17 October 2017

Pengantar Studi Pemikiran Islam


Oleh: Muhammad Nasir



Pemikiran- pemikiran yang pernah muncul adalah ssejarah, “no more no less”
 Review Pemikiran yang telah dan sedang beredar adalah “historiographical thought”
Kajian Pemikiran yang dilakukan sekarang merupakan aspek kriritsisime dalam Filsafat Sejarah Kritis



  1. Definisi Operasional Sejarah Pemikiran

Sejarah Pemikiran Islam adalah sebuah peta diaspora pemikiran umat Islam tentang tuhan, agama, alam dan segenap kompleksitasnya. Pemikiran Islam bukan hanya bergerak dalam ranah binner halal dan haram atau muslim dan kafir, tetapi lebih dari itu, Islam sebagai ajaran yang universal mencakup seluruh aspek kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat.


Dalam kompleksitas sejarah pemikiran dalam dunia Islam yang kosmopolit, berbagai cabang ilmu keislaman telah sedemikian berkembang selama berabad-abad termanifestasikan dalam kalam, fikih, filsafat, sejarah, sastra, bahasa, arsitektur, geografi, biologi, astronomi, kedokteran dan lain-lain. Maka Islam sejak diproklamirkan sebagai agama universal (rahmatan lil alamin) pada sekitar 610 M telah mengalami perkembangan yang cukup pesat.


Sebelum lebih lanjut membahas perkembangan “kecerdasan akal” para intelektual muslim beserta segenap produk pemikirannya, ada baiknya diulas selintas tentang maksud Sejarah Pemikiran dalam Islam. Dengan uraian semantic, frase itu terdiri dari tiga kata penyangga utama yaitu Sejarah, Pemikiran dan Islam.




Sejarah bersinonim dengan kata Tarikh (Arab), History (Inggris), Geschichte (Jerman) semuanya mengandung satu pengertian yang sama yaitu tentang peristiwa dan kejadian pada masa lampau. Sejarah berasal dari kata Syajarah yang berarti pohon. Pohon menurut Suparlan Suhartono[i] mempunyai sifat alami yaitu "pertumbuhan ke arah tertentu". Pengertian di atas dapat membatu memberi pemahaman bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang statis; merujuk pada masa silam saja. Lebih dari itu merujuk pertumbuhan dan perkembangan pada tujuan tertentu (tellos).


Senada dengan itu, istilah sejarah menurut Hugiono dan PK Poerwantana[ii] berasal dari kata Arab “Syajarah” yang berarti pohon, yang memiliki akar, batang, cabang, asal usul dan keturunan. Istilah sejarah terkenal di Indonesia berkat  akulturasi budaya Indonesia dengan kebudayaan Arab Islam pada sekitar abad ke-13.  



Ilmu sejarah pada umumnya meletakkan manusia sebagai objek kajiannya. Hal ini sangat erat kaitannya dengan pandangan filosof sejarah yang menyatakan Manusia Sebagai Makhluk Sejarah (homohistricus). Dalam hal ini Pokok bahasannya (subject) adalah manusia, khususnya berkaitan dengan hasil perbuatan (object) manusia.



Manusia adalah makhluk sosial, makhluk budaya, makhluk yang cerdas. Manusia hidup dalam zamannya, mengikuti jiwa zamannya (zeitgeist). Kerja sejarah adalah merefleksi kemampuan manusia. Karena terkait dengan historisitas (kesejarahan), dalam konteks sejarah pemikiran yang dibahas adalah perkembangan kecerdasan otak manusia dalam memikirkan segenap fenomena ilahiyah (agama) dan insaniyah (posisi manusia dalam agama)



2.    Al Qur’an Titik Tolak Pemikiran dalam Islam

Lahirnya Muhammad SAW dan turunnya Alquran menandai dimulainya penemuan dan pengembangan sumber pengetahuan baru bagi kebudayaan manusia. Sumber pengetahuan baru itu adalah kesadaran induktif (inductive intellect) yang kelak memegang peran amat penting bagi peradaban manusia. Alquran berulang-ulang menekankan pentingnya manusia merenungkan keberadaan alam sekitar.



Kita disuruh memperhatikan dan meneliti bagaimana malam dan siang datang silih berganti, miliaran bintang tak bertabrakan, gunung dipancangkan, lautan dihamparkan, waktu, cahaya, dan beragam fenomena alam lainnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Tuhan. Hal yang disebutkan tadi dengan jelas disebutkan oleh Alquran sebagai salah satu bagian dari tiga sumber pengetahuan manusia: jiwa (anfus, self), alam raya (afaq, nature),dan sejarah (QS 41:53).



Semangat induktif Alquran inilah yang memberikan corak baru dalam perkembangan kebudayaan manusia. Islam dari awal hadir bersifat terbuka. Karena itu, Islam membuka dialog dengan kebudayaan lain seperti kebudayaan India, Persia, Romawi, Yunani dan lain-lain. Di antara kebudayan-kebudayaan itu, yang amat terasa peranannya adalah kebudayaan Yunani, terutama tradisi filsafat dan pemikirannya.



Sejak Alkindi, filsuf muslim awal, menerjemahkan karya-karya pemikir Yunani, kegairahan para pemikir Muslim pada kebudayaan ini begitu menggelora. Namun, para pemikir Muslim menemukan adanya kontradiski antara corak pemikiran Yunani dan spirit Alquran. Tradisi filsafat Yunani terlalu menekankan aspek-aspek teoritik spekulatif idealistik dan cendrung mengesampingkan realitas faktual.[iii]



3.    Corak Pemikiran Islam

â         Kalam ( Tuhan, manusia, Wahyu, Akal, dunia, Akhirat)

â         Falasafah (ontologism, epistemologis, axiologis)

â         Fiqh (ibadah, mu’amalah, siyasah)

â         Tashawwuf (Relasi tuhan-manusia)

Sepengetahuan saya, Taqiyuddin Ahmad Ibn Taimiyah (w 728 H), salah seorang ulama Hanabilah, yang mencuatkan frame pemikiran fiqih siyasi dalam sebuah karya yang utuh, As-siyasah As-syar'iyah. Menurut Ibn Taimiyah, sistem khilafah merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan dalam Islam, sehingga wajib hukumnya mendirikan pemerintahan model Khulafaur Rasyidun. Karena itu, istilah ulil amri (pemerintah atau penguasa) bagi Ibn Taimiyah merupakan kesatuan antara ulama dan umara.



Sekedar contoh, pemikiran politik Islam berusaha untuk menjelaskan konsep kekuasaan yang dijalankan dalam hubungan antara pihak yang berkuasa dan pihak yang dikuasai. Pemikiran politik Islam yang melandasi praktik politik berbagai kelompok Islam dewasa ini tidak akan mudah ditelusuri dan dipetakan tanpa disertai dengan adanya pengetahuan yang memadai tentang sejarah perjalanan pemikiran politik Islam sejak masa paling awal atau masa Nabi hingga masa modern sekarang.



Dalam sejarah pemikiran ekonomi tercatat suatu rangkaian perjuangan pemikiran ekonomi, bahkan rangkaian usaha untuk “saling mengalahkan” dalam pemikiran ekonomi.  Sejak awal pencatan sejarah dan sejak usaha pemenuhan kebutuhan hidup menjadi bagian dari kegiatan manusia, pemikiran ekonomi telah diwarnai oleh perjuangan tersebut.  Mulai sejak jaman Yunani Kuno yang menempatkan ekonomi sebagai bagian dari filsafat, pemikiran ekonomi terus berkembang meski lambat hingga jaman Merkantilisme atau jaman Perdagangan dan Para Pedagang. 



Berikutnya ditawarkan pemikiran para Physiokrasi yang membela pertanian.  Lalu lahir karya penting Adam Smith “Kekayaan Bangsa-bangsa (The Wealth of Nations)” – yang sering dengan tidak bertanggung jawab dipisahkan dari karya Smith lainnya “The Moral Sentiments” – yang kemudian menjadi awal dari pemikiran ekonomi klasik.[iv]



Panggung sejarah intelektual Islam sungguh tak pernah sepi dari polemik dan kontroversi. Betapa sengit perdebatan sejak kurun pertama hijriah bisa kita simak misalnya dalam kitab Maqalat Al Islamiyyin yang ditulis Imam Al Asy'ari (w 324/935) dan kitab Al Farq baynal Firaq oleh Al Baghdadi (w 429/1037). Direkam dengan sangat rinci bagaimana silang pendapat terjadi antara tokoh-tokoh Mu'tazilah, Rafidhah, Murji'ah, dan Ahlus Sunnah. Jelas tergambar tidak hanya kemajemukan tapi juga kedewasaan para cendekiawan pada waktu itu.



Di abad selanjutnya Imam Ghazali (w 555/1111) mengguncang dunia perfilsafatan dengan kitabnya Tahafut at Tahafut. Dengan piawai disingkapnya pelbagai kerancuan dalam pemikiran Al Farabi dan Ibn Sina, dua sosok paling berpengaruh pada zamannya. Menurut beliau, ada tiga noktah ajaran mereka berimplikasi kufur. Pertama, menyatakan bahwa alam semesta ini kekal abadi. Kedua, mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui perkara-perkara detil. Dan ketiga, mengingkari kebangkitan jasad pada hari kiamat.



Penting dicatat di sini bahwa Imam Ghazali tidak menyebut kedua filsuf tersebut kafir. Sasaran kritiknya semata-mata pemikiran mereka yang dinilainya keliru. Sebab, bagi Imam Ghazali, selagi seseorang itu mengakui ketuhanan Allah dan meyakini kenabian Muhammad SAW, maka ia tidak boleh dianggap kafir.



Menariknya, penilaian Imam Ghazali itu tidak diterima begitu saja sebagai dogma. Bantahan terhadapnya datang dari Ibn Rusyd (w 595/1198), filosof sekaligus faqih yang juga berprofesi sebagai dokter istana Cordoba. Lewat bukunya yang terkenal, Fashlul Maqal fima baynal Hikmah wal Syari'ah minal Ittishal, Ibn Rusyd berhasil membuyarkan mitos bahwa kebenaran falsafi mustahil bersanding dengan kebenaran agama.



Nasib yang sama dialami warisan intelektualnya yang lain. Karya-karya Imam Ghazali yang mempelopori simbiosis antara kalam dan filsafat, ushul fiqh dan logika oleh Ibn Taymiyyah, Ibn Al Qayyim dan Ibn Qudamah seolah dimentahkan. Sementara karya beliau yang berupaya menawarkan sintesis antara tasawuf, fikih dan sunnah dalam kitab Ihya' Ulumiddin pun tak luput dari koreksi dan sanggahan. Ini belum termasuk tulisan-tulisan yang khas ditujukan untuk kalangan sufi seperti kitab Misykat Al Anwar.[v]



  1. Pemikiran Islam:

Abad ke-5 s/d abad ke-9 Eropa penuh kericuhan oleh perpindahan suku-suku bangsa dari utara. Pemikiran filsafati praktis tidak ada.  Sebaliknya di Timur Tengah.  Sejak hadirnya agama Islam dan munculnya peradaban baru yang bercorak Islam, ada perhatian besar kepada karya-karya filsuf Yunani. Itu bukan tanpa alasan. Pada awal abad 8 krisis kepemimpinan melanda Timur Tengah; amanat Nabi seperti terancam untuk menjadi pudar dan dalam situasi tak menentu itu dikalangan pada mukmin muncullah deretan panjang ahli pikir yang ingin berbuat sesuatu, berpangkal pada penggunaan akal dan azas-azas rasional, dan menyelamatkan Islam.



(1)  Mazhab Mu'tazilah (725 - 850 - 1025 M)  meminjam konsep-konsep pemikiran Yunani dan melihat akal sebagai pendukung iman.  Pengakuan akal sebagai sumber pengetahuan (selain sumber wahyu) mendorong penelitian tentang manusia (kodrat, martabat dan tabiatnya). Mengikuti etika Aristoteles, karena akal membuat manusia mampu membedakan baik dan buruk, maka berbuat baik adalah wajib. Pemimpin harus mewajibkan umatnya berbuat baik, masing-masing warga menjauhkan diri dari perbuatan tercela. Daripadanya dijabarkan hubungan antar-manusia dan antar-bangsa, dan hak azasi (kemauan bebas) manusia.  Pandangan ini cocok dengan Al Qur'an (Surah 3 ayat 110): "amr bil-a'ruf wa'l nahy an'al-munkar".



Mazhab Mu'tazila ada pada pendapat bahwa Al Qur'an tercipta, artinya "dirumuskan oleh manusia, dengan latar belakang tempat dan zaman yang khusus".  Maka para Mu'tazila membaca Al Qur'an dengan kacamata rasionalis.



(2)  Mazhab falsafah pertama (830 - 1037 M), berhaluan neoplatonis dan aristoteles.  Kata "falsafah" dipakai untuk mengartikan filsafat hellenis dalam kosakata bahasa Arab, ahli fikirnya disebut "faylasuf" ("falasifa - jamak).  Empat tokol besar : al-Kindi (800-870 M), al-Razi (865 - 925 M), al-Farabi (872 - 950 M)  dan Ibn-Sina (980 - 1037 M). Menggumuli masalah klasik "perbedaan antara dhat dan wujud" ("distinctio realis inter essentiam et existentiam").  Mereka ada pada  pendapat, bahwa akal adalah pendamping iman. Al-Razi menolak ijazu'l Qur'an. Tulis al-Razi:  "Tuhan memberi kepada manusia akal sebagai anugerah terbesar.  Dengan akal kita mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi kita dan yang dapat memperbaiki hidup kita.  Berkat akal itu kita mengetahui hal yang tersembunyi dan apa yang akan terjadi. Dengan akal kita mengenal Tuhan, ilmu tertinggi bagi manusia.  Akal itu menghakimi segala-galanya, dan tidak boleh dihakimi oleh sesuatu yang lain.  Kelakuan kita harus ditentukan oleh akal semata-mata".



(3) Mazhab pemikiran ketiga disebut pula Kalam Asy’ari, berpusat di Bagdad, dan bercorak atomisme (yang dicetuskan pertama kali oleh Democritus, 370 sM), dan bergumul dengan soal sebab-musabab, kebebasan manusia, dan keesaan Tuhan.  Para tokohnya: al-Ash'ari (873-935 M), al-Baqillani (?-1035), dan al-Ghazali (1065-1111 M).



Pandangan yang bercorak atomistis berpangkal pada pendapat bahwa peristiwa alam dan perbuatan manusia tidak lain daripada kesempatan atau tanda penciptaan langsung dari Tuhan.  Daya alami serta hubungan wajib sebab-akibat dalam penciptaan itu tidak ada. Segala sesuatu terjadi oleh campur tangan al-Khaliq, "tiada yang tersembunyi daripadaNya seberat dharahpun" (Al-Qur'an Surat 34 ayat 3). Tiap kejadian terdiri atas deretan terputus-putus atom-atom, tanpa ada hubungan kausal. "Kami menyangkal bahwa makan dan minum menyebabkan kenyang". Yang ada hanya monokausalitas mutlak illahi. 



Apabila tampak sesuatu akibat dari suatu tindakan, maka itu hanya semu, karena Allah menghendaki hal itu.  Tuhan mahakuasa dan mendalangi setiap kegiatan insani. Manusia tidak memiliki kehendak bebas, yang bebas itu hanya semua saja. Manusia hanya boneka atau wayang dalam pergelaran semalam suntuk. "Bila manusia bertindak baik, itulah ditentukan Allah sesuai rahmatNya; bila dia berbuat jahat itu dikehendaki Allah sesuai keadilanNya".



Dalam "Al-Tahafut al-falasifah" al-Ghazali membuat sistematisasi atas filsafat dalam 20 dalil dan membuat kajian  dan bantahan yang keras atas tiap-tiap dalil itu. Empat dari 20 dalil diberi nilai kufurat.  Ilmu sebagai pengetahuan sesuatu melalui sebab-sebabnya dimungkiri; seluruh pengetahuan ilmiah adalah sia-sia. Secara singkat "al-aql laysa lahu fi'l-shar' majal" -- untuk akal tiada tempat dalam agama.



(4)  Jauh dari pusat khilafat Abbasiyah di Timur Tengah, di kawasan yang dikenal sebagi Maghrib al-Aqsa (Barat jauh: Afrika barat laut, jazirah Andalusia, yaitu Spanyol sekarang) berkembanglah pusat Islam dalam kesenian, ilmu pengetahuan dan filsafat.  Ibn Bajjah (1100-1138 M), Ibn Tufail (? - 1185), dan Ibn Rusyd ("Averroes") (1126-1198 M) merupakan 3 filsuf utama dalam perioda Filsafat Kedua (1100 - 1195 M) ini.



Ciri para filsuf ini pada umumnya menolak haluan anti-rasional Al Ghazali. Ibn Bajjah menegaskan adalah tugas seorang filsuf untuk meningkatkan martabat hidupnya dengan merenungkan kenyataan rohani sampai akhir hayat.  Akal adalah hal yang paling berharga yang dikaruniakan Tuhan kepada abdiNya yang setia.



Ibn Tufayl terkenal oleh buku roman falsafi yang berjudul Risalat HAYY IBN YAQZAN fi asrar al -himah al-mashiriyyah.



Ibn Rusyd dikenal oleh 3 kelompok karyanya: tafsir atas Aristoteles, karangan polemis (tentang karya-karya filsafat di kawasan timur) dan karangan apologetis (yang membela Islam dari ancaman dari dalam).  Tahafut al-tahafut  merupakan serangan frontal atas al-Tahafut al-filasifah al-Ghazali.  Menolak pandangan al-Ghazali, ditegaskannya bahwa ilmu secara esensial adalah pengetahuan sesuatu berdasarkan sebabnya. Kita menanggapi hubungan sebab-akibat dengan pancaindera, dan memahaminya sebagai nyata dengan akal.  Dengan akibat atau setiap perubahan diciptakan secara langsung oleh iradat ilahi tanpa pengantaraan sebab tercipta (wasa'ith), seluruh dunia dimerosotkan menjadi kaos dan irasional, tanpa tata-tertib, tanpa nizam atau inayah.  Itu bertentangan dengan akal sehat dan menentang wahyu Qur'an, yang melukiskan dunia sebagai karya teratur Allah yang maha bijaksana.



Karya apologetisnya (2 buku yang ditulis pada tahun 1179 M) juga membela hak hidup filsafat dalam Islam, baik sebagai ilmu otonom, maupun sebagai ilmu bantu dalam teologi.  Rusyd melihat filsafat sebagai "sahabat al-shari'at w'ahat al-ruzdat", teman teologi ibarat saudari sesusuan.  Filsafat diwajibkan oleh al-Qur'an, agar manusia dapat memuji karya Tuhan di dunia ini (antara lain Surah 3 ayat 188, Surah 6 ayat 78, Surah 7 ayat 184, Surah 59 ayat 2, dan Surah 88 ayat 17) .  Bila studi hukum (fiqh) tidak disertai studi filsafat, fiqh membuat budi sempit dan memalsukan agama.



Pengaruh Ibn Rusyd sang filsuf dari Cordova itu terhadap alam pikiran Islam selanjutnya mungkin tidak seberapa, dia bahkan dikatakan hanya mewariskan "sekeranjang buku seberat sosok mayatnya".  Tetapi naskahnya populer di Eropa, khususnya di lingkungan kampus Universitas Paris, dan menyebar dari sana.  Dengan karyanya,  Aristoteles yang dijuluki "Sang Filsuf" diperkenalkan mutiara pemikirannya oleh Ibn Rusyd yang oleh karena itu mendapat julukan "Sang Komentator". 



Sebagai akibatnya, obor perenungan filsafati Yunani, seperti diarak melalui Timur Tengah ke Barat Jauh oleh para filsuf muslim (yang sering hidup menderita), dan dengan itu diestafetkan kepada para filsuf Eropa (Barat) dan ke seluruh dunia.  Itulah sumbangan berharga para filsuf muslim dalam khazanah perenungan tak kunjung henti manusia dalam menemukan jati diri dan realitas di sekelilingnya.



  1. Sejarah Pemikiran Itu Tunggal (Sejarah Kecerdasan Manusia)

Dengan dalih ini saya ingin mengatakan bahwa tidak ada dikotomi antara pemikiran Barat dan Islam. Studi Pemikiran tidak bisa dilepaskan dari manusia oleh manusia dan untuk manusia. Persolan titik tolaklah yang layak dijadikan pembeda (al fashl) antara kedua kutub pemikiran yang dipertentangkan itu. Misalnya, Islam dan beberapa keyakinan timur meletakkan al Qur’an atau nilai-nilai spiritual sebagai titik tolak. (Theo-anthropocentris)



Dan Barat mungkin saja meletakkan kebutuhan dasar manusia (human basic need) sebagai titik tolak. Hal ini besar kemungkinan disebabkan berkurangnya keyakinan barat terhadap autentitas kitab suci mereka. Pasca periode classic dan helenisme, barat ramai-ramai menolak otoritas gereja dengan teks- teks sucinya sebagai titik tolak pemikirannya (anthropocentris)



  1. Etika Dialog dalam Islam

Setidaknya ada empat etika ketika mengadakan dialog seputar permasalahan ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Pertama, tidak mengharuskan orang lain mengikuti pendapat yang diadopsinya. Kedua, tidak mengingkari sesuatu yang masih dalam kerangka ijtihad-able (masih masuk dalam koridor ijtihadiyah). Ketiga, tidak takabur, jumawa untuk kembali kepada kebenaran. Keempat, berusaha menjauhi hal-hal yang (kemungkinan besar) menimbulkan fitnah dan tindakan refresif.[vi]



Dalam upaya studi pemikiran, ikhtilaf sangat niscaya terjadi. Oleh sebab itu perlu dipahami bahwa elaborasi akal terhadap persoalan manusia yang sangat cosmic mesti dihukum sebagai produk yang bernilai relative.



an experimental breakthought

untuk didiskusikan





Wallahu a’lam bi al shawab

Padang, Waktu Gampo 7,7 SR (13/09/07)

01 Ramadhan 1428 H




[i] Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Yogyakarta: Arruz, 2005), h.15
[ii] Hugiono dan P.K. Purwantana,(Jakarta:Rineka Cipta,1992), h.3
[iii] Zezen Zaenal M, Alquran dan Spirit Kebudayaan Modern,  Republika, Selasa, 10 Oktober 2006
[iv] Bayu Krisnamurthi, Perjuangan Pemikiran Ekonomi (Tanggapan terhadap Prof Mubyarto),  Artikel,  Agustus 2003
[v] Syamsuddin Arif,  Menghindari Kejumudan Pembaruan Islam,  Republika, Jumat, 02 Februari 2007
[vi] Muhammad Hikam Masrun, Fikih Juga Perlu Etika, Republika, Jumat, 15 September 2006

No comments: