10 February 2023

Wabah Politik Muncung Buruk

Muhammad Nasir Pengajar Sejarah pada Fakultas Adab dan Humniora UIN Imam Bonjol Padang Bagi yang sudah membaca Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pasti sudah terbiasa mendengar istilah ujaran kebencian (hate speech). Dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE disebutkan bahwa hate speech berkisar sekitar penyebaran informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Ujaran Kebencian (hate speech) bisa berupa perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Pelakunya boleh jadi masyarakat biasa, tokoh masyarakat, politisi hingga pejabat publik. Tindakan mereka seringkali memberi goncangan dan suasana gaduh di tengah masyarakat. Sayang sekali, dalam banyak kasus pelakunya justru hanya dituntut melakukan permintaan maaf. Istilah warganet, persoalan itu akan berakhir di atas kertas bermaterai 10 ribu. Padahal, mengingat maraknya kasus-kasus hate speech ini, diperlukan tindakan hukum yang tegas seperti dimuat pada pasal 45 ayat 2 UU ITE, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).” Tentu saja ini diperlukan untuk memberikan efek jera sekaligus sebagai pernyataan perang terhadap prilaku “muncung buruk” masyarakat kita. Selain prilaku hate speech, ada lagi fenomena yang tak kalah mengkhawatirkan, yaitu prilaku hate spin.
Hate Spin adalah ujaran kebencian yang berisi hasutan dan propaganda hitam.
Lingkar kebencian ini biasanya berkisar sekitar tema keagamaan dan politik, kata Cherian George (2016), dalam bukunya Hate Spin: The Manufacture of Religious Offense and Its Threat to Democracy. Tentang Hate Spin Secara teoritis istilah putaran kebencian (hate spin) ini berpijak pada pemikiran sosiologi politik tentang politik kontroversial (contentious politics) yang dikonstruksi oleh McAdam, Tarrow, & Tilly, (2001). Politik jenis ini menghendaki adanya gerakan protes dalam bentuk tindakan kolektif kontroversial yang melibatkan kerja ideologis. Pemimpin gerakan ini sudah pasti terlibat dalam pembingkaian budaya (cultural framing) dan intervensi kognitif (cognitive interventions) untuk membangun dukungan politik dari solidaritas kelompok yang dikelolanya (Benford & Snow, 2000) Menurut Gamson (2013) gerakan ideologis ini sering membingkai ketidakadilan (injustice frames) dengan menggunakan simbol-simbol yang membangkitkan rasa marah suatu komunitas. Hasutan kebencian itu menurut George sering digunakan oleh para politisi untuk memobilisasi pendukung atau massa untuk menyerang kelompok sasaran. Biasanya hasutan kebencian akan digunakan dalam suatu ajang pemilihan umum. Penjelasan pakar di atas menunjukkan bahwa hasutan kebencian ini merupakan gerakan terstrutur, memiliki pemimpin dan memiliki tujuan. Oleh karena dampaknya yang negatif, politik kebencian ini tentu sesuatu yang buruk untuk perkembangan demokrasi dan dapat memecah belah masyarakat. Apalagi menurut Cherian George, dalam hasutan kebencian ini, politisi nasional berada di puncak paling atas dari gerakan ini. Jika itu di Indonesia, coba catat saja dulu siapa orangnya. Proses politik kebencian sebagai sebuah gerakan tidak hanya berlangsung satu arah, bisa karena tergerak oleh hasutan kawan (offence-giving), dan bisa pula sebagai reaksi terhadap hasutan dari pihak lawan (offence-taking). Gabungan dua strategi inilah yang disebut George sebagai hate spin. Dengan menggabungkan metode hate spin dan hate speech pemilik gerakan ini bermaksud memicu kemarahan dan ketersinggungan (vilification atau offence-giving) dari kedua belah pihak. Hindari Politik Muncung Buruk Praktik paling nyata dan masif dari gerakan para hate spinners adalah melalui ujaran-ujaran buruk. Melalui pemelintiran dan plesetan terhadap suatu yang dianggap sakral oleh sebuah komunitas. Baik itu berupa simbol-simbol agama, kelompok etnis, komunitas tertentu atau imagi sebuah komunitas tentang sosok pemimpin yang ideal. Ironisnya hal ini justru dilakukan secara terbuka dan terang-terangan. Keadaan ini boleh disebut sebagai sebuah wabah politik muncung buruk. Sebagai contoh, Senator Texas Ted Cruz pernah menggemakan retorika Islamofobia (Duss, et al., 2015) selama pemilihan pendahuluan Partai Republik. Ia menyerukan penegakan hukum yang ditingkatkan “untuk berpatroli dan mengamankan lingkungan Muslim sebelum mereka menjadi radikal” (Zezima & Goldman, 2016). Atau serupa seruan sensasional Donald Trump untuk larangan Muslim memasuki Amerika Serikat merujuk pada survei yang menunjukkan bahwa Muslim Amerika bersimpati kepada teroris (Carroll & Jacobson, 2015). Politisi nasional seperti Cruz dan Trump cukup menggunakan prinsip kata-kata yang minimalis dan ekonomis telah membenarkan dan mendorong diskriminasi dan kejahatan kebencian terhadap Muslim. Mungkin dalam kasus Indonesia, praktiknya agak berbeda. Para politisi yang jadi aktor puncak dalam kegiatan politik terlihat baik dan santun. Namun peran sebagai hate spinners justru diberikan kepada kelompok tertentu yang belum tentu punya intensi dalam bidang politik dan tidak begitu peduli dengan masa depan demokrasi. Pada umumnya itu dilakukan oleh para pendengung (buzzer), penyebar narasi (influencers) berbayar atau pendukung garis keras (die hard followers) yang bertindak atas kesukarelaan. Kebanyakan beroperasi di media sosial. Di dunia nyata agaknya tak bernyali mereka itu. Takut dihakimi massa dan pulang dengan bibir pecah seribu. Sebanarnya tidak terlalu sulit mendeteksi gerombolan hate spinners ini. Senjata yang paling sering digunakan di media sosial adalah kata-kata kasar, jorok dan rasis. Kata-kata itu bisa saja diiringi dengan manipulasi citra digital (meme, gambar). Hal ini oleh Hamilton (2012) disebut sebagai agresi bahasa (verbal agression). Secara kasat mata, melalui agresi bahasa dapat diprediksi siapa pelakunya, kepada siapa ditujukan dan untuk kepentingan apa dan siapa kata-kata itu dimunculkan. Nama kerennya memang Hate Spin. Tetapi tidak begitu sulit memahami dalam konteks Indonesia. Inilah politik adu ayam, atau boleh juga disebut politik adu kawan dengan lawan. Boleh disebut pelaku atau politisi yang menggunakan cara ini sebagai jalan politiknya sebagai pemutar mesin hasutan (hate spinners) alias tukang adu domba. Politisi busuk yang menghalalkan segala cara untuk meraih ambisinya. Politik hasutan kebencian ini akan menimbulkan rasa curiga dan was-was terhadap orang atau kelompok tak sehaluan politik dalam jangka waktu yang panjang. Maka, akan ber-lego pagai-lah masyarakat yang pada dasarnya memang tak sehaluan politik untuk jangka waktu yang lama. Akhirnya, dapat dipahami mengapa sejak beberapa edisi pemilihan umum baik level legislatif hingga eksekutif, masyarakat Indonesia jadi rusak interaksi personal atau interaksi sosialnya. Tak banyak yang perlu dilakukan jika ingin terhindar dari pecah belah dan saling curiga. Yaitu mengindari aktivitas yang menjadi tanda-tanda politik muncung buruk ini. Bila memungkinkan adakan sebuah kaukus perlawanan terhadap politik muncung buruk ini. Jika itu di media sosial, perlu melaporkan akun-akun tersebut dengan menggunakan fasilitas yang ada di platform medsos itu. Sudah diterbitkan di Harian Haluan EDISI: 042, TAHUN KE-75 20 Rabiul Akhir1444 H SELASA, 15 NOVEMBER 2022