Oleh:
Muhammad Nasir
Pemikiran-
pemikiran yang pernah muncul adalah ssejarah, “no more no less”
Review
Pemikiran yang telah dan sedang beredar adalah “historiographical thought”
Kajian Pemikiran yang
dilakukan sekarang merupakan aspek kriritsisime dalam Filsafat Sejarah Kritis
- Definisi Operasional Sejarah Pemikiran
Sejarah Pemikiran Islam
adalah sebuah peta diaspora pemikiran umat Islam tentang tuhan, agama, alam dan
segenap kompleksitasnya. Pemikiran Islam bukan hanya bergerak dalam ranah
binner halal dan haram atau muslim dan kafir, tetapi lebih dari itu, Islam sebagai
ajaran yang universal mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik di dunia
maupun akhirat.
Dalam kompleksitas sejarah
pemikiran dalam dunia Islam yang kosmopolit, berbagai cabang ilmu keislaman
telah sedemikian berkembang selama berabad-abad termanifestasikan dalam kalam,
fikih, filsafat, sejarah, sastra, bahasa, arsitektur, geografi, biologi,
astronomi, kedokteran dan lain-lain. Maka Islam sejak diproklamirkan sebagai
agama universal (rahmatan lil alamin) pada sekitar 610 M telah mengalami
perkembangan yang cukup pesat.
Sebelum lebih lanjut
membahas perkembangan “kecerdasan akal” para intelektual muslim beserta segenap
produk pemikirannya, ada baiknya diulas selintas tentang maksud Sejarah
Pemikiran dalam Islam. Dengan uraian semantic, frase itu terdiri dari tiga kata
penyangga utama yaitu Sejarah, Pemikiran dan Islam.
Sejarah bersinonim dengan kata Tarikh (Arab),
History (Inggris), Geschichte (Jerman) semuanya mengandung satu
pengertian yang sama yaitu tentang peristiwa dan kejadian pada masa lampau. Sejarah berasal dari kata Syajarah yang berarti pohon. Pohon menurut
Suparlan Suhartono[i]
mempunyai sifat alami yaitu "pertumbuhan ke arah tertentu".
Pengertian di atas dapat membatu memberi pemahaman bahwa sejarah bukanlah
sesuatu yang statis; merujuk pada masa silam saja. Lebih dari itu
merujuk pertumbuhan dan perkembangan pada tujuan tertentu (tellos).
Senada dengan itu, istilah sejarah menurut Hugiono dan PK
Poerwantana[ii]
berasal dari kata Arab “Syajarah” yang berarti pohon, yang memiliki
akar, batang, cabang, asal usul dan keturunan. Istilah sejarah terkenal di
Indonesia berkat akulturasi budaya
Indonesia dengan kebudayaan Arab Islam pada sekitar abad ke-13.
Ilmu sejarah pada umumnya meletakkan
manusia sebagai objek kajiannya. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pandangan
filosof sejarah yang menyatakan Manusia Sebagai Makhluk Sejarah
(homohistricus). Dalam hal ini Pokok bahasannya (subject) adalah
manusia, khususnya berkaitan dengan hasil perbuatan (object) manusia.
Manusia adalah makhluk sosial, makhluk
budaya, makhluk yang cerdas. Manusia hidup dalam zamannya, mengikuti jiwa
zamannya (zeitgeist). Kerja sejarah adalah merefleksi kemampuan manusia.
Karena terkait dengan historisitas (kesejarahan), dalam konteks sejarah
pemikiran yang dibahas adalah perkembangan kecerdasan otak manusia dalam
memikirkan segenap fenomena ilahiyah (agama) dan insaniyah (posisi manusia
dalam agama)
2. Al Qur’an Titik Tolak Pemikiran dalam Islam
Lahirnya Muhammad SAW dan turunnya Alquran menandai dimulainya
penemuan dan pengembangan sumber pengetahuan baru bagi kebudayaan manusia.
Sumber pengetahuan baru itu adalah kesadaran induktif (inductive intellect)
yang kelak memegang peran amat penting bagi peradaban manusia. Alquran
berulang-ulang menekankan pentingnya manusia merenungkan keberadaan alam
sekitar.
Kita disuruh memperhatikan dan meneliti bagaimana malam dan siang
datang silih berganti, miliaran bintang tak bertabrakan, gunung dipancangkan,
lautan dihamparkan, waktu, cahaya, dan beragam fenomena alam lainnya sebagai
tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Hal yang disebutkan tadi dengan jelas disebutkan
oleh Alquran sebagai salah satu bagian dari tiga sumber pengetahuan manusia:
jiwa (anfus, self), alam raya (afaq, nature),dan sejarah (QS
41:53).
Semangat induktif Alquran inilah yang memberikan corak baru dalam
perkembangan kebudayaan manusia. Islam dari awal hadir bersifat terbuka. Karena
itu, Islam membuka dialog dengan kebudayaan lain seperti kebudayaan India,
Persia, Romawi, Yunani dan lain-lain. Di antara kebudayan-kebudayaan itu, yang
amat terasa peranannya adalah kebudayaan Yunani, terutama tradisi filsafat dan
pemikirannya.
Sejak Alkindi, filsuf muslim awal, menerjemahkan karya-karya
pemikir Yunani, kegairahan para pemikir Muslim pada kebudayaan ini begitu
menggelora. Namun, para pemikir Muslim menemukan adanya kontradiski antara
corak pemikiran Yunani dan spirit Alquran. Tradisi filsafat Yunani terlalu
menekankan aspek-aspek teoritik spekulatif idealistik dan cendrung
mengesampingkan realitas faktual.[iii]
3. Corak Pemikiran Islam
â
Kalam
( Tuhan, manusia,
Wahyu, Akal, dunia, Akhirat)
â
Falasafah
(ontologism,
epistemologis, axiologis)
â
Fiqh
(ibadah,
mu’amalah, siyasah)
â
Tashawwuf
(Relasi
tuhan-manusia)
Sepengetahuan saya, Taqiyuddin Ahmad Ibn Taimiyah (w 728 H), salah
seorang ulama Hanabilah, yang mencuatkan frame pemikiran fiqih siyasi
dalam sebuah karya yang utuh, As-siyasah As-syar'iyah. Menurut Ibn
Taimiyah, sistem khilafah merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan dalam
Islam, sehingga wajib hukumnya mendirikan pemerintahan model Khulafaur
Rasyidun. Karena itu, istilah ulil amri (pemerintah atau penguasa) bagi
Ibn Taimiyah merupakan kesatuan antara ulama dan umara.
Sekedar contoh, pemikiran politik
Islam berusaha untuk menjelaskan konsep kekuasaan yang dijalankan dalam
hubungan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Pemikiran politik
Islam yang melandasi praktik politik berbagai kelompok Islam dewasa ini tidak
akan mudah ditelusuri dan dipetakan tanpa disertai dengan adanya pengetahuan
yang memadai tentang sejarah perjalanan pemikiran politik Islam sejak masa
paling awal atau masa Nabi hingga masa modern sekarang.
Dalam sejarah pemikiran ekonomi tercatat suatu rangkaian
perjuangan pemikiran ekonomi, bahkan rangkaian usaha untuk “saling mengalahkan”
dalam pemikiran ekonomi. Sejak awal
pencatan sejarah dan sejak usaha pemenuhan kebutuhan hidup menjadi bagian dari
kegiatan manusia, pemikiran ekonomi telah diwarnai oleh perjuangan
tersebut. Mulai sejak jaman Yunani Kuno
yang menempatkan ekonomi sebagai bagian dari filsafat, pemikiran ekonomi terus
berkembang meski lambat hingga jaman Merkantilisme atau jaman Perdagangan dan
Para Pedagang.
Berikutnya
ditawarkan pemikiran para Physiokrasi yang membela pertanian. Lalu lahir karya penting Adam Smith “Kekayaan
Bangsa-bangsa (The Wealth of Nations)” – yang sering dengan tidak
bertanggung jawab dipisahkan dari karya Smith lainnya “The Moral Sentiments”
– yang kemudian menjadi awal dari pemikiran ekonomi klasik.[iv]
Panggung sejarah intelektual Islam
sungguh tak pernah sepi dari polemik dan kontroversi. Betapa sengit perdebatan
sejak kurun pertama hijriah bisa kita simak misalnya dalam kitab Maqalat Al
Islamiyyin yang ditulis Imam Al Asy'ari (w 324/935) dan kitab Al Farq
baynal Firaq oleh Al Baghdadi (w 429/1037). Direkam dengan sangat rinci
bagaimana silang pendapat terjadi antara tokoh-tokoh Mu'tazilah, Rafidhah,
Murji'ah, dan Ahlus Sunnah. Jelas tergambar tidak hanya kemajemukan tapi juga
kedewasaan para cendekiawan pada waktu itu.
Di abad selanjutnya Imam Ghazali (w
555/1111) mengguncang dunia perfilsafatan dengan kitabnya Tahafut at Tahafut.
Dengan piawai disingkapnya pelbagai kerancuan dalam pemikiran Al Farabi dan Ibn
Sina, dua sosok paling berpengaruh pada zamannya. Menurut beliau, ada tiga
noktah ajaran mereka berimplikasi kufur. Pertama, menyatakan bahwa alam
semesta ini kekal abadi. Kedua, mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui
perkara-perkara detil. Dan ketiga, mengingkari kebangkitan jasad pada
hari kiamat.
Penting dicatat di sini bahwa Imam
Ghazali tidak menyebut kedua filsuf tersebut kafir. Sasaran kritiknya
semata-mata pemikiran mereka yang dinilainya keliru. Sebab, bagi Imam Ghazali,
selagi seseorang itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian Muhammad
SAW, maka ia tidak boleh dianggap kafir.
Menariknya, penilaian Imam Ghazali itu
tidak diterima begitu saja sebagai dogma. Bantahan terhadapnya datang dari Ibn
Rusyd (w 595/1198), filosof sekaligus faqih yang juga berprofesi sebagai
dokter istana Cordoba. Lewat bukunya yang terkenal, Fashlul Maqal fima baynal
Hikmah wal Syari'ah minal Ittishal, Ibn Rusyd berhasil membuyarkan mitos
bahwa kebenaran falsafi mustahil bersanding dengan kebenaran agama.
Nasib yang sama dialami warisan
intelektualnya yang lain. Karya-karya Imam Ghazali yang mempelopori simbiosis
antara kalam dan filsafat, ushul fiqh dan logika oleh Ibn Taymiyyah, Ibn
Al Qayyim dan Ibn Qudamah seolah dimentahkan. Sementara karya beliau yang
berupaya menawarkan sintesis antara tasawuf, fikih dan sunnah dalam kitab Ihya'
Ulumiddin pun tak luput dari koreksi dan sanggahan. Ini belum termasuk
tulisan-tulisan yang khas ditujukan untuk kalangan sufi seperti kitab Misykat
Al Anwar.[v]
- Pemikiran Islam:
Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh
kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati
praktis tidak ada. Sebaliknya di Timur
Tengah. Sejak hadirnya agama Islam dan
munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada
karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis
kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi
pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah
deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada
penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.
(1) Mazhab
Mu'tazilah (725 - 850 - 1025 M)
meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman. Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan
(selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat
dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu
membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan
umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan
tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan
hak azasi (kemauan bebas) manusia.
Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3 ayat 110): "amr bil-a'ruf
wa'l nahy an'al-munkar".
Mazhab
Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan
oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus". Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan
kacamata rasionalis.
(2) Mazhab
falsafah pertama (830 - 1037 M), berhaluan neoplatonis dan
aristoteles. Kata "falsafah"
dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli
fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak). Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M),
al-Razi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M)
dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan
antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et
existentiam"). Mereka ada pada pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu'l
Qur'an. Tulis al-Razi: "Tuhan
memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar. Dengan akal kita mengetahui segala apa yang
bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita. Berkat akal itu kita mengetahui hal yang
tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu
tertinggi bagi manusia. Akal itu
menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain. Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal
semata-mata".
(3)
Mazhab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Asy’ari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang
dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal
sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan. Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M),
al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).
Pandangan yang bercorak atomistis
berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain
daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan. Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat
dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan
al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun"
(Al-Qur'an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus
atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan
minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak
illahi.
Apabila tampak sesuatu akibat dari
suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu. Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap
kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya
semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk.
"Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila
dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilanNya".
Dalam "Al-Tahafut al-falasifah"
al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat
kajian dan bantahan yang keras atas
tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat. Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui
sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara
singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal
tiada tempat dalam agama.
(4) Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur
Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika
barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat
Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat. Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? -
1185), dan Ibn Rusyd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf
utama dalam perioda Filsafat Kedua
(1100 - 1195 M) ini.
Ciri para filsuf ini pada umumnya
menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas
seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan
kenyataan rohani sampai akhir hayat.
Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada
abdiNya yang setia.
Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman falsafi
yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi
asrar al -himah al-mashiriyyah.
Ibn Rusyd dikenal oleh 3 kelompok
karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya
filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari
ancaman dari dalam). Tahafut al-tahafut merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali. Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya
bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya.
Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya
sebagai nyata dengan akal. Dengan akibat
atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa
pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos
dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah. Itu bertentangan dengan akal sehat dan
menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang
maha bijaksana.
Karya apologetisnya (2 buku yang
ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik
sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi. Rusyd melihat filsafat sebagai "sahabat
al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan. Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar
manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188,
Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17)
. Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai
studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.
Pengaruh Ibn Rusyd sang filsuf dari
Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia
bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok
mayatnya". Tetapi naskahnya populer
di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan menyebar dari
sana. Dengan karyanya, Aristoteles yang dijuluki "Sang
Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rusyd yang oleh karena
itu mendapat julukan "Sang Komentator".
Sebagai akibatnya, obor perenungan
filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para
filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada
para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia.
Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan
tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di
sekelilingnya.
- Sejarah Pemikiran Itu Tunggal (Sejarah Kecerdasan Manusia)
Dengan
dalih ini saya ingin mengatakan bahwa tidak ada dikotomi antara pemikiran Barat
dan Islam. Studi Pemikiran tidak bisa dilepaskan dari manusia oleh manusia dan
untuk manusia. Persolan titik tolaklah yang layak dijadikan pembeda (al
fashl) antara kedua kutub pemikiran yang dipertentangkan itu. Misalnya,
Islam dan beberapa keyakinan timur meletakkan al Qur’an atau nilai-nilai
spiritual sebagai titik tolak. (Theo-anthropocentris)
Dan
Barat mungkin saja meletakkan kebutuhan dasar manusia (human basic need)
sebagai titik tolak. Hal ini besar kemungkinan disebabkan berkurangnya
keyakinan barat terhadap autentitas kitab suci mereka. Pasca periode classic
dan helenisme, barat ramai-ramai menolak otoritas gereja dengan teks-
teks sucinya sebagai titik tolak pemikirannya (anthropocentris)
- Etika Dialog dalam Islam
Setidaknya ada empat etika ketika mengadakan dialog seputar
permasalahan ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Pertama,
tidak mengharuskan orang lain mengikuti pendapat yang diadopsinya. Kedua,
tidak mengingkari sesuatu yang masih dalam kerangka ijtihad-able (masih masuk
dalam koridor ijtihadiyah). Ketiga, tidak takabur, jumawa untuk kembali
kepada kebenaran. Keempat, berusaha menjauhi hal-hal yang (kemungkinan
besar) menimbulkan fitnah dan tindakan refresif.[vi]
Dalam upaya studi pemikiran, ikhtilaf sangat niscaya terjadi. Oleh
sebab itu perlu dipahami bahwa elaborasi akal terhadap persoalan manusia yang
sangat cosmic mesti dihukum sebagai produk yang bernilai relative.
an
experimental breakthought
untuk didiskusikan
Wallahu
a’lam bi al shawab
Padang,
Waktu Gampo 7,7 SR (13/09/07)
01 Ramadhan
1428 H
[i] Suparlan Suhartono,
Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Yogyakarta: Arruz, 2005), h.15
[ii] Hugiono dan P.K.
Purwantana,(Jakarta:Rineka Cipta,1992), h.3
[iii] Zezen Zaenal M, Alquran dan Spirit Kebudayaan Modern, Republika,
Selasa, 10 Oktober 2006
[iv] Bayu Krisnamurthi, Perjuangan
Pemikiran Ekonomi (Tanggapan terhadap Prof Mubyarto), Artikel, Agustus 2003
[v] Syamsuddin Arif, Menghindari Kejumudan Pembaruan Islam, Republika, Jumat, 02 Februari 2007
[vi] Muhammad Hikam Masrun, Fikih Juga Perlu Etika, Republika,
Jumat, 15 September 2006
No comments:
Post a Comment