Muhammad Nasir
Abu Bakar As Shiddiq (11-3 H/ 632-634 M)
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini.
Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad Ibn Ubadah.
Kaum muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan Abu Ubaidah Ibn Jarrah.
Ahlul bait menginginkan agar Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah.
Umar Ibn Al-Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Umar Ibn Al-Khaththab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khaththab.
Pilihannya ini sudah dimintakan pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat mereka menengok dirinya sewaktu sakit.
Usman Ibn Affan (23-35 H/644-656 M)
Usman Ibn Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang diangkat oleh khalifah Umar saat menjelang wafatnya. Keenam orang tersebut adalah: Ali bin Abu Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin Umar, putranya, tetapi “tanpa hak suara”.
Umar menempuh cara sendiri yang berbeda dengan cara Abu Abakar. Ia menunjukkan enam orang calon pengganti yang menurutnya dan pengamatan mayoritas kaum muslimin memang pantas menduduki jabatan Khalifah. Oleh sejarawan islam mereka disebut Ahl al-Halli wal ’Aqdi pertama dalam islam., merekalah yang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang menjadi khalifah. Dalam pemilihan lewat perwakilan tersebut Usman Ibn Affan mendapatkan suaran lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Usman Ibn Affan.
Ali Ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak.
Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib diangkat dengan dibaiat oleh masyarakat.
Meskipun ada perbedaan dalam proses/ tata cara pemilihan khalifah, namun umat tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut. Setelah dipilih, para khalifah tersebut mendapatkan BAI’AH dari UMAT ISLAM
Abu Bakar As Shiddiq (11-3 H/ 632-634 M)
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini.
Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad Ibn Ubadah.
Kaum muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan Abu Ubaidah Ibn Jarrah.
Ahlul bait menginginkan agar Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah.
Umar Ibn Al-Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Umar Ibn Al-Khaththab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khaththab.
Pilihannya ini sudah dimintakan pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat mereka menengok dirinya sewaktu sakit.
Usman Ibn Affan (23-35 H/644-656 M)
Usman Ibn Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang diangkat oleh khalifah Umar saat menjelang wafatnya. Keenam orang tersebut adalah: Ali bin Abu Thalib, Usman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin Umar, putranya, tetapi “tanpa hak suara”.
Umar menempuh cara sendiri yang berbeda dengan cara Abu Abakar. Ia menunjukkan enam orang calon pengganti yang menurutnya dan pengamatan mayoritas kaum muslimin memang pantas menduduki jabatan Khalifah. Oleh sejarawan islam mereka disebut Ahl al-Halli wal ’Aqdi pertama dalam islam., merekalah yang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang menjadi khalifah. Dalam pemilihan lewat perwakilan tersebut Usman Ibn Affan mendapatkan suaran lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Usman Ibn Affan.
Ali Ibn Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak.
Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib diangkat dengan dibaiat oleh masyarakat.
Meskipun ada perbedaan dalam proses/ tata cara pemilihan khalifah, namun umat tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut. Setelah dipilih, para khalifah tersebut mendapatkan BAI’AH dari UMAT ISLAM
No comments:
Post a Comment