ADAT MINANGKABAU
A| Adat Minangkabau
Secara umum adat berarti kebiasaan suatu masyarakat
yang disusun dan disepakati bersama oleh masyarakan penganutnya dan
dilaksanakan serta diwariskan secara turun temurun dari masa ke masa. Adat
ditinjau dari aspek ide adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai
kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan
di suatu daerah.
Termasuk dalam pengertian Adat adalah kesatuan
pelaksanaan kegiatan tradisi asli masyarakat yang bersumber dari peraturan
peraturan hukum baik yang tertulis ataupun tidak tertulis, tumbuh dan
berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran secara turun temurun.
Secara spesifik, Adat Minangkabau adalah peraturan dan
undang-undang atau hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat
Minangkabau, terutama yang bertempat tinggal di Ranah Minang atau Sumatra
Barat. Dalam batas tertentu, Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi
masyarakat Minangkabau yang berada di perantauan di luar wilayah Minangkabau.
Hal ini disebutkan dalam tuturan adat Minangkabau:
Gagak
tabang jo hitamnyo
Urang Minang tabang jo
adatnyo
Landasan Adat Minangkabau
Adat Minangkabau yang asli berlandaskan kepada
ketentuan yang berlaku di Alam dan digerakkan dengan kekuatan budi. Tentang
landasan dan sumber adat ini disebutkan:
Panakiak
pisau sirauik
Ambiak
galah batang lintabuang
Salodang
jadikan nyiru
Nan
satitiak jadikan lauik
Nan sakapa
jadikan gunuang
Alam
takambang jadikan guru
Kayu pulai di koto
alam
Batangnyo
sandi basandi
Jikok pandai
di dalam alam
Patah tumbuah
hilang baganti
Budi merupakan intisari dari nilai-nilai kebaikan
dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Karena itu, masyarakat yang
dicita-citakan oleh adat Minangkabau adalah masyarakat yang berbudi. Tentang
budi sebagai kekuatan penggerak adat ini diuraikan dalam tuturan adat sebagai
berikut:
Gajah mati
maninggakan gadiang
Harimau
mati maninggakan baling
Manusia
mati maninggakan namo
Pembagian Adat
Adat Minangkabau secara umum disebut dengan Adat nan
Sabatang Panjang. Adat nan Sabatang Panjang berisi ketentuan adat yang berlaku
umum di seluruh wilayah Minangkabau. Selain itu ada juga adat yang berlaku
khusus dan terbatas di wilayah nagari adat tertentu. Adat jenis ini disebut
Adat Salingka Nagari.
Adat Minangkabau terdiri atas empat jenis yaitu :
1.
Adat nan sabana Adat.
2.
Adat nan diadatkan.
3.
Adat teradat.
4.
Adat Istiadat.
Penjelasan:
Adat Nan Sabana Adat
Adat nan
sabana Adat, adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada alam benda, flora
dan fauna, maupun manusia sebagai ciptaan-Nya (Sunatullah). Adat nan sabana
Adat ini adalah sebagai sumber hukum Adat Minangkabau dalam menata masyarakat
dalam segala hal. Ketentuan alam tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya.
Contoh adat api mambakari- adat aia mambasahi, artinya api dan air
sesuai ketentuan-Nya membakar dan membasahkan. Dia akan tetap abadi sampai hari
kiamat dengan sifat tersebut, kecuali Allah sebagai sang pencipta menentukan
lain (mengubahnya).
Setelah
Islam masuk dan dianut oleh masyarakata Minangkabau, Agama Islam serta seluruh
ajarannya termasuk bagian penting dari adat Nan Sabana Adat, karena bersumber
dari Allah SWT sang maha pencipta. Hal ini tersebut dalam ungkapan:
lauik baombak, gunuang bakabuik,
lurah baraia, api mambaka,
aia mambasahkan,batuang babuku,
karambia bamato, batuang tumbuah dibukunyo,
karambia tumbuah dimatonyo .
Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang
Minangkabau merupakan sumber inspirasi perumusan adat sebagaimana
pepatah-petitih Adat berikut ini:
Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang
lintabuang,silodang ambiakkan niru, nan satitiak jadikan lawik, nan sakapa
jadikan gunuang, Alam Takambang Jadi Guru.
Adat Nan Diadatkan
Adat nan Diadatkan adalah konteks adat
nan bapakai (praktis) yang berisi falsafah yang mendasari kehidupan suku
Minangkabau yang berlaku turun temurun tanpa ditentukan oleh waktu, tempat dan
keadaan sebagaimana disebut dalam pepatah adat:
Nan indak lakang dek paneh
Nan indak lapuak dek hujan
Adat nan diadatkan bertujuan untuk mempertahankan dan
melanjutkan Minangkabau. Yang termasuk dalam kategori Adat Nan diadatkan ini adalah:
a.
Silsilah
keturunan adalah menurut garis keturunan ibu Matrilineal.
b.
Perkawinan
hanya dapat dilangsungkan dengan pihak di luar kesukuannya (perkawinan eksogami)
di mana suami tinggal bersama lingkungan kaum atau keluarga si isteri
(matrilokal).
c.
Harta pusaka
tinggi yang turun-temurun menurut garis ibu, dan menjadi milik kolektif dari
jurainya, yang tidak boleh diperjualbelikan,
kecuali tidak ada lagi ahli warisnya (punah).
Kedua
jenis Adat di atas tidak bisa dan tidak boleh diubah sebagaimana kata pepatah :
Adat nan tak lakang dek paneh,
tak lapuak dek hujan,
dianjak tak layua, dibubuik tak mati,
dibasuah bahabih aia, dikikih bahabih basi.
Adat Nan Teradat
Adat
Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam suatu nagari
berdasarkan pada pokok-pokok hukum yang telah dituangkan oleh nenek moyang
(Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih
Adat. Di sini berlaku hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya.
Seperti tatacara adat perkawinan, tatacara pengangkatan penghulu. Sebagai
contoh dapat dipahami dari ungkapan adat yang terkait adat perkawinan sebagai
berikut:
ayam putiah tabang siang, basuluah matohari,
bagalanggang mato rang banyak,
datang bajapuik pai baanta,
arak sapanjang labuah, iriang sapanjang jalan.
Adapun
tatacara pelaksanaan adat perkawinan itu sendiri dapat berbeda-beda di setiap
nagari sesuai dengan hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain
ikannyo. Tata cara pelaksanaan inilah yang diputuskan berdasarkan
penghulu-penghulu di suatu nagari.
Begitu
pula peresmian sako (gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang
memotong kerbau, ada yang memotong jawi dan ada yang mambantai kambing, ada
dengan membayar uang adat ke nagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan
pelaksanaan dari peresmian satu gelar pusaka kaum (Sako) yang diambil
keputusannya melalui musyawarah mufakat. Adapun pokok-pokok hukumnya tetap
mengacu kepada aturan Adat nan Sabatang Panjang:
Tanduak
Ditanam, darah dikacau, dagiang dilapah
Termauk kategori Adat Nan Teradat adalah
kebiasaan seseorang dalam kehidupan
masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh ditinggalkan,
selama tidak menyalahi landasan berpikir orangMinang, yaitu Alua jo patuik
(Alur dan Patut), Raso jo Pareso (perasaan dan logika), dan Musyawarah-Mufakat.
Adat Nan Teradat ini dengan sendirinya menyangkut pengaturan tingkah laku dan
kebiasaan pribadi orang perorangan seperti tata cara berpakaian, makan-minum,
ke pesta, dan sebagainya. Dahulu misalnya, para pemuda di kampung biasa memakai
kain sarung ke mana saja, karena iklim di sana dingin, tetapi karena udara
tidak sedingin dahulu lagi maka sekarang tidak memakai
sarung lagi, hanya jaket saja. Dulu orang Minang biasa makari dengan
menggunakan tangan, tetapi sekarang sudah biasa pula memakai sendok garpu ala
barat. Perubahan tata cara ini dianggap tidak melanggar adat.
Adat Istiadat
Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga
dibuat oleh penghulu-penghulu disuatu nagari melalui musyawarah mufakat
sehubungan dengan sehubungan dengan kesukaan anak nagari seperti kesenian, olah
raga, pencak silat randai, talempong, pakaian laki-laki, pakaian wanita,
barang-barang bawaan (hantaran) ke rumah mempelai, begitupun helat jamu
meresmikan sako, marawa, tanggo, gaba-gaba, pelaminan dan sebagainya. Untuk
adat Istiadat ini juga berlaku pepatah yang berbunyi :
Lain lubuak lain ikannyo,
lain padang lain balalangnyo,
lain nagari lain adatnyo (istiadatnyo)
.
Adat nan Teradat dan Adat Istiadat tersebut adalah
peraturan pelaksanaan dari aturan-aturan pokok yang telah diciptakan oleh
nenek-moyang. Statusnya disebut dengan Adat nan babuhua sentak, artinya
aturan Adat yang dapat diubah, dikurangi, ditambah dengan melalui musyawarah
mufakat dan selama tidak bertentangan dengan pokok hukum yang telah dituangkan
dalam pepatah-petitiah ciptaan nenek-moyang (kato pusako) Adat.
Nan elok diambiak jo etongan,
Nan buruak dibuang jo mufakaik.
Keempat jenis Adat tersebut merupakan suatu kesatuan
yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebagai pemudahan penyebutan,
keempat adat tersebut di atas dapat secara utuh disebut dengan Adat Istiadat
Minangkabau.
B | Kelarasan Adat
Kelarasan berasal dari kata Lareh (Laras). Lareh dapat
disebut sebagai sistem yang menjadi alas filosofis pemerintahan adat
Minangkabau. Lareh dibagi kepada dua, yaitu lareh nan bunta (buntal),
terdiri dari Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago. Pemerintah adat yang
dilaksanakan di luar sistem yang diterapkan Lareh Nan Bunta disebut
sistem Lareh Nan Panjang
Lareh Koto Piliang, menganut sistem budaya aristokrasi
yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan. Kelarasan ini banyak dipakai di Tanah
Datar, sebagian daerah Solok dan daerah-daerah rantau Minangkabau. Lareh Bodi
Caniago atau dikenal sebagai Adat Perpatih di Negeri Sembilan, Malaysia,
menganut sistem budaya demokrasi sosialis digagas oleh Datuk Perpatih Nan
Sebatang. Kelarasan ini banyak dipakai di Kabupaten Lima Puluh Kota, Riau dan
Negeri Sembilan, Malaysia. Lareh Nan Panjang yang digagas oleh adik laki-laki
dari kedua tokoh di atas yang bernama Sakilap Dunia yang bergelar Datuak
Maharajo Nan Banego-nego,[2]
yang melarang pernikahan orang Minang dalam satu nagari. Kelarasan ini banyak
dipakai oleh Agam dan Padang Panjang.
1-
Lareh Koto Piliang
Lareh Koto Piliang adalah salah satu sistem adat
Minangkabau yang bertumpu kepada sistem aristokratis. Sistem adat ini
dikembangkan oleh Datuk Ketumanggungan.Di kelarasan Koto Piliang, dalam
pengambilan keputusan berdasarkan arahan pimpinan (penghulu/raja).
Pendelegasian kewenangan dapat dilihat dari teorema Titiak dari ateh, turun
dari tanggo. Tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo,
ikan gadang dalam lauik, ikan ketek makannyo, nan mailia dipalik, nan manitiak
ditampuang (Terbujur lalu terbelintang patah, kata seorang besar segala
iya, ikan besar dalam laut ikan kecil makannya, yang mengalir dipalit, yang
menetes ditampung).
Adapun ciri-ciri pokok pelaksanaan adat di Lareh Koto
Piliang adalah, pertama, Kedudukan penghulu ada tingkatan-tingkatannya,
yaitu penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuak.
Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuak nagari. Bapucuak bulek,
baurek tunggang (Berpucuk bulat, berurat tunggang). [3]
Kedua, pengambilan keputusan dalam kelarasan ini dilaksanakan secara
berjenjang sesuai dengan teorema Bajanjang naiak, batanggo turun, Titiak
dari ateh, turun dari tanggo (Berjenjang naik, bertangga turun, titik dari
atas, turun dari tangga). Ketiga Bentuk Rumah Gadangnya mempunyai anjung
kiri dan kanan, serta berlabuh gajah di tengah-tengahnya. Karena memiliki
anjungan, rumah Gada Koto Piliang juga disebut dengan Rumah Baanjuang.
Anjung kiri dan kanan adalah tempat yang ditinggikan, untuk menempatkan
penghulu-penghulu sesuai dengan fungsi atau tingkatannya. Rumah gadang aliran
Koto Piliang disebut sitinjau laut. Keempat, gelar pusaka
(penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal. Kelima,
menurut A.A. Navis nagari di Lareh Koto Piliang biasa membagi
wilayah dalam nagarinya dalam bilangan yang genap, seperti Ampek Koto, Enam Koto, Sepuluh Koto, Nan
Ampek atau Nan Enam.[4]
2-
Lareh Bodi Caniago
Lareh Bodi
Caniago bertumpu kepada musyawarah dan mufakat. Sistem adat ini dikembangkan
oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang, dan berlaku di hampir seluruh wilayah budaya
Minangkabau, terutama di Luhak Lima Puluh Kota, Kabupaten Kerinci, Negeri
Sembilan, dan sebagian Malaka. Filosofi dasar pelaksanaan adat di kelarasan
Bodi Caniago dapat dipahami dari adagium adat Bodi Caniago berikut ini:
putuih rundiang di sakato, rancak rundiang
dipakati, dilahia alah samo nyato, dibatin samo dilihati, talatak suatu di
tampeknyo, di dalam cupak jo gantang, di lingkuang barih jo balabeh, nan
dimakan mungkin jo patuik, dalam kandungan adat jo pusako, adat Datuak
Parpatiah Nan Sabatang
Adapun
ciri-ciri pokok kelarasan Bodi Caniago adalah, Pertama, pengambilan
keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Kato surang dibulek-i, kato basamo kato mufakat. Lah dapek rundiang nan
saiyo, lah dapek kato nan sabuah. Pipiah nan indak basuduik, bulek nan indak
basandiang. Takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak. Saukua mako
manjadi, sasuai mangko takana. Putuih gayuang dek balabeh, putuih kato dek
mufakat. (kata seorang
dibulati, kata bersama kata mufakat. Sudah dapat berunding yang seiya, sudah
dapat kata yang sebuah. Pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding. Terkurung
makanan kunci, terpaut makanan lantak. Seukur maka terjadi, sesuai maka
dipasangkan. Putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat).
Kedua, kedudukan semua penghulu memiliki derajat
yang sama. Duduak sahamparan, tagak saedaran (duduk sehamparan, tegak seedaran). Ketiga, Rumah Gadang yang berlantai datar.
Rumah gadang Bodi Caniago lazimnya disebut Rumah Gadang. Bangunannya
tidak beranjung atau berserambi. Keempat, Gelar pusaka (penghulu) bisa
digantikan, meskipun penyandang gelar masih hidup.Kelima, Sedangkan Bodi
Caniago membagi wilayah nagari dengan jumlah yang ganjil, seperti Tiga Koto.
Tujuh Koto, Sebelas Lingkung, dan Tiga Belas Lorong.[5]
3-
Lareh Nan Panjang
Lareh Nan Panjang menerapkan sistem di luar Koto Piliang
dan Bodi Caniago. Kelarasan ini disebut datang sebagai penengah perbedaan
sistem yang dianut oleh kedua kelaran itu. Lareh Nan Panjang memakai
sistem hukumnya sendiri. Kedudukan kaum ini seperti diungkapkan dalam ungkapan
adat sebagai berikut:
Pisang si kalek-kalek
hutan,
Pisang timbatu nan bagatah,
Koto Piliang inyo bukan,
Bodi Caniago inyo antah.
Meskipun Lareh Nan Panjang membentuk hukum
sendiri, namun pada prinsipnya kelarasan ini memakai kedua adat pada kelarasan
Koto Piliang dan Bodi Caniago. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal sebagai
berikut yang sekaligus menjadi ciri-ciri kelarasan Lareh Nan Panjang, pertama, sistem
penterintahannya menurut aliran Bodi Caniago, yaitu musyawarah mufakat.
Namn, Kedua bentuk rumah gadang kaum ini menurut tipe
rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya.
Namun, rumah gadang Lareh nan Panjang juga menambahkan ruangan baru,
yaitu surambi (serambi) yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan
pada bagian atap ditambah tingkok
atau bangunan kecil berjendala pada bagian tengah atap rumah
gadang. Fungsi tingkok ini
menurut A.A. Navis, digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat
menyiapkan kewaspadaannya. Rumah gadang
dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang
bertugas sebagai panglima. Sepertinya rumah gadang ini merupakan pangembangan
dari rumah gadang yang dipakai pada kedua kelarasan. Ketiga, tiap-tiap
nagari yang menganut adat Lareh nan Panjang mempunyai Pucuk Bulek Urek Tunggang
(Pucuk Adat). [6]
[1] Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo
Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal
Multimedia, h.139
[2] Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo
Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal
Multimedia, h.52
[3] Berpucuk Bulat artinya, pucuk yang tak akan
bertunas lagi. Sementara, urat tunggang adalah akar tunggal menghujam ke tanah
yang tak akan diselingi akar serabut,
[4] A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, h.57
[5] A.A. Navis, Ibid, h.57
[6] Edison MS., Op.cit. h. 146
1 comment:
Makasih pak...
Post a Comment