31 December 2020

Happy Ending

Happy Ending

Cerpen Muhammad Nasir


Sejak tiga tahun terakhir, libur di rumah nenek terasa panas. meskipun udara di kampung sangat-sangat dingin. Suasana mestinya hangat, sebab kawa daun buatan nenek yang kerap menjadi buah mimpi bilamana sampai di kampung biasanya dapat menjadi penghangat pagi yang basah embun.

Tahun ini ayah ingin cepat-cepat balik ke Medan. Sepertinya beliau tidak betah. Selama di rumah nenek, ayah hanya berdiam diri di kamar. Alasannya, udara sangat dingin. Bahkan ayah kulihat sering minta agar makanan atau kopi dibawa ke kamar saja. Jika terpaksa ke luar kamar, ayah hanya menggunakan sarung. Kadang seperti sengaja beliau membalut tubuhnya dengan baju hangat dan berlagak seperti orang kedinginan.

"Ayolah, selesaikan segala temu ramah. Yang penting-penting saja. Setelah itu berkemaslah. Besok pagi kita balik ke Medan," kata Ayah. 

Kami semua terdiam. Padahal itu baru hari ketiga. Kami belum selesai mengunjungi tempat-tempat indah yang diciptakan tuhan untuk desa ini. Belum sempat pula selfie-selfie.

15 December 2020

Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah

Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah

Muhammad Nasir 


1.    Pengertian

Pepatah Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) dewasa ini sudah dikenal sebagai formulasi falsafah adat Minangkabau. Bahkan dalam konteks wilayah administrasi Propinsi Sumatera Barat di mana etnis Minangkabau sebagai penduduk mayoritas yang menghuninya, ABS-SBK juga diklaim sebagai milik kolektif masyarakat Minangkabau dan dituangkan sebagai salah satu konsideran produk hukumnya. Salah satu dasar penggunaan falsafah ini adalah adanya kesadaran masyarakat bahwa masyarakat Minangkabau atau masyarakat Minangkabau adalah pemeluk agama Islam dan hukum agama Islam mendapatkan tempat cukup baik dalam tatanan kehidupan masyarakatnya.

Jika ditelusuri lebih jauh, penggunaan pepatah ABS-SBK ini tidak hanya berlaku di Minangkabau atau Sumatera Barat saja. Bersama masyarakat Minangkabau, masyarakat Jambi dan Riau juga mengklaim bahwa hukum adat mereka didasarkan pada hukum agama (syarak); dan Syarak didasarkan pada Kitab Suci, Al-Qur'an. Di Propinsi Jambi yang beradat patrilineal pepatah ini juga ditemukan. Dalam langgam Melayu Jambi ditulis dengan Adat Bersendi Syarak-Syarak Bersendi Kitabullah. Sebagai contoh, dalam konsideran Peraturan Daerah Propinsi Jambi nomor 2 tahun 2014 tentang Lembaga Adat melayu Jambi tertulis:

bahwa Adat Melayu Jambi merupakan sistem pandangan hidup masyarakat Jambi yang kokoh seperti tersirat dalam seloko; Titian teras betanggo batu, cermin yang tidak kabur, lantak nan tidak goyah, dak lapuk dek hujan dak lekang dek panas, kato nan saiyo, adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato, adat memakai[2]   

 

Demikian juga halnya di Propinsi Kepulauan Riau. Sekadar menunjukkan pepatah yang sama, di dalam konsideran Peraturan Daerah Propinsi Kepulauan Riau Nomor 1 tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau;

bahwa adat istiadat dan Lembaga Adat Melayu Kepulauan Riau yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adalah adat yang bersendikan syara' dan syara' bersendikan Kitabullah perlu dibina dan dikembangkan secara nyata dan dinamis sehingga dapat didayagunakan untuk menunjang kelancaran kegiatan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta memperkuat ketahanan nasional.[3]

 

Kesesuaian antara Adat Minangkabau dengan Islam

Muhammad Nasir

Proses Islamisasi di Minangkabau mencakup wilayah Sumatera Barat, sebagian Riau, Bengkulu, Jambi, sebagian Sumatera Utara, dan sebagian Aceh– terjadi pada kurun masa yang sangat panjang. Banyak bukti yang menjelaskan keberadaan ajaran tersebut. Namun mengenai kapan dan dari mana pertama kali ajaran tersebut masuk, para ahli masih berupaya merekonstruksi peristiwa yang sifatnya monumental dan waktu pertama kali kedatangannya. Kebanyakan karya historiografi yang membahas sejarah Islam Minangkabau belum memberikan kerangka konseptual yang pas tentang proses menjadi Islamnya penduduk Minangkabau. karena itu perlu pembedaan antara konsep atau istilah “masuknya Islam”, “kedatangan Islam” dan “Islamisasi”.

Berkenaan dengan soal “masuknya Islam” atau “kedatangan Islam” sumber sejarah terpenting yang digunakan para penulis sejarah Minangkabau adalah sumber-sumber China, Persia, dan Arab khususnya. Jika merujuk sumber-sumber ini, akan ditemukan informasi bahwa kedatangan Islam di Minangkabau telah terjadi sejak masa awal penyebaran Islam dari Arabia, tepatnya pada abad 7 dan 8 M. Informasi ini di antaranya dapat dibaca pada karya penulis asal Minangkabau seperti HAMKA dan MD. Mansoer.[1] HAMKA sebagai contoh menyebutkan Islam sudah hadir di Minangkabau (Sumatera Barat) sejak abad ke-7 M. Ia menulis:

Dan dalam suatu almanak Tiongkok tersebut bahwa pada tahun 674 Masehi sudah didapai satu kelompok masyarakat Arab di Sumatera Barat. Kalau diingat bahwa Nabi Muhammad SAW wafat pada 632 Masehi, nyatalah bahwa pada tahun 52 Hijrah, 42 tahun setelah Nabi wafat orang Arab telah mempunyai perkampungan di Sumatera Barat. Mungkin kata-kata Pariaman berasal dari pada bahasa Arab "Bari Aman" (tanah daratan yang aman sentosa).[2]

 

Sementara, M.D. Mansoer Minangkabau Timur produsen dan penjalur lada terbesar di Pesisir Barat Selat Sumatera sedjak abad ke-6. 

Karena itulah istilah yang lebih tepat digunakan adalah ‘Islamisasi’ yang mengisyaratkan proses perpindahan agama seseorang ke dalam Islam; atau proses intensifikasi keislaman seseorang atau kelompok Muslim. Dengan begitu, Islamisasi adalah proses yang terus berlanjut sejak terjadinya konversi seseorang atau kelompok ke dalam Islam, melintasi waktu dan generasi Muslim sampai sekarang ini dan terus melangkah ke masa depan.

Tetapi ‘Islamisasi’ di Pagaruyung atau Dharmasraya atau di Nusantara secara keseluruhan—meminjam teori A.D. Nock—bukan ‘konversi’. Dalam konversi orang berpindah agama secara drastis; memeluk agama baru dengan meninggalkan sama sekali agama lama.

Sebaliknya, proses yang terjadi adalah ‘adhesi’, yaitu orang berpindah ke agama baru, tetapi menerapkan ajaran agama secara bertahap atau berangsur-angsur. Karena itu, dalam proses adhesi, terutama di masa awal, terjadi sinkretisme agama. Namun, dalam perkembangannya, karena adanya pembaruan dan pemurnian agama, sinkretisme kian menghilang, sehingga kepercayaan dan praktek Islam semakin mendekat ke ortodoksi Islam.

Untuk melihat kesesuaian Adat Minangkabau dapat diawali dengan mencermati mengapa orang Minangkabau begitu mudah menerima agama Islam. M. Sanusi Latief (1988) menulis beberapa faktor yang memudahkan penyebaran Islam di Minangkabau, yaitu perdagangan, adat Minangkabau, Ajaran Islam yang menghormati adat istiadat, kesesuaian ajaran Islam dengan prinsip adat dan penyiaran Islam secara persuasif.[3] Kelima faktor tersebut akan diuraikan dengan memberikan opini pembanding dari sumber-sumber yang lain.

a.      Perdagangan

Kehadiran pedagang Minangkabau dalam perdagangan antar negara di pantai timur Sumatera membuat mereka bergaul akrab dengan pedagang muslim dari Arab, Persia dan lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pengenalan islam ke wilayah darek Minangkabau dilakukan oleh para pedagang asal Minangkabau sendiri. Dengan demikian pengenalan Islam dapat dilakukan dengan cara damai dan kekeluargaan dengan aktor islamisasinya adalah pedagang pribumi Minangkabau itu sendiri.

b.      Adat Minangkabau

Saat ajaran Islam di Minangkabau, para penyebar agama Islam hanya menemukan pengaruh adat yang kuat, dan tidak ditemukan rintangan dari penganut agama Budha dan Hindu. Dapat dikatakan bahwa agama masyarakat Minangkabau yang sebenarnya adalah adat mereka sendiri dan dapat diduga bahwa masyarakat Minangkabau bukanlah penganut ajaran Budha dan Hindu yang taat.

c.     Ajaran Islam

Ajaran Islam menghormati adat-istiadat selama tidak melanggar prinsip-prinsip ajaran agama Islam. Hal Ini membuat ajaran Islam akrab dengan adat Minangkabau. Selain itu, ajaran Islam dianggap cocok dengan adat Minangkabau, di antaranya ajaran Islam yang demokratis yang mengajarkan musyawarah dan mufakat, agama Islam tidak mengenal kasta dalam masyarakat serta mengahargai wanita sebagaimana adat Minangkabau menghargai wanita sebagai unsur penting kebudayaan Matrilineal

d.    Penyiaran Islam yang persuasif dan natural

Penyiaran Islam ke masyarakat adat dilakukan secara persuasif melalui aktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Selain itu, penyiaran Islam dilaksakan natural, mengikuti alur kehidupan masyarakat Minangkabau itu sendiri.



[1] Contoh karya yang menyebutkan adanya Islam di Minangkabau adalah karya M.D. Mansoer dkk., Loc.cit. HAMKA, Op.cit.

[2] HAMKA, Ayahku, Riwayat Hidup Dr. Abdul Karim Amrullah dan Perjuangan Kaum Agama di Sumatra, ed. ke-4 Jakarta: Umminda, 1982, hlm. 4

[3] M Sanusi Latief, Op.cit., hlm.47-48

11 December 2020

ISLAM, ADAT DAN MODERNITAS

 KONFLIK SEGITIGA: ISLAM, ADAT DAN MODERNITAS

Oleh Muhammad Nasir

 

  

Perubahan dalam kebudayaan merupakan sebuah kemestian. Oleh sebab itu tidak ada kebudayaan manapun di dunia yang tidak mengalami perubahan, karena manusia sebagai pencipta dan pelaku kebudayaan itu hidup dalam zaman yang berubah, berbeda dari waktu-ke waktu yang membuat manusia harus menyesuaikan semua sistem dalam kebudayaan itu dengan keadaan zaman. Demikian juga dengan kebudayaan Minangkabau.

Beberapa perubahan budaya ini termasuk juga perubahan dalam lingkungan, lembaga, perilaku dan juga hubungan sosial. Selain itu, perubahan budaya juga bisa mengacu pada gagasan untuk sebuah kemajuan sosial dan juga evolusi sosial dan budaya.

Perubahan budaya sendiri biasanya dapat berlangsung dengan sangat cepat atau pun lambat dan umumnya sangat tidak bisa disadari oleh masyarakat dalam sebuah negara. Karena hanya beberapa orang yang mengetahuinya ketika orang tersebut mulai membandingkan kehidupan sosial di masa lalu dan masa saat ini. Perubahan budaya dalam kehidupan masyarakat biasanya dapat terjadi  karena, 1) masyarakat itu sendiri menginginkan sebuah perubahan (faktor internal) dan 2) bisa juga akibat munculnya desakan dari kebudayaan atau unsur-unsur dari luar kebudayaan itu sendiri. Sepertinya, dalam kebudayaan Minangkabau kedua faktor ini berjalan bersamaan dan merupakan sebuah pola interaksi yang ketat sepanjang masa.

Berikut akan dipaparkan bagaimana konflik antara Islam, adat dan modernitas di Minangkabau yang pada akhirnya terbentuk (terintegrasinya) unsur luar (agama dan modernitas) dalam kebudayaan Minangkabau.

 

05 December 2020

Yang Berbahagia Guru Jani

Yang Berbahagia Guru Jani 

Cerpen Muhammad Nasir

 

Bagi guru Jani, memancing adalah pekerjaan ekslusif yang tak disukai sebagian orang. Terutama orang-orang terdekatnya. Padahal, sebagaimana sebutannya pekerjaan guru yang disandangnya juga tak disukai oleh orang-orang tertentu. Yaitu orang-orang tertentu di sekitar kerabatnya juga. Nantilah alasannya kita jelaskan.

Tak ada yang tahu nama aslinya. Menurut Lelek, juru parkir Pasar Gaung, orang-orang sudah memanggilnya begitu sejak tiga tahun yang lalu. Sejak ia menjadi juru parkir di pasar itu. Dia pun tahu nama orang itu Guru Jani karena para pemancing yang kerap mampir membeli umpan atau perangkat memancing mengenali sepeda motornya.

“Sudah tiba Guru Jani rupanya,” kata seorang pemancing.

“Mana?” tanya pemancing lain  

“Itu, sepeda motornya,” jawab orang yang pertama tadi.

Lelek, juru parkir itu menguping dengan jelas percakapan dua orang tersebut. Awalnya ia tidak peduli. Namun seiring jalannya waktu, sejalan dengan kusamnya rompi juru parkir oren yang dipakainya, ia jadi hafal wajah Guru Jani. Hafal juga kendaraan sekaligus plat nomornya. Apalagi plat nomor itu sepertinya sudah mati pajak.

Di belakang Pasar Gaung ada pagar tembok bolong. Pagar itu dibuat dari batako yang diplester semen ala kadarnya. Sejak suatu masa yang entah kapan, tembok itu berlobang. Lelek sang juru parkir ikut andil menambah besar lobang itu. Karena batakonya terbuat dari bahan yang rapuh, Lelek tanpa sengaja sering mengupil-upil lobang itu dan meremas-remas pecahan batako itu menjadi serpihan pasir. Saya sering ingatkan Lelek agar jangan terus mengupil tembok itu.  

“Begitulah nasib kita. Seperti pecahan batako yang rapuh dan mudah diremas menjadi pasir, guru” kata Lelek berfilsafat. Ia juga memanggilku dengan sebutan guru.

Akhirnya Lelek sang juru parkir itu berteman dengan Guru Jani. Pertemanan mereka sangat erat. Bila tak bersua, mereka saling merindu. Bila berjumpa mereka mengopi sambil tertawa-tawa. Setidaknya itulah yang aku lihat. Guru Jani terlihat bahagia. Lelek pun terlihat gembira. Kedua laki-laki paruh baya itu benar-benar berteman melebih saudara.

Sebagian besar informasi tentang Guru Jani memang aku dapatkan dari Lelek. Pria perantauan asal Jawa yang hidup menduda. Lalu apa pula pentingnya Guru Jani itu kita ceritakan?

Begini saudara. Guru Jani benar-benar seorang guru. Hidupnya memang ditopang dengan gaji yang diberikan oleh sekolah tempat ia mengajar.

Eh, mengapa dari sekolah? Tidak dari Pemerintah? Ah, jangan pura-pura bego begitulah sahabat. Jika bukan guru honor, pastilah ia guru di sekolah swasta. Jelaslah ia digaji oleh sekolah.

Melihat penampilannya sehari-hari, gajinya pasti tidak besar. Mukanya terlihat lelah dan matanya acap terlihat merah. Boleh dikata mukanya terlihat lebih tua dari usianya. Begitu juga sepeda motornya. Berdasarkan informasi dari internet, kendaraannya itu keluaran tahun 1984. Ia beli tahun 1996 secara kontan. Tentu saja setelah melewati tangan ke sekian. Kata Lelek juru Parkir yang juga pernah main ke rumah Guru Jani, hanya itulah sastu-satunya kendaraan yang ia punya.

***

Hampir satu tahun aku tak ikut memancing di spot belakang pasar itu. Belakangan, spot mancing yang berdekatan dengan pelabuhan Teluk Bayur itu terlihat sibuk. Truk-truk besar pengangkut material bangunan lalu lalang saban waktu. Suasana memancing agak terganggu. Di antara mandor dan pengawas proyek ada yang over acting. Melarang ini dan itu, sehingga di antara penghobi mancing ada yang merasa tak nyaman.

Ada juga di antara buruh itu yang ikut nimbrung. Duduk bersama-sama para pemancing saat rehat dari pekerjaannya. Ada yang hobi bercerita. Ada yang hobi menanya-nanya, lalu mengutip sebatang rokok.

"Kok stang ndan!" katanya

Yang paling menyebalkan, ada yang suka mendikte, mengajar cara memancing yang baik dan menganjur umpan yang cocok untuk memancing di pantai yang landai. Sementara ia sepertinya sama sekali tak hobi mancing.

Karena alasan-alasan di atas, aku memutuskan tak akan memancing sementara waktu di lokasi itu. Aku pindah ke lokasi yang lain. Menurut Lelek, Guru Jani juga hampir setahun tak memancing di situ. Tetapi, selama waktu itu, ia tetap berkunjung ke pondok kecil tempat Lelek duduk-duduk.

“Guru Jani masih sering ke sini. Hampir setiap hari,” kata Lelek kepadaku.

Katanya, Guru Jani memang jarang memancing selama setahun itu. Ia tetap membawa joran. Tetapi waktunya habis bermain domino di kedai kopi, dekat lokasi parkir Pasar Gaung.

“Sore datang ke sini. Nanti, habis maghrib dia batru pulang ke rumahnya,” terang Lelek. Kadang-kadang, bila hari libur, Guru Jani biasa nongkrong di pasar dari pagi sampai sore.

Hari itu, nasib baik aku bertemu Guru Jani. Kami memancing di lokasi yang dulu. Sekarang tempatnya terlihat bersih. Sampah mulai jarang terlihat. Biasanya, lokasi ini penuh sampah. Kalau tidak sampah plastik, ya pembalut bekas.

Kali ini wajah Guru Jani terlihat cerah. Kulitnya sedikit berwarna dan bersih. Makanya saya bertanya sambil bersoloroh.

“Hari ini Pak Guru terlihat ganteng,” kataku membuka percakapan.

Guru Jani terkekeh-kekeh. Ia tak segera memberi jawaban. Sambil menyimpul kail ia terlihat berpikir-pikir. Jawaban seperti apa yang mesti ia berikan. Akhirnya setelah selesai mengikat mata kail dan menggigit ujung benang yang terjulur di pangkalnya, ia menjawab juga.

“Hehe… iya. Akhir-akhir ini saya memang bahagia,” jawabnya gembira.

“Apa Pak Guru masih mengajar?” tanyaku

“Masih. Insya Allah sampai dua tahun ke depan saya akan tetap mengajar. Kalau masih hidup!” jawabnya santai.

“Mengapa dua tahun lagi?” tanyaku kembali

“Begitulah perjanjian kami.” jawabnya

“Kami?”

“Ya, aku dan anak perempuanku,” terang Guru Jani seraya melontar kail yang sudah terpasang umpan ke punggung ombak yang kembali ke tengah.

Guru Jani lalu bercerita panjang. Hidupnya sudah mulai senang dan tenang. Tahun ini merupakan tahun penuh bunga. Bunga-bunga di tamannya sudah mulai mekar. Belasan kumbang sudah sering datang ke taman rumahnya yang kusam. Dua ekor kumbang sepertinya beruntung besar. 

“Putri kembarku sekarang sudah berumah tangga. Mereka mendapatkan suami yang baik dan berpunya,” kata Guru Jani

“Wah, selamat Pak Guru,” kataku ikut bahagia. Meskipun aku sama sekali tak mengenal putri kembarnya, ada terselip rasa bahagia. Bukan karena putri kembarnya yang sudah berumah tangga aku bahagia. Tapi karena kebahagiaan yang terpancar di muka Guru Jani itu.

Terus terang, selama mengenal Guru Jani, aku menaruh rasa iba kepadanya. Terutama bila ia bercerita tentang keadaan hidupnya. Tentang rumah dan lingkungannya yang gaduh. Katanya ia tinggal kawasan padat di seberang Padang. Tinggal di rumah pusaka istrinya. Karena rumah itu rumah pusaka, kerabat-kerabat istrinya sering singgah di rumah itu. Bahkan hingga berlama-lama. Kadang-kadang rumah itu juga ramai karena pertengkaran sesama anggota keluarga. Ia bercerita apa adanya. Tak ada keluhan dan tak ada penyesalan. Keadaan inilah yang membawanya menjadi pemancing. Mengulur-ulur benang di atas gelombang. Nasib baik bila umpan disambar ikan.

“Lebih baik pergi memancing. Daripada mendengar omelan orang tentang dapur yang tiris atau lantai yang retak. Apalah daya guru honor, tamat SPG, tak sanggup kita memperbaikinya,” kenang Guru Jani terkekeh-kekeh.

“Apalagi bila melihat putri kembarku. Sejak tamat kuliah, hatiku selalu berdebar-debar. Tidak semata memikirkan calon suaminya, tapi tentang biaya perhelatan mereka andai jodohnya tiba.” Guru Jani kembali memasang umpan dan melontarkannya melampaui gulungan ombak petang.    

“Memancing saja kerja bapakmu. Tak terpikir kacang sudah minta junjung,” kata Guru Jani entah pada siapa. Tetapi sepertinya ia sedang mengulang-ulang kata-kata orang.

Jadi, memanglah bagi Guru Jani, kegiatan memancing ini menjadi pelarian. Di rumah istrinya ia hanya mampu menebalkan muka dan memekak-mekakkan telinga. Begitu pengakuannya.

“Ya, begitulah jika tinggal di rumah pusaka,“ kata Guru Jani tanpa beban.     

Guru Jani mengeluarkan telepon genggam dari kantong celananya. Setelah memainkan papan ketik beberapa saat, ia menunjukkan beberapa foto.

“Cantik sekali…” kataku bergumam, setengah sadar, tapi lillahi ta’ala, gumamku itu sangat tulus.

Guru Jani melirikku. Lalu kami tertawa bersama-sama.

“Hahaha…hahaha…!”

“Mereka sudah bersuami sekarang,” kata Guru Jani lirih. Ia bercerita, kedua putri kembarnya itu sama-sama berprofesi sebagai guru. Yang satu yang dipanggil Adek sudah PNS yang satu lagi si Kakak belum. Tetapi si kakak juga sudah mengajar. Namun suami mereka sama-sama PNS. Salah seorang menantunya itu adalah bekas muridnya. Mereka bertemu saat pelatihan pra jabatan. Bekas muridnya itu lalu melamar putrinya yang PNS. Lalu putrinya yang PNS itu mengajukan persyaratan, dia bersedia menerima lamaran, jika pria itu mau mencarikan calon suami untuk kakaknya. Deal, tak beberapa lama lelaki itu membawa temannya yang juga guru PNS untuk calon suami kakak kembarnya.

“Mereka itu gadis-gadis yang malang. Tak tersentuh bedak dan lipstik. Bahkan baju-baju mereka tak beberapa kali terganti olehku. Kusam dan tak menarik. Untunglah mereka anak-anak yang baik dan tak banyak pinta,” tutur Guru Jani.

“Ajaibnya, begitu memakai baju seragam guru yang sejatinya sederhana, aura kecantikan mereka keluar. Itulah kegembiraan pertama yang kurasakan.” Mata Guru Jani terlihat berbinar-binar. Bertingkah dengan kemilau ombak yang ditimpa lembayung sore.

“Ya, sekarang saya paham, mengapa Pak Guru begitu bahagia,” timpalku.

“Yaa, begitulah. Nasib baik memang membayang ke muka. Aku sendiri merasakannya,” kata Guru Jani. Seekor belanak jantan melayang di atas air. Sambarannya menggetarkan ujung joran Guru Jani. Sejenak Guru Jani menikmati sesansi yang tak dapat dibeli itu. Selepas lontaran umpan kesekian, Guru Jani kembali bicara.

“Sayang sekali. Kedua menantuku itu tak suka memancing!” katanya datar. Tapi bibirnya kulihat mengulum senyum. Saya merasa ada sesuatu yang ganjil sedang menyudu-nyudu hatiku. Sampai akhirnya ia menoleh ke arahku. Matanya mengembang dan senyumnya mengembang lebar. 

“Hahaha…hahaha..!”

Kami kembali tertawa lepas bersama-sama, dan entah siapa yang memulai, akhirnya… “Tosssss…!” kami saling pelontar tepukan hangat di udara senja.

“Kalera!” ujarnya pelan setelah tawanya mereda.

Ternyata  apa yang dikatakan Lelek waktu itu, sungguh benar adanya.  Senja itu, Guru Jani pulang dengan hati lega.

***

Pasa Gauang, 2012 (edit, 2020)



04 December 2020

Tiga Jurus dari Guruku

Tiga Jurus dari Guruku: Dr. Yulizal Yunus, M.Si Datuk Rajo Bagindo

Oleh Muhammad Nasir


Saya mendapatkan tiga jurus penting dari Dr. Yulizal Yunus, M.Si. gelar Dt Rajo Bagindo. Dosen saya di Fakultas Adab IAIN, kini UIN Imam Bonjol Padang. Kepada saya dan teman-teman seangkatan, senior memperkenalkan sapaan Pak Yuyu untuk menyebut beliau. Apa ketiga ilmu itu? Satu ketenangan, kedua, ketenangan dan ketiga ketenangan. Ya,KETENANGAN nana jurusnya.

Jurus Pertama

Tahun 1998 saya sedang bertarung untuk menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan  (HMJ) Bahasa dan Sastra Arab pada Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang. Menurut saya dan fakta hasil pemilihan saya menang. Perolehan suara saya di atas rival saya. Rival saya adalah mahasiswa angkatan 1995, senior di atas saya. Namun saya tak mengerti, mengapa saya dipangggil ke ruangan beliau. Beliau saat itu menjabat Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan.

"Nasir alun bisa disabuik manang lai," kata beliau.

Terus terang saya kaget. Muka saya terasa panas. Saya tidak menyangka beliau akan menyampaikan ini. Jelas saya protes. Saya kemukakan hasil pemilihan. Beliau senyum-senyum saja. Berita acara pemilihan yang saya sodorkan hanya beliau lihat sekilas dan beliau susun di atas tumpukan kertas yang lain yang ada di meja kerjanya.

"Saya sudah punya berita acaranya. sudah saya baca. Makanya, saya simpulkan Nasir belum menang," ujarnya

Saya mengerutkan dahi. Heran. Bahkan setelah tersenyum justru beliau meminta saya agar mundur dulu. Biarlah rival saya itu yang jadi Ketua HMJ. Ups, tunggu dulu. Saya semakin kaget. Ada apa ini? Saya mulai menduga-duga tentang banyak hal. Apakah beliau sudah termakan "kompor" senior yang rival saya itu? Atau saya tidak mendapat dukungan dari beliau?

22 November 2020

Cerita Bang Covid Sejenak Setelah Kematiannya

Cerita Bang Covid Sejenak Setelah Kematiannya

Cerpen Muhammad Nasir

 

Jam 23.50 WIB jelang tengah malam rumahku diketuk seseorang. Aku belum tidur. Sejak isya tadi aku masih asyik menggerayangi layar sentuh handphoneku.  Dari balik jendela kuintip, rupanya ada bujang tanggung berusia limabelas tahun.  Selepas pintu rumahku terkuak, kulihat wajahnya ragu-ragu. Sepertinya ia ingin bicara, tapi tak tahu apa yang ingin ia bicarakan. Sebab ia terpana saja menatap mataku. Baiklah, aku saja yang akan bertanya.

“Ada apa, Dodo Armando?” sapaku perlahan.

Buyung atung itu bernama Dodo Armando anak tetanggaku Covid Coperfield. Meskipun sudah aku tanya, ia belum menjawab juga. Ia masih terlihat ragu-ragu apa yang akan ia katakan. Matanya sebentar-sebentar melihat ke rumahnya, dua petak rumah jaraknya dari rumahku. Kemudian ia kembali menatapku. Kali ini ia menggaruk-garuk alis mata kirinya.

“Ada apa denganmu Dodo? Ada perlu apa tengah malam begini?” kembali kuulangi pertanyaanku. Kali ini Dodo sudah siap dengan jawabannya.

“Ibuku menyuruh aku ke sini. Tapi... begini sajalah Om. Tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku berharap Om mau ke rumahku segera,” jawab Dodo.

Dodo lega setelah berhasil berkata-kata. Namun setelah berkata, ia terlihat gelisah. Aku paham. Pasti ada yang penting. Aku tak ingin membayangkan sesuati yang tak jelas. Akhirnya kukabulkan permintaan Dodo dengan mengangguk berulang-ulang. Dodok kusuruh saja pulang segera,

“Ya, ya, ya. Baiklah Dodo. Kau pulanglah duluan. Om akan segera ke rumahmu.

Aku bergegas ke dalam rumah. Segera ku loloskan sarungku dan menggantinya dengan celana panjang. Ku raih handphone ku, kubawa serta ke rumah Covid Coperfield. Dari pintu pagarku, ku lihat Dodo berdiri di pintu pagar rumahnya. Sepertinya ia ingin memastikan bahwa aku akan segera datang ke rumahnya. Setelah aku terlihat berjalan ke rumahnya, ia segera masuk ke dalam rumah. Pintu ia biarkan terbuka lebar. Semua lampu di rumah itu terlihat menyala.

Dengan rasa penasaran aku segera masuk. Aku tak ingin menduga-duga. Di tengah rumah terlihat Dodo dan dua adiknya termenung bersama-sama. Wajah mereka terlihat cemas dan tegang.

“Ibu di dalam bersama ayah. Ibu terlihat menangis Om,” kata Dodo.

“Hmm... ada apa?” tanyaku

“Om, masuk saja. Kamar itu, yang pintunya terbuka,” tunjuk Dodo

Aku segera menuju kamar yang ditunjuk Dodo. Sedikit sungkan, kuarahkan langkahku ke kamar itu. Terlihat Vida alias Siti Covida Lara, istri Covid menangis tersedu-sedu. Ia melihat kehadiranku dan memintaku segera masuk ke kamarnya.

“Bang, Long. Masuklah. Ini... ini Bang Covid. Lihatlah!” katanya dengan cemas.

Aku segera masuk ke kamar itu. Covid terlihat terbaring. Matanya setengah terbuka. Tangannya menggenggam erat handphone miliknya.

“Apa yang terjadi Vida?” tanyaku.

“Bang Covid tadi sesak napas. Aku tak tahu, sebab aku di ruang tengah bersama anak-anak. Tiba-tiba aku dengar ia menyebut-nyebut nama Bang Long. Bang Long... bang Long... panggilkan bang Looong! Aku terkejut dan segera berlari ke kamar. Aku lihat dia tersengal-sengal. Makanya ku suruh saja Dodo menjemput abang,” katanya

“Baiklah, aku jemput mobil dulu,” kataku.

“Tidak Bang. Pakai mobil kami saja!” Vida mengangsur kontak  mobil ke tanganku.

Sebelum berangkat ke rumah sakit, aku telpon dokter Reyhan, tetangga kami yang tinggal di Blok F7. Mana tahu ia tidak dinas malam. Tak menunggu lama, dokter Reyhan tiba di rumah Vida. Syukurlah, ia ada di rumah.

Inna Lillahi. Bang Covid sudah pergi, Vida!” ucap dokter Reyhan lirih.

Vida meraung keras. Ia memanggil nama Covid berulang-ulang. Ketiga anaknya ikut masuk ke kamar. Mereka semua bertangis-tangisan.

“Bang, Long. Tak usahlah ke rumah sakit. Bang Covid sudah tiada. Kecuali Kak Vida ingin memastikan sebab kepergiannya. Minimal visum.” kata dokter Rehan sambil melirik Vida.

“Bang Long, bantulah menutup matanya,” kata dokter Reyhan.

Sambil membaca do’a, akupun segera mengusap mata Bang Covid. Sekali usap, belum juga mengatup. Kubaca lagi do’a itu. Belum juga. Tiga, empat hingga kali ketujuh barulah mata itu terkatup sebelah kanan. Aku berdebar-debar. Tadinya, setiap aku usap, ia seperti mendelik ke arahku. Sekarang yang sebelah kiri menutup sedikit, seperti mengintip ke arahku. Segera aku berpaling dan keluar dari kamar.

“Sebaiknya, kita panggil tetangga yang lain. Bang Covid sebaiknya kita baringkan di tengah rumah,” kataku untuk menghilangkan kegugupanku usai berjuang menutup mata Bang Covid. Aku segera menuju halaman, menelpon beberapa orang tetangga.

Malam itu juga, rumah Bang Covid menjadi ramai. Para tetangga yang masih terjaga segera berdatangan. Begitupula yang sebelumnya sudah tertidur. Sebagiannya berjaga-jaga di teras rumah. Sebagian lagi, terutama yang perempuan terlihat duduk bersama Vida yang masih sedu sedan.  Kadang terlihat ia menangis sambi mengangkat telpon genggamnya. Ibu-ibu terlihat memijit-mijit punggung Vida.

Tubuh Bang Covid sudah dibujurkan di tengah rumah. Beralas selembar kasur. Tubuhnya diselimuti beberapa lapis kain panjang, batik coklat tua. Berganti-gantian tamu yang datang malam itu menyingkap wajah Bang Covid.

Bang Covid sudah tiada. Tutup usia pada umur 45 tahun. Berakhirlah riwayat tokoh muda harapan bangsa itu. Seorang pengusaha muda yang baik hati, suka menolong. Ia juga politisi muda cemerlang yang sedikit narsis. Mungkin tidak sedikit, tapi benar-benar narsis.

***

Kamis pagi itu, cuaca terlihat mendung. Rumah Bang Covid mulai ramai. Beberapa blok jalan di komplek sudah mulai dikondisikan untuk parkir para pelayat. Sejak pagi, mobil-mobil pengantar papan bunga keluar masuk dan berpapasan dengan kendaraan para para pelayat. 

Sejak pintu gerbang komplek perumahan  sudah berjejer papan bunga ucapan duka cita. Papan bunga ketua partai politik yang dimasuki Covid dan papan bunga gubernur tepat di depan pintu pagar rumah Covid yang bagus. Jelang tengah hari, papan bunga itu sudah kuyup diguyur hujan tipis-tipis yang turun semenjak jam sembilan pagi.

Sebagai “orang berbaun” dan tokoh muda yang sedang naik daun, kematian Covid terlihat istimewa. Orang-orang tumpah ruah datang melayat. Menyatakan duka lalu pergi. 

Sebagian terlihat bercakap-cakap dengan gembira. Bukan mempercakapkan kematian Covid memang. Tapi sepertinya mereka sedang reuni atau temu bahagia antar sahabat yang lama tak jumpa. Jejeran papan bunga andai tak dibaca apa isinya terlihat seperti suasana pesta. Indah dan berwarna-warni. Rumah Covid tidak seperti rumah duka, namun seperti open house pejabat lebaran hari kedua.

Tengah hari, hujan turun dengan lebatnya. Gubernur yang tadinya ingin berpidato melepas kematian Covid sudah berlalu menjelang zuhur tiba. Tapi ia sudah meninggalkan beberapa pejabat propinsi untuk menyampaikan pidato gubernur, andai acara melepas jenazah jadi juga dilaksanakan. Sengaja ia panggil beberapa orang pejabat untuk mewakilinya. Berjaga-jaga, menjaga nama gubernur.

“Kalian atur saja, siapa yang akan memberi sambutan. Jika ada di antara kalian yang akan pergi, boleh-boleh saja. Tapi, satu di antara kalian tetap harus tinggal!” pesan gubernur kepada para pejabatnya itu. Pesan yang mengandung perintah disertai ancaman lewat tatapan mata.

Pukul dua hujan berhenti. Udara kembali cerah disinari matahari yang mulai membungkuk ke arah barat. Pemakaman berlangsung khidmat. Siti Covida Lara, istri tercintanya terlihat anggun dibalut busana hitam-hitam,  khas perempuan kaya yang sedang berduka. Matanya yang murung tertutupi oleh kacamata hitam lebar. Tanda-tamda kesedihan hanya dapat diduga dari hidungnya yang memerah. Berulangkali Vida mengusap-usap hidungnya dengan sapu tangan. Tangisnya kadang diisyaratkan dengan kedua bahunya yang berguncang-guncang.

Hari ini aku merasa lelah. Usai jenazah tertanam, aku bergegas pulang. Sejak malam aku tak sempat tidur. Hanya memicing-micingkan mata saja di kursi yang disediaan untuk pelayat. Tak banyak tamu agung  yang melayat mengenal dan menyapaku. Tapi aku harus tetap di sana sebagai tetangga yang baik. Bahkan keluarga dan kerabat Covd ataupun Vida sama sekali mengabaikan aku. Ya, sudahlah.

Kicau burung di area pemakan mulai kentara. Aroma dan suasana pemakaman umum mulai terasa. Aku berdebar-debar. Di belakangku, dua anak muda berjalan sambil berbincang-bincang.

“Enak sekali menjadi orang mati. Pidato di pemakaman tadi semuanya mengaku bersaksi bahwa Bang Covid orang baik,” kata salah seorang di antara mereka.

“Boleh jadi baik,” kata yang seorang lagi.

“Tapi aku tadi melihat di pohon kamboja raksasa itu, dua  orang malaikat tersenyum masam, duduk menjuntai sambil membolak-balik buku catatannya.” Anak muda yang pertama bicara tadi melanjutkan ucapannya.

“Husy... tak boleh begitu. Selagi masih di area pemakaman, derap sepatumu itu masih dapat didengar bang Covid. Apalagi ucapanmu itu!” kata yang seorang lagi menasehati. Entah benar-benar  menasehati entah tidak, ya entahlah.

Sesampai di rumah aku mandi, berwuduk dan langsung tertidur. Hidup ini memang misteri. Kematian adalah kejadian yang tak dapat disangka-sangka.

***

Sore itu, Covid Coperfield datang dengan wajah sendu. Aku sedang duduk di beranda depan. Minum kopi sambil membaca-baca pesan di akun whatsapp ku. Kemilau cahaya sore menimpa dedaunan yang masih basah. Langit kekuning-kuningan. Indah namun menyimpan aura yang aneh. Mendebarkan.

“Duduklah, Vid!” aku menggeser sebuah kursi ke arah Covid.

Covid segera duduk. Badannya yang terlihat lemas ia onggokkan begitu saja di atas kursi. Ia meremas-remas rambutnya dengan kedua tangan. Kemudian ia menyapu muka dengan kedua telapak tangannya. Ia melepaskan desahnya lewat hembusan nafasnya yang berat.

“Hhhh... kematian yang tak pernah kuduga bang.” Covid segera membuka suara. Mukanya tertunduk ke lantai. Ia terlihat seperti orang kalah. Pasrah meski tak terlihat seperti kecewa.

Aku kaget. Aku baru sadar bahwa Covid baru saja dikuburkan jelang Salat Ashar tadi. Tanganku dingin dan kaku. Antara percaya dan tak percaya. Namun, sambil menjemput kenyataan yang sebenarnya, aku coba menjaga perasaan Covid yang sedang kalut itu. Dengan hati-hati aku meberi respon.

“Benar, Vid. Kukira kau sudah meninggal tadi malam. Maaf, rasanya baru tadi kau dimakamkan.”

Covid masih menekurkan kepala. Sejenak ia terdiam. Akupun merasa serba tak menentu.

“Ya, abang tak perlu  minta maaf. Aku memang sudah mati. Tadi aku minta dikembalikan sejenak ke dunia. Aku perlu handphoneku dan aku hanya ingin menyaksikan apa yang terjadi setelah kematianku. Sepertinya orang itu adalah malaikat. Dua malaikat yang amat mirip dengan wajahku itu memandangku dengan aneh, kemudian mereka saling menatap. Salah seorang dari mereka berkata kepadaku...”

“Waktumu tak banyak. Kembalilah ke rumahmu. Setelah itu kamu akan segera terbaring lagi di sini,” kata malaikat itu.

Aku mendengar suara Covid seperti datang dari dunia yang jauh. Aku berkeringat dingin. Perkataannya berdenging-denging di telingaku.

Covid lalu bercerita panjang tentang apa yang diingatnya awal mula kematiannya. Mulai saat ia memanggil-manggil namaku saat sekarat. Setelah itu ia tak ingat apa-apa lagi. Pengakuannya, apakah ia dimandikan, dikafani atau dishalatkan ia tak tahu.

Kemudian ia mulai merasakan sesuatu yang aneh saat ia diusung di keranda kematian. Hatinya terasa kosong. Ia dapat melihat langit yang sangat luas. Semakin lama semakin luas hingga ia merasa hanya sebutir biji sawi. 

Mendadak ia menjadi sedih dan ia mulai menangis. Ia menangisi sesuatu yang ia sendiri tak paham. Menurut Covid, itulah kali pertama ia menangis seusai nyawanya dicabut.

Lalu ia melirik ke arah iring-iringan pengantar jenazah. Istri, anak-anak dan kerabat dekatnya dapat ia pandangi satu persatu. Wajah mereka terlihat sedih.  Beberapa di antara mereka berjalan berurai air mata.

“Untuk ini aku juga menangis. Tentu saja ada alasannya. Aku mencintai mereka. Berpisah dengan mereka tentulah sesuatu yang menyesakkan. Di sinilah aku menangis untuk kedua kalinya” kata Covid sambil menegadah ke arah langit. Ia sepertinya menggenangi bolamatanya dengan air matanya sendiri. Syukurlah ia tak menatapku.

“Bang Long, apa kau masih dapat mendengarkanku?” tiba-tiba Covid menepuk pahaku.

Aku tersentak kaget. Aku seperti disengat ikan baronang. Terus terang, aku mulai gemetar. Dengan tergagap-gagap aku menjawab:

“Iya, Vid. Berceritalah. A..aku masih mendengarkanmu.”

Covid Coperfield kembali melanjutkan ceritanya.

“Bang Long, aku menangis untuk yang ketiga kalinya. Aku melihat di antara pengantarku ada yang terlihat bahagia. Tepatnya biasa-biasa saja. Sepertinya tak ada yang mereka sedihkan. Meskipun mereka terlihat tulus, mereka hanyalah manusia-manusia yang sedang menjalankan fardhu kifayahnya. Di sela-sela prosesi pemakamanku, mereka masih sempat menanyakan kabar masing-masing, keadaan keluarga dan usaha-usaha yang sedang mereka tekuni untuk kehidupan. Aku memahami tindakan mereka. Ya. mereka tak punya alasan untuk bersedih”

Covid mulai mengusap matanya yang basah. Sejenak ia menerawang.  Sampai kemudian ia kembali bercerita. Curhat orang mati.

“Bang Long, kesedihan itu seperti hujan tadi siang. Sebentar turun, sebentar berhenti. Kemudian panas mentari sore datang menghangatkan. Kemudian hujan lagi. Itulah yang dapat kulihat. Aku sempat mampir sebentar ke rumah. Di rumah kulihat istriku yang tadinya menangis bisa juga tertawa-tawa dengan kerabat dan kawan-kawan dekatnya. Begitu mereka pergi, istriku menangis lagi. Tadi kulihat Vida dengan ketiga anak kami berpelukan di kamar. Kepada anak-anak kami Vida berkata:

“Ayah kalian orang baik. Banyak yang datang melayat. Mulai dari gubernur, para pengusaha kaya, orang-orang ternama di kota ini semunya datang menyatakan bela sungkawa. Ibu merasa puas. Mereka yang menganggap kita sebelah mata, sekarang ternganga. Kita bukanlah orang biasa, anak-anakku.”

“Bang Long, saat Vida bercerita seperti itu, aku melihat ada berlembar-lembar rasa bahagia menyelip dalam tangisnya. Aku baru sadar, bahwa perasaan orang hidup itu campur aduk saja. Ketika mereka berkumpul-kumpul, sedih dan gembira datang bergandengan. Tapi sudahlah,  aku anggap saja itu sebagai pelipur lara bagi mereka yang sedang berduka,” ujarnya sambil tersenyum.

Kali ini senyum Covid Coperfield terlihat aneh. Tapi bagiku terlihat menyeramkan. Ia menyeringai seperti merencanakan sesuatu yang jahat. Aku bergidik ngeri. Aku merasa seperti ingin buang air besar. Perutku terasa mengembang.

Covid Coperfield, sambil menyeringai melanjutkan ceritanya. Seringainya mengesankan rasa bangga. 

“Bang Long, tadi aku sempai melihat isi telepon genggamku. Smartphone ku. Telpon itu ada digenggaman istriku. Ia terlihat sedang membalas ungkapan dukacita yang disampaikan oleh entah siapa saja di akun-akun medsosku. Facebook, Twitter, Whatsapp, IG dan lain-lain. 

"Aku puas bang. Tak ada yang memaki kematianku. Foto-foto ku dihias demikian rupa dengan kalung bunga kematian. Foto-foto itu viral ke mana-mana. Setidaknya, aku berharap itulah tanda-tanda husnul khatimah. Aku bahagia.” 

Covid terlihat bahagia sekali. muka pucatnya mulai gak bercahaya. Tak lama, ia kembali bertutur.

"Bang Long, Terus-terang aku memang narsis bang. Hari-hari selama aku memiliki akun media sosial memang selalu kuhabiskan melihat respon positif netizen terhadap apapun yang aku posting. Terus terang, satu saja respon negatif yang diberikan netizen, membuat darahku menggelegak. Aku marah. Itulah yang terjadi tadi malam, sampai dadaku sesak. Sekarangpun aku masih merasakan hawa marah di rongga dadaku. Heh, siapa dia yang berani menghinaku?” kata Covid sambil mendelik marah. Kali ini wajahnya benar-benar terlihat seram.

Tak ingin berlama-lama menyaksikan keseraman itu, aku coba mengalihkan kemarahannya. Memberi pertanyaan dengan terbata-bata.

“Vid, aku ingin tahu, mengapa kau panggil namaku saat kau sakaratul maut? Kemudian saat aku berusaha menutup matamu, aku merasa kesulitan. Bahkan di kali yang ketujuh, mata kirimu masih terbuka sebagian seperti mengintip ke arahku.”

Ah, tiba-tiba aku menyesal menanyakan itu. Ibarat rollet Rusia, pertanyaan itu ibarat berjudi dengan sebutir peluru yang bisa saja merengkahkan benakku. Sungguh, aku sedang menunggu jawaban yang baik-baik saja.

Mendengar pertanyaan itu Covid Coperfield tertawa ringan, seperti dipaksakan. Tawa yang mengandung kesedihan.

“Hehe... jangan khawatir bang. Kau orang baik. Spontan saja, namamu yang segera ku ingat. Kau bisa menyetir. Waktu itu, aku masih berharap diobati di rumah sakit. Dadaku terasa sesak. Hanya kaulah di komplek ini yang mau bergaul dengan ku dengan tulus tanpa memandang status baik-buruk pribadiku." 

Covid tersenyum kepadaku. Matanya berusaha mencari bola mataku. tapi aku sedang berpura-pura meraih cangkir kopi. 

"Sedangkan, kenapa mataku tak dapat terpejam, karena aku masih membayangkan orang yang menghinaku di akun facebook ku. Huhh! Kurang ajar sekali dia. Sampai tadipun masih kubuka smartphone ku untuk melihat siapakah orang yang menyebabkan kematianku. Sayang sekali, ribuan respon netizen tentang kematianku membuatku kesulitan menemukan profil orang biadab itu. Huuhh!”

Prankkk!

Tiba-tiba Covid Coperfield membanting gelas kopiku yang sudah hampir kosong. Badanku terasa ringan, nyawaku seakan terbang.  Bersamaan dengan itu, petir menggelegar. Terdengar suara berat dari kejauhan.

“Hey, anak Adam. Waktumu sudah habis. Bukannya menghitung bekal apa yang akan kau bawa ke alam baka, malah kau minta kembali untuk menjemput smartphone mu. Baguuus....!”

Kilat kembali menyambar. Kali ini menyambar tubuh Covid Coperfield yang cengengesan di dekatku. Tubuhnya meledak dan percikan cairan hangat dan dingin mengenai muka ku. Aku ikut terpental. Azan Maghrib bernada serak mendayu, menyelip di antara desir hujan di atas atap.  Langit terlihat terang-terang kopi jalang. [MN]


Padang, 22 November 2020

21 November 2020

TIPS MEMBUAT RESUME

Tips Membuat Resume

Muhammad Nasir

 

Arti Resume

Menurut KBBI (2008:1204),  resume /résume/ n ikhtisar; ringkasan; meresumekan v membuat resume; mengikhtisarkan; meringkaskan

 

 Artinya, resume adalah :

 1-  Rangkuman dari suatu topik pembahasan

2-  Kesimpulan dari pokok dari pembahasan

3-  Ringkasan dari pembahasan

 

Intinya, resume adalah: 

rangkuman, kesimpulan atau ringkasan yang mampu menggambarkan keseluruhan makna yang ingin disampaikan.


Cara membuat Resume

Membuat  resume sama artinya dengan mengemas cara menyajikan  rangkuman, kesimpulan atau ringkasan yang menggambarkan isi seluruh pembahasan. Hasil resume yang sudah ditulis pada hakikatnya menggambarkan:

-  kualitas pemahaman dari orang yang menulisnya,

-  menunjukkan kualitas berpikir orang yang menulisnya

 

Untuk mendapatkan resume yang baik, ada caranya.  Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba menawarkan sebuah tips tentang langkah-langkah yang perlu dilakukan sebelum membuat resume.

 

Berikut langkah-langkahnya:

 

1- Menelaah semuah Naskah

Menelaah adalah membaca dan berpikir. Berdasarkan hasil membaca dan berpikir inilah anda dapat mengambil data dan informasi penting tentang topik pembahasan yang akan anda resume. Menelaah harus sabar dan pelan-pelan. Penelaahan/pembacaan  belum selesai sampai anda paham apa yang anda baca.

 

2- Membuat draft atau kisi-kisi

Membuat draft atau kisi-kisi adalah membuat rencana isi resume yang akan anda tulis. Kisi-kisi ini berfungsi agar anda dapat fokus dan tidak Out of Topic (OoT). Rencana adalah niat. Maka, hasil resume sejatinya sejalan dengan rencana atau niat anda.

 

3- Menuliskan resume

Inilah perjuangan sesungguhnya. Anda akan berjuang membuat kalimat-kalimat yang baik yang mewakili data atau informasi yang anda dapatkan pada langkah pertama (menelaah naskah). Untuk menulis kalimat yang baik, tak ada cara lain selain mempedomani ilmu susun kalimat (komposisi)

 

4- Membaca kembali naskah resume yang telah ditulis

Tulisan yang baik adalah tulisan yang anda sendiri paham membacanya dan orang lain juga paham serelah membaca tulisan anda. Membaca kembali berguna untuk:

-  memastikan bahwa apa yang anda tulis sudah sesuai dengan draft/kisi-kisi.

-  Memastikan tidak ada kesalahan tulis (typo), kerancuaan kalimat (misused/confused)  

-  Memastikan bahwa kerja anda sudah tuntas

 

5- Meminta seseorang melakukan review

Kadang anda menganggap diri sudah benar. Namun untuk berhati-hati ada baiknya anda minta orang lain memeriksa hasil kerja anda. Hasil yang diharapkan pada tahap ini adalah:

-  Sebuah pernyataan bahwa masih ditemukan kesalahan dalam hasil resume anda

-  Atau, sebuah pernyataan, “Ini sudah benar. Perfecto!

 

Baiklah, ini hanya salah satu tips. Jika anda mau, anda bisa mencari tips yang lain. Atau anda sendiri punya kiat dan resep sendiri yang jitu untuk membuas sebuah resume berkualitas. Selamat mencoba. Indahnya berbagi.