04 July 2025

Refleksi Kecil tentang Komunikasi Bimbingan Skripsi

Muhammad Nasir 
(Pembimbing Skripsi)


Saya sudah Jelaskan pada bimbingan sebelumnya. Mengapa masih belum paham juga? Kok kamu masih tanya? -The Best Quote of Doskil Amat

 

Bimbingan skripsi bukan hanya soal topik, teori, atau metodologi. Ia bisa menjelma menjadi drama kecil dalam dunia akademik kita. Dosen merasa sudah menjelaskan dengan sangat gamblang, mahasiswa merasa belum benar-benar paham. Mahasiswa pulang dengan catatan setengah ragu, lalu datang kembali dengan revisi yang justru membuat dosen terheran: "Lho, kemarin kan sudah saya bilang, kenapa malah kamu balik lagi? Capek saya menjelaskannya!"

Situasi seperti ini bukan asing. Bahkan bisa dikatakan menjadi pola yang berulang di banyak kampus. Di satu sisi, kita ingin proses akademik berjalan lancar, profesional, dan mendidik. Tapi di sisi lain, komunikasi antar manusia, apalagi dengan relasi kuasa yang tidak seimbang seperti dosen dan mahasiswa, sering kali penuh tafsir, prasangka, atau kebingungan. Komunikasi akademik kita rentan bias.

Bukan berarti dosen tidak peduli. Banyak dari mereka ingin membantu, bahkan merasa sudah cukup sabar. Tapi bentuk komunikasi lisan yang terjadi secara cepat dan kadang terburu-buru membuat pesan yang disampaikan tidak selalu diterima utuh. Mahasiswa mencatat, tapi tidak benar-benar menangkap maksud. Sementara dosen menganggap apa yang diucapkannya sudah cukup terang.

Kadang, yang menjadi masalah bukan substansi bimbingan, tapi bagaimana bimbingan itu dikomunikasikan. Sebuah kalimat yang terdengar tegas bagi dosen bisa terasa sarkastik bagi mahasiswa. Sebuah petunjuk yang terdengar jelas bagi pengucapnya bisa terdengar menggantung bagi penerimanya. Kita terlalu mengandalkan komunikasi lisan, dan melupakan pentingnya dokumentasi dan kejelasan tertulis dalam proses berpikir akademik.

Saya kira, semua yang pernah menjadi mahasiswa tingkat akhir pernah mengalami satu-dua momen bimbingan yang tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi enggan ditanyakan ulang karena takut dianggap “tidak mendengar” atau “kurang tanggap”. Dan semua yang pernah menjadi dosen pembimbing pasti pernah merasa frustasi karena mahasiswa seperti “mengulang kesalahan yang sama”, padahal sudah “dijelaskan dengan sangat jelas.”

Di antara keduanya, ada sesuatu yang absen: kejelasan yang terdokumentasi, yang bisa dibaca ulang, ditafsirkan bersama, dan dijadikan landasan perbaikan yang tidak emosional.

Mengapa komunikasi akademik mudah gagal?

Komunikasi akademik berbeda dari komunikasi sehari-hari. Ia mensyaratkan ketelitian, struktur, dan saling pemahaman terhadap istilah. Dalam ruang bimbingan yang singkat dan penuh tekanan waktu, hal-hal ini sering kali dikorbankan. Dosen memberi masukan dalam bentuk komentar spontan, mahasiswa mencatat seadanya, lalu berusaha menafsirkannya sendiri di luar ruang pertemuan. Masalah muncul ketika tafsir itu meleset. Dan melesetnya bukan karena mahasiswa tidak mendengarkan, tetapi karena tidak ada rekam jejak makna yang bisa dirujuk bersama.

Kesulitan juga muncul dari gaya komunikasi yang berbeda-beda. Ada dosen yang lugas, ada yang berputar-putar. Ada yang suka memberi contoh, ada yang hanya memberi isyarat. Mahasiswa yang berhadapan dengan gaya yang tidak cocok bisa merasa canggung, takut bertanya, atau bahkan pura-pura paham. Di sinilah pentingnya memperlakukan komunikasi bimbingan bukan sebagai relasi satu arah, tetapi sebagai kerja bersama yang harus dikelola secara sadar.

Apakah komunikasi tertulis bisa menjadi solusi?

Salah satu pendekatan yang mulai diusulkan dalam praktik akademik adalah penggunaan komentar tertulis; yaitu evaluasi, kritik, atau arahan yang ditulis secara eksplisit, dan bukan sekadar diucapkan. Idealnya, komentar ini disampaikan melalui sistem akademik daring, atau minimal dalam format dokumen yang bisa dibaca ulang oleh mahasiswa kapan saja.

Format tertulis memberikan sejumlah keunggulan. Ia menghindari nada sinis, karena tulisan membuat kita berpikir dua kali sebelum menyampaikan sesuatu. Ia juga membantu mahasiswa merenung, membaca ulang, dan memahami arahan dengan kepala dingin. Tapi yang lebih penting: ia menghindari perdebatan berdasarkan ingatan. Karena ingatan bisa meleset, tetapi teks bisa dikaji bersama.

Mari kita lihat lebih jauh apa yang bisa dilakukan melalui pendekatan ini.

Pertama, menyediakan ruang klarifikasi yang tidak emosional. Ketika mahasiswa membaca ulang komentar tertulis dari dosennya, ia memiliki kesempatan untuk memahami dengan lebih jernih. Tidak ada tekanan nada bicara, tidak ada intimidasi karena posisi sosial. Hanya ada teks, dan upaya untuk mengerti maksud teks itu. Mahasiswa bisa bertanya kembali dengan dasar yang lebih jelas: “Pada komentar Bapak bagian ini, maksudnya saya perlu menambah literatur, atau mengubah teori utama?” Pertanyaan semacam ini lebih mudah dijawab daripada pertanyaan kosong seperti: “Saya bingung, kemarin harus direvisi bagian mana ya, Pak?”

Kedua, Mendisiplinkan cara memberi masukan. Komentar tertulis menuntut dosen untuk menyusun kritik secara terstruktur. Dosen tak bisa lagi hanya berkata, “Ini kurang kuat!” atau “Terlalu umum!” tanpa menjelaskan bagian mana yang dimaksud, dan mengapa dianggap lemah. Tuntutan untuk menulis membuat kritik lebih argumentatif, lebih reflektif. Dan itu adalah proses pembelajaran juga bagi dosen: bagaimana menyampaikan kritik ilmiah secara membangun.

Ketiga, Menghargai proses belajar mahasiswa.Mahasiswa bukan penyalin perintah. Mereka adalah pembelajar yang butuh pemahaman. Ketika mereka diberi komentar tertulis yang bisa mereka baca, analisis, bahkan diskusikan dengan teman, mereka diajak untuk masuk dalam proses berpikir dosennya. Ini jauh lebih mendidik daripada sekadar diberi tahu "salah" atau "benar". Komentar tertulis memberi mereka kesempatan untuk belajar cara berpikir ilmiah melalui contoh nyata dari dosennya.

Keempat, Membangun dokumentasi akademik yang berguna. Dalam jangka panjang, dokumentasi komentar tertulis bisa menjadi arsip akademik. Kita bisa melihat kembali pola kesalahan yang sering muncul, gaya komunikasi yang paling efektif, bahkan bisa menggunakannya untuk pelatihan dosen atau perbaikan kurikulum. Komentar-komentar itu adalah jejak intelektual yang tak ternilai, bukan hanya untuk mahasiswa, tapi juga untuk institusi.

Apakah semua ini mudah dilakukan? 

Tentu saja tidak. Tidak semua dosen terbiasa menulis komentar panjang. Tidak semua mahasiswa suka membaca komentar tertulis. Tapi perubahan budaya memang tak pernah mudah. Ia butuh kebijakan lembaga, pelatihan, dan yang paling penting: kesadaran bahwa komunikasi akademik adalah bagian penting dari proses pembelajaran, bukan sekadar alat administratif.

Saya membayangkan, alangkah idealnya jika di masa depan, sistem informasi akademik kita menyediakan ruang komentar bagi dosen pembimbing dan penguji. Ruang itu memungkinkan dosen memberikan komentar yang bukan hanya bisa dibaca, tetapi juga bisa ditanggapi oleh mahasiswa. Bukan sebagai “kotak kritik yang mati”, tapi sebagai forum dialog mini yang terlindungi dan terdokumentasi.

Mari menutup dengan harapan. Barangkali sudah saatnya kita berhenti mengatakan, “Saya sudah jelaskan tadi di bimbingan,” dan mulai bertanya: “Apakah yang saya jelaskan sudah tertulis dan bisa dirujuk ulang?” atau, “coba baca lagi catatan saya di document review.” Barangkali sudah saatnya kita membangun kebiasaan menulis komentar seperti kita menulis catatan pinggir pada buku: sebagai bagian dari proses berpikir, bukan sekadar evaluasi.

Karena sering kali, masalahnya bukan pada isi bimbingan, tapi pada bagaimana bimbingan itu disampaikan dan diterima. Dan ketika komunikasi akademik bisa ditata dengan lebih tertulis, lebih jelas, dan lebih reflektif, maka hubungan antara dosen dan mahasiswa pun akan bergerak dari relasi “atas–bawah” menuju “berpikir bersama”.

Dan bukankah itu tujuan kita di dunia akademik?

 

No comments: