05 December 2020

Yang Berbahagia Guru Jani

Yang Berbahagia Guru Jani 

Cerpen Muhammad Nasir

 

Bagi guru Jani, memancing adalah pekerjaan ekslusif yang tak disukai sebagian orang. Terutama orang-orang terdekatnya. Padahal, sebagaimana sebutannya pekerjaan guru yang disandangnya juga tak disukai oleh orang-orang tertentu. Yaitu orang-orang tertentu di sekitar kerabatnya juga. Nantilah alasannya kita jelaskan.

Tak ada yang tahu nama aslinya. Menurut Lelek, juru parkir Pasar Gaung, orang-orang sudah memanggilnya begitu sejak tiga tahun yang lalu. Sejak ia menjadi juru parkir di pasar itu. Dia pun tahu nama orang itu Guru Jani karena para pemancing yang kerap mampir membeli umpan atau perangkat memancing mengenali sepeda motornya.

“Sudah tiba Guru Jani rupanya,” kata seorang pemancing.

“Mana?” tanya pemancing lain  

“Itu, sepeda motornya,” jawab orang yang pertama tadi.

Lelek, juru parkir itu menguping dengan jelas percakapan dua orang tersebut. Awalnya ia tidak peduli. Namun seiring jalannya waktu, sejalan dengan kusamnya rompi juru parkir oren yang dipakainya, ia jadi hafal wajah Guru Jani. Hafal juga kendaraan sekaligus plat nomornya. Apalagi plat nomor itu sepertinya sudah mati pajak.

Di belakang Pasar Gaung ada pagar tembok bolong. Pagar itu dibuat dari batako yang diplester semen ala kadarnya. Sejak suatu masa yang entah kapan, tembok itu berlobang. Lelek sang juru parkir ikut andil menambah besar lobang itu. Karena batakonya terbuat dari bahan yang rapuh, Lelek tanpa sengaja sering mengupil-upil lobang itu dan meremas-remas pecahan batako itu menjadi serpihan pasir. Saya sering ingatkan Lelek agar jangan terus mengupil tembok itu.  

“Begitulah nasib kita. Seperti pecahan batako yang rapuh dan mudah diremas menjadi pasir, guru” kata Lelek berfilsafat. Ia juga memanggilku dengan sebutan guru.

Akhirnya Lelek sang juru parkir itu berteman dengan Guru Jani. Pertemanan mereka sangat erat. Bila tak bersua, mereka saling merindu. Bila berjumpa mereka mengopi sambil tertawa-tawa. Setidaknya itulah yang aku lihat. Guru Jani terlihat bahagia. Lelek pun terlihat gembira. Kedua laki-laki paruh baya itu benar-benar berteman melebih saudara.

Sebagian besar informasi tentang Guru Jani memang aku dapatkan dari Lelek. Pria perantauan asal Jawa yang hidup menduda. Lalu apa pula pentingnya Guru Jani itu kita ceritakan?

Begini saudara. Guru Jani benar-benar seorang guru. Hidupnya memang ditopang dengan gaji yang diberikan oleh sekolah tempat ia mengajar.

Eh, mengapa dari sekolah? Tidak dari Pemerintah? Ah, jangan pura-pura bego begitulah sahabat. Jika bukan guru honor, pastilah ia guru di sekolah swasta. Jelaslah ia digaji oleh sekolah.

Melihat penampilannya sehari-hari, gajinya pasti tidak besar. Mukanya terlihat lelah dan matanya acap terlihat merah. Boleh dikata mukanya terlihat lebih tua dari usianya. Begitu juga sepeda motornya. Berdasarkan informasi dari internet, kendaraannya itu keluaran tahun 1984. Ia beli tahun 1996 secara kontan. Tentu saja setelah melewati tangan ke sekian. Kata Lelek juru Parkir yang juga pernah main ke rumah Guru Jani, hanya itulah sastu-satunya kendaraan yang ia punya.

***

Hampir satu tahun aku tak ikut memancing di spot belakang pasar itu. Belakangan, spot mancing yang berdekatan dengan pelabuhan Teluk Bayur itu terlihat sibuk. Truk-truk besar pengangkut material bangunan lalu lalang saban waktu. Suasana memancing agak terganggu. Di antara mandor dan pengawas proyek ada yang over acting. Melarang ini dan itu, sehingga di antara penghobi mancing ada yang merasa tak nyaman.

Ada juga di antara buruh itu yang ikut nimbrung. Duduk bersama-sama para pemancing saat rehat dari pekerjaannya. Ada yang hobi bercerita. Ada yang hobi menanya-nanya, lalu mengutip sebatang rokok.

"Kok stang ndan!" katanya

Yang paling menyebalkan, ada yang suka mendikte, mengajar cara memancing yang baik dan menganjur umpan yang cocok untuk memancing di pantai yang landai. Sementara ia sepertinya sama sekali tak hobi mancing.

Karena alasan-alasan di atas, aku memutuskan tak akan memancing sementara waktu di lokasi itu. Aku pindah ke lokasi yang lain. Menurut Lelek, Guru Jani juga hampir setahun tak memancing di situ. Tetapi, selama waktu itu, ia tetap berkunjung ke pondok kecil tempat Lelek duduk-duduk.

“Guru Jani masih sering ke sini. Hampir setiap hari,” kata Lelek kepadaku.

Katanya, Guru Jani memang jarang memancing selama setahun itu. Ia tetap membawa joran. Tetapi waktunya habis bermain domino di kedai kopi, dekat lokasi parkir Pasar Gaung.

“Sore datang ke sini. Nanti, habis maghrib dia batru pulang ke rumahnya,” terang Lelek. Kadang-kadang, bila hari libur, Guru Jani biasa nongkrong di pasar dari pagi sampai sore.

Hari itu, nasib baik aku bertemu Guru Jani. Kami memancing di lokasi yang dulu. Sekarang tempatnya terlihat bersih. Sampah mulai jarang terlihat. Biasanya, lokasi ini penuh sampah. Kalau tidak sampah plastik, ya pembalut bekas.

Kali ini wajah Guru Jani terlihat cerah. Kulitnya sedikit berwarna dan bersih. Makanya saya bertanya sambil bersoloroh.

“Hari ini Pak Guru terlihat ganteng,” kataku membuka percakapan.

Guru Jani terkekeh-kekeh. Ia tak segera memberi jawaban. Sambil menyimpul kail ia terlihat berpikir-pikir. Jawaban seperti apa yang mesti ia berikan. Akhirnya setelah selesai mengikat mata kail dan menggigit ujung benang yang terjulur di pangkalnya, ia menjawab juga.

“Hehe… iya. Akhir-akhir ini saya memang bahagia,” jawabnya gembira.

“Apa Pak Guru masih mengajar?” tanyaku

“Masih. Insya Allah sampai dua tahun ke depan saya akan tetap mengajar. Kalau masih hidup!” jawabnya santai.

“Mengapa dua tahun lagi?” tanyaku kembali

“Begitulah perjanjian kami.” jawabnya

“Kami?”

“Ya, aku dan anak perempuanku,” terang Guru Jani seraya melontar kail yang sudah terpasang umpan ke punggung ombak yang kembali ke tengah.

Guru Jani lalu bercerita panjang. Hidupnya sudah mulai senang dan tenang. Tahun ini merupakan tahun penuh bunga. Bunga-bunga di tamannya sudah mulai mekar. Belasan kumbang sudah sering datang ke taman rumahnya yang kusam. Dua ekor kumbang sepertinya beruntung besar. 

“Putri kembarku sekarang sudah berumah tangga. Mereka mendapatkan suami yang baik dan berpunya,” kata Guru Jani

“Wah, selamat Pak Guru,” kataku ikut bahagia. Meskipun aku sama sekali tak mengenal putri kembarnya, ada terselip rasa bahagia. Bukan karena putri kembarnya yang sudah berumah tangga aku bahagia. Tapi karena kebahagiaan yang terpancar di muka Guru Jani itu.

Terus terang, selama mengenal Guru Jani, aku menaruh rasa iba kepadanya. Terutama bila ia bercerita tentang keadaan hidupnya. Tentang rumah dan lingkungannya yang gaduh. Katanya ia tinggal kawasan padat di seberang Padang. Tinggal di rumah pusaka istrinya. Karena rumah itu rumah pusaka, kerabat-kerabat istrinya sering singgah di rumah itu. Bahkan hingga berlama-lama. Kadang-kadang rumah itu juga ramai karena pertengkaran sesama anggota keluarga. Ia bercerita apa adanya. Tak ada keluhan dan tak ada penyesalan. Keadaan inilah yang membawanya menjadi pemancing. Mengulur-ulur benang di atas gelombang. Nasib baik bila umpan disambar ikan.

“Lebih baik pergi memancing. Daripada mendengar omelan orang tentang dapur yang tiris atau lantai yang retak. Apalah daya guru honor, tamat SPG, tak sanggup kita memperbaikinya,” kenang Guru Jani terkekeh-kekeh.

“Apalagi bila melihat putri kembarku. Sejak tamat kuliah, hatiku selalu berdebar-debar. Tidak semata memikirkan calon suaminya, tapi tentang biaya perhelatan mereka andai jodohnya tiba.” Guru Jani kembali memasang umpan dan melontarkannya melampaui gulungan ombak petang.    

“Memancing saja kerja bapakmu. Tak terpikir kacang sudah minta junjung,” kata Guru Jani entah pada siapa. Tetapi sepertinya ia sedang mengulang-ulang kata-kata orang.

Jadi, memanglah bagi Guru Jani, kegiatan memancing ini menjadi pelarian. Di rumah istrinya ia hanya mampu menebalkan muka dan memekak-mekakkan telinga. Begitu pengakuannya.

“Ya, begitulah jika tinggal di rumah pusaka,“ kata Guru Jani tanpa beban.     

Guru Jani mengeluarkan telepon genggam dari kantong celananya. Setelah memainkan papan ketik beberapa saat, ia menunjukkan beberapa foto.

“Cantik sekali…” kataku bergumam, setengah sadar, tapi lillahi ta’ala, gumamku itu sangat tulus.

Guru Jani melirikku. Lalu kami tertawa bersama-sama.

“Hahaha…hahaha…!”

“Mereka sudah bersuami sekarang,” kata Guru Jani lirih. Ia bercerita, kedua putri kembarnya itu sama-sama berprofesi sebagai guru. Yang satu yang dipanggil Adek sudah PNS yang satu lagi si Kakak belum. Tetapi si kakak juga sudah mengajar. Namun suami mereka sama-sama PNS. Salah seorang menantunya itu adalah bekas muridnya. Mereka bertemu saat pelatihan pra jabatan. Bekas muridnya itu lalu melamar putrinya yang PNS. Lalu putrinya yang PNS itu mengajukan persyaratan, dia bersedia menerima lamaran, jika pria itu mau mencarikan calon suami untuk kakaknya. Deal, tak beberapa lama lelaki itu membawa temannya yang juga guru PNS untuk calon suami kakak kembarnya.

“Mereka itu gadis-gadis yang malang. Tak tersentuh bedak dan lipstik. Bahkan baju-baju mereka tak beberapa kali terganti olehku. Kusam dan tak menarik. Untunglah mereka anak-anak yang baik dan tak banyak pinta,” tutur Guru Jani.

“Ajaibnya, begitu memakai baju seragam guru yang sejatinya sederhana, aura kecantikan mereka keluar. Itulah kegembiraan pertama yang kurasakan.” Mata Guru Jani terlihat berbinar-binar. Bertingkah dengan kemilau ombak yang ditimpa lembayung sore.

“Ya, sekarang saya paham, mengapa Pak Guru begitu bahagia,” timpalku.

“Yaa, begitulah. Nasib baik memang membayang ke muka. Aku sendiri merasakannya,” kata Guru Jani. Seekor belanak jantan melayang di atas air. Sambarannya menggetarkan ujung joran Guru Jani. Sejenak Guru Jani menikmati sesansi yang tak dapat dibeli itu. Selepas lontaran umpan kesekian, Guru Jani kembali bicara.

“Sayang sekali. Kedua menantuku itu tak suka memancing!” katanya datar. Tapi bibirnya kulihat mengulum senyum. Saya merasa ada sesuatu yang ganjil sedang menyudu-nyudu hatiku. Sampai akhirnya ia menoleh ke arahku. Matanya mengembang dan senyumnya mengembang lebar. 

“Hahaha…hahaha..!”

Kami kembali tertawa lepas bersama-sama, dan entah siapa yang memulai, akhirnya… “Tosssss…!” kami saling pelontar tepukan hangat di udara senja.

“Kalera!” ujarnya pelan setelah tawanya mereda.

Ternyata  apa yang dikatakan Lelek waktu itu, sungguh benar adanya.  Senja itu, Guru Jani pulang dengan hati lega.

***

Pasa Gauang, 2012 (edit, 2020)



No comments: