04 February 2016

ZAMAN JAHILIYAH

Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-NYA kepada kita. Selanjutnya, Shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam JAHILIYAH kepada alam yang penuh dengan ILMU PENGETAHUAN sebagaimana adanya sekarang ini…




Kalimat di atas sering terdengar bila seseorang akan memulai pidato atau membawakan acara. Kalimat tersebut memang berbentuk pembuka (muqaddimah) sebuah pidato (khatabah) atau  sebuah tulisan. Persoalannya bukan terletak pada statusnya sebagai kalimat pembuka. Namun jika dicermati kata yang bergaris tebal (bold) di atas, maka akan terlihat dua keadaan kontras yang menunjukkan upaya perubahan yang dilakukan Nabi Muhammad SAW.

Frasa Jahiliyah dalam terjemahan bebas berarti bodoh atah kebodohan. Apakah frasa ini mengandung kebenaran bila dikonfirmasi dengan beberapa pencapaian kemajuan bidang ilmu pengetahuan bangsa Arab ketika itu atau dengan beberapa aspek intelektualitas lainnya.

Frasa ilmu pengetahuan menunjukkan keadaan yang tercerahkan dengan ilmu dan pengetahuan. Jika pembaca muqaddimah ini tidak cermat dan hati-hati, bisa saja terjadi kesalahan dalam pemahaman serta kesalahan dalam memotret sejarah masyarakat sebelum kedatangan Agama Islam.

Oleh sebab itu, bagi pembelajar sejarah harus dapat menjelaskan apa yang dimaksud dengan kata jahiliyah dalam konteks sejarah dan peradaban Islam.


Beberapa pengertian Jahiliyyah

Zaman Penuh Pelanggaran Sosial dan Kenistaan
Menurut Syed Mahmudunnasir, zaman jahiliyah merujuk pada keadaan masyarakat Arab yang terjurumus dalam kenistaan dan pelanggaran sosial.[Syed Mahmudunnasir, ISLAM: Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1998), h. 102] Dari segi keyakinan agama, masyarakat Arab melakukan penyembahan berhala dan praktik penyembahan banyak tuhan (politeisme). Masing-masing penganut agama saling cela dan menghina ajaran dan keyakinan mereka.

Dari segi sosial, kaum wanita adalah kaum yang paling rendah derajatnya dalam masyarakat. Kaum wanita tidak mendapat hak hukum. Begitu juga dengan budak, tidak dianggap sebagai manusia yang mempunyai hak sosial dan hukum. Selain itu praktik rasialisme dalam bentuk pembedaan derajat manusia berdasarkan warna kulit dan keturunan terjadi secara massif dan dijadikan sebagai alat untuk menjustikasi kekerasan dan penghinaan terhadap seseorang.

Moralitas masyarakat jatuh ke titik nadir. Bayi-bayi perempuan dibunuh karena dianggap sebagai pembuat malu keluarga dan biang kehinaan. Praktek mabuk-mabukan (khamar), judi (maysir), berkurban untuk berhala dan meramal dengan anak panah menjadi tradisi dan kelaziman serta tidak dianggap sebagai sebuah masalah sosial.

Zaman Anarkis dan Kekacauan
Menurut Akbar S. Ahmed, seorang kritikus sejarah dan antropolog muslim terkemuka, menyebutkan zaman jahiliyah sebagai zaman di ambang anarkis dan kekacauan. [Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), h. 22]  Zaman ini merujuk pada prilaku bangsa arab yang gemar berperang antar suku, perkelahian dan penyiksaan terhadap budak, pembunuhan bayi perumpuan yang baru lahir. Kekacauan itu disebabkan oleh tidak berlakuknya norma agama dan hukum masyarakat.
 
Zaman Kebiadaban Penguasa
Beberapa penyebutan tentang karakteristik Jahiliyah  di atas dapat disimpulkan lagi bahwa Zaman Jahiliyah adalah zaman kebiadaban penguasa, di mana praktek anarkisme, amoral dan asusila serta pelanggaran Hak Asasi Manusia tidak terlepas dari control dan pembiaran (permisivisme) penguasa terhadap keadaan yang tidak baik tersebut.

Yang jelas, ada banyak pengertian yang dapat diambil saat mendefinisikan zaman jahiliyah dengan merujuk aspek keagamaan, hukum, sosial masyarakat Arab pada masa itu dan merumuskan sendiri karakteristik jahiliyah dengan alat ukur yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kritikan terhadap istilah Jahiliyyah

Justifikasi Jahiliyyah kepada masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam tidak sepenuhnya diterima oleh masyarakat Arab modern. Nurcholis Madjid, salah seorang intelektual muslim terkemuka Indonesia mencatat beberapa protes terkait pencitraan Jahiliyah terhadap bangsa Arab pra Islam.[Lebih lanjut baca pengantar Nurcholis Madjid untuk terjemahan buku Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988), h.vii-x]

Di antaranya:  
Abd. Rahman Al Bazaz
Menurutnya, Jahiliyyah adalah julukan yang dibuat oleh orang sekarang dan para penulis dan sejarawan harus bertanggung jawab dalam memunculkan segala gambaran negatif terhadap bangsa Arab. Tujuan penggambaran yang buruk itu menurut al Bazzaz adalah untuk menangkal gerakan Arabisasi. Selain itu, penggambaran yang buruk itu juga didorong oleh semangat golongan dan nasionalisme (syu’ubiyyah) dari orang muslim non-Arab, khususnya Persia.

Menurut Nurcholis Madjid, pandangan al Bazzaz itu juga tidak lepas dari semangat nasionalisme yang bertujuan menegakkan kembali supremasi Arab
  
Muhibb al-Din al Khatib
 Menurutnya, Bangsa Arab adalah bangsa yang terakhir mempraktikkan penyembahan berhala dan bangsa paling awal mengakhirinya. Selain itu, dengan mengutip hadis Nabi Muhammad SAW, al Khatib berargumen bahwa “mereka yang terbaik pada masa jahiliyah adal mereka yang terbaik pula pada masa Islam.” Mereka yang menjadi tokoh pada zaman jahiliyyah, menjadi tokoh pula pada masa Islam.

Para orientalis juga sering menggunakan peristilahan yang bermakna nyaris sama, di antaranya bangsa pritimitif, bar-bar, bangsa gurun dan tak berperadaban. Hal ini menguatkan anggapan orientalis bahwa agama Islam dikembangkan oleh bangsa primitif Arab gurun. Meskipun dari segi perilaku ada beberapa karakteristik masyarakat yang dapat dogolongkan primitif, namun jika dilihat dari segi kemajuan yang dicapai oleh bangsa dan masyarakat Arab ketika itu, tuduhan itu tidak dapat dibenarkan.

Berdasarkan uraian di atas, ada beberapa hal yang patut dicatat. Yaitu:
Zaman Jahiliyyah dalam konteks sejarah adalah zaman referensial, zaman untuk menunjuk kondisi buruk yang dialami masyarakat sebelum kedatangan Islam, terutama jika ditinjau dari perspektif Islam

Zaman Jahiliyyah memang dialami oleh masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam dengan merujuk beberapa perilaku buruk yang dipraktikkan pada masa itu, terutama jika ditinjau dari aspek agama, moral (akhlak) dan sosial

Mempertimbangkan beberapa kritikan terhadap penamaan Jahiliyyah kepada bangsa Arab, maka perlu perluasan makna. Zaman Jahiliyah tidak hanya melingkupi masyarakat Arab, tetapi juga menyelimuti masyarakat dunia pada umumnya. Hal ini sesuai dengan sebutan dan tujuan Agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin.

Sebutan Jahiliyyah untuk bangsa dan masyarakat Arab bukan berarti menenggelamkan bangsa dan masyarakat Arab dalam sejarah bangsa yang berperadaban. Sebab, Bangsa Arab sebelum kedatangan Islam dalam sejarahnya juga mempunyai keunggulan dan prestasi  yang menunjukkan mereka sebagai bangsa yang beradab.

Sebutan Jahiliyyah relevan dengan tugas Nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna moral-akhlak manusia. Innama bu’itstu liutammima makarima al akhlaq.

.......................


Bacaan dan rujukan lebih lanjut :
Abbas Mahmoud Al Akkad, Bilal dan Rasialisme, Solo: Pustaka Mantiq,1989
Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Bernard Lewis, Bangsa Arab dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988
Karen Armstrong, Islam A 'Short History, Surabaya: Ikon Teralitera, 2004
Maidir Harun, Sejarah Peradaban Islam, Padang: IAIN IB Press, 2001
Syed Mahmudunnasir, ISLAM: Konsepsi dan Sejarahnya,Bandung, Remaja Rosdakarya, 1998
Sumber lain yang relevan

No comments: