12 August 2025

Mengapa Debat Masalah Khilafiyah Tidak Pernah Usai?

Muhammad Nasir

 

"Fanatisme mazhab tanpa ilmu adalah kebodohan yang dibungkus kesalehan."- Yusuf al-Qaradawi (w. 2022) dalam al-Sahwah al-Islamiyyah

 

  

Pak, mengapa masalah khilafiyah yang sepertinya sudah selesai dibahas dan ditulis dalam berjilid-jilid kitab oleh ulama dan cendekiawan hebat di abad ke-9 masih saja dipertentangkan orang zaman sekarang? tanya seorang mahasiswa. Anda, benar. Tetapi, yang mempertentangkan itu bukan Anda yang sudah tercerahkan, ‘kan? Tetapi orang minim literasi, a-historis dan tidak bijaksana.

Pertanyaan itu muncul setelah berdiskusi panjang tentang sejarah perbedaan pendapat dalam Islam, di kelas kuliah Teosofi, Prodi Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas Adab dan Humaniora UIN Imam Bonjol Padang, sekitar tahun 2019. Pertanyaan itu mungkin terkesan sederhana, tetapi sangat penting untuk dijawab.


Sejak era para imam mujtahid seperti Abu Hanifah (w. 767 M), Malik bin Anas (w. 795 M), al-Syafi‘i (w. 820 M), dan Ahmad bin Hanbal (w. 855 M), dunia Islam sudah kaya dengan dialektika hukum dan teologi. Perbedaan ini tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari metode ijtihad, konteks sosial-budaya, dan interaksi dengan sumber-sumber pengetahuan yang beragam. Bahkan dalam banyak kasus, perbedaan itu sudah mereka dokumentasikan dan sepakati batas-batasnya sehingga tetap menjadi bagian dari kekayaan khazanah, bukan pemicu perpecahan.

Namun, di abad ke-21, kita justru melihat fenomena aneh: perdebatan yang seharusnya berada di ruang akademis dan kitab klasik, kembali dibawa ke ranah publik dengan nada saling menyesatkan. Orang-orang menghidupkan kembali polemik lama tanpa memahami landasan epistemologisnya, bahkan seringkali memotong kutipan atau mengutip tanpa konteks.


Imam al-Syafi‘i, misalnya, dalam al-Risalah (sekitar 820 M) menulis bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah keniscayaan karena perbedaan dalam memahami nash dan realitas. Ia tidak menganggapnya sebagai cacat, melainkan sebagai konsekuensi dari keluasan rahmat Allah. Bahkan dalam literatur fikih, terdapat adagium yang masyhur: "Ikhtilāf al-ummah raḥmah" perbedaan di tengah umat adalah rahmat. Meskipun sanad hadis ini diperdebatkan, maknanya diakui luas dalam tradisi keilmuan Islam.

Sayangnya, orang yang hidup sekarang sering tidak membaca langsung sumber-sumber primer. Mereka lebih percaya pada cuplikan media sosial atau ceramah yang diringkas, yang sering kali bersifat persuasif-emosional, bukan analitis. Akibatnya, yang diperdebatkan bukan lagi substansi, melainkan versi "terjemahan bebas" yang telah kehilangan konteks.

Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari tiga sikap mental yang saling terkait, yaitu minim literasi, a-historis dan tidak bijaksana. Pertama, minim literasi. Banyak orang tidak terbiasa membaca teks panjang atau kitab asli. Mereka cenderung puas dengan ringkasan atau infografis yang dikemas singkat. Padahal, masalah khilafiyah seringkali kompleks dan tidak bisa disederhanakan menjadi "ini benar, itu salah" tanpa mengorbankan akurasi. Misalnya, perdebatan tentang qunut subuh antara mazhab Syafi‘i dan mazhab Hanbali tidak cukup dijelaskan hanya dengan satu hadis, melainkan harus dilihat dari keseluruhan sanad, metode tarjih, dan konteks penggunaannya.

Kedua, ahistoris. Banyak perdebatan lama yang terjadi dalam situasi dan kebutuhan yang sangat spesifik. Misalnya, metode hisab dan rukyat dalam menentukan awal bulan Hijriah berkembang sesuai kemampuan astronomi pada masanya. Membawa perdebatan itu tanpa memahami konteks sejarahnya berarti mengabaikan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial saat ini. Orang yang ahistoris lupa bahwa tokoh-tokoh yang mereka klaim "pembela mazhab murni" pada zamannya justru saling mengunjungi, belajar, dan berdebat dengan penuh etika.

Ketiga, kurang bijaksana, termasuk jika perdebatan itu di media sosial. Sikap ini membuat perbedaan yang seharusnya menjadi diskusi akademis berubah menjadi arena adu gengsi. Narasi yang menonjol bukan lagi "apa yang benar", melainkan "siapa yang lebih banyak pengikutnya". Akhirnya, khilafiyah yang dulu ditutup dengan kesepakatan tasāmuh (toleransi) kini menjadi bahan bakar untuk polarisasi.

 

Warisan Kitab yang Terlupakan

Di abad ke-9 hingga ke-14 M, ulama menulis kitab-kitab raksasa yang membahas khilafiyah secara rinci, mulai dari al-Mabsuth karya al-Sarakhsi (w. 1090 M), al-Majmu‘ karya Imam al-Nawawi (w. 1277 M), hingga al-Mughni karya Ibn Qudamah (w. 1223 M). Kitab-kitab ini bukan sekadar kompilasi hukum, melainkan juga dokumentasi sejarah pemikiran dan perbedaan pendapat yang telah diurai dengan argumentasi mendalam.

Misalnya, al-Nawawi dalam al-Majmu‘ juz 4, hlm. 234, 1277 M) menulis: Ikhtilāf al-‘ulamā’ sa‘ah, wa lā yanbaghī an yakūna sababān li al-taṭ‘īn. Man fahima ‘illat al-qawl al-mukhtalif fīhi ra’ā al-ḥikmah fīhi (perbedaan pendapat di antara para ulama adalah keluasan, dan tidak sepantasnya dijadikan alasan untuk mencela. Barang siapa yang memahami alasan di balik pendapat yang berbeda, ia akan melihat hikmah di dalamnya).

Kutipan ini menunjukkan bahwa ulama besar sendiri sudah mengingatkan umat agar tidak menjadikan khilafiyah sebagai bahan permusuhan. Sayangnya, pesan seperti ini tenggelam di tengah riuh debat online yang lebih mementingkan "menang argumen" ketimbang memahami sejarah pemikiran Islam.

Imam al-Ghazali, dalam al-Iqtisad fi al-I‘tiqad (ditulis sekitar 488 H/1095 M), menasihati bahwa dalam perkara yang menjadi perbedaan para ulama, hendaknya kita mengambil sikap lapang dada dan berhusnuzan kepada mereka. Beliau berkata, Fa la yanbaghi lil-mu’min an yushghila waqtahu bima la yanfa‘u fi al-akhirah wa yatruku ma yahtaju ilayhi fi al-akhirah" (maka tidak sepantasnya seorang mukmin menyibukkan waktunya dengan perkara yang tidak bermanfaat bagi akhiratnya, lalu meninggalkan perkara yang dibutuhkannya di akhirat). Pesan ini sederhana, namun terasa seperti pukulan telak bagi zaman kita. Bukankah sebagian orang saat ini justru terjebak dalam siklus debat tanpa ujung tentang masalah yang sudah ratusan tahun dicerna para ulama?

Sementara, Ibn Taymiyyah, dalam Raf‘al-Malam ‘an al-A’immah al-A‘lam (ditulis sekitar 709 H/1309 M), juga mengingatkan bahwa para imam besar tidak sepakat dalam semua masalah, dan perbedaan itu terjadi karena keterbatasan informasi, perbedaan metode istinbath, dan konteks sosial mereka. Ia menegaskan, Man ja‘ala al-ikhtilaf fi al-masa’il al-far‘iyyah sabab li al-tafarruq wa al-ta‘addi faqad akhtha’a khata’an mubinan (Barangsiapa menjadikan perbedaan dalam masalah cabang sebagai sebab perpecahan dan permusuhan, maka ia telah melakukan kesalahan yang nyata).

Kalimat ini mestinya cukup untuk membuat kita menahan diri sebelum memukul palu penghakiman pada sesama Muslim hanya karena perbedaan fikih.

Di abad modern, Syekh Yusuf al-Qaradawi dalam al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum (1993) mengulang pesan yang sama, menekankan bahwa perbedaan adalah fitrah, namun perpecahan adalah pilihan yang keliru. Ia menyebut perbedaan di kalangan ulama sebagai "rahmat yang luas" jika dikelola dengan ilmu dan adab.

Sayangnya, sebagian generasi kini lebih gemar membaca potongan kalimat di media sosial daripada membuka kitab aslinya. Akibatnya, sikap yang muncul bukanlah penghormatan terhadap keluasan khazanah Islam, tetapi arogansi yang mengira perbedaan hanya memiliki satu jawaban final: versi mereka sendiri.

 

Mengapa Mereka Tetap Terjebak?

Jika dilihat dari perspektif psikologi sosial, ada beberapa faktor mengapa perdebatan khilafiyah tetap berulang:

 

Petama, Identitas dan In-Group Bias

Orang cenderung membela kelompok yang sama dengan mereka bukan semata-mata karena substansi isu yang dibahas, tetapi karena ada dorongan untuk mempertahankan identitas sosial dan rasa kebersamaan. Dalam psikologi sosial, in-group bias ini membuat seseorang lebih mudah menerima argumen yang datang dari pihak yang dianggap “sekelompok” dan menolak, bahkan tanpa menimbang logika, argumen yang datang dari pihak “lawan” (Tajfel & Turner, 1986). Dalam debat khilafiyah, bias ini sering terlihat jelas: pembicaraan bukan lagi tentang “apa yang benar” tetapi tentang “siapa yang benar.” Perbedaan pendapat tentang tata cara ibadah, misalnya, berubah menjadi simbol pembeda antara “kami” dan “mereka”, sehingga diskusi agama yang semestinya menambah pengetahuan justru menjadi benteng pertahanan identitas kelompok.

 

Kedua, Kepuasan Emosional.

Menang dalam perdebatan, meski hanya dalam bentuk komentar yang mendapat banyak like atau dukungan di media sosial, memberi kepuasan psikologis tersendiri. Sensasi ini sering kali lebih memuaskan dibandingkan proses pencarian kebenaran itu sendiri (Kahneman, 2011). Perasaan “menang” menjadi semacam hadiah emosional yang membuat orang ketagihan, sehingga setiap perbedaan pendapat direspons seperti pertandingan yang harus dimenangkan, bukan dialog yang harus dipahami. Dalam konteks ini, ruang digital sering berubah menjadi arena kompetisi ego, di mana logika, etika diskusi, dan kesediaan mengakui kesalahan terpinggirkan demi meraih pujian atau pengakuan dari kelompok pendukung (Mercier & Sperber, 2017).

 

Ketiga, Kesalahpahaman terhadap Otoritas Ilmu.

Banyak orang berpegang pada anggapan bahwa “pendapat ulama saya” adalah satu-satunya yang benar, mutlak, dan final. Sikap ini muncul karena dua hal: minimnya literasi sejarah pemikiran Islam dan kecenderungan mencari jawaban instan tanpa mempertimbangkan keragaman metodologi ijtihad (Madjid, 1992). Padahal, tradisi ilmiah Islam tidak pernah mengenal pemutlakan tunggal dalam perkara ijtihadiyah. Sejarah mencatat perbedaan pendapat di kalangan sahabat Nabi, para imam mazhab, hingga ulama kontemporer; semuanya berlandaskan pada dalil yang mereka pahami (Rahman, 1982). Mengabaikan realitas ini berarti mengabaikan dinamika intelektual Islam itu sendiri, dan justru mengarah pada pembekuan pemikiran.

.

Pentingnya Literasi dan Sejarah

Dalam sejarah pemikiran Islam, konsep perbedaan pendapat kerap diposisikan bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai bagian dari dinamika intelektual umat. Salah satu ungkapan yang sering dikaitkan dengan tradisi keilmuan klasik adalah Ikhtilāfu al-ummah raḥmah. Idhā fahima al-insān hādhā al-ikhtilāf bi-ḥikmah, wajada fī al-dīn sa‘ah wa yusr (Perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat. Jika seseorang memahami perbedaan itu dengan bijak, maka ia akan menemukan keluasan dan kemudahan dalam agama). Meskipun para peneliti hadis seperti al-Sakhāwī (1985) dan Ibn Ḥazm (2004) mencatat bahwa riwayat ini tidak bersumber dari hadis sahih, ia tetap hidup sebagai prinsip moral dalam tradisi fiqh dan diskursus sosial umat Islam.

Ungkapan ini banyak dijadikan rujukan oleh ulama lintas mazhab, misalnya al-Nawawī dalam al-Majmū‘ Sharḥ al-Muhadhdhab (1996) yang menekankan bahwa keragaman pendapat merupakan konsekuensi dari ijtihad yang sah. Pandangan ini menempatkan ikhtilaf sebagai fenomena yang wajar dan bahkan positif selama tidak melahirkan permusuhan. Dalam konteks kekinian, prinsip tersebut menjadi landasan penting untuk mengelola perbedaan pandangan di masyarakat, khususnya dalam isu-isu keagamaan yang sensitif.

Salahsatu cara untuk memutus rantai perdebatan ini adalah dengan meningkatkan literasi dan kesadaran sejarah. Literasi bukan sekadar kemampuan membaca, tetapi juga memahami, mengkritisi, dan menempatkan informasi pada konteksnya. Sementara kesadaran sejarah membantu kita memahami bahwa perbedaan adalah bagian dari proses panjang umat dalam mencari kebenaran. Yusuf al-Qaradawi (w. 2022), dalam al-Sahwah al-Islamiyyah mengingatkan:"Fanatisme mazhab tanpa ilmu adalah kebodohan yang dibungkus kesalehan." Kutipan ini keras, tetapi relevan untuk generasi yang mudah terprovokasi oleh potongan video atau teks tanpa memeriksa sumbernya.

Sebagai generasi pewaris, sebenarnya generasi sekarang hanya perlu bersikap bijak: membaca sumber primer, memahami konteks, dan menempatkan perbedaan pada posisinya. Masalah khilafiyah bukan untuk dihapus, tetapi untuk dikelola dengan sikap saling menghormati. Sebab, sebagaimana kata al-Nawawi, memahami alasan di balik perbedaan justru membuka jalan menuju hikmah. Kalau tidak, perdebatan itu hanya akan menjadi pengulang sejarah yang buruk, menghidupkan kembali pertentangan lama tanpa pernah belajar mengapa ulama dahulu bisa tetap bersahabat meski berbeda pandangan. Dan mungkin, inilah yang terjadi hari ini, sebuah situasi: "rajin berdebat, tapi malas membaca."

 

Daftar Bacaan

al-Ghazali. (2000). Al-Iqtisad fi al-I‘tiqad (M. M. Abdul Hamid, Ed.). Kairo: Dar al-Ma‘arif. (Karya asli diterbitkan ca. 1095 M).

al-Nawawi. (1996). Al-Majmū‘ Sharḥ al-Muhadhdhab (M. A. al-Mutii, Ed.). Beirut: Dar al-Fikr. (Karya asli diterbitkan ca. 1277 M).

al-Qaradawi, Y. (1993). Al-Sahwah al-Islamiyyah bayna al-Ikhtilaf al-Masyru‘ wa al-Tafarruq al-Madhmum. Kairo: Maktabah Wahbah.

al-Sakhawi. (1985). Al-Maqasid al-Hasanah. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Ibn Ḥazm. (2004). Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah.

Ibn Taymiyyah. (n.d.). Raf‘ al-Malam ‘an al-A’immah al-A‘lam. (Karya asli diterbitkan ca. 1309 M).

Kahneman, D. (2011). Thinking, fast and slow. New York: Farrar, Straus and Giroux.

Madjid, N. (1992). Islam, doktrin, dan peradaban. Jakarta: Paramadina.

Mercier, H., & Sperber, D. (2017). The enigma of reason. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Rahman, F. (1982). Islam and modernity: Transformation of an intellectual tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Tajfel, H., & Turner, J. C. (1986). The social identity theory of intergroup behavior. Dalam S. Worchel & W. G. Austin (Ed.), Psychology of intergroup relations (hlm. 7–24). Chicago: Nelson-Hall.

 

No comments: