan cadiak lawan barudiang artinya
cerdik pandai merupakan lawan/ teman berunding/bermusyawarah. Sebutan yang
lazim untuk golongan cerdik pandai adalah ungku atau engku.[4]
Engku dalam sebutan sehari-hari masyarakat Minangkabau pada abad ke-20 merujuk
kepada sosok guru atau tenaga pendidik. Misalnya, Engku Syafe’i (pendiri
lembaga pendidikan INS Kayu Tanam), engku Labai (sebutan umum untuk guru
mengaji al Qur’an di surau-surau kampung).
Uraian di atas
menunjukkan kekuasaan dan pelaksana kepemimpinan di Minangkabau diselenggarakan
secara kolektif. Tidak ada kekuasaan tunggal dan tidak ada pula kepemimpinan
tunggal. Dalam hal kekuasaan, dibangun berdasarkan tiga sumber yaitu adat,
agama dan keputusan-keputusan kontemporer (kekinian). Dalam hal kepemimpinan,
peran didistribusikan secara proporsional sesuai dengan kewenangannya. Adapun gambaran ringkasnya dapat dilihat pada
gambar berikut:
3-
Implementasi
Kepemimpinan (Kepemimpnan Urang nan Bajinih)
Selain TTS di
atas, implementasi kekuasan dan kepemimpinan dalam adat Minangkabau dapat
dilihat dari penggunaan istilah Urang Nan Bajinih (orang yang
berjenis/berkuasa). Urang Nan Bajinih terdiri dari Urang Nan Ampek
Jinih (orang yang empat jenis) dan Jinih nan Ampek (Jenis yang
empat). Urang Nan Ampek Jinih adalah istilah untuk menyebutkan 4 (empat) unsur
pemangku adat di Minangkabau. Sementara Urang Jinih nan Ampek adalah orang atau
unsur yang membantu malin pemangku jabatan pelaksanaan keagamaan (syara’).
Unsur Urang Nan Ampek Jinih tersebut adalah Pangulu (Penghulu), Manti
(menteri), Malin (malim) dan Dubalang (hulubalang). Sementara Jinih nan Ampek
tersebut adalah Imam, Katik (Khatib), Bila (Bilal) dan Qadhi. Jabatan Urang nan
Ampek Jinih dan Jinih Nan Ampek adalah jabatan turun temurun sebagaimana
petitih Minangkabau:
Biriak-biriak
turun ka samak
Tibo
di samak taruih ka laman
Dari
niniak turun ka mamak
Dari
mamak turun ka kamanakan
a- Pangulu
atau Penghulu adalah pemimpin suku dalam kaumnya.[5]
Tugas Penghulu dalam Adat Minangkabau disebutkan dalam mamangan adat manuruik
labuah nan luruih (mengikuti jalan yang lurus), maikuik kato nan bana
(mengikuti kebenaran/ mengikuti aturan adat), mamaliharo anak kamanakan
(memelihara anak dan keponakan) dan manjago harato pusako (menjaga harta
pusaka). Penjelasannya adalah sebabagi berikut; Pertama, Manuruik Labuah nan
Luruih berarti menyelenggarakan pemerintahan adat. Karena itu, penghulu
disebut tagak di pintu adat (berdiri di pintu adat. Kedua, Maikuik
Kati nan bana memberi keputusan hukum adat sesuai dengan ketentuan adat
sesuai dengan pepatah kato pangulu
kato pusako (kata penghulu
kata pusaka). Oleh sebab itu penghulu disebut tagak di pintu bana (berdiri
di pintu kebenaran) dan harus Mahukum adia bakato bana (menghukum dengan
adil, berkata (berhukum) dengan kebenaran). Ketiga, mamaliharo anak
kamanakan (memelihara anak dan keponakan) artinya penghulu bertanggung
jawab atas kesejahteraan anak-kemanakan. Keempat, manjago harta
pusako (menjaga harta pusaka).
b- Manti
(menteri) adalah jabatan pembantu pangulu di dalam tatalaksana pemerintahan
adat di nagari. Tugasnya antara lain pertama, tugas administratif
memeriksa perkara atau sengketa, menyampaikan keputusan pangulu dan
sebagainya. Kedua,
mengkomunikasikan penyelesaian perkara atau sengketa di antara anggota kaum
atau anggota masyarakat. Ketiga, Membuat ranji warga suku, memeriksa
ranji kepemilikan tanah ulayat berdasarkan verifikasi terhadap mamak kapalo
warih sebelum disahkan kerapatan adat.
Manti karena tugasnya di atas disebut tagak di pintu susah
(berdiri di pintu kesulitan).
c- Dubalang
(hulubalang) adalah pembantu penghulu dalam bidang keamanan. Tugas dubalang
adalah pertama, secara teknis bertugas menciptakan keamanan, ketertiban
dan kedamaian di dalam kampung. Kedua, membuat pertimbangan alternatif
untuk mengangkat atau memberhentikan perangkat keamanan dan ketertiban kampung.
Karena tugasnya tersebut, dubalang disebut tagak di pintu mati (Berdiri
di pntu mati). Bahwa resiko terbesar yang dihadapi dubalang adalah kehilangan
nyawa demi tegakna keamanan. Meski tugasnya terkesan keras dan tegas dubalang
tetap harus mengutamakan kesantunan dalam berbahasa dan kesopanan dalam
bertindak. Hal ini terungkap dalam kalimat Nan karek makanan takiak, nan
lunak makanan sudu (yang keras mesti ditakik, yang lunak mesti disudu).
Kalimat itu menunjukkan bahwa dubalang harus proporsional dalam bertugas.
Mengambil kebijakan sesuai dengan kemestiannya. Sementara untuk ketegasan,
profesionalisme dan konsistensi dalam melaksanakan tugas terungkap dalam
kalimat Kok kareh indak tatakiak, kok lunak ndak bisa disudu (keras tak
bisa ditakik, lunak tak bisa disudu)
d- Malin atau kadang-kadang disebut Malim
adalah orang alim dalam agama Islam. Jabatan ini muncul sebagai bentuk integrasi
Islam dengan adat Minangkabau. Adapun tugas Malin adalah Pertama,
Bertanggung jawab kepada Pangulu dalam pelaksanaan kebijakan bidang keagamaan. Kedua,
bertugas merencanakan kegiatan pendidikan untuk anak kemanakan agar menekuni
dan memahami ilmu agama dan ilmu umum.
Dalam istilah Minangkabau tugasnya membuat anak kemanakan pandai
sumbayang jo mangaji, pandai sikola jo babudi (pandai sembahyang dan
mengaji, berpendidikan tinggi dan berbudi). Ketiga, menegakkan dan
mengawasi pelaksanaan acara adat agar sesuai dengan hukum syara’. Karena
tugas-tugasnya di atas, Malin disebut tagak dipintu syara’ (agama). Dalam melaksanakan tugasnya, Malin diperkuat
dengan unsure Urang Jinih Nan Ampek. Urang Jinih Nan Ampek tersebut yaitu Imam,
Katik, Bilal dan Qadhi.
Contoh Implementasi di Nagari
©Muhammad Nasir/2020
[1]
Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum
Agama di Sumatra, ed. ke-4 Jakarta: Umminda, 1982, h. 6-7
[2] Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Budaya Minangkabau nan
Nilai Kepemimpinan Ninik Mamak, Makalah disampaikan
pada Pelatihan Pemangku Adat Baru Diangkat se Sumatera
Barat, LKAAM Sumatera Barat, , Padang 13 November 2012.
[3] Aulia Rahmat, Rekonstruksi Adat Minangkabau dalam
Pemerintahan Nagari Era Otonomi Daerah; Kajian terhadap Peraturan Daerah
Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 jo.Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Pokok, Magelang: PKBM “Ngudi Ilmu, 2013 h. 137
[4]
Hamka, Op.cit., h.36
[5]
Gouzali Saydam, Kamus Lengkap Bahasa Minang (Bagian Pertama), Padang, PPIM,
2004, halaman 281
2 comments:
Terimakasih pak materinya
Terimakasih banyak pak materi nya sangat bermanfaat
Post a Comment