Oleh: Muhammad Nasir
Ketek banamo gadang bagala, begitu kata orang Minangkabau. Si Fulan yang sudah dewasa kelak diberi gelar Pakiah, begitu pulalah adatnya.
Pakiah
adalah persona Minangkabau yang terkait dengan jabatan keagamaan. Secara
langsung ia menjadi gelar bagi elit keagamaan. Periksalah ke kampung-kampung
Minangkabau yang menerapkan pemberian gelar bagi pria dewasa di antara mereka,
terutama bagi yang telah berumah tangga, pasti ditemukan banyak gelar pakiah.
Gozali
Saydam dalam Kamus Bahasa Minang (2004:272) juga memuat lema Pakiah. Pakiah
menurutnya adalah nomina yang berarti fakir: orang yang selalu berkekurangan.
Ia mencontohkan, Tiok ari Juma’aik pakiah
tu manjapuik bareh kamari (Tiap hari Jumat, fakir itu menjemput
beras ke sini). Co pakiah di ateh bendi (Bagai fakir di atas
bendi). Saya berpendapat, kalau lema ini dimuat juga, sebaiknya harus
menghilangkan huruf (h) di akhirnya. Pakia = Fakir. Entahlah kalau ini terkait
dengan dialek/lahjah si penutur kata.
Fakir
dalam terma Arab justru bermakna lain. Fakir secara bahasa berarti orang yang
berhajat atau orang yang tak berharta, serba berkekurangan. Dalam istilah
fikih, fakir berarti orang yang mempunyai harta namun tak mencapai satu nisab.
Jadi ia tak dikenai wajib zakat.
Ada
lagi yang memuat kata Pakiah yang merupakan berasal dari kata Faqih (Arab).
Faqih terkait dengan kata Fiqh/ Fikih (Indonesia), yang secara bahasa berarti tahu atau
paham. Fiqh terutama dalam definisi ahli hukum Islam (fuqaha) juga dikenal
sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa Pakiah itu adalah orang yang mengetahui hukum syara’ yang
menjadi ojek ilmu fikih. Pakiah tentu harus tahu hukum syara’ mengenai
perbuatan manusia mukallaf, tahu yang wajib, sunnat, haram, halal, makruh,
mubah, sah, batal dan sebagainya.
Dengan
demikian, Pakiah adalah sosok yang punyak banyak wajah di Minangkabau. Namun,
yang paling dikenal adalah istilah Pakiah yang terkait gelar yang berkelindan
dengan nuansa keagamaan, yaitu Pakiah yang berkonotasi Faqih. Jadi pakiah jenis
inilah yang akan dibahas.
Standar
Kompetensi Pakiah
Ada
ratusan bahkan ribuan orang bergelar Pakiah di Minagkabau. Namun nyaris tak ada
tokoh besar Minangkabau yang terkenal dengan gelar Pakiah-nya. Entahlah, kalau
kita periksa lagi baik-baik gelar adat yang disandang oleh tokoh-tokoh kita
itu. Barangkali saja ada yang menyembunyikan gelar Pakiah di balik gelar
Profesor, Doktor, Insinyur, Doktorandus, S.Ag dan sebagainya.
Setelah
ditanya-tanya, ternyata gelar Pakiah itu memang cendrung berkonotasi agama,
setara dengan gelar Kati, Malin dan Labai. Ia diberi gelar pakiah karena
sedikit banyaknya paham dengan hukum-hukum syara’. Tetapi dalam prakteknya,
tidak sedikit juga di antara Pakiah itu yang berperangai jauh dari kompetensi
Ke-Pakiah-an. Ada juga Pakiah yang tak tahu mengaji, tak dapat berdoa, tak
sigap berpituah (berfatwa).
Ada
yang dapat dipahami dan ada yang patut dikaji ulang dibalik fenomena Pakiah
ini. Yang dapat dipahami misalnya, seseorang diberi gelar Pakiah karena ia
pernah sekolah agama. Tak peduli sedikit atau banyak ilmunya, namun garis
pakiah telah tertulis di telapak tangannya. Selain itu, pakiah juga terkait
dengan ketersediaan sumberdaya. Meski seseorang tak tamat mengaji namun dapat
memimpin sepatah dua patah do’a, iapun sessaat setelah berbini layak mendapat
gelar Pakiah.
Di
balik itu ada juga Pakiah sabana Pakiah. Ilmu, perangai dan amaliahnya
terintegrasi secara utuh. Tentu saja ini tak perlu dipermasalahkan, karena kata
orang Minangkabau “bak jangguik pulang ka daguak”. Namun yang akan
dipersoalkan, alangkah malangnya nasib Pakiah di Minangkabau.
Coba
Simak! Seorang remaja tanggung datang ke rumah-rumah membawa buntia bareh
(karung beras). Ba’da salam, tergopoh-gopoh tuan rumah mengantar setekong beras
untuk remaja tersebut. Bahkan tak jarang tuan rumah tak kalah sigapnya
mengucapkan kata “maaf dulu kiah..!”
menjawab salam remaja tersebut. Remaja tersebut sering disebut sebagai Pakiah.
Upayanya tersebut disebut mamakiah.
Berdasarkan cerita seorang mantan Pakiah, tak jarang Pakiah ini kelak menjadi
orang besar yang kelak disebut Tuangku.
Yang
patut dikaji ulang antara lain bagaimana seharusnya posisi Pakiah dalam
konstelasi kepemimpinan adat berbasis agama Minangkabau. Pakiah jika ia berasal
dari kata Faqih semestinya didudukkan dalam posisinya yang tepat. Pakiah
sekarang ini benar-benar malang nasibnya dihantam besarnya apresiasi terhadap
Tuanku/Tuangku.
Banyak
elit agama Minangkabau yang terkenal dalam sejarah bergelar Tuanku. Sebut saja
Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tuo, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Kuniang dan para
Tuanku lainnya. Padahal gelar tersebut tak sedikitpun terkait dengan kata Arab.
Konon dalam pemahaman keagamaan masyarakat Minangkabau saat ini, semakin Arab
istilahnya semakin dekat dengan ketakwaan. Sampai-sampai generasi muda
Minangkabau hari ini merasa wajib memanggil saudaranya/ temannya dengan akhi atau ukhti. Begitu pula dengan sebutan terhadap ahli agama. Panggilan
ustadz dirasa lebih afdhal dari panggilan buya atau pakiah.
Memang
ada perbedaan status sosial antara Pakiah dengan Tuanku. Pakiah setiap saat
bisa naik pangkat jadi Tuanku. Namun jarang terjadi seorang Tuanku diturunkan
pangkat dan gelarnya menjadi Pakiah. Pakiah hanyalah gelar orang Minangkabau.
Lain halnya dengan Tuanku yang meskipun hanya gelar, tetapi gelar ini terkait
dengan jabatan dan kepangkatan dalam kepemimpinan adat. Oleh sebab itu,
menaikkan gelar Pakiah ke dalam daftar jabatan dan kepangkatan kepemimpinan
adat Minagkabau memang terasa mengada-ada. Namun patut juga mempertimbangkan
asas kompetensi dalam melekatkan gelar Pakiah kepada seseorang.
Dalam
upaya menegakkan semangat Adat Basandi
Syara’, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), tak ada salahnya melakukan
perbaikan kompetensi personal penyandang gelar adat di Minangkabau. Tujuannya
agar kualitas manusia Minangkabau semakin baik, terutama dalam mengurus hal-hal
yang terkait dengan urusan agama di keluarga.
Kalau
ada pintak ka buliah, kandak ka balaku,
hendaknya gelar Pakiah benar-benar diberikan kepada orang yang tahu hukum syara’ mengenai perbuatan manusia
mukallaf, tahu yang wajib, sunnat, haram, halal, makruh, mubah, sah, batal dan
sebagainya. Kalau tak ada, tak usah dilekatkan pula gelar Pakiah kepada anak
kemenakan kita.
Muhammad
Nasir
Peneliti
di Magistra Indonesia
Diterbitkan di Majalah Saga Edisi 1 thn 2012
https://issuu.com/padangtoday/docs/majalah_saga_edisi_1__halaman_42-10
No comments:
Post a Comment