Sumber: Ira M. Lapidus, Sejarah
Sosial Umat Islam, Bagian Ketiga, Ghufron A. Mas’adi (terj). (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999, h. 201-259
Dalam pembabakan sejarah, abad ke-19 dan ke-20 merupakan
periode modern. Pada abad ke-19 ini penduduk Afrika Utara mayoritas Muslim.
Sufisme (muslim) mempunyai peranan penting dalam mengkoordinir komunitas
pedalaman, melebihi term patrimonial, kosmopolian, atau etnis. Penduduk
perkotaan menggunakan bahasa Arab, sementara penduduk pedalaman menggunakan
bahasa Berber.
Secara
umum, pada abad ke-19 dan 20, Afrika berada posisi lemah hingga pada akhirnya
dikuasai oleh bangsa Eropa. Kondisi yang lemah ini diperparah dengan
pertentangan internal antara negara, suku dan komunitas yang dipimpin oleh
Sufi. Namun penjajahan Eropa memunculkan semangat baru terutama di kalangan
umat Islam. Hampir semua perlawanan melibatkan umat Islam sebagai sentra
perjuangan. Di samping itu, kondisi tersebut juga menjadi pertanda bagi
lahirnya negara-negara nasional yang merdeka. Beberapa negara yang diulas pada
Bab V ini meliputi Aljazair, Tunisia, Maroko dan Libya, dengan kekhasan Islam
dan model perjuangannya masing-masing.[Muhammad Nasir]
ALJAZAIR.
Aljazair menjelang diperintah Perancis diperintah oleh kolaborasi antara
kepala suku lokal dan kalangan Sufi yang menggalang dukungan berdasarkan
loyalitas agama. Pada awal abad ke-19 Aljazair sedang mengalami kemunduran dan
beberapa tarekat Sufi memberontak akibat beban fiskal yang terlalu berat yang
diterapkan pemerintah pusat.
Pada tahun 1830 Perancis di bawah pimpinan Charles X menyerang Aljazair dan
berhasil menguasainya serta beberapa kota pesisir. Di luar keguncangan itu,
Abdul Qadir, salah seorang pemimpin tarekat Qadiriyah mendirikan negara muslim
di Aljazair Barat. Ia memproklamirkan dirinya sebagai Amir al Mukminin dan
Sultan Bangsa Arab. Ia mengklaim bertanggung jawab atas penerapan Syari’at
Islam di wilayah kekuasaannya. Dengan prestise keagamaan yang dimilikinya, ia
berhasil menyatujan suku-suku regional dalam otoritasnya. Pemerintahan Abdul
Qadir juga dilindungi oleh Kesultanan Maroko. Kekuasaan yang ia bangun
digunakan untuk berjuang melawan pendudukan Perancis.
Dalam menjalankan pemerintahannya, Abdul Qadir membentuk beberapa khalifah
bawahan dilengkapi dengan pejabat militer, finansial dan pejabat peradilan. Di
bawah khalifah dibentuk jabatan Agha yang bertugas mengumpulkan pajak.
Di bawah mereka ada jabatan kepala suku yang disebut Qaid. Semua pejabat
itu diangkat dari kalangan keluarga yang agamis dan mengabaikan mereka yang
bekerjasama dengan pihak Turki.
Dari 1832-1841 Abdul Qadir secara silih berganti melancarkan serangan
terhadap Perancis. Tahun 1841, Perancis di bawah Bugeaud berhasil
mengalahkan Aljazair dan menjadikannya koloni Perancis. Bangsa Maroko berusaha
melindungi mereka, tetapi pada peperangan di Isyli (1844) Perancis berhasil
mengalahkan Maroko. Akhirnya pada 1847 Abdul Qadir diasingan ke Perancis dan
kemudian ke Damaskus. Dengan demikian terbukalah jalan bagi Perancis untuk
menguasai seluruh Aljazair.
Sejak perlawanan Abdul Qadir, Perancis terus menerus mendapat perlawanan
dari penduduk Aljazair. Penyebab perlawanan itu antara lain disebabkan oleh:
§ Penduduk Aljazair banyak yang miskin;
§ Pembatasan terhadap kepemilikan tanah;
§ Pelumpuhan kepemimpinan kesukuan;
§ Kebersamaan elit keagamaan.
Kemiskinan disebabkan tindak kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah
Perancis terhadap masyarakat Aljazair. Jenderal Bugeaud menerapkan strategi
penyerbuan secara besar-besaran terhadap perkampungan dan memporak
porandakannya, merampas kebun-kebun, membakar lahan pertanian.
Regulasi dan perundang-undangan pertanahan Perancis telah menyengsarakan
penduduk Aljazair. Misalnya sistem kepemilikan tanah komunal telah porak
poranda akibat regulasi pertanahan itu. Setiap individu diperbolehkan menjual
properti tanah kesukuan, sehingga memungkinkan bagi Perancis membeli tanah
untuk pemukiman penduduknya dan bagi pendatang eropa lainnya. Di samping
melalui regulasi ini, yang lebih banyak terjadi adalah perampasan tanah rakyat
oleh pemerintah kolonial Perancis. Hingga tahun 1940 tercatat 35 % dari 40 %
lahan subur Aljazair dikuasai oleh Perancis.
Kepemimpinan kesukuan yang bertahan lama di Aljazair diganti dengan
pemerintahan regional yang dimobilisasi dari dukungan suku-suku tertentu.
Tetapi pada tahun 1843 Perancis mengambil alih kepemimpinan itu dan
membentuk Bureaux Arabes yang
terdiri dari 50 unit dengan bentuk kombinasi antara pemerintahan sipil dan
militer.
Perlawanan yang paling gencar justru dilancarkan oleh kelompok kegamaan
yang sangat solid. Tercatat pascaperlawanan Abdul Qadir beberapa perjuangan
yang dipimpin oleh pemimpin agama, misalnya Bu Zian dari Zaatsha (1849), Sidi
Sadok ibn al Hajj (1858), Bu Khentash (1860), Muhammad Amzian (1879). Di
samping itu muncul juga perlawanan
masyarakat Aljazair Selatan antara tahun 1851-1855 dan 1871-1872 oleh
masyarakat penggembala yang ingin mempertahankan akses mereka terhadap pasar
dan menghindar dari ketergantungan ekonomi terhadap Perancis.
Berbagai perlawanan itu dibangkitkan melalui gerakan bawah tanah (shartiya)
dan rata-rata dipimpin oleh para sufi dan pimpinan tarekat. Sayangnya gerakan
ini sering bersifat lokal dan dilakukan sendiri-sendiri. Namun di balik itu, rangkaian pemberontakan
tersebut telah membangun rasa kesatuan bagi masyarakat Aljazair pedalaman yang
dahulunya sering dilanda perpecahan.
Pada 1870-1871 perlawanan lokal itu dipusatkan dan jadilah perlawanan dalam
skala besar. Hal ini didorong oleh peperangan antara Perancis dan Rusia, dan
masyarakat Aljazair berharap Perancis di bawah Napoleon III kalah dalam
peperangan tersebut. Di samping itu, kekahawatiran terhadap berdirinya
pemerintah Republik di Perancis berdampak pada perampasan seluruh tanah
Aljazair untuk dijadikan koloni Perancis.
Pemberontakan dalam skala besar itu dipimpin oleh al Muqrani, sekutu
Perancis sejak 1830-an. Al Muqrani khawatir kedudukannya terancam oleh upaya
Perancis menggantikan stratum yang dominan dengan generasi adminitrasi yang
lebih lunak. Tetapi pemberontakan ini berhasil dipadamkan.
Tanda-tanda alih generasi itu terlihat antara 1843-1870, Perancis berusaha
merusak kepemimpinan suku dan agama yang berpengaruh di Aljazair dengan
generasi baru pejabat pemerintahan yang kurang berpengaruh yang dapat menerima
kontrol dari Perancis. Tahun 1874 penduduk Muslim Aljazair dipaksa menerima code
l’indegenat yang membuat pihak Muslim dapat dihukum akibat pengkhianatan
atau tindakan ilegal terhadap Perancis. Undang-undang ini membuka peluang bagi
Perancis untuk merampas hak properti bangsa Aljazair.
Semenjak kekacauan itu, sekolah, madrasah dan zawiyah di Aljazair tidak
dapat lagi melaksanakan aktivitasnya. Pendidikan yang tersedia hanyalah
pendidikan Perancis (Eropa) yang diperkenalkan pada 1883 dan 1889 yang
bertujuan mengasimilasi anak-anak Aljazai kepada peradaban Eropa. Pendidikan
itu jukebnayakan disediakan untuk melatih pejabat pribumi bekerjasama dengan
Perancis untuk mengontrol penduduk Muslim.
Generasi Elit Baru Aljazair telah lahir menggantikan generasi kepala Suku, Marabout
dan Qa’id. Merka rata-rata berpendidikan Barat atau berpendidikan
Islam. Merka bekerja sebagai pegawai pemerintah seperti guru, pegawai pos,
pegawai farmasi atau pekerja jawatan kereta api. Tetapi secara psikologis
mereka juga tidak dapt menerima dominasi Perancis di Tanah Aljazair. Kadangkala
mereka mereka juga melakukan perlawanan melalui demonstrasi, aksi mogok dan
kekjaman sporadis. Generasi baru ini pada akhirnya menjadi cikal bakal
pergerakan modern perjuangan kemerdekaan.
Secara umum, elit pribumi Aljazair dapat dibagi pada tiga komponen utama.
Pertama, Lulusan Sekolah Arab- Perancis yang berharap integrasi penuh
dengan Perancis meskipun mempertahankan identitas Muslim mereka. Salah satu
tokoh dari elit ini adalah Farhat Abbas yang terkenal dengan
ucapannya: ”...Imperium Bangsa Arab dan Islam adalah masa lalu; masa depan
kita sangat berkaitan dengan Perancis.”
Elit kedua, berorientasi nasionalis dan berkembang di kalangan emigran
Aljazair di Paris. Ketika dipimpin oleh Haji Messali cita-cita beralih kepada
kemerdekaan Aljazair yang berakar pada nilai-nilai Islam dan bersahabat dengan
bangsa-bangsa Arab.
Elit ketiga adalah tokoh-tokoh reformis Islam yang beraafiliasi dengan
MuhammadAbduh dan para reformis dari Tunisia. Salah satu tokohnya adalah Abdul
Hamid Ibn Badis (Ben Badis). Ia mengembangkan pemikirannya dari Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha. Gerakan reformasinya diarahkan kepada para sufi dan praktek
mistikal Marabout. Gerakan ini mencapai puncaknya pada tahun 1954.
tercatat pada masa itu 110 sekolah dan 20.000 murid. Sekolah itu juga digunakan
untuk pelatihan militan bagi perjuangan kaum nasionalis, dan menjadi bagian
terpenting bagi kemunculan sense identitas nasional Aljazair.
Konsep reformasi yang dibawa Ben Badis mengandung makna politis. Aljazair
dalam pandangannya merupakan entitas Arab Muslim. Arabisme tidak hanya
digunakan untuk menentang Asimilisasi Perancis, tetapi juga menentang usaha
Perancis membedakan antara Bangsa Arab dan Berber. Arabisme mengandung konsep
solidaritas nasionalisme bangsa Arab. Ini berarti bahwa bangsa Aljazair dibawah
kaum reformis berhasil membuat raison d’etre bagi nasionalitas bangsanya
dibawah kesatuan agama, bahasa dan kultural.
Pada bulan Maret 1962 Aljazair memperoleh kemerdekaannya. Tetapi Aljazair
tetap memberikan wilayah bagi penerbangan dan pelayara. Kerja sama ekonomi masa
depan disepakati, beberpa koloni Perancis diberi kebebasan memilih antara
kewarganegaraan Perancis atau Aljazair.
Setelah kemerdekaan, Aljazair didominasi oleh
paham kapitalisme. Hal ini tidak menyenangkan tentara revolusioner yang
perlahan-lahan tersingkir oleh rezim angkatan bersenjata. Bagi tentara
revolusioner, Arabisme dan Islam merupakan satu-satunya basis bagi identits
nasional. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, perlakuan terhadap
wanita menjadi problem tersendiri. Hal ini ironis dengan penjajahan Perancis
yang semestinya berhasil membawa wanita ke wilayah publik. Tetapi kebanyakan
wanita masih banyak dipingit dan diasingkan dari wilayah publik.
TUNISIA
Tunisia di bawah kolonisasi Perancis sejak 1881 mengalami nasib yang hampir
sama dengan Aljazair. Tetapi di wilayah pedalaman, Perancis mengukuhkan pejabat
lokal (Qa’id) dan memperlemah suku-suku independen. Kegiatan kolonisasi
utama yang dapat disebut antara lain pemberlakuan sistem pertanian dan
pendidikan modern.
Di bidang pertanian, hingga tahun 1945 Perancis telah menguasai sekitar 1/5
tanah pertanian Tunisia. Di bidang pendidikan melalui Alliance Francaise
dan gereja Katolik Perancis mengembangkan pendidikannya di Tunisia. Antara
tahun 1885-1912 sekitar 3000 warga Tunisia belajar ke Paris. Di samping itu
Perancis juga ikut dalam pengelolaan pendidikan Muslim. Pada 1898 Perancis
berusaha mereformasi Perguruan Zaytuna dan menambahkan sejumlah pelajaran
modern dan metode paedagogis. Tetapi usaha ini ditentang ulama dan ulama
memasukkan pelajaran hukum Islam.
Sekalipun demikian, ulama Tunisia dapat bekerjasama dengan Perancis dalam
mereformasi pengajaran publik, administrasi wakaf dan manajemen Perguruan
Sadiqi.
Sayangnya, dikalangan ulama terjadi perpecahan berlatar mazhab. Kalangan
ulama Maliki lebih cendrung memperhatikan pendidikan di bawah pengawasannya
daripada pendidikan di bawah mazhab Hanafi. Perpecahan ini tidak terlalu
berpengaruh, karena Perancis melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga Muslim
berhasil memepekerjakan kembali para ulama. Dengan demikian pada dasarnya para
elit Tunisia tidak mengalami kesulitan yang berarti di bawah pemerintahan
Perancis.
Sekalipun secara politik relatif tenang, namun perlawanan selalu saja
muncul, terutama ketika persoalan menyentuh pada aspek identitasa keislam dan
kebangsaan Tunisia. Hal ini dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa Eropa dan
dunia, isu-isu politik, ekonimi dan sastra yang sering didiskusikan oleh Aluni Perguruan Zaytuna dan Sadiqi. Pada
tahun 1888 alumni kedua perguruan ini mendirikan surat kabar mingguan al
Hadira. Para elit ini juga mendirikan Sekolah Khalduniah pada 1896
untuk melengkapi pendidikan Zaytuna dalam beberapa pelajaran modern. Disamping
itu pengaruh Arab Timur terutama Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh dan Partai Nasional Mesir. Dari sinilah
terbentuk gerakan Pemuda Tunisia. Mereka menyokong modernisasi dan
westernisasi Tunisia dan mendukung kebangkitan kultur Arab, sejarah, geografi
dan teori-teori sosial.
Pemuda Tunisia mensponsori sekolah
al Qur’an modern dilengkapi pengajaran bahasa Arab, ilmu aritmatika, geografi,
sejarah dan bahasa Perancis. Generasi ini sangat memberi perhatian terhadap
reformasi administrasi hukum Islam dan pendidikan kesusastraan Arab.
Gerakan ini berubah menjadi gerakan politik sekitar tahun 1920.
Kalangan nasionalis menuntut persamaan
gaji, kebebasan penerbitan dan perkumpulan secara liberal. Partai Destour
(konstitusi) di bawah pimpinan Abdul Azis al Thalibi menuntut pemberlakuan
konstitusi 1861. Perlawanan ini berlangsung sangat gencar hingga pada tahun
1922 Perancis mengirmkan militernya untuk menumpas perlawanan ini.
Pada 1930an generasi baru nasionalis kembali tampil. Tuntutan berkisar
sekitar kemerdekaan Tunisia. Tahun 1932 Habib Bourguiba dalam kongres Partai
Destour menuntut kemerdekaan Tunisia dan mengusulkan perjanjian persahabatan
untuk melindungi kepentingan Perancis di Tunisia. Tahun 1934 kelompok radikal
mengambil alih Partai Destour dan mengangkat Mahmud Materi sebagai Presiden
Prtai dan Bourguiba sebagai Sekretaris Jenderal. Partai Neo Destour ini
menuntut pembentukan penerintahan Demokrasi Parlementer dan memboikot
produk-produk Perancis. Meskipun berorientasi sekuler, para tokoh neo destour
mempunya tradisi keislaman yang kuat dan dapat membangkitkan sentimen muslim
melalui pertemuan-pertemuan di mesjid dan zawiyah.
Tunisia relatif mudah mencapai kemenangan. Setelah perlawanan selama 12
tahun Tunisia mendapatkan kemerdekaannya. Bahkan Tunisia dapat dikatakan tidak
merasakan penderitaan di bawah koloni Perancis. Para pemukim Perancis di
Tunisia pun tidak mengambil perlawanan senjata terhadap gerakan kemerdekaan
Tunisia.
Sesuatu yang penting dicatat, rezim Tunisia pasca kemerdekaan sangat gencar
melakukan sekularisasi. Perguruan Zaytuna diambilalih oleh Kementrian
Pendidikan dan sejumlah sekolah agama dimasukkan ke dalam sistem sekolah
negeri. Rezim ini juga menerapkan peradilan sekuler, kitab hukum perorangan
diberlakukan yang melarang poligami dan memasukkan perkawinan ke dalam perkara
sipil. Pada 1960, puasa Ramadhan dikecam sebagai penghambat produktivitas.
Tetapi kebijakan ini tidak sepenuhnya diterima masyarakat tunisia.
Tahun 1960an mahasiswa dan intelektual Tunisia
lebih menekankan identitas Arab-Muslim daripada Tunisia-Perancis. Pada awal
1970an kalangan konservatif Islam menguat. Perkumpulan-perkumpulan agama erdiri
di mana-mana. Kaum konservatif Islam ini mendirikan surat kabat al Ma’rifa sebagai
alat perjuangan. Meskipun demikian, hingga saat ini Tunisia masih saja bertahan
sebagai masyarakat sekuler. Tetapi di dalam masyarakatnya, sentimen Islam masih
sangat kuat dan sewaktu-waktu dapat saja melakukan perlawanan terhadap
pemerintah yang sekuler.
MAROKO
Maroko merupakan sebuah otoritas negara merdeka yang didasarkan atas simbol
khilafah dan komunitas sufi. Tetapi mereka tidak menjadi bagian dari imperium
Turki Usmani. Kelas politik menengah Maroko seperti tuan tanah bangsawan lebih
lemah dibandingkan dengan elit kesukuan. Otoritas Sultan sebagai penguasa
negara tidak dapat diganggu meskipun terkadang kekuasaannya tersaingi oleh
pimpinan suku dan pimpinan Sufi.
Maroko menjadi protektorat Perancis dan Spanyol pada tahun 1912. Perancis
menjadikan Sultan sebagai perpanjangan tangan dan menjadikan suku-suku berada
di bawah kekuasaannya. Suku-suku diintimidasi melalui pamer pasukan militer dan
mengusir mereka dari wilayah padang
rumputnya. Suku-suku itu dibuat tidak berdaya sehingga terpaksa membayar
pajak. Para kepala suku (qa’id) pada akhirnya ditugaskan untuk
menjalankan tugas-tugas baru eperti mengatur lalu lintas, memberikan izin
senjata, menyelesaikan persengketaan dan menertibkan harga.
Di selatan Atlas masih ada suku-suku besar yang di luar kendali Perancis.
Beberapa tokoh suku besar seperti Mtouggi, Gundafa dan Galwis menguasai surplus
pertanian. Sebelum 1912, para Qa’id mampu membeli senjata-senjata
modern, menggaji tentara bayaran, membangun benteng untuk menguasai distrik
mereka. Tetapi mereka rentan terhadap persaingan antar suku. Perancis cendrung
membiarkan mereka dan bahkan memerlukan mereka untuk melawan kaum nasionalis.
Sebagian besar zawiyah Sufi menerima otoritas Perancis dan membantu Perancis
dalam menaklukkan suku-suku. Tetapi akhir5nya prestise dan peran politik mereka
melemah akibat dibentuknya administrator pemerintah. Sherqawa misalnya,
kelompok Sufi di Boujad kehilangan peranan karena sengketa duniawi harus diajukan kepada Perancis. Mereka tidak
lagi dibutuhkan untuk mengamankanperdagangan, sebab sistem protektorasi
memberikan hak paten bagi perdagangan lokal.
Setelah Perang Dunia II perwalian para sufi semakin berkurang. Perancis
menjadikan ulama dan administrasi peradilan di bawah kontrol pemerintah. Tahun
1914 Perancis membentuk pengadilan administratif tandingan yang mengalihkan
hukum pidana ke dalam wilayah peradilan Perancis, mengembangkan pengadilan
Berber dan membatasi Yurisdiksi Syari’ah.
Disamping mendirikan sekolah-sekolah bercorak Perancis di Rabat dan Fez,
Perancis juga melindungi madrasah-madarasah tradisional. Sayangnya yang
menikmati pendidikan itu hanya sekelompok elit kecil dari golongan bangsawan.
Pada tahun 1950an, kelompok usia belajar di Maroko hanya 6 %. Pendidikan yang
dibangun itu pada akhirnya menjadi cikal bakal penentang penjajahan.
Sesuatu yang penting dicatat adalah bahwa Perancis berusaha membuat
dikhotomi antara Arab dan Berber. Ibarat politik belah bambu, etnik Berber
dipelihara sedemikian rupa oleh Perancis dengan harapan Berber dapat menjadi
pendukung Perancis. Sementara pengaruh Arab Islam dibatasi. Dekrit 1930 tentang
Berber dimaksudkan untuk mengorganisir sistem peradilan Berber yang menggunakan
hukum adat. Kalangan Islam melihat ini sebagai upaya untuk mengkonversi Berber
ke dalam agama Kristen.
Ironisnya, orang Berber justru menolak pendirian peradilan hukum adat
bahkan mendukung peberapan syari’ah. Mahasiswa Berber justru lebih tertarik
belajar Bahasa Arab dibandingkan Bahasa Perancis. Para mahasiswa lebih berpihak
sebagai kelompok nasionalis dan jauh dari kesan separatis.
Dominasi Perancis di bidang ekonomi dan politik di Maroko berjalan lancar. Tetapi hal itu
tidak menutup peluang terbentuknya kelompok oposisi. Hancurnya struktural
masyarakat Maroko, kecilnya kekuasaan kepala suku dan agama, perampasan tanah
menjadi sebab oposisi tersebut. Di samping itu kondisi itu juga mendorong
generasi Maroko berpindah ke kota dan menjadi bagian kesatuan militer Perancis.
Bagaimanapun identitas Arab Islam dan Berber tetap menjadi alat bagi perlawanan
terhadap Perancis.
Oposisi pertama berlangsung dalam bentuk pemberontakan di wilayah
pendudukan Spanyol di bawah pimpinan Abdul Karim. Tahun 1923 Abdul Karim
mendirikan Negara RIF dengan identitas nasional. Negara ini merupakan federasi
sejumlah suku lokal yang otonom yang disatukan dengan ideologi nasionalis.
Negara ini telah membewa Perancis terlibat dalam membantu Spanyol. Tahun 1926
Abdul krim mengalami kekalahan, namun ia tetap dianggap sebagai pahlawan dalam menetang
Perancis.
Perlawanan paling akhir datang dari gerakan reformasi agama. Antara
1920-1960 kalangan sufi dan ulama perkotaan merasa kecewa terhadap Perancis.
Gerakan ini masih diilhami oleh gagasan Muhammad Abduh. Gerakan dimulai dengan
gerakan pendidikan, diikuti gerakan pemurnian oleh kelompok salafy dan
menentang pemujaan terhadap orang suci. Salah satu isu pentingnya adalah
penolakan terhadap penyebaran kultur Barat. Ini berarti; penolakan kultur Barat sama dengan penolakan terhadap
Perancis yang notabene bagian dari Barat.
Sebagaimana di tempat lainnya, Perang Dunia II telah memperlemah Perancis.
Pada tahun 1943 terbentuk untuk menggalang dukungan massa bagi kemerdekaan
Maroko. Tahun 1947 Sultan Muhammad
memproklamirkan Maroko sebagai negara Arab yang condong kepada Liga Arab
dan mengabaikan penghormatan kepada Perancis. Karena usaha ini Sultan Muhammad
diasingkan dari Maroko.
Tahun 1955 sekemablinya dari pengasingan, Sultan Muhammad memproklamirkan
Maroko sebagai sebuah kerajaan Konstitusional. Pada 7 Maret 1956 Maroko meraih
kemerdekaan dan Perancis melalui Pierre Mendez Farnce mengakui kemerdekaan itu.
Menariknya gerakan kemerdekann Maroko justru
dipimpin oleh figur Sultan sebagai rezim lama. Pada saat Aljazair dan Tunisia
mengalami pergantian generasi dan tersekulerkan, Maroko justru bertahan dengan
identitasnya. Hal ini disebabkan sedikitnya warga Maroko yang mendapat
pendidikan Perancis. Dengan kata lain Sultan Muhammad menjalankan rezim lama
menjadi negara modern. Hingga saat ini Maroko bertahan sebagai negara paling
konservatif dan menyatu di antara negara Timur Tengah dan Afrika Utara. Di
Maroko Islam sangat kuat, diidentifikasi melalui negara dan kerajaan sebagai
identitas nasional bangsa Maroko.
LIBYA
Libya didirikan oleh Pemerintahan Usmani yang pada
awalnya berpusat di wilayah
Tripolitania, Cyrenaica, dan Fezzan. Pada masa modern negara-negara tersebut
membentuk sebuah negara dikenal sebagai negara Libya. Selama pada masa pendudukan Usmani, Libya
merupakan wilayah yang tidak memiliki catatan sejarah. Proses Arabisasi
berlangsung pada abad ke-7 dan Islamisasi penduduk negeri ini tetapi tidak
diiringi pembentukan rezim yang memusat.
Beberapa rezim pernah mengklai menguasai daerah
ini. Otoritas Almohad bersifat nominal (sekedar nama); Mamluk Mesir bersekutu
dengan suku-suku di Cyrenaica sehingga mengantarkan klaim mereka sebagai
penguasa negeri ini. Klaim ini diwarisi oleh Usmani, yang menaklukkan Mesir
pada tahun 1517 dan Tripoli pada tahun 1551. Sejak tahun 1551 sampai tahun 1711
Tripoli diperintah oleh Pasha Usmani dan tentara Jenisari. Pada tahun 1711
Ahmad Qaramanli, seorang perwira Jenisari lokal, merebut kekuasaan dan mendirikan
sebuah dinasti yang berada di hawah pemerintahan Usmani yang berlangsung hingga
tahun 1835.
Pada awal abad ke-19 kekuasaan Qaramanli semakin
herkurang sebagai akibat tekanan para perampok dan tumbuhnya pengaruh Inggris
dan Perancis. Pada tahun 1835 Usmani kembali menguasai Libya, dan mengakhiri
dinasti Qaramanli. Para gubernur Usmani memerintah Tripolitania dan menjadi
penguasa Cyrenaica hingga pendudukan Italia pada tahun 1911 dan penarikan
Usmani pada tahun 1912.
Sejak 1835 sampai 1911 Usmani mengadakan perubahan
besar-besaran di Tripolitania. Pada tahun 1858 mereka mengalahkan perlawanan
lokal, memperkokoh pemerintahan mereka di seluruh penjuru wilayah ini, dan
memberlakukan reformasi Tanzimat ke Libya. Para gubernur Usmani memperkuat
otoritas pusat, melancarkan proses sedentarisasi masyarakat Badui, membangun
sejumlah kota dan mengembangkan pertanian, dan membantu membangkitkan kembali
perdagangan trans-Sahara yang berkembang pesat di Libya sebagai abolisi
terhadap rute perdagangan budak Sahara melalui Tunisia dan Aljazair.
Pemerintahan Usmani juga mengem-bangkan pendidikan lokal dan pembentukan sebuah
kelompok inteligensia yang diilhami oleh kehidupan politik dan kultural
Istambul. Pada fase pemerintahan Usmani ini, para pejabat, intelektual, kepala
suku dan kepala kampung di Tripolitania mendapatkan ungkapan identitas sebagai
bagian dari propinsi yang lebih besar, yakni bagian dari Usmani, Arab, dan
dunia Islam.
Cyrenaica bertahan sebagai propinsi sendiri di
bawah pemerintahan Usmani dan menjalani sebuah fase pembangunan yang sama
akibat kerja sama Usmani dengan Thariqat Sanusiyah. Thariqat Sanusiyah
didirikan pada 1837 oleh Muhammad Ibn Ali al-Sanusi (1787-1859), yang lahir di
Aljazair dan belajar di Fez dan di Makkah. Al-Sanusi, di bawah pengaruh arus
reformasi, menegaskan bahwasanya tujuan yaang hendak dicapainya adalah mengajak
kembali kepada ajaran dasar al-Qur'an dan hadis, dan mengembangkan hak orang
beriman agar menggunakan ijtihad untuk mengembangkan ajaran--ajaran Islam yang
dengannya orang Islam harus menjalani kehidupannya. Thariqat Sanusiyah berusaha
menyatukan seluruh ummat Muslim dalam persaudaraan, dan memberikan kontribusi
bagi penyebaran dan revitalisasi Islam.
Pada akhir abad 19 jaringan kerja zawiyah
Sanusiyah membentuk sebuah koalisi kesukuan yang sangat luas di beberapa
wilayah bagian barat Mesir dan Sudan. Di bawah kepemimpinan Sanusiyah koalisi
kesukuan ini menentang ekspansi Perancis di wilayah Danau Chad (Lake Chad)
sekaligus menentang invasi bangsa Italia terhadap Libya.
Semenjak kongres tahun 1878 Italia mengklaim
Tripolitania sebagai bagian dari wilayah imperial mereka, dan mereka berusaha
memperkuat kehadiran perekonomian mereka di propinsi ini. Ketegangan diplomatik
Perancis Jerman memberikan kesempatan bagi sebuah invasi Italia pada tahun
1911. Italia menduduki beberapa kota dan mereka memaksa Usmani agar mengakhiri
pemerintahan mereka terhadap Tripolitania dan Cyrenaica, namun Sanusiyah juga
mengklaim sebagai pewaris otoritas Usmaniyah di Libya. Baru setelah Peranag
Dunia I Italia dapat mengalahkan oposisi lokal di Tripolitania dan hal ini baru
terjadi hingga terjadi sebuah perang sengit dan destruktif yang berlangsung
dari tahun 1923 sampai tahun 1932 di mana bangsa Italia benar-benar mampu
mengalahkan masyarakat badui di Cyrenaica, merampas sebagian pertahanahan
mereka, dan menjajah negeri ini. Para pemuka Sanusia dipaksa keluar dan
menjalani hidup di pengasingan, dan ketika mereka meraih kembali sebuah
otoritas spiritual, mereka diwajibkan mengakui pemerintahan Italia. Pada tahun
1934 bangsa Italia menyempurnakan penaklukannya atas Cyrenaica dan Tripolitania
dan menyatukan dua wilayah ini menjadi Libya modern.
Italia menderita kekalahan dalam Perang Dunia II
sehingga Libya jatuh di bawah kekuasaan Inggris dan Perancis, tetapi
Perserikatan Bangsa Bangsa memutuskan menjadikan Libya sebagai sebuah negara
merdeka pada 1951. Seorang pemimpin Sanusi, Amir Idris, menjadi Raja, dan
memerintah negeri ini atas dasar legitimasi keagamaan keluarganya dan atas
dasar pengabdiannya dalam perjuangan melawan pemerintahan asing. la memerintah dengan bantuan para
pejabat perkotaan, dengan dukungan warga badui yang bersekutu melaalui jaringan
zawiyah Sanusiyah, dan dengan bantuan klien para pimpinan suku. Rezimnya mendapat
perlawanan dari generasi muda nasionalis-radikal dan dari kelompok mahasiswa
socialis-minded lantaran sangat korup dan sangat bergantung pada bantuan
asing, dan juga mendapat perlawanan dari kelompok pekerja galangan kapal,
pertambangan minyak, teknisi, dan dari para perwira muda yang diilhami oleh
ideologi pan-Arab, ideologi sosialis Nasserisme dan ideologi Partai Ba'th. Pada
tahun 1969, gerakan Perwira Bebas Libya, yang terdiri dari para perwira
menengah dan N.C.O.S. yang belajar di Akademi Militer Baghdad, bahkan mereka
berasal dari suku-suku miskin dan lemah di Libya merebut kekuasaan dengan
pimpinan Mu'ammar Qadhdhafi. Kelompok perwira ini membentuk sebuah Dewan
Komando Revolusi (Revolutionary Command Council) dan dalam waktu yang
singkat mendirikan rezim militer yang berkuasa penuh. Beberapa kekuatan asing
dihapuskan. Perbankan dan perusahaan asing dinasionalisasikan sejumlah partai
politik dan serikat kerja dibubarkan. Pada tahun 1973 Revolusi Libya mengalami
perubahan yang sangat radikal, dengan memberhentikan sejumlah pejabat,
profesional dan musuh-musuh politiknya yang potensial, dan membentuk komite
populis untuk menjalankan kementerian negara, sekolah, dan sejumlah perusahaan
besar. Pada akhir dekade 1970 negara mengambil alih kekuasaan atas seluruh
fungsi ekonomi yang penting, menghancurkan sekelompok kecil kelas menengah, dan
mendistribusikan kekayaan negara. Dampak politik, populisme ini adalah
penghapusan seluruh pusat kekayaan independen, dan pembentukan sebuah sistem
pengendalian terhadap fungsionari publik, sehingga meminimalkan prospek
opposisi terhadap Qadhdhafi.
Qadhdhafi sangat terkenal sebagai tokoh ideologi
Arab dan Islam radikal Doktrin revolusionernya yang pertama merupakan kopi dari
ideologi Nasseriyah dan Ba'thiyah dan menyerukan persatuan Arab, menentang
kolonialisme dan Zionisme, dan kepemimpinan bangsa Libya dalam menggalang
persatuan dan perjuangan Arab dalam menghadapi Isra'il. Dalam rentang masa
pemerintahannya Qadhdhafi telah menegosiasikan persatuan antara Libya dan Mesir,
antara Libya dan Syria, dan antara Libya, Sudan, dan Tunisia, dari seluruh
persekutuan tersebut tak satupun yang membawa hasil. Pada awal tahun 1970an,
Qadhdhafi menambahkan satu dimensi baru dalam pandangan teoretisnya di mana ia
mengusulkan misi Arab-Islam sebagai Alternatif Dunia Ketiga (Third Universal
Alternative) daripada kapitalisme dan komunisme. Qadhdhafi memproklamirkan
sebuah skripturalisme Islam yang ekstrem di mana al-Qur'an dijadikan
satu-satunya sumber otoritas bagi rekonstruksi masyarakat Islam, namun hal yang
sama tidak diberlakukan terhadap hadis Nabi Muhammad (al-Sunnah).
Skripturalisme Islam sejalan dengan populisme yang menghancurkan otorita
ulama', syaikh Sufi, kalangan birokrat dan teknokrat, dan menjadikan Qadhdhafi
sendiri sebagai figur sentral dalam versi modernisme, Islamnya. Demikian juga
moralitas al-Qur'an di Libya mengharamkan praktik perjudian, alkohol, dan
bentuk-bentuk kejahatan "Barat" yang sedang menggejala. Dalam arena
internasional, Third Universal Alternative menyeruhkan jihad atau perjuangan
melawan imperialisme dan Zionisme di Timur Tengah, Afrika Muslim, dan bahkan di
Philipina, di mana berkembang gerakan Muslin separatis. Teori ini secara tidak
langsung mengisyaratkan identifikasi sosialisme,
ISLAM DALAM IDEOLOGI NEGARA DAN GERAKAN OPOSISI
Negara-negara Arab Afrika Utara dikelompokkan
menjadi satu bukan hanya dikarenakan faktor geografi tetapi juga dikarenakan
faktor kesamaan perkembangan sejarah mereka. Dalam periode pre-modern,
masing-masing negeri tersebut memiliki struktur sosial dan politik yang
berbeda-beda, bahkan masing-masing garis keturunan mereka yang merupakan basis
kemasyarakatan dan pastoralis merupakan unsur kekuatan sosial dan politik yang
sangat penting.
Secara umum, di seluruh penjuru Arab Timur Tengah
dan Afrika Utara, ideologi resmi rezim negara dibangun berdasarkan kombinasi
yang beragam antara nasionalis, pan-Arab, dan simbol-simbol Islam. Beberapa
negara seperti Syria, Iraq, dan Tunisia menekankan ideologi nasionalis-sekuler
dan terkadang menekankan landasan sosialis sebagai identitas negara, namun
terdapat beberapa pengecualian seperti pengakuan secara konstitusional terhadap
Islam sebagai karakter negara atau sebagaimana adanya semangat seruan kepada
beberapa sentimen Muslim kepada masyarakat umum. Beberapa negara yang secara
institusional sangat rentan (mudah pecah) seperti Syria, Iraq, dan Libya, juga
sangat kuat menekankan loyalitas mereka terhadap pan-Arab. Pada negara-negara
ini, pengendalian negara terhadap urusan keagamaan, dan dominasi sosial
kalangan elite atasan militer atau dominasi terhadap kelompok minoritas yang
diwariskan Usmani, memihak kepada nasionalisme sekuler.
[1] Sumber: Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat
Islam, Bagian Ketiga, Ghufron A. Mas’adi (terj). (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1999, h. 201-259
No comments:
Post a Comment