08 October 2017

Seribu Wajah Pakiah


Oleh: Muhammad Nasir


Ketek banamo gadang bagala, begitu kata orang Minangkabau. Si Fulan yang sudah dewasa kelak diberi gelar Pakiah, begitu pulalah adatnya.


Pakiah adalah persona Minangkabau yang terkait dengan jabatan keagamaan. Secara langsung ia menjadi gelar bagi elit keagamaan. Periksalah ke kampung-kampung Minangkabau yang menerapkan pemberian gelar bagi pria dewasa di antara mereka, terutama bagi yang telah berumah tangga, pasti ditemukan banyak gelar pakiah.

Gozali Saydam dalam Kamus Bahasa Minang (2004:272) juga memuat lema Pakiah. Pakiah menurutnya adalah nomina yang berarti fakir: orang yang selalu berkekurangan. Ia mencontohkan, Tiok ari Juma’aik pakiah tu manjapuik bareh kamari (Tiap hari Jumat, fakir itu menjemput beras ke sini). Co pakiah di ateh bendi (Bagai fakir di atas bendi). Saya berpendapat, kalau lema ini dimuat juga, sebaiknya harus menghilangkan huruf (h) di akhirnya. Pakia = Fakir. Entahlah kalau ini terkait dengan dialek/lahjah si penutur kata.

Fakir dalam terma Arab justru bermakna lain. Fakir secara bahasa berarti orang yang berhajat atau orang yang tak berharta, serba berkekurangan. Dalam istilah fikih, fakir berarti orang yang mempunyai harta namun tak mencapai satu nisab. Jadi ia tak dikenai wajib zakat.


Ada lagi yang memuat kata Pakiah yang merupakan berasal dari kata Faqih (Arab). Faqih terkait dengan kata Fiqh/ Fikih (Indonesia), yang secara bahasa berarti tahu atau paham. Fiqh terutama dalam definisi ahli hukum Islam (fuqaha) juga dikenal sebagai ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Pakiah itu adalah orang yang mengetahui hukum syara’ yang menjadi ojek ilmu fikih. Pakiah tentu harus tahu hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mukallaf, tahu yang wajib, sunnat, haram, halal, makruh, mubah, sah, batal dan sebagainya.

Dengan demikian, Pakiah adalah sosok yang punyak banyak wajah di Minangkabau. Namun, yang paling dikenal adalah istilah Pakiah yang terkait gelar yang berkelindan dengan nuansa keagamaan, yaitu Pakiah yang berkonotasi Faqih. Jadi pakiah jenis inilah yang akan dibahas.

Standar Kompetensi Pakiah

Ada ratusan bahkan ribuan orang bergelar Pakiah di Minagkabau. Namun nyaris tak ada tokoh besar Minangkabau yang terkenal dengan gelar Pakiah-nya. Entahlah, kalau kita periksa lagi baik-baik gelar adat yang disandang oleh tokoh-tokoh kita itu. Barangkali saja ada yang menyembunyikan gelar Pakiah di balik gelar Profesor, Doktor, Insinyur, Doktorandus, S.Ag dan sebagainya.

Setelah ditanya-tanya, ternyata gelar Pakiah itu memang cendrung berkonotasi agama, setara dengan gelar Kati, Malin dan Labai. Ia diberi gelar pakiah karena sedikit banyaknya paham dengan hukum-hukum syara’. Tetapi dalam prakteknya, tidak sedikit juga di antara Pakiah itu yang berperangai jauh dari kompetensi Ke-Pakiah-an. Ada juga Pakiah yang tak tahu mengaji, tak dapat berdoa, tak sigap berpituah (berfatwa).

Ada yang dapat dipahami dan ada yang patut dikaji ulang dibalik fenomena Pakiah ini. Yang dapat dipahami misalnya, seseorang diberi gelar Pakiah karena ia pernah sekolah agama. Tak peduli sedikit atau banyak ilmunya, namun garis pakiah telah tertulis di telapak tangannya. Selain itu, pakiah juga terkait dengan ketersediaan sumberdaya. Meski seseorang tak tamat mengaji namun dapat memimpin sepatah dua patah do’a, iapun sessaat setelah berbini layak mendapat gelar Pakiah.

Di balik itu ada juga Pakiah sabana Pakiah. Ilmu, perangai dan amaliahnya terintegrasi secara utuh. Tentu saja ini tak perlu dipermasalahkan, karena kata orang Minangkabau “bak jangguik pulang ka daguak”. Namun yang akan dipersoalkan, alangkah malangnya nasib Pakiah di Minangkabau.

Coba Simak! Seorang remaja tanggung datang ke rumah-rumah membawa buntia bareh (karung beras). Ba’da salam, tergopoh-gopoh tuan rumah mengantar setekong beras untuk remaja tersebut. Bahkan tak jarang tuan rumah tak kalah sigapnya mengucapkan kata “maaf dulu kiah..!” menjawab salam remaja tersebut. Remaja tersebut sering disebut sebagai Pakiah. Upayanya tersebut disebut mamakiah. Berdasarkan cerita seorang mantan Pakiah, tak jarang Pakiah ini kelak menjadi orang besar yang kelak disebut Tuangku.

Yang patut dikaji ulang antara lain bagaimana seharusnya posisi Pakiah dalam konstelasi kepemimpinan adat berbasis agama Minangkabau. Pakiah jika ia berasal dari kata Faqih semestinya didudukkan dalam posisinya yang tepat. Pakiah sekarang ini benar-benar malang nasibnya dihantam besarnya apresiasi terhadap Tuanku/Tuangku.

Banyak elit agama Minangkabau yang terkenal dalam sejarah bergelar Tuanku. Sebut saja Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tuo, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Kuniang dan para Tuanku lainnya. Padahal gelar tersebut tak sedikitpun terkait dengan kata Arab. Konon dalam pemahaman keagamaan masyarakat Minangkabau saat ini, semakin Arab istilahnya semakin dekat dengan ketakwaan. Sampai-sampai generasi muda Minangkabau hari ini merasa wajib memanggil saudaranya/ temannya dengan akhi atau ukhti. Begitu pula dengan sebutan terhadap ahli agama. Panggilan ustadz dirasa lebih afdhal dari panggilan buya atau pakiah.

Memang ada perbedaan status sosial antara Pakiah dengan Tuanku. Pakiah setiap saat bisa naik pangkat jadi Tuanku. Namun jarang terjadi seorang Tuanku diturunkan pangkat dan gelarnya menjadi Pakiah. Pakiah hanyalah gelar orang Minangkabau. Lain halnya dengan Tuanku yang meskipun hanya gelar, tetapi gelar ini terkait dengan jabatan dan kepangkatan dalam kepemimpinan adat. Oleh sebab itu, menaikkan gelar Pakiah ke dalam daftar jabatan dan kepangkatan kepemimpinan adat Minagkabau memang terasa mengada-ada. Namun patut juga mempertimbangkan asas kompetensi dalam melekatkan gelar Pakiah kepada seseorang.

Dalam upaya menegakkan semangat Adat Basandi Syara’, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK), tak ada salahnya melakukan perbaikan kompetensi personal penyandang gelar adat di Minangkabau. Tujuannya agar kualitas manusia Minangkabau semakin baik, terutama dalam mengurus hal-hal yang terkait dengan urusan agama di keluarga.

Kalau ada pintak ka buliah, kandak ka balaku, hendaknya gelar Pakiah benar-benar diberikan kepada orang yang  tahu hukum syara’ mengenai perbuatan manusia mukallaf, tahu yang wajib, sunnat, haram, halal, makruh, mubah, sah, batal dan sebagainya. Kalau tak ada, tak usah dilekatkan pula gelar Pakiah kepada anak kemenakan kita.

Muhammad Nasir
Peneliti di Magistra Indonesia

Diterbitkan di Majalah Saga Edisi 1 thn 2012
https://issuu.com/padangtoday/docs/majalah_saga_edisi_1__halaman_42-10

No comments: