08 October 2017

Masjid Sultan Ahmad Istambul (Sultan Ahmet Camii)

Muhammad Nasir

 Pendahuluan
Islam sebagai sebuah agama telah memberi pengaruh besar terhadap peradaban manusia. Sejak berabad-abad sebelum keruntuhannya dinasti terkhirnya yaitu Dinasti Turki Usmani (1924) telah banyak meninggalkan bekas-bekas kebudayaan yang tak ternilai harganya. Peninggalan-peninggalan itu secara tidak langsung telah membantu menjelaskan apa dan bagaimana orang-orang Islam membangun masyarakat dan peradabannya.
Pada prinsipnya, ajaran Islam tidak membawa secara langsung tradisi budaya fisik, dengan kata lain agama ini tidak pernah mengajarkan secara kongkrit tata bentuk arsitektur/lingkungan binaan harus seperti ini atau seperti itu. Pilihan-pilihan fisiknya lebih diserahkan nanti pada akal-budi manusia Muslim itu sendiri, untuk menghasilkan yang terbaik, paling optimal, paling efektif, paling bermanfaat, dan lain sebagainya. Dalam hal  ini,  arsitektur Islam dapat dipahami sebagai pencapaian manusiawi dari para penganut Islam itu sendiri, setelah proses interaksi dan adaptasi dengan berbagai kebudayaan lainnya. Ini juga membuktikan bahwa kebudayaan Islam pada dasarnya sangat terbuka dan bersedia bergaul dengan kebudayaan non Islam selama itu tidak melanggar hal-hal yang prinsipil, utamanya pada ranah aqidah.
Secara garis besar, arsitektur Islam dapat dibagi pada dua jenis: arsitektur keagamaan dan arsitektur sekuler. Arsitektur keagamaan diciptakan untuk melayani fungsi keagamaan seperti masjid, madrasah dan makam.[1] Arsitektur sekuler diciptakan  untuk melayani fungsi sekuler seperti istana, benteng, pasar dan karavanserai.[2]
Arsitektur Islam berkembang sangat luas baik itu di bangunan sekular maupun di bangunan keagamaan yang keduanya terus berkembang sampai saat ini. Arsitektur juga telah turut membantu membentuk peradaban Islam yang kaya. Bangunan-bangunan yang sangat berpengaruh dalam perkembangan arsitektur Islam adalah masjid, kuburan, istana dan benteng yang kesemuanya memiliki pengaruh yang sangat luas ke bangunan lainnya, yang kurang signifikan, seperti misalnya bak pemandian umum, air mancur dan bangunan domestik lainnya.
Paper ini akan mendiskripsikan salah satu tinggalan arkeologis Islam, yaitu Masjid Sultan Ahmed I atau Masjid Biru (selanjutnya ditulis Masjid Biru) di Turki. Secara  ringkas dalam paper ini ditulis beberapa hal sebagai berikut;
B.     Sejarah Ringkas Masjid Biru
Masjid Biru terletak di Kota Istanbul Turki. Istanbul terletak di antara dua Benua yaitu Asia dan Eropa. Istanbul dahulunya bernama Konstantinopel, dibangun oleh Raja Romawi Kristen Konstantin pada tahun 330 M. Setelah terpecahnya imperium Romawi Konstantinopel semenjak tahun 395 M menjadi ibukota Romawi Timur yang disebut dengan Byzantium. Sementara Romawi Barat beribukota Roma.
Konstantinopel ditaklukkan oleh kekuatan Islam di bawah pimpinan Sultan Muhammad al Fatih  pada tahun 1453.[4] Sultan Muhammad al Fatih berasal dari Dinasti Turki Usmani (Ottoman) berhasil menaklukkan Konstantinopel sekaligus menjadi pertanda keruntuhan kerajaan Byzantium dan menjadi gerbang bagi Turki Usmani melebarkan kekuasaannya ke wilayah Eropa. Turki Usmani telah berjasa melanjutkan gerakan ekspansi wilayah muslim khususnya ke daratan Eropa, dan sekali telah berjasa menyebarkan Islamisasi di tengah ma-syarakat Eropa.
Peralihan kekuasaan dari Byzantium kepada Turki Usmani bukanlah peristiwa politik saja. Banyak hal terjadi pasca penaklukan kota megah peninggalan Kaisar Konstantin tersebut. Di antaranya perkawinan kebudayaan yang melahirkan karya seni arsitektur yang begitu indah dan mengagumkan. Banyak sekali corak arsitektur Bizantium yang tersisa mengalami pengayaan asesoris yang bernuansa Islam, dan dianggap sebagai satu corak arsitektur Turki pasca masuknya Islam ke Istambul.
Ketika Islam menyebar dan berinteraksi dengan budaya dan peradaban lain, tampaknya Islam tidak segan-segan untuk mengambil pilihan-pilihan bentuk yang sudah ada itu, termasuk teknik dan cara membangun yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat tersebut. Begitu juga bangsa Turki, tidak segan-segan mengambil bentuk arsitektur Bizantium, daerah yang dikuasainya.
Kebudayaan Turki merupakan perpaduan antara kebudayaan Persia, Bizantium dan Arab. Dari kebudayaan Persia, mereka banyak mene-rima ajaran-ajaran tentang etika dan tata krama dalam kehidupan istana. Organisasi pemerin-tahan dan prinsip kemiliteran mereka dapatkan dari kebudayaan Bizantine. Sedang dari kebu-dayaan Arab, mereka mendapatkan ajaran ten-tang prinsip ekonomi, kemasyarakatan dan ilmu pengetahuan.[5]
 Sebagai bangsa yang berdarah militer, Turki Usmani lebih banyak memfokuskan kegiatan mereka dalam bidang kemiliter-an, sementara dalam bidang ilmu pengetahuan, mereka kelihatan tidak begitu menonjol. Karena itulah, di dalam khazanah intelek-tual Islam tidak ditemukan ilmuwan terkemuka dari Turki Usmani. Sekalipun ada, namun tidak begitu menonjol. Namun demikian, mereka banyak berkiprah dalam pe-ngembangan seni arsitektur Islam berupa bangunan-bangunan masjid yang indah, seperti Masjid Biru,  Masjid Al-Muhammadi atau Masjid Jami' Sultan Muhammad Al-fatih, Masjid Agung Sulaiman, dan Masjid Abi Ayyub Al-Anshari. Masjid-masjid tersebut dihiasi pula dengan kaligrafi yang indah. Salah satu masjid yang terkenal dengan keindahan kaligrafinya adalah masjid Biru yang dibahas dalam paper ini.
Pada masa Sulaiman di kota-kota besar dan kota-kota lainnya banyak dibangun masjid, sekolah, rumah sakit, gedung, makam, jembatan, saluran air, vila, dan pemandian umum. Disebutkan bahwa 235 buah dari bangunan itu dibangun di bawah koordinator Sinan, seorang arsitek asal Anatolia.[6] Bangunan-bangunan itu, di tengah-tengah kontroversi dan bergamnya pandangan dunia Islam terhadap Turki yang sekuler, menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam, baik yang fundamentalis maupun yang sekuler.
Masjid Biru dibangun oleh Sultan Ahmed I pada antara tahun 1609-1616 di masa Khilafah Utsmaniyah (Ottoman Empire). Penamaan Masjid biru hanyalah disebabkan warna biru yang dominan pada dinding dan ragam hias masjid tersebut. Adapun nama resminya adalah Masjid Sultan Ahmad.  Pada umumnya masjid-masjid Utsmaniyah[7] diberi nama sesuai dengan nama Sultan yang mendirikannya, dan biasanya di samping masjid itulah Sultan dimakamkan.[8]
Bangunan masjid beratap kubah ini luar biasa besar dalam skala/ukuran dan ketinggian yang akan membuat siapa saja merasa kecil pada waktu memasukinya. Jaraknya cukup dekat dengan Istana Topkapi, tempat kediaman para Sultan Utsmaniyah sampai tahun 1853 dan tidak jauh dari pantai Bosporus. Dilihat dari laut, kubah dan menaranya mendominasi cakrawala kota Istanbul.
Bangunan masjid ini telah menjadi salah satu masterpiece arsitektur dalam peradaban Islam. Pada perkembangan selanjutnya, tampaknya Masjid Biru telah menjadi model bagi masjid lainnya oleh masyarakat Islam di mana pun berada, termasuk di Indonesia.
Masjid Biru terletak di sebelah bangunan Hagia Sofia yang hanya dibatasi jalan dan ruang terbuka/taman. Ini adalah bangunan sangat terkenal, sangat monumental dan telah menjadi serta menandai karya besar anak manusia sepanjang peradabannya. Bangunan yang dulu difungsikan sebagai gereja ini dibangun pada masa Bizantium oleh Kaisar Justinian I yang dalam sejarah disebutkan memakan waktu 5 tahun (532-537 AD). Hagia Sofia jauh lebih tua dari The Blue Mosque bahkan terpaut beda lebih dari 1000 tahun lamanya.[9]
Harun Yahya mengatakan Masjid Biru sengaja dibangun di dekat Hagia Sofia untuk membandingkan arsitek mana yang lebih menonjol. Sultan Ahmad ingin membuktikan bahwa kaum muslimin ternyata juga bisa membuat bangunan yang lebih besar, megah dan indah.[10] Untuk menyaingi kemegahan Hagia Sofia, Sultan Ahmad memerintahkan kepada arsiteknya untuk membangun masjid tersebut dengan menara yang terbuat dari emas.  Sang arsitek sangat terkejut menerima perintah itu karena dia memahami bahwa biaya pembangunannya tentu akan sangat tinggi. ‘Emas’ dalam bahasa Turki mempunyai kemiripan prononsiasi dengan ‘enam’. Arsitek yang rupanya cukup nekad itu, bukannya membuat menara dari emas tapi membuat enam buah menara untuk masjid. Jadilah masjid Sultan Ahmad satu-satunya yang mempunyai enam menara sementara masjid-masjid lain mempunyai empat menara.[11]
C.    Arsitektur Masjid
Masjid Biru berada di dekat situs kuno Hippodrome, serta berdekatan juga dengan apa yang dulunya bernama Gereja Kristen Kebijaksanaan Suci (Hagia Sophia) yang sekarang dirubah fungsinya menjadi museum
Masjid Biru dibangun di atas lahan yang luas. Struktur dasar bangunan ini hampir berbentuk kubus, berukuran 53 kali 51 meter.[12] Masjid Biru merupakan salah satu masjid yang paling sempurna mewakili prototipe masjid khas Turki. Masjid Turki pada umumnya terletak di atas tanah yang luas di dalam sebuah komplek.  Dari segi bentuk, bangunan berbentuk kubus dengan satu kubah utama yang dikelilingi oleh kubah-kubah kecil. Masjid biru sebagaimana masjid-masjid pada umumnya juga memiliki sarana yang sepertinya menjadi pokok keharusan bagi sebuah masjid, seperti adanya mihrab yang menjurus ke kiblat, tempat Imam waktu bersembahyang, ruangan luas untuk para makmum, sahan dan tempat berwuduk, mimbar tempat berkhotbah, tempat azan dan sebagainya.
a.      Kubah
Kubah berasal dari bangunan Bizantium Ketika Islam menyebar dan berinteraksi dengan budaya dan peradaban Byzantium, tampaknya Islam tidak segan-segan untuk mengambil pilihan-pilihan bentuk yang sudah ada itu, termasuk teknik dan cara membangun yang memang sudah dimiliki oleh masyarakat setempat. Demikian juga Kubah Masjid Biru, mengadopsi bentuk kubah yang khas Byzantium.
Bangunan kubah setinggi 43 meter dengan lebar diameter kubah 23,5 meter tersebut dibangun tanpa tiang penyangga sehingga membuat jarak yang cukup jauh untuk dilihat. Kubah ini dapat dikatakan sebagai arsitektur induk yang dikelilingi oleh  empat kubah kecil dan enam menaranya dan merupakan ciri khas Byzantium. Oleh sebab itu bangunan Byzantium dinamakan juga central Bouw[14] atau bangunan memusat.
Dari dalam masjid, kubah ini menampilkan pemandangan yang luar biasa yang membentuk langit-langit yang melengkung (terdiri dari banyak lengkungan bagai sambung menyambung) terbuat dari batu masif sehingga memantulkan suara dan sekaligus merupakan sistim pengatur suara. Lengkungan langit-langit dan sistim ventilasi udara dibuat sedemikian rupa agar jelaga atau asap hitam yang berasal dari lilin untuk penerangan di waktu malam tidak mengotori langit-langit itu.[15]Kubah masjid ini hingga kini menjadi salah satu bangunan terbesar dan tersulit dalam metode pembangunan, bangunan tersebut tetap bertahan terhadap hantaman gempa yang pernah mengguncang wilayah Turki.
b.      Menara
Masjid Biru satu-satunya Masjid Turki yang mempunyai enam menara sementara masjid-masjid lain mempunyai empat menara. Menara-menara ini berbentuk lancip (Jirus), memiliki tiga tingkat yang dihiasi dengan ukiran yang indah. Bentuk ini berkembang di Turki dan Yugoslavia.[16] Sultan Ahmad memerintahkan kepada arsiteknya (Sedefhar Mehmet Aga) untuk membangun masjid tersebut dengan menara yang terbuat dari emas.
Menara berfungsi sebagai tempat mengumandangkan azan oleh mu’ezzin (muazin). Dengan berkembangnya teknologi, fungsi menara bagi muazin tentu berubah, digantikan oleh pengeras suara. Menara secara langsung juga menjadi bangunan yang menambah keanggunan dan keindahan Masjid Biru.
Dalam sejarah menara-menara masjid legendaris, masjid-masjid yang dibangun oleh Dinasti Turki Utsmaniyah tercatat memiliki menara yang paling tinggi. Wajar saja, sebab dinasti terakhir dalam kekhilafahan Islam ini sudah mengembangkan teknik konstruksi yang lebih moderen. Menara-menara itu pada umumnya dibangun dengan menerapkan pondasi pasak bumi generasi pertama. Hasilnya, mereka bisa membangun menara masjid dengan ketinggian lebih dari 70 meter.
c.       Mihrab dan Mimbar
Di Masjid Biru juga terdapat Mihrab dan Mimbar dari pualam yang diukir dan dipahat dengan baik. Mihrab adalah ruangan atau relung di dalam masjid yang terletak di bagian depan, berfungsi sebagai tempat imam memimpin shalat berjama’ah, dan sekaligus menjadi petunjuk arah kiblat. Di dinding dekat mihrab yang dibangun pada masa Sultan Mehmet II ini bisa ditemukan mosaik keramik yang menggambarkan Ka'bah.
Di sebelah kanan mihrab terdapat satu buah Mimbar yang mempunyai tangga unik dan terkesan melekat ke salah satu pilar masjid.
Mimbar semula berarti tempat duduk yang ditinggikan dan diperuntukkan bagi Nabi Muhammad SAW. Mimbar berasal dari kebudayaan Damascus.[17] Salah seorang sahabat nabi yaitu Tamin al Dari mengusulkan agar nabi juga dibuatkan mimbar seperti yang dipakai di Damascus. Mimbar akhirnya digunakan Nabi sebagai tempat berkhutbah. Dalam konteks yang sama, mimbar di mesjid Biru juga digunakan sebagai tempat khatib menyampaikan khutbah.                                    
d.      Makam
Makam (kuburan) pada dasarnya bukanlah bagian dari Masjid. Tetapi lain halnya dengan Masjid-masjid di Turki yang menamai masjidnya dengan namanya sendiri, dan juga menyediakan kapling untuk makam sulta pendirinya. Di komplek Masjid Biru, tepatnya di halaman masjid terdapat makam kerajaan yang dibangun tahun 1620 oleh Sultan Usman II. Makam itu merupakan pekuburan para sultan dan kerabat kerajaan, termasuk makam Sultan Ahmad.
D.    Interior Masjid
Dinding bagian dalam masjid ini didominasi warna biru. Dekorasi masjid mengambil motif berbunga-bunga (antara lain: Bunga Lili, Tulip, Anyelir, Mawar, Cemara) yang bagaikan diukir disertai kaligrafi yang tertata indah. Dinding itu ditempeli lebih dari dua puluh ribu keping keramik berwarna-warni (umumnya biru kehijauan) yang memunculkan kesan teduh dan agung masjid ini. Keramik tersebut didatangkan dari Iznik (Nicaea). Ukiran kaligrafi berupa ayat-ayat Al Qur’an yang dipasang di dinding dan pilar itu sebagian besarnya dibuat oleh Seyyid Kasim Gubari,[18] seorang kaligrafer terkenal pada masa itu.      Mosaik biru dan berbagai warna yang membias di ruangan Masjid, terutama ketika tertimpa cahaya, bersumber dari jendela masjid yang  sangat indah. Masjid Biru dilengkapi 2600 jendela kaca berwarna yang ikut mewarnai cahaya yang masuk.[19]

E.     Bangunan-bangunan lainnya
Selain berfungsi melayani kegiatan ritual keagamaan, Masjid Biru juga menyediakan fasilitas pelayanan sosial. Di dalam komplek masjid ini terdapat sekolah, taman, perpustakaan, pemandian umum, penampungan orang miskin, pasar, dapur dan pemakaman. Sebagian fasilitas tersebut sekarang tidak lagi berfungsi. Namun, berbagai tinggalan dari fasilitas tersebut telah memberi gambaran tentang bagaimana usaha Sultan-sultan Turki Usmani untuk menciptakan sebuah model yang ideal bagi sebuah masjid.
Sayangnya, berbagai masjid di seluruh penjuru dunia (termasuk Indonesia) tidak mengambil model fasilitas berikut fungsinya dari Masjid Biru yang besejarah ini. Justru yang berkembang adalah model kubah masjid yang diadopsi menjadi tren baru masjid-masjid era modern.
F.      Penutup
Orang Turki menyebut Masjid Biru dengan Sultanahmet Camii (baca: jamii) sebagai sebuah masjid besar sementara mescit (baca: mesjid) untuk langgar.[20] Uniknya siapapun tetap bisa tahu seberapa tua masjid itu, sebab, selalu ada tulisan tentang tahun pembangunan masjid.
Kendati mengidentikkan diri sebagai negeri sekuler, suasana Islam di Turki masih terasa. Meski tampil sebagai wajah Eropa, mayoritas penduduknya beragama Islam dengan kehidupan beragama yang dikurung menjadi wilayah pribadi. Setidak-tidaknya kesan itu dapat dilihat dari berbagai tinggalan arkeologis Islam berupa Masjid yang sebagian besarnya masih digunakan meskipun hanya untuk shalat.
Semua perwujudan dan peninggalan seni bangun Islam itu, bukanlah benda-benda mati yang membisu saja, tetapi tetap bercerita kepada siapa yang datang melihat dan mengunjunginya, bahwa pada suatu ketika, di sini ummat Islam telah pernah menik-mati masa kejayaan dan mencapai kedudukan yang tinggi dalam peradaban dan kebudayaan. 
                                                                     Padang,    Januari 2008






















Sumber Bacaan


Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994
Herwandi, Bahan Kuliah VIII Arkeologi Islam, PPs. IAIN Imam Bonjol Padang, 2007
Philip K. Hitti, History of The Arabs, London: Macmillan Student Edition, 1974
C. Israr, Sejarah Kesenian Islam, Jilid I, Jakarta: Bulan Bintang, 1978
___________, Sejarah Kesenian Islam, Jilid II, Jakarta: Djambatan, 1957
Republika, Minggu, 21 Januari 2007
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006
Sumber Internet:
http://bambangsb.blogspot.com/2006/06/tentang-kubah-1.html
http://lembangalam.multiply.com/journal/item/152

http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Sultan_Ahmed

http://www.wayofmuslim.com/lokasi/blue.htm
Video CD:
Yahya, Harun, Kota-kota Islam, VCD (Sumber utama foto-foto Masjid Biru)




[1]Makam sebenarnya patut dipertanyakan sebagai bangunan keagamaan. Kasus yang menarik ketika gerakan Wahhabi di Mekah sekitar abad ke-19, banyak makam-makam orang suci seperti makam sahabat dihancurkan karena diduga sebagai sarana bagi berkembangnya praktek syirik. Hanya makam Nabi Muhammad SAW yang luput dari kehancuran karena tekanan dunia Islam, terutama pemerintah Turki Usmani untuk menyelamatkan situs bernilai ini.
[2] Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h.311
[3] http://www.wayofmuslim.com/lokasi/blue.htm
[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, h. 132.
[5] Ibid., h.136
[6] Philip K. Hitti, History of The Arabs, London: Macmillan Student Edition, 1974, h.715
[7] Berdasarkan kecenderungan bentuk formal Mesjid di dunia Islam dapat dibagi atas 7 aliran: Mazhab Syria-Egyptian (aliran-Arab), Mazhab Hispano-Morisque (alian Moor), Mazhab Turky Usmaniah (aliran Turki), Mazhab Persia-Sassanide (aliran Persia), Mazhab Hindu-Moghul ( aliran India), Mazhab China-Jepang (Aliran Tiongkok), Mazhab Melayu-Indonesia (aliran Indonesia). Herwandi, Bahan Kuliah VIII Arkeologi Islam, PPs. IAIN Imam Bonjol Padang, 2007
[8] C.Israr, Sejarah Kesenian Islam, Jilid II, (Jakarta: Djambatan, 1957), h. 31
[9] http://bambangsb.blogspot.com/2006/06/tentang-kubah-1.html
[10] Harun Yahya, Kota-kota Islam, VCD
[11] http://lembangalam.multiply.com/journal/item/152

[12] http://id.wikipedia.org/wiki/Masjid_Sultan_Ahmed

[13] C. Israr, Sejarah Kesenian Islam, Jilid I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), h. 50
[14] Ibid., h. 49
[15] Melawat ke Dubai dan Istambul, lembangalam.multiply.com, op.cit
[16] Ensiklopedi Islam, Op.Cit., h. 174
[17] Ibid., h.175
[18] http://www.wayofmuslim.com/lokasi/blue.htm
[19] Harun Yahya, Kota-kota Islam, VCD
[20] Republika, Minggu, 21 Januari 2007

No comments: