04 December 2020

Tiga Jurus dari Guruku

Tiga Jurus dari Guruku: Dr. Yulizal Yunus, M.Si Datuk Rajo Bagindo

Oleh Muhammad Nasir


Saya mendapatkan tiga jurus penting dari Dr. Yulizal Yunus, M.Si. gelar Dt Rajo Bagindo. Dosen saya di Fakultas Adab IAIN, kini UIN Imam Bonjol Padang. Kepada saya dan teman-teman seangkatan, senior memperkenalkan sapaan Pak Yuyu untuk menyebut beliau. Apa ketiga ilmu itu? Satu ketenangan, kedua, ketenangan dan ketiga ketenangan. Ya,KETENANGAN nana jurusnya.

Jurus Pertama

Tahun 1998 saya sedang bertarung untuk menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan  (HMJ) Bahasa dan Sastra Arab pada Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Menurut saya dan fakta hasil pemilihan saya menang. Perolehan suara saya di atas rival saya. Rival saya adalah mahasiswa angkatan 1995, senior di atas saya. Namun saya tak mengerti, mengapa saya dipangggil ke ruangan beliau. Beliau saat itu menjabat Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

"Nasir alun bisa disabuik manang lai," kata beliau.

Terus terang saya kaget. Muka saya terasa panas. Saya tidak menyangka beliau akan menyampaikan ini. Jelas saya protes. Saya kemukakan hasil pemilihan. Beliau senyum-senyum saja. Berita acara pemilihan yang saya sodorkan hanya beliau lihat sekilas dan beliau susun di atas tumpukan kertas yang lain yang ada di meja kerjanya.

"Saya sudah punya berita acaranya. sudah saya baca. Makanya, saya simpulkan Nasir belum menang," ujarnya

Saya mengerutkan dahi. Heran. Bahkan setelah tersenyum justru beliau meminta saya agar mundur dulu. Biarlah rival saya itu yang jadi Ketua HMJ. Ups, tunggu dulu. Saya semakin kaget. Ada apa ini? Saya mulai menduga-duga tentang banyak hal. Apakah beliau sudah termakan "kompor" senior yang rival saya itu? Atau saya tidak mendapat dukungan dari beliau?

Tiba-tiba saya pandangi sekujur tubuh saya. Kurus, kecil, dekil dan sama sekali tak menarik, tak ganteng. Bawaan fisik ini sering membuat saya kecewa dengan diri saya. Gara-gara tampilan fisik inilah saya sering "tak dianggap" dan dinilai "under estimated" oleh orang-orang. Apalagi interaksi saya dengan Pak Yuyu sebelum saya ikut pemilihan ketua HMJ nyaris minim, untuk tidak menyatakan tidak ada. Hanya di ruang kuliah saja. Itupun kalau beliau yang tak masuk kelas, saya yang bolos.

Ah, rasa minder itu kembali muncul. Badan buruk ini terasa bergelimang peluh dingin.   Teringat saya selorohan senior urakan yang menyentil saya beberapa saat sebelum debat kandidat. "Anak ketek ko, ka jadi Ketua HMJ lo ko?" katanya. Duh!

Lalu, saya tanya apa alasan beliau, mengapa saya disebut belum menang itu. Beliau menyatakan bahwa hasil pemelihan saya cacat hukum, tidak kuorum. Ada indikasi kemenangan ini mengandung kecurangan.

"Apak caliak hasilnyo ndak kuorum. Jadi... cacat hukum." kata beliau. "Selain itu nampaknya ada situasi khusus yang direkayasa. Pemilihan dipaksa saat peserta musyawarah tidak berada di tempat. Terutama peserta pendukung rival anda," papar beliau menambah penjelasan.

Ini aneh. Akhirnya saya jelaskan situasi pemilihan dan hasilnya. Saya katakan, beliau salah karena membandingkan hasil pemilihan dengan jumlah peserta. Musyawarah yang berlarut-larut membuat sebagian peserta tak betah jadi peserta. Musyawarah pemilihan ketua HMJ yang disebut Muhima itu memang panas.

Fakultas Adab masa itu terkenal sebagai kampus putih yang tak memberi apresiasi terhadap  organisasi ekstra kampus. Karena saya anggota HMI, dukungan juga datang anggota HMI di luar Fakultas Adab. Karena itu, forum "politik praktis" semisal Muhima itu tidak menarik bagi mahasiswa Adab, terutama mahasiswa BSA yang polos-putih bersih. Tetapi, hasil pemilihan itu sudah mengacu ke tata tertib pemilihan. Setelah sidang diskors beberapa kali, lalu pemilihan diputuskan untuk lanjut. Akhirnya saya memperoleh suara terbanyak. Itulah yang saya sampaikan kepada Pak Yuyu.

Setelah dua jam berdebat dengan beliau, akhirnya saya putuskan keluar dari ruangan beliau. sebenarnya tidak berdebat. Sayalah yang mendebat beliau. Beliau hanya melayani dengan tenang, sambil terus menyatakan pendapat saya itu lemah. Deadlock.

Menjelang keluar saya katakan, urusan ini saya serahkan kepada Steering Committe (SC). "Saya kira bapak salah. Mestinya saat ini Bapak memanggil Ketua SC. Karena sidang ini sepenuhnya tanggung jawab mereka," kata saya sambil memendam kesal.

"Boleh, silakan keluar dulu," kata beliau

Setelah peristiwa itu, urusan terpulang ke SC dan ketua HMJ sebelumnya. Saya tak tahu persis apa percakapan SC dengan beliau. Yang saya dengar, beliau masih bertahan dengan pendapat beliau semula. Saya belum menang. Hingga beberapa waktu kemudian saya kembali dipanggil ke ruangan beliau. Masih dengan tema yang sama.

"Apa alasan anda hingga berani menyatakan menang?" tanya beliau kembali. saya jawab dengan jawaban yang lama. Berita acara pemilihan. Hitam di atas putih bertabur tanda tangan pimpina sidang dan saksi-saksi, bergelanggang mata peserta sidang. Namun, pada pertemuan ini saya merasa agak panas, karena sepertinya beliau berkeinginan menganulir kemenangan saya.

Selama di ruangan itulah saya berdebat tentang organisasi, hakikat politik praktis, dinamika musyawarah pemilihan dan segala macam. Hingga kadang meluber ke masalah kapasitas individu dan integritas. Cukup alot dan panas. Saya sempat menantang adu kebenaran dengan argumen-argumen yang canggih. Di sini kepercayaan diri saya timbul. Saya merasa sudah mengeluarkan kemampuan terbaik saya.

Beberapa saat beliau terdiam. Beliau msepertinya melayani tantangan saya. Lalu beliau bercerita:

"Di kampuang, dulu ambo biaso juo batenju. Bahkan bisa berlama-lama. kalau perlu di bungkuihan nasi. Panek batenju, istirahat, maota-ota, makan dulu, sudah tu batenju baliak" kenang beliau sambil menyandar ke sandaran kursi dengan santai.

Saya juga terkenang hidup di kampung. Apa yang beliau katakan saya pahami sebagai layanan untuk bertarung. Artinya beliau siap melayani saya sampai kapanpun.

"Tapi kami kalau batenju itu sportif. Kalau sudah kalah, ya mengaku kalah. jan mangadu ka urang lain," beliau menlanjutkan ceritanya. Beliau juga ceritakan pertarungan beliau di organisasi terutama di KNPI. "Persoalan kita ini belum apa-apa," katanya.

"Kini kok ka berdebat juo kito, batananglah dulu. Bungkuih bagai lah nasi dulu," katanya.  Akhirnya beliau menyuruh saya keluar ruangan.

Singkat cerita, beberapa waktu kemudian saya kembali dipanggil. Saya sudah siapkan berbagai dokumen, berbagai argumen yang saya himpun dari senior dan kolega-kolega saya. sesampai di ruangan beliau saya sudah merasa siap lahir batin.

"Jadi, Nasir nio jadi ketua HMJ juo? tanya beliau memastikan.

Saya jawab iya. Tentu iya Pak.

"Apa yang membuat anda begitu keras untuk menjadi ketua HMJ? tanya beliau lagi.

Saya bertarung bukan untuk diri saya Pak. Saya diusulkan oleh teman-teman saya seangkatan dan saya dipilih oleh mereka," jawabku dengan semangat.

"Hmm...Bolehlah. Bagaimana kalau Beasiswa Supersemar diberikan saja kepada rival anda?" Beliau bertanya sambil menatap mata saya.

Deg! Jantung saya berdetak keras. Darah saya seperti menggumpal menuju jantung. Mengalir tidak seperti biasanya, tapi melompat membentuk pukulan. Beasiswa Supersemar sebagaimana adat semasa itu merupakan hak Ketua HMJ. Pertanyaan beliau membuat saya panas.

Dengan muka merah saya menjawab. Mungkin waktu itu ekspresi saya tidak menyenangkan. Tetapi saya lihat muka beliau biasa saja, seperti menikmati ekspresi saya.

"Pak, bagi saya Ketua HMJ itu tak penting. Namun, sekarang ini saya berjuang untuk amanah yang mereka pikulkan ke pundak saya. Lain daripada itu tidak. Bapak berikan saja beasiswa itu untuk rival saya. Bukan itu tujuan saya! Jawab saya berapi-api. Benarlah pula kata Rhoma Irama. Masa muda adalah masa yang berapi-api.

Dengan santai beliau menjawab:

"Okelah kalau begitu. Saya setuju anda jadi ketua HMJ. Beasiswa untuk rival anda," kata beliau dengan santai.

Setelah itu beliau berkata bahwa persoalan sudah selesai. Keesokan harinya, Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Adab dan Mantan ketua HMJ BSA menyampaikan bahwa saya disetujui Pak Yuyu sebagai Ketua HMJ BSA dengan catatan beasiswa Supersemar yang diperuntukkan Ketua HMJ BSA dibagi dua. Separo untuk saya dan separo untuk rival saya. Beasiswa itu dicairkan dalam dua termijn. Rival saya mendapat bagian di termijn pertama dan saya di termijn kedua. Catatan lainnya, rival saya harus dimasukkan dalam sebagai pengurus inti.

Saya merespon seadanya. "Mana baiknya sajalah ketua. Saya tak peduli urusan beasiswa itu," jawab saya.

Tibalah waktu pelantikan. Seusai pelantikan, beliau menggandeng saya ke ruangan beliau. Sambil berjalan kami bicara.

"Lai pandai manggaletang Nasir kironyo," kata beliau sambil tertawa kecil yang khas milik beliau.

"Ambo ndak malawan do pak. Ambo menyampaikan argumen ambo se nyo," jawab saya.

"Tapi, Nasir terlalu terburu-buru. Indak batanang menghadapi tantangan," kata beliau.

Sesampai di ruangan kami tak membicarakan lagi perdebatan-perdebatan yang baru saja berlalu. Beliau mengajak diskusi serta menyampaikan beberapa tawaran program yang dirasa baik untuk HMJ BSA. Di antaranya pembentukan klinik sastra yang kemudian berkembang menjadi studio sastra.

Selama menjadi ketua HMJ BSA bersama beliau saya berhasil melaksanakan acara Dialog Sastra Nasional (DSN) yang menghadirkan pembicara tingkat nasional. Di antaranya Akhudiat, KH D Zawawi Imron dan Taufik Ikram Jamil. Bersama beliau pula HMJ BSA bisa mengangkatkan acara Bedah Teater dari segala perspektif.    

Tentang beasiswa Supersemar di atas, kenyataannya, saya sama sekali tak mendapatkannya. Bersama rival saya itu saya membuat kesepakatan, silakan namanya diajukan sebagai penerima beasiswa. Beasiswa termijn  pertama kita sepakati untuk membeli karpet sekretariat HMJ, kipas angin besar dan makan bersama seluruh pengurus. realisasinya cuma selembar karpet warna biru. Beasiswa termijn kedua dibawa lenyap olehnya. Tak ada kabar. Untuk saya sendiri akhirnya ada pengganti. Kata Pak Yuyu, "uruslah syarat Beasiswa Departemen Agama. Ado untuk Nasir tu."

Point dan hikmah dari cerita ini baru saya sadari bertahun-tahun kemudian. Setelah saya lulus menjadi sarjana. Peristiwa-peristiwa perdebatan yang saya lalui bersama beliau saya pahami sebagai "fit and proper test" yang beliau lakukan terhadap saya. Untuk berjuang ternyata memang butuh kesabaran, ketenangan dan bekal yang cukup, bahkan untuk pertempuran berbulan-bulan.


Jurus Kedua dan Ketiga 

Jurus Kedua dan Ketiga tak akan ulas berpanjang-panjang. Nama jurusnya masih ketenangan. 

Jurus kedua saya dapatkan di kelas perkuliahan. Jurus ini beliau sampaikan dalam salah satu sesi kuliah Kritik Sastra (Naqd Adaby) dan sesi lain dalam mata kuliah Seni Islam (Funun Islamiyah).

Dalam mata kuliah Naqd Adaby beliau mengatakan, "membaca karya sastra itu harus pelan-pelan dan penuh perhatian. "Di dalam teks sastra itu ada fikrah (gagasan), athifah (emosi), khayal (imajinasi) dan uslub (gaya bahasa). Jadi hati-hati membacanya, agar tidak sehurufpun keindahan fikrah, athifah, khayal dan uslub yang dimuat teks itu terlewati," kata beliau.

Demikian pula dalam mata kuliah Funun Islamiyah. Kata beliau, dalam Islam, seni itu bukan semata untuk seni (al fann lil fan atau l'art pour art) atau sekadar kreatifitas belaka. Kata beliau seni itu ibarat pertukangan, kerajinan tangan, manufaktur. Beliau menyebutnya "صناعة".

Karena itu guna seni bukan untuk masa sesaat, tapi untuk jangka waktu yang lama dan untuk kalangan yang lebih luas. Seni yang baik bukan untuk kalangan terbatas. Karena itu, perlahan-lahan saja, karena yang akan dikerjakan itu diibaratkan sebuah lagu terkait dengan irama, tempo, melodi, dan harmoni. Itu ucapan lisan beliau yang masih saya ingat.    

Sedangkan jurus ketiga ada pada sebatang tubuh beliau. Perhatikanlah cara bicara beliau yang pelan dan tenang. untuk mendapatkan jurus itu saya harus mendengar tuturan beliau dengan telinga yang sabar. Perhatikan cara berjalan beliau yang juga tenang. Jangan khawatir beliau tak sampai, karena kaki beliau sudah dilangkahkan dengan niat. Hanya Allah SWT saja yang dapat mengentikan. Perhatikan juga, meski tak pernah membawa mobil sendiri kecuali hanya sepeda motor, gaya berjalan beliau yang pelan justru membawa beliau ke mana-mana saja bumi Allah ini.

Nah, untuk jurus ke dua dan ketiga ini saya harus banyak berlatih keras. Masih garosoh posoh saya ini.


Padang, 4 November 2020

No comments: