07 October 2017

KEPERCAYAAN BANGSA ARAB SEBELUM ISLAM

Muhammad Nasir



Foto: id.aliexpress.com
Pendahuluan

Bangsa Arab yang bermukim di Jazirah Arab disebut Jahiliyah bukan semata karena mereka tidak meyakini atau menganut suatu agama. Bahkan realitanya, bangsa Arab adalah bangsa yang sudah berinteraksi dengan aneka keyakinan keagamaan. Keberadaan agama-agama itu meskipun tidak meninggalkan pengaruh yang berarti, namun telah membantu mereka untuk mengenal agama baru yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu agama Islam.


Secara umum, agama dan keyakinan yang dianut masyarakat Arab sebelum Islam dapat dibagi kepada agama Samawi (langit), yaitu agama yang bersumber dari wahyu dan agama Ardhi (bumi) yaitu agama yang dikonstruksi oleh masyarakat setempat melalui sumber-sumber alam dan lingkungannya.


Berikut akan diuraikan agama dan keyakinan bangsa Arab sebelum kedatangan Islam

1.    Agama Majusi
Majusi adalah istilah Al Qur’an untuk menyebut penganut Zoroaster. Penganut ajaran ini berkembang di Iran dan sekitarnya, wilayah kebudayaan dan peradaban bangsa Persia. Ajaran ini telah menjadi agama resmi selama kekuasaan Dinasti Sassaniah sebelum kedatangan ajaran Islam. Islam mengakui agama ini sebagai agama agama wahyu dan pengikutnya sebagai Ahlul Kitab dengan status ahlu al zimmi.

Ajaran atau agama Majusi (Zoroaster) ini lahir sekitar 700 atau 800 SM, didirikan oleh Zarathustra. Zarathustra menciptakan himne-himne gatha yang kemudian disusun  dalam kitab penganut Zoroaster yaitu Zend Avesta.

Ajaran-ajarannya mempengaruhi beberapa agama yang muncul setelahnya, yaitu doktrin tentang kebangkitan postmortem, keberadaan jiwa, surge dan neraka, akhir dunia, dunia yang mengikuti sebuah peperangan antara kekuatan kebaikan dan kejahatan, serta kepercayaan atas hari kiamat. 

Penganut ajaran Majusi tersebar di daerah timur jazirah Arab yaitu Oman, Bahrain dan Yamamah. Daerah-daerah ini sebelumnya berada di bawah pengaruh politik dan kebudayaan bangsa Persia.

Sejak zaman Umar bin Khattab dan penguasa muslim sesuadahnya mengakui penganut ajaran zoroastrianise sebagai “ahli kitab” yang diberkati dengan sebuah agama wahyu (samawi). Status mereka adalah kafir Zimmi. Tetapi, umat Islam dilarang mengawini perempuan dari kalangan Majusi dan memakan sembelihan mereka, karena kitab suci mereka telah diangkat dan tidak diakui lagi.

Kedekatan konsepsi dan ajaran Zoroaster/ Majusi ini dengan ajaran Islam diduga kuat menjadi faktor kunci alih keyakinan (konversi) penganutnya kepada agama Islam. Kodifikasi ajaran Islam yang lebih sistematis dan landasan ajaran Islam yang bersumber dari kitab suci yang jelas membuat penganut Majusi lebih mudah memahami ajaran Islam.

2.    Agama Yahudi

Istilah Yahudi berasal dari dari kata hada yang berarti kembali dan bertobat. Nama ini diberikan karena Nabi Mua pernah mengatakan; sesungguhnya kami kembali (bertobat( kepada engkau…” (QS Al A’raf:156). Agama Yahudi diakui sebagai agama wahyu dan pengikutnya deisebut sebagai ahlu al kitab dengan status ahlu al zimmi.

Ajaran Yahudi bersumber dari kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa AS. Orang Yahudi menganggap bahwa syari’at itu hanya satu. Syari’at bermula dari syari’at nabi Musa AS dan mencapai kesempurnaan pada zaman Musa AS. Tidak ada syari’at-syariat sebelumnya kecuali hukum-hukum yang diperoleh dari akal dan hukum-hukum yang lahir berdasarkan kemaslahatan hidup manusia. Menurut mereka syari’at Musa AS tidak mungkin dihapus (Nasakh). Melakukan nasakh berarti perubahan dan pembatalan terhadap perintah Allah yang sudah ada sebelumnya.

Konsepsi ajaran Yahudi inilah yang menjadi dasar kaum Yahudi Arab menolak kehadiran Syariat Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Penolakan ini menjadi sumber awal konflik diikuti oleh-konflik berikutnya yang bersumber dari eksistensi penganut Yahudi Arab yang merupakan kaum imigran di jazirah Arab. Imigran Yahudi ini kemudian membentuk komunitas yang kuat di daerah Yatsrib (kelak menjadi Madinah), Taima’, Fadak dan Wadi al Qura’

Pemukiman pertama Yahudi di sekitar Madinah adalah daerah Khaibar (+ 160 km dari Yatsrib). Muhammad Ibrahim al Fayumi sebagaimana dikutip Khalil Abdul Karim menyebutkan bahwa agama Yahudi masuk ke Yatsrib bukan untuk menyebarkan misi, melainkan karena beberapa sebab, di antaranya; 1) jumlah mereka yang besar di Palestina ampai mencapai 4 juta jiwa, 2) tekanan yang dilancarkan kepada mereka oleh pemerintah Romawi pada abad ke-1, 3) peruntuhan terhadap rumah ibadah mereka.  

Shalih Ahmad al Aly berpendapat, bahwa orang-orang Yahudi itu berasal dari Syam setelah penaklukan Romawi atas Syam diiringi usaha menghancurkan kelompok pengikut Yahudi. Kelompok suku yang pindah ke tanah Hijaz adalah Bani Quraidzah, Bani Nadir dan Bani Hadal. Kelompok suku inilah nantinya yang akan dominan penyebutannya dalam sejarah Islam di Yastrib atau Madinah.

Pada prinsipnya tidak perbedaan syariat agama Yahudi dan Islam. Tetap syari’at Islam datang mengkoreksi ajaran Yahudi yang telah banyak diselewengkan dan ditakwilkan untuk kepentingan bangsa Yahudi. Misalnya dalau Taurat yang telah ditakwilkan itu disebukan bahwa Bani Ismail (keturunan Nabi Ismail) bukanlah bagian dari Bani Israil. Bani Israil dalam konsepsi mereka adalah keluarga Ya’kub, Musa dan Harun. Karena alas an itu pula lah mereka menolak kenabian Nabi Muhammad SAW yang notabene keturunan Nabi Ismail dianggap tidak punya otoritas yang sah sebagai nabi, karena bukan bagian dari bangsa Israil.

3.    Agama Nasrani (Kristen)
 
Agama Nasrani atau di Indonesia secara resmi disebut agama Kristen pada masa sebelum kedatangan Islam disebut sebagai agama samawi yang banyak dianut oleh Bangsa Arab. Salah satu tokoh Nasrani yang terkenal dalam sejarah Islam adalah Waraqah bin Naufal bis Asad bin Abdul Uzza bin Qushay al Quraisyi. Ia adalah sepupu tertua dari jalur ayah Khadijah, istri nabi Muhammad SAW. Waraqah bin Naufal adalah seorang imam Nestorian yang dikenal sebagai salah seorang Kristen yang membenarkan berita kedatangan nabi baru yaitu Nabi Muhammad SAW.

Agama Nasrani atau sering juga disebut agama Masehi ini tersebar luas di jazirah Arab karena beberapa faktor seperti geografis, hitoris, politik dan ekonomi. factor yang mendasari perkembangan agama ini secara baik diuraikan oleh Khalil Abdul Karim dalam bukunya Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan.

Factor geografis: saat itu, nasrani udah hampir mnyerupai agama resmi di wilayah Syiria, Iraq, Yaman dan Habsyi. Di wilayah uung jazirah Arab juga pernah berdiri kerajaan Ghassan yang emua pimpinannya beragama Nasrani. Demikian juga disekeling jazirah Arab juga ditemui beberapa kerajaan baik kerajaan besar atau kecil yang ecara resmi menganut ajaran Nasrani.

Faktor politis: Agama Nasrani merupakan upaya perpanjangan kekuasaan Romawi melalui penyebaran agama kepada masyarakat Jazirah Arab. Pemerintah Romawi (Byzantium) menggunakan agama demi kelangsungan kekuasaannya dan me-Nashrani-kan suku-suku Arab untuk kelangsungan kekuasaannya.

Faktor ekonomi: karena adanya hubungan perniagaan antara orang-orang Arab dengan negeri Syam yang menganut Nasrani. Pada musim-musim perdagangan dan haji, pedagang Nasrani Syam juga banyak yang tinggal di Makkah dan turut mengembangkan ajaran Nasrani. Selain itu, pada awal kemunculan Islam, Makkah dibanjiri oleh budak-budak imigran dan budak yang diperoleh dari proses perdagangan budak. Kebanyakan budak itu berasal dari Habsy dan mayoritas mereka beragama Nasrani.

Ketiga agama yang disebut di atas dapat dikategorikan sebagai agama wahyu dan pengikutnya diakui sebagai pengikut ahlul kitab dan berstatus sebagai ahlu al zimmi. Keberadaan agama-agama samawi itu sebagaimana disebut di awal tidak meninggalkan pengaruh yang berarti. Bahkan pada umumnya masyarakat Arab sekitar Hijaz justru masih banyak menganut keyakinan yang diwariskan secara turun temurun.

Konstruksi keyakinan keagamaan masyarakat Arab sesungguhnya sangat sederhana, sesederhana cara hidup masyarakat gurun yang menyukai kesederhanan, ketidakrumitan dan serba instan. Menurut Syafiq A Mughni, kepercayaan masyarakat Arab pra-Islam adalah gabungan antara kultus nenek moyang, fetisisme, totemisme dan animisme dan lain-lain.

Adapun beberapa keyakinan yang disebut sebagai agama ardhi antara lain sebagai berikut:

1.    Pengkultusan terhadap nenek moyang
Keyakinan ini terwujud dalam sikap penghormatan berlebihan terhadap pahlawan. Sikap ini berawal dari penghormatan terhadap pemimpin dan pahlawan peperangan ketika mereka hidup. Pemimpin bagi masyarakat Arab terutama Arab Semitik amat berkuasa kehidupan masyarakat. Kekuasaan ini bahkan berlanjut hingga pemimpin dan pahlwan itu meninggalnya. Begitu pula penghormatan berubah menjadi pengkultusan. Pengkultusan itu termanifestasi dalam bentuk kuburan, bangunan atau berhala yang dinisbahkan kepada mereka. Demikian juga sya’ir-syair dalam karya sastra.

2.    Fetisisme
Fetisisme termanifestasi dalam bentuk pemujaan terhadap benda seperti batu dan kayu. Mereka meyakini batu dan kayu yang mereka sembah mempunyai roh yang memberi  kekuatan. Roh itu lah yang mereka sembah dan roh itu dianggap dapat memberi kebaikan dan menolak kejahatan.

3.    Totemisme
Totemisme adalah pengkultusan dan penyembahan hewan atau tumbuhan yang dianggap suci. Hal ini disebabkan ketergantungan hidup mereka terhadap hewan dan tumbuhan. Oleh sebab itu mereka melarang dan mengharamkan memburu, membunuh dan memakan hewan atau tumbuhan jenis tertentu.

Kultus ini juga muncul dalam pemberian nama diri. Pada masa itu banyak sekali orang member nama diri dan gelar kepada anak dan kerabatnya dengan nama binatang, seperti Asad, Fahd (singa), Namir (harimau), Kalb (anjing), Tsa’labah (kancil), Handalah (timun pahit) dan nama-nama lainnya. Pemberian nama itu selain untuk menghormati binatang dan tumbuhan sekaligus untuk penisbahan watak dan tabiat seseorang sesuai dengan ciri-ciri binatang dan tumbuhan yang dikultuskan itu.   
4.    Animisme
Animisme (ruhaniyyah) adalah kepercayaan akan adanya roh baik dan roh ahat yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Air, batu, api dan kayu diyakini memiliki roh dan dipercaya berpengaruh terhadap manusia. Sebagian yang lain mempercayai bahwa roh itu dapat berwujud darah, udara atau burung/hewan-hewan tertentu.

5.    Kepercayaan lainnya
Kepercayaan lain yang berkembang di antaranya kepercayaan terhadap jin yang dapat berwujud atau merupakan bentuk tertentu, seperti binatang berbulu lebat dan panjang. Bahkan bisa berbentuk manusia. Dalam masyarakat lain, keyakinan ini bisa disebut dengan keyakinan akan adanya hantu yang dapat berubah wujud apa saja. Keyakinan ini berdampak kepada keyakinan lainnya yaitu keyakinan akan daerah angker yang dihuni oleh jin-jin tersebut. Tidak jarang, menghadapi keyakinan seperti itu masyarakat Arab bersedia memberi persembahan ke tempat angker tersebut.

Secara umum, untuk menggambarkan secara ringkas seluruh keyakinan bangsa Arab pra Islam itu sebagai keyakinan penyembahan berhala karena menjadikan benda yang dibentuk menjadi rupa manusia atau binatang sebagai media penyembahan terhadap roh nenek moyang, jin dan sebagainya. Maka berhala sebagai wujud keyakinan mereka dapat disebut sebagai kebudayaan dan peradaban yang terbentuk dari cara pandang mereka terhadap kekuatan lain di luar dirinya.

Penutup
Berdasarkan uraian singkat terhadap agama dan keyakinan bangsa Arab pra Islam tersebut di atas, dapat diambil garis tegas relevansi kehadiran Agama Islam sebagai bentuk koreksi atas keyakinan bangsa Arab sekaligus koreksi terhadap praktik kebudayaan yang timbul akibat adanya keyakinan itu.

Dapat simpulkan bahwa koreksi Islam terhadap agama dan keyakinan yang sudah mentradisi dan membudaya di kalangan masyarakat arab adalah sebagai sebuah upaya mengembalikan agama dan kepercayaan masyarakat arab tersebut ke arah tradisi tauhid atau monoteistik. Meski Islam bukanlah agama pertama yang mengajarkan prinsip monoteistik yang berakar pada ajaran Nabi Ibrahim AS, namun agenda penting para nabi terdahulu hingga Nabi Muhammad SAW adalah mengajarkan prinsip hanya ada satu tuhan. [MN] 


Bahan Bacaan
Mohammed ‘Abed al Jabiri, Kritik Kontemporer atas Filafat Arab-Islam, Yogyakarta: Islamika, 2003
Asy Syahrastani, Al Milal wa al Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Manusia, Alihbahasa Asywadie Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, 2006
Khalil Abdul Karim, Hegemoni Quraisy: Agama, Budaya, Kekuasaan, M Faishol Fatawi (penerjemah), Yogyakarta: LKiS, 2002
Syafiq A Mughni dalam Taufiq Abdullah (ed), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Akar dan Awal (Jilid I), Jakarta, Ichtiar Baru van Hoeve, 2002

No comments: