13 July 2025

Karbala 680: Sebuah Perlawanan

Muhammad Nasir
Pengajar Sejarah Peradaban Islam


Karbala tidak harus dilihat sebagai kutukan sejarah politik Islam, melainkan sebagai kritik internal yang sangat kuat terhadap sistem politik yang kehilangan nuraninya —Muhammad Nasir


Pada tahun 680 M atau 61 Hijriah, umat Islam dikagetkan oleh sebuah peristiwa tragis yang mengguncang fondasi moral dan politik Islam. Peristiwa itu bukan semata tentang pertempuran di padang Karbala, melainkan tentang keberanian seorang tokoh agama dan cucu Nabi, Husain bin Ali, dalam menghadapi kekuasaan yang ia anggap tak sah dan tak bermoral. Husain menolak berbaiat kepada Yazid bin Muawiyah. 


Penolakan Husain terhadap kekhalifahan Yazid bin Muawiyah tidak muncul tiba-tiba. Penolakan ini berakar pada prinsip dasar keadilan, legitimasi moral, serta tanggung jawab etis terhadap umat, di mana kekuasaan bukanlah warisan turun-temurun, tetapi amanah yang mesti dijalankan dengan adil.

Setelah wafatnya Muawiyah, Yazid ditunjuk sebagai khalifah oleh ayahnya. Langkah ini menandai awal dari perubahan besar dalam struktur politik Islam. Jika pada masa Khulafaur Rasyidin kekuasaan ditentukan melalui musyawarah dan baiat masyarakat, maka kini kekuasaan diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk dinasti. Bagi Husain, hal ini bertentangan dengan semangat Islam awal yang menekankan akhlak, legitimasi moral, dan kepemimpinan yang bertanggung jawab (Madelung, 1997, hlm. 245–250).

Penolakan Husain terhadap baiat kepada Yazid bersifat terbuka dan konsisten. Ia menyatakan dalam salah satu suratnya bahwa ia tidak keluar untuk menciptakan kerusakan atau kezaliman, tetapi untuk menuntut perbaikan umat kakeknya, Nabi Muhammad. Dalam kata-katanya, “Aku tidak keluar untuk mencari kekuasaan atau keangkuhan. Aku keluar untuk menegakkan amar makruf dan nahi mungkar” (al-Ṭabarī, 1989, hlm. 19). Kalimat ini menunjukkan betapa penolakan Husain bukan karena ambisi politik, tetapi karena krisis moral yang ia lihat dalam pemerintahan yang sedang berjalan.

Ketegangan memuncak ketika ribuan penduduk Kufah mengirim surat kepada Husain, memintanya datang ke kota mereka untuk memimpin perlawanan terhadap kekuasaan Bani Umayyah. Ia pun mengutus sepupunya, Muslim bin Aqil, ke Kufah untuk memverifikasi dukungan tersebut. Namun, ketika Muslim bin Aqil tiba di sana, situasi berubah drastis. Gubernur Kufah, Ubaidillah bin Ziyad, menindak keras para pendukung Husain, menangkap dan menghukum mati Muslim bin Aqil, serta menyebarkan ketakutan di kalangan rakyat. Akibatnya, dukungan terhadap Husain menghilang dalam waktu singkat (Wellhausen, 1927; Halm, 1997).

Meskipun kabar kematian Muslim sampai ke telinganya, Husain tetap melanjutkan perjalanannya menuju Kufah. Sejarawan seperti Wilferd Madelung menafsirkan bahwa keputusan ini bukan karena ia berharap kemenangan militer, melainkan karena ia sadar bahwa posisinya telah menjadi simbol perlawanan moral terhadap sistem kekuasaan yang korup (Madelung, 1997). Dalam pengertian ini, Karbala bagi Husain adalah panggung moral, bukan sekadar arena perang.

Ketika Husain dan rombongannya tiba di Karbala, mereka dihadang oleh ribuan pasukan yang dikirim oleh Ibn Ziyad. Mereka dilarang mengakses air dari Sungai Efrat, bahkan saat anak-anak dalam rombongan mulai kehausan. Husain mengajukan negosiasi damai: ia bersedia kembali ke Madinah, pergi ke perbatasan, atau berbicara langsung dengan Yazid di Damaskus. Namun semua usul itu ditolak (al-Balādhurī, 1996).

Pada tanggal 10 Muharram 61 H, yang sekarang dikenal sebagai hari Asyura, pertempuran tidak terhindarkan. Jumlah pasukan Husain tidak lebih dari 72 orang, termasuk keluarga dan sahabat dekatnya. Di sisi lain, pasukan Ibn Sa‘d yang mengepung mereka berjumlah lebih dari 4.000. Dalam khutbah terakhirnya, Husain berkata: “Jika kalian tidak takut kepada Allah dan tidak merasa malu kepada Rasulullah, maka jadilah kalian orang merdeka dalam urusan dunia kalian!” (al-Ṭabarī, 1989, hlm. 20). Ucapan ini bukan hanya cercaan moral, tetapi juga penegasan bahwa lawan-lawannya telah kehilangan kemanusiaan.

Satu per satu anggota keluarganya gugur, termasuk dua putranya, saudaranya Abbas, dan para sahabatnya. Hingga akhirnya Husain sendiri gugur, dengan tubuh penuh luka, di tengah padang Karbala yang panas dan kering. Dalam riwayat yang dikutip al-Ṭabarī, Husain mengangkat kepala ke langit dan berkata: “Aku ridha terhadap ketetapan-Mu, ya Allah. Tidak ada Tuhan selain Engkau. Wahai Penolong orang yang memohon pertolongan, tolonglah aku” (al-Ṭabarī, 1989, hlm. 22).

Refleksi historis

Secara historis, narasi Karbala terutama bersumber dari Abu Mikhnaf, seorang penulis sejarah awal yang menghimpun laporan dari saksi mata dan kerabat Husain. Meski dianggap memiliki simpati terhadap keluarga Ali, karya-karyanya menjadi fondasi utama bagi sejarawan besar seperti al-Ṭabarī (Wellhausen, 1927). Meskipun demikian, para sejarawan modern seperti Julius Wellhausen dan Heinz Halm mengingatkan agar narasi-narasi tersebut dikaji dengan kritis karena kecenderungan moralistis yang terkadang muncul dalam bentuk dramatik.

Karbala tidak hanya menjadi tragedi, tetapi juga fondasi pembentukan identitas kolektif komunitas Syiah. Sejarawan seperti Ali J. Hussain (2005) menunjukkan bahwa ritus peringatan Karbala, seperti majlis ta’ziyah dan marsiyah, tumbuh menjadi struktur sosial dan spiritual yang mengikat umat. Ritual ini bukan sekadar duka, tetapi menjadi bahasa kolektif tentang kesetiaan kepada nilai kebenaran dan perlawanan terhadap kezaliman.

Zainab binti Ali, saudari Husain, memainkan peran penting pasca-Karbala. Ia menyampaikan pidato-pidato di Kufah dan Syam yang menyuarakan penderitaan keluarga Nabi. Dalam pidato terkenalnya di hadapan Yazid, Zainab berkata, “Engkau kira bahwa engkau telah menghancurkan kami, padahal engkau hanya membuka jalan bagiku untuk mengumandangkan kebenaran yang telah kalian bungkam dengan pedang” (Halm, 1997, hlm. 145). Dengan pidato-pidato ini, tragedi Karbala tidak berakhir di medan perang, tetapi menjelma menjadi perjuangan intelektual dan spiritual yang mengakar dalam sejarah Islam.

Makna simbolik Karbala terus bergema dalam berbagai konteks sejarah. Revolusi Islam Iran tahun 1979, misalnya, banyak mengangkat semangat Karbala dalam retorika perjuangannya. Khomeini secara eksplisit menyebut Husain sebagai teladan revolusioner yang menolak ketundukan terhadap thaghut atau penguasa zalim (Keddie, 1981). Demikian pula gerakan Hizbullah di Lebanon dan komunitas-komunitas minoritas Syiah di Asia Selatan menjadikan peringatan Asyura sebagai wahana untuk menyuarakan keadilan sosial dan perlawanan terhadap penindasan.

Bahkan dalam wacana Sunni, Husain tetap dipandang sebagai syahid agung. Dalam karya Ibn Kathir, yang meskipun menganut pendekatan historis Sunni, ia menegaskan bahwa Husain dibunuh secara zalim dan bahwa Yazid pantas dikritik karena kelalaiannya dalam mencegah pembunuhan tersebut (Ibn Kathir, 1998). Ini menunjukkan bahwa tragedi Karbala melampaui batas-batas sektarian, dan menjadi bagian dari kesadaran moral bersama umat Islam.

Dalam pandangan para peneliti modern, seperti Andrew J. Newman dan Moojan Momen, Karbala adalah kisah tentang bagaimana otoritas moral menantang kekuasaan politik. Ini adalah narasi yang tidak hanya mengkonstruksi sejarah Syiah, tetapi juga memberikan fondasi bagi teori-teori keadilan dalam Islam kontemporer (Newman, 2006; Momen, 1985).

Kesimpulannya, Karbala bukan hanya peristiwa tragis dalam sejarah Islam. Ia adalah metafora hidup tentang keberanian, prinsip, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang sewenang-wenang. Keteguhan Husain bin Ali dalam menghadapi kematian adalah bukti bahwa kebenaran tidak memerlukan pasukan besar untuk bertahan hidup. Ia hanya membutuhkan satu orang yang bersedia berdiri di saat semua orang memilih untuk duduk.

Karbala adalah ideologi perlawanan

Tragedi Karbala memang mesti dilihat sebagai praktik kekuasaan yang menindas, bukan praktik kekuasaan yang ideal dan bermoral. Namun, tidak sedikit pula suara-suara yang secara naif menggeneralisasi peristiwa Karbala sebagai preseden kelam dalam sejarah kekuasaan Islam secara total, di mana darah menjadi sarana penyelesaian konflik politik.

Padahal di balik kekuasaan yang menindas itu ada entitas politik Islam yang lain, yaitu Husain bin Ali yang muncul sebagai icon perlawanan. Artinya, di waktu yang sama, kekuasaan yang menindas itu mendapatkan perlawanan dan kecaman dari Husain bin Ali. Bahwa perlawanan ini dapat disebut sebagai representasi politik moral umat islam pada waktu yang sama. 

Dalam sudut pandang ini, di satu sisi Karbala adalah pergeseran besar dari idealisme pemerintahan Islam awal yang berbasis musyawarah dan keadilan menuju model kekuasaan yang pragmatis dan bahkan brutal. Tetapi di sisi yang lain, Karbala yang menjadi medan pembunuhan terhadap cucu Nabi adalah perlawanan atas pengkhianatan penguasa terhadap semangat ajaran Islam.

Dalam pandangan Khaled Abou El Fadl, Karbala telah menjadi “cermin suram” bagi krisis legitimasi yang terus-menerus mengiringi proyek-proyek politik atas nama Islam sepanjang sejarah (El Fadl, 2004). Ia menulis bahwa salah satu ironi paling menyakitkan dalam sejarah Islam adalah kenyataan bahwa struktur kekuasaan yang mengatasnamakan Islam justru sering kali bertindak bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.

Sebagian besar diskursus Islam politik kontemporer, stigmatisasi yang muncul sekarang pun tidak lepas dari bayang-bayang Karbala. Misalnya,dalam perdebatan tentang sistem khilafah, otoritarianisme Islam, atau gerakan politik Islam modern, banyak kalangan—baik dari luar maupun dari dalam komunitas Muslim sendiri— menunjuk Karbala sebagai cermin awal kegagalan politik Islam dalam menjaga nilai keadilan dan etika kekuasaan. Karen Armstrong, dalam analisisnya yang komprehensif tentang kekerasan dan agama, menyebut bahwa Karbala adalah contoh bagaimana mitos kekudusan dapat berubah menjadi tragedi ketika disandera oleh logika kekuasaan duniawi (Armstrong, 2000).

Stigmatisasi ini diperparah oleh eksploitasi narasi Karbala dalam politik identitas sektarian. Beberapa kelompok ekstrem bahkan menjadikan Karbala sebagai alasan untuk mengulang kembali kekerasan dalam bentuk simbolik maupun fisik. Dalam konteks ini, Karbala tidak lagi menjadi pelajaran moral, melainkan menjadi dalih pengobaran kebencian antar kelompok dalam Islam sendiri. Hal ini diamati secara tajam oleh Moojan Momen (1985), yang menulis bahwa meskipun Karbala dimaksudkan sebagai titik refleksi atas nilai keadilan, dalam praktik politik modern sering kali ia ditarik ke arah pembentukan narasi musuh, mempertegas “yang tertindas” dan “yang menindas” secara absolut tanpa jalan keluar rekonsiliasi.

Namun, penting untuk membedakan antara fakta sejarah dan penggunaan politik atas sejarah itu. Tragedi Karbala sebagai peristiwa historis adalah realitas yang penuh luka, tetapi bukan berarti seluruh sejarah Islam sejak saat itu adalah sejarah berdarah. Bahkan, banyak pemikir Muslim modern seperti Fazlur Rahman dan Abdullahi An-Na’im berpendapat bahwa pembacaan atas Karbala harus difokuskan pada moralitas penolakan terhadap kekuasaan yang korup, bukan pada glorifikasi penderitaan atau pembenaran untuk kekerasan lebih lanjut (Rahman, 1982; An-Na’im, 2008).

Dengan demikian, memahami Karbala sebagai preseden berdarah memang sah secara historis, namun membekukannya sebagai satu-satunya wajah politik Islam adalah reduksionis. Ia memang mencerminkan kegagalan kekuasaan Islam awal dalam melindungi nilai dan tokoh suci, namun ia juga menjadi simbol bangkitnya kesadaran moral dan daya hidup umat dalam melawan kezaliman. Dalam konteks ini, Karbala tidak harus dilihat sebagai kutukan sejarah politik Islam, melainkan sebagai kritik internal yang sangat kuat terhadap sistem politik yang kehilangan nuraninya.

---

Daftar Pustaka

Abou El Fadl, K. (2004). Islam and the Challenge of Democracy. Princeton: Princeton University Press.

al-Balādhurī. (1996). Ansāb al-Ashrāf. Beirut: Dār al-Fikr.

An-Na’im, A. (2008). Islam and the Secular State: Negotiating the Future of Shari‘a. Harvard University Press.

Armstrong, K. (2000). The Battle for God: A History of Fundamentalism. New York: Ballantine Books.

al-Ṭabarī. (1989). The History of al-Ṭabarī, Vol. XIX: The Caliphate of Yazid b. Mu‘āwiyah (I. K. A. Howard, Trans.). Albany: State University of New York Press.

Halm, H. (1997). Shi'ism. Edinburgh: Edinburgh University Press.

Hussain, A. J. (2005). The mourning of history and the history of mourning: The evolution of ritual commemoration of the Battle of Karbala. Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, 25(1), 78–88.

Ibn Kathir. (1998). Al-Bidāyah wa al-Nihāyah. Cairo: Maktabah al-Ma‘ārif.

Keddie, N. R. (1981). Roots of Revolution: An Interpretive History of Modern Iran. New Haven: Yale University Press.

Madelung, W. (1997). The Succession to Muhammad: A Study of the Early Caliphate. Cambridge: Cambridge University Press.

Momen, M. (1985). An Introduction to Shi‘i Islam. New Haven: Yale University Press.

Newman, A. J. (2006). The Formative Period of Twelver Shi'ism. Richmond: Curzon Press.

Rahman, F. (1982). Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: University of Chicago Press.

Wellhausen, J. (1927). The Arab Kingdom and its Fall. Calcutta: University of Calcutta.


No comments: