15 August 2025

Perang Paderi dalam Tinjauan Fikih Siyasah

 Muhammad Nasir

Pengajar Sejarah Minangkabau UIN Imam Bonjol Padang


Perang Paderi yang terjadi di Minangkabau pada awal abad ke-19 merupakan salah satu babak penting dalam sejarah sosial-politik Indonesia. Konflik ini bermula dari perbedaan pandangan antara kelompok yang mengedepankan pemurnian ajaran Islam dan kelompok yang mempertahankan adat sebagai bagian integral dari identitas Minangkabau. Kaum Paderi terinspirasi dari semangat pembaruan yang mereka temui saat menunaikan ibadah haji di Mekkah dan Madinah, sedangkan Kaum Adat berpegang pada tradisi yang telah mengakar kuat dalam sistem sosial, termasuk pola kekerabatan matrilineal.

Perselisihan tersebut pada awalnya bersifat internal dan terbatas di wilayah Minangkabau. Namun, ketegangan meningkat hingga memunculkan pertikaian bersenjata. Situasi semakin kompleks ketika Belanda ikut campur, awalnya atas undangan sebagian pihak yang menginginkan penyelesaian konflik, namun kemudian intervensi itu berujung pada perluasan kontrol kolonial. Akhirnya, perang ini berkembang menjadi konflik yang memadukan dimensi agama, adat, politik, dan perjuangan melawan penjajahan.



Christine Dobbin (1983) dalam Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy membagi Perang Paderi ke dalam tiga fase utama. Fase pertama, sekitar tahun 1803 hingga 1821, adalah masa pertentangan internal antara Kaum Paderi dan Kaum Adat. Perbedaan interpretasi terhadap ajaran Islam dan peran adat dalam kehidupan sosial menjadi sumber utama ketegangan. Meskipun di beberapa daerah terjadi upaya damai, ketidakcocokan pandangan tetap memicu konflik terbuka.

Fase kedua dimulai saat sebagian Kaum Adat menjalin kesepakatan dengan Belanda untuk membantu mereka menghadapi Kaum Paderi. Keterlibatan Belanda pada 1821 memberikan keuntungan militer sementara bagi pihak yang meminta bantuan, namun sekaligus membuka pintu bagi kolonialisme yang lebih dalam. Pada titik ini, konflik tidak lagi murni persoalan internal, melainkan menjadi sarana bagi kekuatan asing memperluas pengaruhnya di Sumatera Barat.

Fase ketiga berlangsung ketika kedua pihak mulai menyadari ancaman besar dari kolonialisme. Persatuan kembali terbentuk antara Kaum Paderi dan Kaum Adat untuk menghadapi Belanda. Walaupun langkah ini menunjukkan kesadaran bersama akan pentingnya mempertahankan kedaulatan, kekuatan kolonial yang sudah mengakar membuat perjuangan menjadi sangat berat. Perang berakhir pada 1837 dengan kekalahan lokal dan semakin kuatnya kekuasaan Belanda di wilayah Minangkabau.

Paderi dalam Prinsip Fikih Siyasah

Dalam fikih siyasah, peristiwa seperti Perang Paderi dapat dianalisis melalui beberapa prinsip penting yang diambil dari Al-Qur’an, Sunnah, dan pandangan ulama klasik.

Pertama, prinsip amar ma’ruf nahi munkar (QS. Ali Imran [3]:104) yang mendorong umat untuk memperbaiki keadaan dan mencegah penyimpangan. Ibn Taymiyyah (w. 728 H) dalam As-Siyasah Asy-Syar’iyyah menekankan bahwa pelaksanaan prinsip ini harus mempertimbangkan hikmah dan menghindari mafsadah (kerusakan) yang lebih besar. Dalam konteks Perang Paderi, hal ini berarti upaya pembaruan agama perlu memperhatikan kondisi sosial dan kesiapan masyarakat.

Kedua, prinsip persatuan umat sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Hujurat [49]:10 yang mengajarkan bahwa kaum beriman bersaudara dan harus mendamaikan perselisihan. Perpecahan internal yang dibiarkan berlarut-larut justru membuka peluang bagi pihak luar untuk memecah belah dan menguasai.

Ketiga, pandangan Al-Mawardi (w. 450 H) dalam Al-Ahkam As-Sulthaniyyah mengenai kerjasama dengan pihak non-Muslim menyebutkan bahwa aliansi semacam itu dapat dibenarkan dalam kondisi darurat untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Namun, keputusan tersebut harus mempertimbangkan risiko jangka panjang terhadap kedaulatan.

Keempat, jihad difa’i atau jihad defensif menjadi prinsip penting ketika serangan dari pihak luar mengancam wilayah dan agama. Imam An-Nawawi (w. 676 H) dalam Rawdhatut Thalibin menegaskan bahwa jihad jenis ini menjadi kewajiban kolektif umat ketika tanah air mereka diserang.


Nasionalisme dan Penjajahan dalam Perspektif Fikih Siyasah

Perang Paderi tidak hanya mencerminkan dinamika internal umat Islam, tetapi juga berkaitan erat dengan perjuangan mempertahankan kedaulatan wilayah dari penjajahan. Dalam konteks fikih siyasah, konsep mempertahankan tanah air memiliki dimensi keagamaan sekaligus kebangsaan. Ulama seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (w. 1916) menekankan bahwa membela negeri dari serangan asing adalah bagian dari jihad yang hukumnya wajib ketika kedaulatan dan keselamatan umat terancam.

Nasionalisme dalam pandangan Islam bukan sekadar rasa cinta tanah air (hubb al-wathan), tetapi juga amanah untuk menjaga keamanan, keadilan, dan kemaslahatan masyarakat. Dalam QS. Al-Anfal [8]:60, umat diperintahkan untuk mempersiapkan kekuatan dalam rangka menghadapi ancaman dari luar. Ayat ini mengandung makna strategis yang dapat diartikan sebagai upaya menjaga kedaulatan bangsa.

Peristiwa Perang Paderi menunjukkan bahwa ketika ancaman kolonial semakin nyata, identitas agama dan nasionalisme dapat bersatu dalam satu semangat perjuangan. Meskipun istilah “nasionalisme” belum digunakan secara luas pada masa itu, sikap bersatu melawan penjajah mencerminkan kesadaran akan pentingnya mempertahankan wilayah dari penguasaan asing. Dari sudut pandang fikih siyasah, upaya ini termasuk dalam kategori hifzh al-wathan (menjaga negeri), yang sejalan dengan tujuan syariat untuk melindungi agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan.

Pelajaran dari Perang Paderi

Dari peristiwa ini, ada beberapa pelajaran yang dapat diambil untuk membangun politik umat yang lebih kokoh. Pertama, perbedaan pandangan sebaiknya diatasi melalui musyawarah yang berlandaskan saling menghargai. Pendekatan konfrontatif yang terlalu cepat dapat menguras sumber daya dan membuka celah bagi pihak luar.

Kedua, persatuan dalam menghadapi musuh bersama harus menjadi prioritas. Sejarah menunjukkan bahwa ancaman besar dapat mendorong pihak-pihak yang sebelumnya berseberangan untuk bersatu demi tujuan yang lebih besar.

Ketiga, strategi politik perlu berpijak pada kemaslahatan jangka panjang. Keputusan yang memberikan keuntungan sesaat, tetapi mengorbankan kedaulatan, akan berdampak buruk di kemudian hari.

Keempat, pentingnya literasi politik Islam atau fikih siyasah bagi para pemimpin dan tokoh masyarakat. Pemahaman ini dapat membantu mereka mengambil kebijakan yang sejalan dengan prinsip syariat sekaligus adaptif terhadap kondisi sosial (Nain, 2009).

Syafnir Aboe Nain (2009) dalam Perang Paderi dan Dinamika Politik Islam di Sumatera Barat menegaskan bahwa kekuatan sejati umat bukan hanya pada jumlah pasukan atau senjata, tetapi pada kemampuannya mengelola perbedaan internal dan mengubahnya menjadi kekuatan kolektif.

Terakhir, Perang Paderi adalah cerminan kompleksitas hubungan antara agama, adat, dan kekuasaan kolonial. Dari perspektif fikih siyasah, peristiwa ini memperlihatkan bahwa menjaga persatuan dan kedaulatan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Prinsip-prinsip Islam memberikan pedoman bahwa perbedaan internal seharusnya menjadi sumber kekuatan, bukan kelemahan.

Al-Mawardi (w. 450 H) pernah menyatakan, “Kekuasaan adalah perisai agama, dan agama adalah penopang kekuasaan; keduanya tidak akan tegak kecuali bersama-sama.” Pelajaran dari Perang Paderi menguatkan pandangan ini: kekuatan umat terletak pada persatuan, kesadaran akan pentingnya mempertahankan negeri, dan kebijakan politik yang bijaksana.

---

Sejarah ini mengajarkan bahwa meskipun perbedaan pandangan adalah keniscayaan, kemampuan untuk bersatu di saat genting adalah kunci untuk menghadapi tantangan bersama. Dengan memahami prinsip-prinsip fikih siyasah dan menginternalisasikan semangat nasionalisme yang positif, generasi mendatang dapat membangun masa depan yang berdaulat, adil, dan selaras dengan nilai-nilai agama.

No comments: