20 March 2020

ADAT MINANGKABAU

ADAT  MINANGKABAU
muhammadnasir@uinib.ac.id 




A| Adat Minangkabau
Secara umum adat berarti kebiasaan suatu masyarakat yang disusun dan disepakati bersama oleh masyarakan penganutnya dan dilaksanakan serta diwariskan secara turun temurun dari masa ke masa. Adat ditinjau dari aspek ide adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah.
Termasuk dalam pengertian Adat adalah kesatuan pelaksanaan kegiatan tradisi asli masyarakat yang bersumber dari peraturan peraturan hukum baik yang tertulis ataupun tidak tertulis, tumbuh dan berkembang serta dipertahankan dengan kesadaran secara turun temurun.
Secara spesifik, Adat Minangkabau adalah peraturan dan undang-undang atau hukum adat yang berlaku dalam kehidupan sosial masyarakat Minangkabau, terutama yang bertempat tinggal di Ranah Minang atau Sumatra Barat. Dalam batas tertentu, Adat Minangkabau juga dipakai dan berlaku bagi masyarakat Minangkabau yang berada di perantauan di luar wilayah Minangkabau. Hal ini disebutkan dalam tuturan adat Minangkabau:
Gagak tabang jo hitamnyo
Urang Minang tabang jo adatnyo


Landasan Adat Minangkabau
Adat Minangkabau yang asli berlandaskan kepada ketentuan yang berlaku di Alam dan digerakkan dengan kekuatan budi. Tentang landasan dan sumber adat ini disebutkan:
                        Panakiak pisau sirauik
                        Ambiak galah batang lintabuang
                        Salodang jadikan nyiru
                        Nan satitiak jadikan lauik
                        Nan sakapa jadikan gunuang
                        Alam takambang jadikan guru

                        Kayu pulai di koto alam
                        Batangnyo sandi basandi
Jikok pandai di dalam alam
Patah tumbuah hilang baganti

Budi merupakan intisari dari nilai-nilai kebaikan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Karena itu, masyarakat yang dicita-citakan oleh adat Minangkabau adalah masyarakat yang berbudi. Tentang budi sebagai kekuatan penggerak adat ini diuraikan dalam tuturan adat sebagai berikut:
                        Gajah mati maninggakan gadiang
                        Harimau mati maninggakan baling
                        Manusia mati maninggakan namo

Pembagian Adat
Adat Minangkabau secara umum disebut dengan Adat nan Sabatang Panjang. Adat nan Sabatang Panjang berisi ketentuan adat yang berlaku umum di seluruh wilayah Minangkabau. Selain itu ada juga adat yang berlaku khusus dan terbatas di wilayah nagari adat tertentu. Adat jenis ini disebut Adat Salingka Nagari.
Adat Minangkabau terdiri atas empat jenis yaitu :
1.    Adat nan sabana Adat.
2.    Adat nan diadatkan.
3.    Adat teradat.
4.    Adat Istiadat.

Penjelasan:
Adat Nan Sabana Adat
Adat nan sabana Adat, adalah ketentuan hukum, sifat yang terdapat pada alam benda, flora dan fauna, maupun manusia sebagai ciptaan-Nya (Sunatullah). Adat nan sabana Adat ini adalah sebagai sumber hukum Adat Minangkabau dalam menata masyarakat dalam segala hal. Ketentuan alam tersebut tidak bisa dibantah kebenarannya. Contoh adat api mambakari- adat aia mambasahi, artinya api dan air sesuai ketentuan-Nya membakar dan membasahkan. Dia akan tetap abadi sampai hari kiamat dengan sifat tersebut, kecuali Allah sebagai sang pencipta menentukan lain (mengubahnya).
Setelah Islam masuk dan dianut oleh masyarakata Minangkabau, Agama Islam serta seluruh ajarannya termasuk bagian penting dari adat Nan Sabana Adat, karena bersumber dari Allah SWT sang maha pencipta. Hal ini tersebut dalam ungkapan:
lauik baombak, gunuang bakabuik,
lurah baraia, api mambaka,
aia mambasahkan,batuang babuku,
karambia bamato, batuang tumbuah dibukunyo,
karambia tumbuah dimatonyo .

Alam sebagai ciptaan-Nya bagi nenek moyang orang Minangkabau merupakan sumber inspirasi perumusan adat sebagaimana pepatah-petitih Adat berikut ini:
Panakiak pisau sirawik, ambiak galah batang lintabuang,silodang ambiakkan niru, nan satitiak jadikan lawik, nan sakapa jadikan gunuang, Alam Takambang Jadi Guru.

Adat Nan Diadatkan
Adat nan Diadatkan adalah konteks adat nan bapakai (praktis) yang berisi falsafah yang mendasari kehidupan suku Minangkabau yang berlaku turun temurun tanpa ditentukan oleh waktu, tempat dan keadaan sebagaimana disebut dalam pepatah adat:
Nan indak lakang dek paneh
Nan indak lapuak dek hujan

Adat nan diadatkan bertujuan untuk mempertahankan dan melanjutkan Minangkabau. Yang termasuk dalam kategori Adat Nan diadatkan ini adalah:
a.    Silsilah keturunan adalah menurut garis keturunan ibu Matrilineal.
b.    Perkawinan hanya dapat dilangsungkan dengan pihak di luar kesukuannya (perkawinan eksogami) di mana suami tinggal bersama lingkungan kaum atau keluarga si isteri (matrilokal).
c.    Harta pusaka tinggi yang turun-temurun menurut garis ibu, dan menjadi milik kolektif dari jurainya, yang tidak boleh  diperjualbelikan, kecuali tidak ada lagi ahli warisnya (punah).
d.    Falsafah Alam Takambang jadi guru dijadikan landasan utama pendidikan alarniah dan rasional.[1]

          Kedua jenis Adat di atas tidak bisa dan tidak boleh diubah sebagaimana kata pepatah :
Adat nan tak lakang dek paneh,
tak lapuak dek hujan,
dianjak tak layua, dibubuik tak mati,
dibasuah bahabih aia, dikikih bahabih basi.

Adat Nan Teradat
          Adat Nan Teradat merupakan hasil kesepakatan penghulu-penghulu dalam suatu nagari berdasarkan pada pokok-pokok hukum yang telah dituangkan oleh nenek moyang (Datuak Perpatiah Nan Sabatang dan Datuak Ketumanggungan) dalam pepatah-petitih Adat. Di sini berlaku hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Seperti tatacara adat perkawinan, tatacara pengangkatan penghulu. Sebagai contoh dapat dipahami dari ungkapan adat yang terkait adat perkawinan sebagai berikut:
ayam putiah tabang siang, basuluah matohari,
bagalanggang mato rang banyak,
datang bajapuik pai baanta,
arak sapanjang labuah, iriang sapanjang jalan.

          Adapun tatacara pelaksanaan adat perkawinan itu sendiri dapat berbeda-beda di setiap nagari sesuai dengan hukum lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannyo. Tata cara pelaksanaan inilah yang diputuskan berdasarkan penghulu-penghulu di suatu nagari.
          Begitu pula peresmian sako (gelar pusaka) kaum atau penghulu, ada nagari yang memotong kerbau, ada yang memotong jawi dan ada yang mambantai kambing, ada dengan membayar uang adat ke nagari yang bersangkutan. Semuanya adalah aturan pelaksanaan dari peresmian satu gelar pusaka kaum (Sako) yang diambil keputusannya melalui musyawarah mufakat. Adapun pokok-pokok hukumnya tetap mengacu kepada aturan Adat nan Sabatang Panjang:
Tanduak Ditanam, darah dikacau, dagiang dilapah
Termauk kategori Adat Nan Teradat adalah kebiasaan seseorang  dalam kehidupan masyarakat yang boleh ditambah atau dikurangi dan bahkan boleh ditinggalkan, selama tidak menyalahi landasan berpikir orangMinang, yaitu Alua jo patuik (Alur dan Patut), Raso jo Pareso (perasaan dan logika), dan Musyawarah-Mufakat. Adat Nan Teradat ini dengan sendirinya menyangkut pengaturan tingkah laku dan kebiasaan pribadi orang perorangan seperti tata cara berpakaian, makan-minum, ke pesta, dan sebagainya. Dahulu misalnya, para pemuda di kampung biasa memakai kain sarung ke mana saja, karena iklim di sana dingin, tetapi karena udara tidak sedingin dahulu lagi maka sekarang tidak memakai sarung lagi, hanya jaket saja. Dulu orang Minang biasa makari dengan menggunakan tangan, tetapi sekarang sudah biasa pula memakai sendok garpu ala barat. Perubahan tata cara ini dianggap tidak melanggar adat.

Adat Istiadat
Adat Istiadat adalah peraturan-peraturan yang juga dibuat oleh penghulu-penghulu disuatu nagari melalui musyawarah mufakat sehubungan dengan sehubungan dengan kesukaan anak nagari seperti kesenian, olah raga, pencak silat randai, talempong, pakaian laki-laki, pakaian wanita, barang-barang bawaan (hantaran) ke rumah mempelai, begitupun helat jamu meresmikan sako, marawa, tanggo, gaba-gaba, pelaminan dan sebagainya. Untuk adat Istiadat ini juga berlaku pepatah yang berbunyi :
Lain lubuak lain ikannyo,
lain padang lain balalangnyo,
lain nagari lain adatnyo (istiadatnyo) .

Adat nan Teradat dan Adat Istiadat tersebut adalah peraturan pelaksanaan dari aturan-aturan pokok yang telah diciptakan oleh nenek-moyang. Statusnya disebut dengan Adat nan babuhua sentak, artinya aturan Adat yang dapat diubah, dikurangi, ditambah dengan melalui musyawarah mufakat dan selama tidak bertentangan dengan pokok hukum yang telah dituangkan dalam pepatah-petitiah ciptaan nenek-moyang (kato pusako) Adat.
Nan elok diambiak jo etongan,
Nan buruak dibuang jo mufakaik.

Keempat jenis Adat tersebut merupakan suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Sebagai pemudahan penyebutan, keempat adat tersebut di atas dapat secara utuh disebut dengan Adat Istiadat Minangkabau.

B | Kelarasan Adat
Kelarasan berasal dari kata Lareh (Laras). Lareh dapat disebut sebagai sistem yang menjadi alas filosofis pemerintahan adat Minangkabau. Lareh dibagi kepada dua, yaitu lareh nan bunta (buntal), terdiri dari Lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago. Pemerintah adat yang dilaksanakan di luar sistem yang diterapkan Lareh Nan Bunta disebut sistem Lareh Nan Panjang
Lareh Koto Piliang, menganut sistem budaya aristokrasi yang digagas oleh Datuk Ketumanggungan. Kelarasan ini banyak dipakai di Tanah Datar, sebagian daerah Solok dan daerah-daerah rantau Minangkabau. Lareh Bodi Caniago atau dikenal sebagai Adat Perpatih di Negeri Sembilan, Malaysia, menganut sistem budaya demokrasi sosialis digagas oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang. Kelarasan ini banyak dipakai di Kabupaten Lima Puluh Kota, Riau dan Negeri Sembilan, Malaysia. Lareh Nan Panjang yang digagas oleh adik laki-laki dari kedua tokoh di atas yang bernama Sakilap Dunia yang bergelar Datuak Maharajo Nan Banego-nego,[2] yang melarang pernikahan orang Minang dalam satu nagari. Kelarasan ini banyak dipakai oleh Agam dan Padang Panjang.

1-   Lareh Koto Piliang
Lareh Koto Piliang adalah salah satu sistem adat Minangkabau yang bertumpu kepada sistem aristokratis. Sistem adat ini dikembangkan oleh Datuk Ketumanggungan.Di kelarasan Koto Piliang, dalam pengambilan keputusan berdasarkan arahan pimpinan (penghulu/raja). Pendelegasian kewenangan dapat dilihat dari teorema Titiak dari ateh, turun dari tanggo. Tabujua lalu tabalintang patah, kato surang gadang sagalo iyo, ikan gadang dalam lauik, ikan ketek makannyo, nan mailia dipalik, nan manitiak ditampuang (Terbujur lalu terbelintang patah, kata seorang besar segala iya, ikan besar dalam laut ikan kecil makannya, yang mengalir dipalit, yang menetes ditampung).
Adapun ciri-ciri pokok pelaksanaan adat di Lareh Koto Piliang adalah, pertama, Kedudukan penghulu ada tingkatan-tingkatannya, yaitu penghulu andiko, penghulu suku, dan penghulu pucuak. Penghulu pucuk juga disebut sebagai pucuak nagari. Bapucuak bulek, baurek tunggang (Berpucuk bulat, berurat tunggang). [3] Kedua, pengambilan keputusan dalam kelarasan ini dilaksanakan secara berjenjang sesuai dengan teorema Bajanjang naiak, batanggo turun, Titiak dari ateh, turun dari tanggo (Berjenjang naik, bertangga turun, titik dari atas, turun dari tangga). Ketiga Bentuk Rumah Gadangnya mempunyai anjung kiri dan kanan, serta berlabuh gajah di tengah-tengahnya. Karena memiliki anjungan, rumah Gada Koto Piliang juga disebut dengan Rumah Baanjuang. Anjung kiri dan kanan adalah tempat yang ditinggikan, untuk menempatkan penghulu-penghulu sesuai dengan fungsi atau tingkatannya. Rumah gadang aliran Koto Piliang disebut sitinjau laut. Keempat, gelar pusaka (penghulu) tidak bisa digantikan, sebelum penyandang gelar meninggal. Kelima, menurut A.A. Navis nagari di Lareh Koto Piliang biasa membagi wilayah dalam nagarinya dalam bilangan yang genap, seperti  Ampek Koto, Enam Koto, Sepuluh Koto, Nan Ampek atau Nan Enam.[4]

2-   Lareh Bodi Caniago
Lareh Bodi Caniago bertumpu kepada musyawarah dan mufakat. Sistem adat ini dikembangkan oleh Datuk Perpatih Nan Sebatang, dan berlaku di hampir seluruh wilayah budaya Minangkabau, terutama di Luhak Lima Puluh Kota, Kabupaten Kerinci, Negeri Sembilan, dan sebagian Malaka. Filosofi dasar pelaksanaan adat di kelarasan Bodi Caniago dapat dipahami dari adagium adat Bodi Caniago berikut ini:
putuih rundiang di sakato, rancak rundiang dipakati, dilahia alah samo nyato, dibatin samo dilihati, talatak suatu di tampeknyo, di dalam cupak jo gantang, di lingkuang barih jo balabeh, nan dimakan mungkin jo patuik, dalam kandungan adat jo pusako, adat Datuak Parpatiah Nan Sabatang
Adapun ciri-ciri pokok kelarasan Bodi Caniago adalah, Pertama, pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah mufakat. Kato surang dibulek-i, kato basamo kato mufakat. Lah dapek rundiang nan saiyo, lah dapek kato nan sabuah. Pipiah nan indak basuduik, bulek nan indak basandiang. Takuruang makanan kunci, tapauik makanan lantak. Saukua mako manjadi, sasuai mangko takana. Putuih gayuang dek balabeh, putuih kato dek mufakat. (kata seorang dibulati, kata bersama kata mufakat. Sudah dapat berunding yang seiya, sudah dapat kata yang sebuah. Pipih tidak bersudut, bulat tidak bersanding. Terkurung makanan kunci, terpaut makanan lantak. Seukur maka terjadi, sesuai maka dipasangkan. Putus gayung karena belebas, putus kata karena mufakat).
Kedua, kedudukan semua penghulu memiliki derajat yang sama. Duduak sahamparan, tagak saedaran (duduk sehamparan, tegak seedaran). Ketiga, Rumah Gadang yang berlantai datar. Rumah gadang Bodi Caniago lazimnya disebut Rumah Gadang. Bangunannya tidak beranjung atau berserambi. Keempat, Gelar pusaka (penghulu) bisa digantikan, meskipun penyandang gelar masih hidup.Kelima, Sedangkan Bodi Caniago membagi wilayah nagari dengan jumlah yang ganjil, seperti Tiga Koto. Tujuh Koto, Sebelas Lingkung, dan Tiga Belas Lorong.[5]

3-   Lareh Nan Panjang
Lareh Nan Panjang menerapkan sistem di luar Koto Piliang dan Bodi Caniago. Kelarasan ini disebut datang sebagai penengah perbedaan sistem yang dianut oleh kedua kelaran itu. Lareh Nan Panjang memakai sistem hukumnya sendiri. Kedudukan kaum ini seperti diungkapkan dalam ungkapan adat sebagai berikut:
Pisang si kalek-kalek hutan,
Pisang timbatu nan bagatah,
Koto Piliang inyo bukan,
Bodi Caniago inyo antah.

Meskipun Lareh Nan Panjang membentuk hukum sendiri, namun pada prinsipnya kelarasan ini memakai kedua adat pada kelarasan Koto Piliang dan Bodi Caniago. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut yang sekaligus menjadi ciri-ciri kelarasan Lareh Nan Panjang, pertama,  sistem  penterintahannya menurut aliran Bodi Caniago, yaitu musyawarah mufakat. Namn,  Kedua  bentuk rumah gadang kaum ini menurut tipe rumah gadang Koto Piliang, yaitu memakai anjung pada kedua ujung rumahnya. Namun, rumah gadang Lareh nan Panjang juga menambahkan ruangan baru, yaitu surambi (serambi) yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan pada bagian atap ditambah tingkok  atau bangunan kecil berjendala pada bagian tengah atap rumah gadang.  Fungsi tingkok ini menurut A.A. Navis, digunakan sebagai tempat mengintip agar panglima dapat menyiapkan kewaspadaannya.  Rumah gadang dari tuan gadang di Batipuh yang bergelar Harimau Campo Koto Piliang yang bertugas sebagai panglima. Sepertinya rumah gadang ini merupakan pangembangan dari rumah gadang yang dipakai pada kedua kelarasan. Ketiga, tiap-tiap nagari yang menganut adat Lareh nan Panjang mempunyai Pucuk Bulek Urek Tunggang (Pucuk Adat). [6]



[1] Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia, h.139
[2] Edison M.S., Nasrun Dt. Marajo Sungut, Tambo Minangkabau, Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau, Bukittinggi: Kristal Multimedia, h.52
[3] Berpucuk Bulat artinya, pucuk yang tak akan bertunas lagi. Sementara, urat tunggang adalah akar tunggal menghujam ke tanah yang tak akan diselingi akar serabut,
[4] A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru, h.57
[5] A.A. Navis, Ibid, h.57
[6] Edison MS., Op.cit. h. 146

1 comment:

ARMOR said...

Makasih pak...