28 October 2017

Pulang

Oleh Muhammad Nasir


“Dengan wajahmu yang cantik, setidaknya kau bisa memilih siapapun jodohmu!” bentak emak mengakhiri perdebatan.

Emak akhirnya pergi entah ke mana. Entah ke sawah atau berjalan kemanapun ia mau di pojok kampung yang sudah didiaminya semenjak setengah abad.

Ugih hanya bisa menangis sembari membayangkan betapa hubungannya dengan Supri akan hancur berantakan. Terbayang kebersamaannya dengan Supri di Sungai Jernih, saat dengan gembira mereka berdua melempar kerupuk ke tengah kolam. Begitu menyentuh air kerupuk itu hancur berantakan disambar ikan larangan yang disakralkan sejak berabad-abad. Betapa mitos itu begitu nyata, senyata kerupuk yang cerai berai.

“Adalah hina bagi perempuan Minang tinggal di rumah mertua!”

Kalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga Ugih. Begitu longgarkah konsep hina dan malu, sehingga adat manapun boleh memaknainya seenak perutnya? Ugih merasa ingin kabur dari lingkungan adat.

Putus cinta bukanlah hal biasa. Tetapi pada saat cinta telah berkelindan dengan impian membangun mahligai rumah tangga yang bahagia, lain cerita. Ugih merasa adat telah mengalahkan syari’at. Dalam hal ini tak ada yang lebih penting kecuali menjalankan syari’at yaitu menikah dengan Supri.

***

Begitulah tekad Ugih empat tahun yang lalu saat memutuskan menikah dengan Supri, pria Orang Selatan yang patrilineal. Meski bapak pernah mengingatkan Ugih dengan lembut, ”kau telah melawan pada emak!” Tapi Ugih berdalih hanya meluruskan logika emak, bahwa tak selamanya pernikahan beda adat itu merepotkan. Syari’at lebih penting dari adat.

“Plak!”

Tamparan itu akhirnya hinggap di pipi mulus Ugih yang mulai kurus. Seingatnya, sudah berpuluh kali Supri menggertak dengan ucapan, “Diam, ku tampar kau!”. Tak dinyana setahun kemudian tangan kekar lelaki yang dicintainya itu benar-benar hinggap di pipinya.

Tamparan itu terasa seperti peristiwa pernikahan mereka. Berurai air mata ia meminta, tak ada bayangan emaknya bakal merestui pernikahan mereka. Hingga waktu yang tak diduga, restu itu akhirnya datang juga. Begitu pula tamparan itu, tak terbayangkan lelaki lembut yang pintar merayu bak penyair melayu itu melakukannya. Ketika terasa, Ugih serta merta terdampar di dunia nyata tentang legenda kekerasan dalam rumah tangga.

“Sekali lagi kau bicara tentang pulang, kupotong lidahmu!” ancam Supri.

Dalam cintanya yang menggebu-gebu, begitu mudahkan kemarahan Supri tersulut? Ugih tahu, cinta telah membuat suaminya gelap mata. Ia tak ingin Ugih pergi dari sisinya. Tetapi sesuatu yang ak ia mengerti, Supri akhir-akhir ini begitu akrab dengan Pinik Safitri, putri kenalan Temenggung yang dilayani seperti ratu di rumah, tempat di mana Ugih, suaminya dan kedua mertuanya tinggal. Seperti sinetron saja, Temenggung, mertuanya itu mendorong-dorong Pinik mendekati Supri.

“Sudahlah, tak perlu kau tahan. Apa yang kau harapkan dari perempuan mandul itu?” tiba-tiba Bapak mertua ikut serta. Rasanya itu tamparan yang paling keras, membuat kepala Ugih berputar ke kampung halamannya, mempercepat keinginannya meninggalkan rimba Orang Selatan.

***

Sejujurnya, orang tua Supri juga tidak mengijinkan pernikahan mereka. Temenggung, ayah Supri sudah punya pilihan sendiri untuk putra tunggalnya.

Dengan sedikit tipuan, Supri berhasil menaklukkan bapaknya.

“Bapak, aku sudah bekerja. Jika tak ada restu untuk pernikahanku dengan Ugih, jangan harap aku pulang ke Orang Selatan!” ancam Supri kala itu. Bagi bapaknya, ancaman itu seperti gertakan Bupati yang ingin menghambat jalur perdagangan kayunya.

Bupati incumbent yang hendak maju untuk kedua kalinya mengharapkan bantuan Temenggung mengerahkan dukungan empat ratus sembilan puluh tujuh kepala keluarga di bawah gembala Temenggung, tokoh masyarakat setempat. Bupati yang pengusaha kayu itu berkuasa penuh atas periuk nasi Temenggung. Berkubik-kubik kayu seakan tak berguna bila sekali saja Temenggung tak menelpon sang Bupati.

“Pulanglah nak, kurestui pernikahanmu, asal kau kembali ke kampung halaman dan membujuk istrimu tinggal di kampung kita” kata Temenggung dalam sikap menyerah yang penuh dendam.

Sesusai pesta di Padang, kenduri di Negeri Selatan berlangsung tujuh hari tujuh malam, ibarat dongeng dunia kayangan.

Pertanda tidak baik sudah mulai tampak, saat keluarga Ugih dari Padang diinapkan di tengah rumah seperti ikan kaleng. Tak ada cerita banyak laiknya beripar-besan. Mau makan, makanlah. Mau tidur, tidurlah, tentu saja sesudah tetamu bubar. Di situlah Ugih mengerti makna dendam di hati Temenggung.

“Tergadai kau nak,” kata emak Ugih berurai air mata sebelum ia kembali ke Padang. Dalam berpelukan emaknya berbisik, “Biarkan nasib dan kebenaran membawamu pulang ke Padang, nak.”

***

Bupati incumbent itu gagal dalam pemilihan. Sudah terjatuh tertimpa tangga. Kalah pilkada ternyata berujung pada urusan yang rumit dengan jaksa. Akhirnya usut punya usut, perkara sampai kepada kasus korupsi, illegal logging dan segala macamnya. Temenggung bangkrut karena terpaksa melenyapkan segala barang bukti, berkubik-kubik kayu miliknya. Uang habis dihambur-hamburkan untuk menyuap sana sini, pada mulut orang-orang yang patut ditutup.

Persenggamaan segala cara suami istri Ugih dan Supri belum menghasilkan apa-apa. Jangankan hamil, tak sekalipun Ugih mual-muntah layaknya orang mengidam. Kecuali sekali waktu, saat perjamuan. Pinik gadis murahan itu berbaik hati memasak gulai itik. Jangankan lahap, hidangan itu terasa asin, jauh dari rasa enak.

“Hebat, Pinik, sepertinya sudah patut pula engkau bersuami.” ungkap Temenggung berbunga-bunga.

Pinik tersipu malu, tetapi kesan rakus begitu kentara di wajahnya. Cantik memang, tetapi penuh nafsu dan keserakahan. Setidak-tidaknya di mata Ugih, apalagi saat tangan gatal Pinik mencubit mesra pinggang Supri. “Perempuan tak beradat,” batin Ugih. Tapi adat siapa dan orang mana?

Seusai perjamuan Ugih masuk ke kamar. Melampiaskan segala kesal dengan memuntahkan segalanya di lantai, dinding kamar dan ranjang peraduannya.

“Hoahkk...!” Ugih muntah sekeras-kerasnya. Ia berharap dunia tahu bahwa begitu banyak orang yang tak pandai menghormati lembaga sakral; p-e-r-n-i-k-a-h-a-n.

Di luar kamar terdengar makian Temenggung; “Perempuan tak beradat!”

Peduli setan! Adat siapa dan orang mana? Sungut Ugih.

“Engkau mengidam?” tanya Supri yang tiba-tiba menyusul ke kamar dengan gembira.

***

Uang ternyata bukan segala-galanya. Apalagi bila benda celaka itu sudah tidak ada. Bangkrut. Entah mengapa mata dan telinga jaksa begitu nyaring. Berkubik-kubik kayu telah membuat jeruji penjara untuk Temenggung, entah untuk berapa lama.

Mobil bak terbuka itu meraung-raung memberi tahu orang kampung ; ada maling kayu yang hendak dikurung! Temenggung terpekur dalam menghitung mata rantai yang saling berkait menggelangi kedua belah tangannya. Mobil itu pergi seraya meninggalkan debu serta bergelanggang mata orang banyak. Orang-orang kampung hanyak berteriak “huuu...!” seraya berbalik menekuni pekerjaan masing-masing.

Di seberang jalan, rumah panggung berarsitektur istana Melayu terlihat kuyu. Pinik tergopoh-gopoh meniti jenjang-jenjang rumah yang dulunya penuh dengan kehormatan. Sepertinya memang Pinik yang punya kesempatan meraih kehormatan itu tanpa harus membungkuk-bungkuk seperti orang tua pikun yang tak berguna; minta upah kerja kepada Temenggung, sang Juragan Kayu.

Pinik menggerung-gerung. “Oh, Temenggung, menikam jejak dari selatan, berharap mendung segera pupus, pada dara yang berpayung. Tempat berpijak sudah terban, tempat bergantung sudah putus, kepada siapa berbapak bayi yang ku kandung?” tangisnya pecah meraung-raung.

“Apa? Engkau mengandung benih bapakku? Perempuan tidak tahu di untung! Kau makan tebu dengan urat-uratnya!” Supri marah sejadi-jadinya.

“Plak!”

Belum hilang merah di pipi Ugih, tangan pria itu sekarang hinggap di pipi Pinik, perempuan gatal yang meresahkannya akhir-akhir ini. Jika tak boleh menyebut karma, Ugih merasa itu balasan untuk gadis pendosa.

“Lelaki bejat. Apa bedanya kau dengan bapakmu, heh? Siapa yang tebu siapa yang urat?” balas Pinik murka. Matanya melotot akibat dua tangan yang terlalu kencang berkacak pinggang. “Bukankah kalian yang makan di piring yang sama, bergiliran seperti ayam dan babi?” maki Pinik.

“Plak!”

Ugih merasa itulah tamparan yang paling keras, dari tangan yang tak terduga. “ada pula teori invisible hand Adam Smith dalam rumah tangga? Entahlah, jawabnya cuma kelam. Ugih lunglai merengkuh lantai. Pingsan!

***

“Kali ini engkau memang mengidam!” Itulah suara pertama yang didengar Ugih di ruangan kotak sempit serba putih. Ah, itu rumah bidan Yenni, satu-satunya tenaga medis di kampung ini. Suara itu datang dari wajah yang tiba-tiba sangat memuakkan; Supri putra sang juragan kayu.

“Apa? Benarkah?” Ugih berbinar-binar.

“Betul! Benar!, sekarang apa yang kau mau, aku kabulkan!” lagak Supri meyakinkan.

“Pulang kampung!” jawab Ugih penuh keyakinan.

Di luar sirene kembali meraung-raung. Begitu senyap polisi berseragam sudah meringkus Supri. “Anda terlibat dalam illegal logging. Ini surat penangkapan anda!” Supri ternganga.

“Engkau betul-betul akan pulang, Ugih?” mendadak Supri merasa cemas. “Lalu bagaimana dengan rumahtangga kita?”

“Ceraikan aku secara adat!” tegas Ugih, setegas air matanya yang tiba-tiba mengalir deras.

***

Langit mendung sangat mendukung. Ugih berharap hujan sebentar lagi menghapus jejak serta suara-suara ba’da kepergiannya. Adat orang selatan mengatakan, tak baik tinggal di rumah mertua bilamana suami tak ada di rumah. Tetapi apalah gelagat manusia. Ada saja mata dan suara yang tak bisa diduga.

“Perempuan tak tahu adat. Suami di penjara, ia malah pergi seenaknya!” [MN]

Padang, 2003-2008

No comments: