KONFLIK SEGITIGA: ISLAM, ADAT DAN MODERNITAS
Oleh Muhammad Nasir
Perubahan
dalam kebudayaan merupakan sebuah kemestian. Oleh sebab itu tidak ada
kebudayaan manapun di dunia yang tidak mengalami perubahan, karena manusia
sebagai pencipta dan pelaku kebudayaan itu hidup dalam zaman yang berubah,
berbeda dari waktu-ke waktu yang membuat manusia harus menyesuaikan semua
sistem dalam kebudayaan itu dengan keadaan zaman. Demikian juga dengan
kebudayaan Minangkabau.
Beberapa
perubahan budaya ini termasuk juga perubahan dalam lingkungan, lembaga,
perilaku dan juga hubungan sosial. Selain itu, perubahan budaya juga bisa
mengacu pada gagasan untuk sebuah kemajuan sosial dan juga evolusi sosial dan
budaya.
Perubahan
budaya sendiri biasanya dapat berlangsung dengan sangat cepat atau pun lambat
dan umumnya sangat tidak bisa disadari oleh masyarakat dalam sebuah negara.
Karena hanya beberapa orang yang mengetahuinya ketika orang tersebut mulai
membandingkan kehidupan sosial di masa lalu dan masa saat ini. Perubahan budaya
dalam kehidupan masyarakat biasanya dapat terjadi karena, 1) masyarakat itu sendiri
menginginkan sebuah perubahan (faktor internal) dan 2) bisa juga akibat
munculnya desakan dari kebudayaan atau unsur-unsur dari luar kebudayaan itu
sendiri. Sepertinya, dalam kebudayaan Minangkabau kedua faktor ini berjalan
bersamaan dan merupakan sebuah pola interaksi yang ketat sepanjang masa.
Berikut
akan dipaparkan bagaimana konflik antara Islam, adat dan modernitas di
Minangkabau yang pada akhirnya terbentuk (terintegrasinya) unsur luar (agama
dan modernitas) dalam kebudayaan Minangkabau.
A.
Memahami
Konflik dalam Kebudayaan
Secara umum
faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan kebudayaan adalah 1) faktor invention,
discovery, inovation (ketiganya dapat diartikan penemuan baru) dan 2)
kontak dengan kebudayaan lain[1]
Faktor yang ke dua, yaitu kontak (interaksi) dengan kebudayaan lain dapat
digunakan untuk menganalisis konflik dan perubahan dalam kebudayaan.
Interaksi
secara etimologi berarti hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Dalam
sosiologi, interaksi diartikan sebagai suatu proses timbal balik yang saling
mempengaruhi terhadap perilaku para pihak yang terlibat di dalamnya. Hal ini
dapat terjadi melalui kontak langsung, atau maupun tidak langsung.[2]
Interaksi dapat berupa kerjasama (cooperation), persaingan
(competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan (conflict).[3]
Proses
adaptasi dan akomodasi yang terjadi di antara konflik dan integrasi dapat
melahirkan sintesis, yaitu perpaduan dari beberapa pengertian yang terdapat
dalam masing-masing nilai budaya untuk mencapai satu kesatuan yang sesuai.
Interaksi antara Islam, adat dan modernitas dalam hal ini dapat dilihat dalam
tiga pola atau bentuk tersebut yaitu 1) kerjasama (co-operation), 2)
persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan (conflict).
Format yang
dapat dirumuskan lebih jauh mengenai interaksi tiga entitas tersebut adalah
dapat berupa: 1) konflik, 2) adaptasi/akomodasi, 3) integrasi/asimilasi.
Konflik dapat berupa penolakan terhadap budaya luar/asing atau mendiamkannya.
Adaptasi/akomodasi merupakan penyesuaian yang terjadi antara budaya lokal dan
unsur dari luar (agama dan modernitas) ketika interaksi berlangsung. Integrasi
dan asimilasi adalah perpaduan antara yang lokal dan budaya luar (pendatang).
Di antara konflik dan integrasi mengandaikan adanya kompromi yang bisa berupa
adaptasi, akomodasi, dan asimilasi.
Konflik dan
Integrasi merupakan dua konsep yang tak boleh dipisahkan. Kedua konsep ini
biasanya digunakan secara bersama-sama.[4]
Menurut Lewis Coser (1956), konflik merupakan suatu gejala yang wajar dalam
masyarakat. Konflik tidak selamanya negatif, tetapi juga positif dalam hal
membantu terwujudnya integrasi (persatuan) dan kesadaran dalam hidup
bermasyarakat.[5]
Hal yang semakna juga disampaikan oleh Georg Simmel (1904). Simmel mengutip
peribahasa latin “siapa yang menghendaki perdamaian, maka bersiaplah untuk
berperang (a vis pacem para bellum). Artinya, secara tersirat bahwa
konflik dan integrasi merupakan sebuah proses yang berkesinambungan dalam
sejarah masyarakat.
Dalam
kebudayaan Minangkabau juga ditemukan ungkapan basilang kayu dalam tungku,
di situ nasi mangko masak (tersebab bersilang kayu dalam tungku, maka nasi
bisa masak). Basilang kayu dalam tungku dapat dipahami sebagai konflik dan
nasi masak sebagai bentuk integrasi (hasil) dari konflik. Teori
konflik yang seperti ini memandang bahwa
perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang
membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan
kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi semula.[6]
Artikel ini
akan mencoba melihat bagaimana proses interaksi antara entitas Islam (agama),
Adat dan Modernitas dalam bentuk konflik yang mengarah kepada integrasi antara
ketiga unsur tersebut dalam adat Minangkabau dewasa ini. Konflik ini menurut M
Joustra (1921) pengamat kolonial sebagaimanan dikutip Jeffrey Hadler (2010)
merupakan suatu pergumulan, yang bisa disebut konflik tiga segi, antara adat
istiadat lokal, Islam, dan konsep-konsep ‘modern-Barat’.[7]
B.
Bentuk-Bentuk Konflik
Lewis A Coser (1956), membagi konflik kepada dua bentuk, yaitu konflik realistis dan konflik non realistis.[8] Pertama, Konflik Realistis yaitu konflik yang berasal dari tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan di internal masyarakat Minangkabau. Misalnya dalam konflik adat dan agama antara kelompok adat dan kelompok agama dalam Padri gelombang pertama di Minangkabau pada awal abad ke-19 yang lazim disebut dengan gerakan Padri gelombang pertama. Kelompok agama menginginkan diterapkannya hukum syari’at yang berdasarkan agama Islam dalam adat Minangkabau yang tercampur dengan kebiasaan lama yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Konflik ini realistis, karena berangkat dari tuntutan dari anggota masyarakat atau bagian dari warga kebudayaan Minangkabau sendiri. Artinya, sebagian anggota masyarakat Minangkabau menginginkan adanya perubahan mendasar dalam adat Minangkabau.
Di Sumatra Barat, reformisme Padri membatasi diri sendiri dan akhirnya menjadi fleksibel, bahkan mau berdamai. Dan adat matriarkat selamat melalui kolonialisme karena ia terlebih dahulu sudah terideologisasi dan diperkuat waktu menghadapi kritik Padri. Tradisi matriarkat bertahan bukan walaupun ada serangan Padri neo-Wahabi, melainkan karena keinginan berdamai di antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Dengan formula “adat basandi syarak, syarak basandi adat” pemimpin-pemimpin Padri dan adat berhasil berkompromi dan mempertahankan kekhasan budaya Minangkabau.[9]
Di antara tema konflik antara Islam dengan Adat Minangkabau antara lain tentang adat matrilineal yang berimplikasi kepada:
1) Perkawinan eksogami (kawin ke luar suku) yang dianggap lebih mengutamakan adat dari pada ketentuan syara’.
2) Sistem residensi matrilokal (laki-laki Minangkabau yang sudah menikah tinggal di rumah keluarga besar istrinya) dianggap sebagai bentuk pengerdilan terhadap peran laki-laki sebagai kepala keluarga.
3) Pembagian harta pusako yang berorientasi kepada perempuan sebagai penerima waris dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
4) dan lain-lain.
Tema-tema di atas menunjukkan bahwa konflik tersebut berlangsung dalam dan di antara masyarakat pendukung kebudayaan Minangkabau itu sendiri. Tujuannya jelas agar terjadi perubahan dalam praktik adat sebagaimana yang disebutkan di atas.
Sementara konflik realistis dalam kebudayaan Minangkabau dalam tema modernitas berlangsung pada gerakan pembaharuan gelombang kedua pada awal abad ke-20. Modernisasi ini terkait dengan modernisasi pemikiran dan aksi keagamaan dan modernisasi adat Minangkabau. Konflik berlangsung antara kaum tua (kelompok tradisionalis) dan kaum muda (kelompok pembaharu). Tema konfliknya berkisar sekitar keharusan bermazhab, persoalan ijtihad dan persoalan tarekat. Pada level tertentu tentang praktik-praktik adat yang dianggap berlebihan yang tidak sesuai dengan tuntutan dunia modern, Misalnya tentang tradisi-tradisi adat yang dianggap mubazir dan tidak sesuai dengan semangat zaman yang serba krisis menghadapi kolonialisme Belanda.
Sementara, masih dalam tema adat, Belanda juga ikut campur dalam bidang adat dengan melakukan upaya pembaharuan struktur kepemimpinan adat dengan menambahkan kepemimpinan Angku Lareh yang bertindak sebagai wakil masyarakat Minangkabau dalam bernegosiasi dengan pemerintah Belanda. Kepemimpinan penghulu yang sudah ada dianggap Belanda terlalu gemuk dan rumit. Belanda bermaksud memperkecil jumlah penghulu yang akan diajak berunding. Penghulu yang diangkat Belanda ini dikenal dengan Pangulu Basurek atau Pangulu Besluit Tentang hal ini, HAMKA (1982) menulis:
“Belanda jadi pusing karena terlalu banyak Datuk, sebagai pepatah: "Datuk banyak. nagari sempit". Lalu diadakan peraturan Pengulu yang berbesluit, disebut "nan basurek." [10]
Di zaman sekarang, konflik Islam dengan unsur modernitas berlangsung lebih cepat. Namun, meskipun perdebatan-perdebatan di antara masyarakat Minangkabau berlangsung sengit, hal tersebut tak dapat menghambat gempuran entitas-entitas modernitas. Di antara entitas dunia modern yang paling berpengaruh antara lain kehadiran Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan struktur pemerintahan yang terbangun dari pusat pemerintahan RI hingga ke pusat pemerintahan adat Minangkabau di nagari. Meskipun belakangan pemerintahan Nagari kembali diakui sebagai bagian dari pemerintahan NKRI, tetapi unsur-unsur pemerintahan adat sudah kehilangan elan vital-nya, relatif sulit untuk dibangkitkan. Selain negara, faktor globalisasi telah menghadirkan tradisi baru dalam masyarakat dunia. Melalui trilogi food, fun and fashion yang menginfiltrasi kebudayaan lokal, membuat makna tradisi yang terkait dengan nilai-nilai kultural mengalami bergeser.
Kedua, Konflik Non-Realistis yaitu konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Lewis Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain-lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
Dalam sejarah Minangkabau, meskipun pembalasan dendam dengan cara-cara ghaib ini juga dikenal, namun konflik seperti ini tidak tersiar secara terbuka, namun hidup dalam komunikasi sosial masyarakat Minangkabau. Contohnya tradisi Tubo-Manubo. Tubo (Bahasa Indonesia: tuba, racun) dalam perspektif Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan digolongkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (the Intangible Cultural Heritage) Minangkabau.
Menurut kebiasaan dalam tradisi ini seseorang akan menubo bila ingin membalas kasam (dendam) kepada orang lain. Cara pemberiannya dapat dilakukan melalui makanan maupun minuman. Orang dahulu bila dia tersinggung atau disakiti oleh seseorang, maka ia akan selalu berusaha untuk membalas. Berbagai cara ia lakukan asalkan sakit hatinya terbalaskan termasuk menganiaya dengan cara memberi racun/tubo. Ini dilakukan secara secara diam-diam. [11]
Sebagaimana bentuknya, konflik yang non realistis ini merupakan kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Konflik seperti ini secara baik digambarkan oleh Damhuri Muhammad dalam cerpennya berjudul Tuba (Kompas, 2006), berikut petikanya:
Tersiar kabar perihal bupati yang mati mendadak berselang beberapa saat setelah meresmikan peletakan batu pertama proyek pembangunan masjid di kecamatan Bulukasap. Saat ditemukan, mayatnya terkapar di lantai kamar dalam keadaan mulut berbusa, seperti korban overdosis, lidah terjulur hingga dagu dan mata terbelalak serupa orang mati setelah gantung diri. Di nagari Sungai Emas, musibah kematian macam itu sudah lumrah dan kerap terjadi. Meski diam-diam, hampir semua warga sepakat berkesimpulan bahwa bupati mati karena di-tuba. Dibunuh secara halus melalui kekuatan gaib. Namun, tidak mungkin disebutkan siapa pelakunya. Bila ada yang berani menyebutkan nama pembunuh bupati, itu sama saja artinya dengan bunuh diri. Kenekatan macam itu, hanya akan mengundang musibah baru, kematian selanjutnya, bisa saja jauh lebih mengerikan.”
Namun dalam konteks ini, konflik non realitis yang terjadi di masyarakat tidak berlangsung secara terbuka. Kaum agama (padri) misalnya lebih cendrung menjadikan konflik seperti ini sebagai contoh perbuatan-perbuatan jahiliyah yang tak patut dilakukan. Oleh sebab itu, tak banya tercatat perdebatan antara kaum agama dan kaum adat dalam tema-tema seperti ini.
C.
Proses Adaptasi
Hubungan antar kebudayaan adalah perkenalan, kata
Gazalba (1968). Perkenalan antar kebudayaan memiliki faktor kendali yang
disebut oleh Gazalba dengan adaptasi dan adoptasi. Koentjaraningrat (1980) mengatakan hubungan
antar kebudayaan adalah saling belajar, terutama pada bagian unsur kebudayaan
yang universal, seperti sains dan teknologi. Adaptasi adalah proses yang
mudah-mudah sukar, yaitu proses kesediaan (kesukarelaan) menerima unsur
kebudayaan lain yang bernilai baik sembari bersedia pula berdamai dengan diri saat
harus menghilangkan nilai-nilai dalam kebudayaan asli yang tak begitu berguna.
Menurut M. Sanusi Latif (1988) proses penerimaan Islam
oleh masyarakat Minangkabau berlangsung damai dan relatif mudah. Hal ini
disebabkan beberapa hal. Dua yang terpenting adalah kesesuaian Islam dan Adat
Minangkabau. Saat ajaran Islam di Minangkabau, para peyebar
agama Islam hanya menemukan pengaruh adat yang kuat, dan tidak ditemukan
rintangan dari penganut agama Budha dan Hindu. Dapat dikatakan bahwa agama
masyarakat Minangkabau yang sebenarnya adalah adat mereka sendiri dan dapat
diduga bahwa masyarakat Minangkabau bukanlah penganut ajaran Budha dan Hindu
yang taat. Selain faktor adat, ajaran Islam menghormati adat-istiadat selama
tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal Ini membuat ajaran
Islam akrab dengan adat Minangkabau. Selain itu, ajaran Islam dianggap cocok
dengan adat Minangkabau, di antaranya ajaran Islam yang demokratis yang
mengajarkan musyawarah dan mufakat, agama Islam tidak mengenal kasta dalam
masyarakat serta mengahargai wanita sebagaimana adat Minangkabau menghargai
wanita sebagai unsur penting kebudayaan matrilineal.[12]
Kedatangan Islam secara umum memberikan perubahan
dalam kebudayaan Minangkabau. Tidak hanya orangnya saja yang memeluk Islam
tetapi banyak aspek kehidupan terbawa serta. Mansoer (1970) menulis:
Karena
itu bukan sadja penduduk sesuatu daerah tempat agama Islam masuk dan berkembang
jang di-Islamkan, tetapi djuga seluruh lembaga masjarakat dan hasil-hasil
kebudajaannja, termasuk tambo2 dan
tjerita2 lamanja peninggalan dari zaman djahiliah." [13]
D.
Proses Integrasi
Integrasi adalah perpaduan antara yang budaya lokal
dengan unsur budaya luar (pendatang). Islam dalam pandangan orang Islam
bukanlah kebudayaan, tetapi agama. Agama
dalam kajian kebudayaan merupakan sebuah sistem religi yang berpengaruh dalam
kehidupan manusia. Dalam konteks ini, agama Islam merupakan sumber baru bagi
sistem religi masyarakat Minangkabau.
Proses masuknya pengaruh ajaran agama Islam ke dalam
masyarakat adat Minangkabau tidaklah berlangsung instan dan mudah. Sejak
masyarakat Minangkabau mengenal agama Islam dan beralih secara massal memeluk
agama ini, terlihat ada masa yang panjang di mana tidak dijumpai informasi
tentang pergulatan agama ini dengan adat Minangkabau. Andaipun diterima teori
masuknya Islam ke Minangkabau sejak abad ke-7 masehi, atau abad ke-12 masehi,
pergulatan atau interaksi yang intensif justru terjadi di akhir abad ke-18
masehi hingga ke paruh pertama abad ke-20 masehi.
Dalam periodesasi sejarah Minangkabau, masa ini
dikenal dengan fase pemurnian dan pembaharuan. Fase ini merupakan
fase terpenting integrasi antara agama Islam dan Adat Minangkabau. Kehadiran
surau-surau pengajaran agama Islam di Minangkabau pasca-Syekh Burhanuddin
memberi andil besar munculnya ulama-ulama yang memegang kendali atas pengajaran
Islam di daerahnya masing-masing. Kesadaran beragama mulai tumbuh dan para
ulama tersebut mulai melirik dan mengkritik praktik beragama masyarakat muslim
Minangkabau yang masih bercampur dengan ajaran-ajaran lama serta
praktik-praktik adat yang tak sesuai dengan ajaran Islam.
Fase ini dibagi kepada dua periode, yaitu: 1) Periode Pembaharuan
Gelombang Pertama yang dimulai sejak revolusi Paderi (1803-1838) yang digagas
Tuanku nan Renceh (1780-1825) serta disokong oleh tiga orang ulama Minang yang
pulang dan Mekkah pada tahun 1803 M, yaitu Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji
Sumanik. Gerakan ini mengusung agenda pemurnian (purifikasi) agama Islam,
kritik adat dan kebiasaan lama yang mereka anggap tidak sesuai, dan mendesak
masyarakat untuk melakukan kewajiban formal agama Islam. Revolusi ini menyulut
terjadinya perang saudara antara Kaum Padri (kelompok pendukung) dan Kaum Adat
(kelompok penentang) gerakan tersebut.
Perang ini yang diawali masalah konflik adat dan agama akhirnya berubah
menjadi peperangan melawan penjajahan Belanda. 2). Periode Pembaharuan
Gelombang Kedua yang dilaksanakan oleh murid-murid Syekh Ahrnad Khatib
Minangkabawi yang baru pulang dari Mekkah. Kondisi sikap keberagamaan dan
tradisi yang sudah turun temurun yang tidak dapat dirobah kembali mendapat tantangan
dari kelompok pembaharu. Pembaharuan tahap kedua tampil dengan corak yang
berbeda dengan yang dilakukan oleh gerakan Paderi. Gerakan Paderi lebih
cenderung mengedepankan corak militerisme, tetapi pembaharuan tahap dua lebih
kepada pergolakan inteletual. Hal ini dapat dilihat dengan dimunculkannya
majalah-majalah, diadakannya perdebatan umum, dibentuknya organisasi-organisasi
masyarakat dan didirikannya sekolah-sekolah yang bercorak modern. Selama dua
abad pergulatan Islam dan Adat Minangkabau tersebut berlangsung alot, mulai
dari bentuk interaksi yang keras yang berujung bentrok fisik hingga bentuk yang
lebih elegan dalam bentuk debat-debat intelektual. Namun dibalik bentrokan
tersebut juga tersedia informasi tentang bentuk penerimaan, baik secara natural
maupun melalui proses perdamaian.
Dengan demikian, dapat dikatakan reaksi yang dimunculkan oleh
masyarakat adat Minangkabau terhadap nilai-nilai yang bersumber dari agama
Islam adakalanya berbentuk positif (dalam bentuk penerimaan) dan ada kalanya
dalam bentuk negatif (dalam bentuk penolakan). Reaksi ini sekilas terbaca
sebagai bentuk dilematika masyarakat Minangkabau yang sedang dihadapkan pada
dua pilihan antara menerima agama atau tetap mempertahankan adat. Bahkan dalam
banyak literatur -bahkan literatur modern- masih menulis reaksi ini
sebagai bentuk pertentangan Islam dan adat Minangkabau. Mestinya, keadaan ini
ditulis sebagai konsekwensi logis datangnya nilai-nilai baru yang bersumber
dari agama Islam menghampiri nilai-nilai adat Minangkabau yang sudah tersusun
sejak lama yang dianut oleh masyarakat Minangkabau yang sudah memeluk Islam.
Masyarakat Minangkabau dalam posisi ini sesungguhnya sedang
menghadapi proses penyesuaian diri dan menghadapi keharusan mereformasi adat
dengan datangnya ajaran Islam. Akhirnya, dilema yang dihadapi masyarakat
Minangkabau itu justru dapat diselesaikan sebagian besarnya dalam sebuah
konsensus Adat Basandi Syara’-Syara’ Basandi Kitabullah (ABS-SBK). ABS-SBK ini
pada akhirnya diterima sebagai falsafah adat alam Minangkabau. Proses integrasi
(berbaurnya) atau masuknya (penetrasi)
Islam ke dalam adat Minangkabau dapat dilihat dalam pola berikut:
1) Akulturasi: Gabungan antara budaya lokal dan budaya asing dengan
tujuan membentuk suatu kebudayaan baru namun tanpa menghilangkan kebudayaan
asli. Misalnya, masuknya prosesi nikah dalam acara perkawinan di Minangkabau.
Nikah merupakan elemen ajaran Islam dan tatacara perkawinan dilaksanakan sesuai
dengan adat kebiasaan yang berlaku setempat. ABS-SBK diikuti dengan ungkapan
syara’ mangato-adat mamakai, adat nan qawi-syara’ nan lazim merupakan simbol
akulturasi Isalam dan Adat Minangkabau.
2) Asimilasi: Gabungan antara budaya lokal dan budaya asing dengan
tujuan membentuk suatu kebudayaan baru dan menghilangkan kebudayaan lama.
3) Sintesis: Percampuran antara dua kebudayaan yang membentuk
kebudayaan baru dimana kebudayaan baru tersebut berbeda jauh dari kebudayaan
asli.
Berdasarkan uraian di atas,
perjumpaan Islam dengan Budaya Minangkabau dapat diskemakan sebagai berikut: pertama,
Islam dan adat Minangkabau mampu berbaur menjadi identitas
sosial-kultural-religius sehingga melahirkan Tradisi Islam Minangkabau atau
tradisi Minangkabau yang Islami. Kedua,
Islam dan adat tidak berbaur, tetapi juga tidak memicu pertentangan dan
konflik. Ketiga, Islam dan adat Minangkabau bertentangan, baik kemudian
yang memunculkan konflik ataupun tidak.[14]
[1] Ralph Linton, Antropologi; Suatu Penyelidikan tetang Manusia, Bandung: Jemmars, 1984, hal. 204
[2] J.S Rouck dan Warren R.R., Sosiology: an Introduction (London: Routledge dan Kegan Paul Ltd., 1963), hal.34
[3] Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1970), hal. 192
[4] Achmad Fedyani Saifuddin, Konflik dan Integrasi: Perbedaan Faham dalam Agama Islam, Jakarta: CV Rajawali, 1986, hal. 7
[5] Lewis A Coser, The Function of Social Conflict, New York: The Free Press, 1956, hal.151
[6] Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2007. hal. 54
[7] Jefrey Hadler, Sengketa Tiada Putus; Matriarkat, Reformisme Agama, dan. Kolonialisme di Minangkabau, Jakarta: Freedom Institut, 2010, hal. 25
[8] Lewis A Coser, Op.cit., hal. 32-37
[9] Jeffrey Hadler,Op.cit., hal. xi
[10] Hamka, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, ed. ke-4, Jakarta: Umminda, 1982, hal. 70
[11]
Lihat tulisan Muhammad
Nasir di https://bakaba.co/ihwal-tubo-manubo/).
[12] M Sanusi Latief, Gerakan Kaum Tua di Minangkabau 1907-1969,(Disertasi) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta:1988, hal. 47-48
[13] M.D. Mansoer, Sedjarah Minangkabau, Jakarta: Bhratara, 1970, hal.38
[14] Nelmawarni, dkk., Islam dan Tradisi Lokal di Minangkabau (Laporan Penelitian), Padang: Pusat Penelitian dan Penerbitan LPPM IAIN Imam Bonjol Padang, 2014, h. 3
No comments:
Post a Comment