Muhammad Nasir
(Pembimbing Skripsi)
Saya sudah Jelaskan pada bimbingan sebelumnya. Mengapa masih belum paham juga? Kok kamu masih tanya? -The Best Quote of Doskil Amat
Bimbingan skripsi bukan hanya soal topik, teori, atau metodologi. Ia bisa menjelma menjadi drama kecil dalam dunia akademik kita. Dosen merasa sudah menjelaskan dengan sangat gamblang, mahasiswa merasa belum benar-benar paham. Mahasiswa pulang dengan catatan setengah ragu, lalu datang kembali dengan revisi yang justru membuat dosen terheran: "Lho, kemarin kan sudah saya bilang, kenapa malah kamu balik lagi? Capek saya menjelaskannya!"
Situasi seperti ini bukan asing. Bahkan bisa dikatakan menjadi pola yang berulang di banyak kampus. Di satu sisi, kita ingin proses akademik berjalan lancar, profesional, dan mendidik. Tapi di sisi lain, komunikasi antar manusia, apalagi dengan relasi kuasa yang tidak seimbang seperti dosen dan mahasiswa, sering kali penuh tafsir, prasangka, atau kebingungan. Komunikasi akademik kita rentan bias.Bukan
berarti dosen tidak peduli. Banyak dari mereka ingin membantu, bahkan merasa
sudah cukup sabar. Tapi bentuk komunikasi lisan yang terjadi secara cepat dan
kadang terburu-buru membuat pesan yang disampaikan tidak selalu diterima utuh.
Mahasiswa mencatat, tapi tidak benar-benar menangkap maksud. Sementara dosen
menganggap apa yang diucapkannya sudah cukup terang.
Kadang,
yang menjadi masalah bukan substansi bimbingan, tapi bagaimana bimbingan itu
dikomunikasikan. Sebuah kalimat yang terdengar tegas bagi dosen bisa terasa
sarkastik bagi mahasiswa. Sebuah petunjuk yang terdengar jelas bagi pengucapnya
bisa terdengar menggantung bagi penerimanya. Kita terlalu mengandalkan
komunikasi lisan, dan melupakan pentingnya dokumentasi dan kejelasan tertulis
dalam proses berpikir akademik.
Saya
kira, semua yang pernah menjadi mahasiswa tingkat akhir pernah mengalami
satu-dua momen bimbingan yang tidak sepenuhnya dimengerti, tetapi enggan
ditanyakan ulang karena takut dianggap “tidak mendengar” atau “kurang tanggap”.
Dan semua yang pernah menjadi dosen pembimbing pasti pernah merasa frustasi
karena mahasiswa seperti “mengulang kesalahan yang sama”, padahal sudah
“dijelaskan dengan sangat jelas.”
Di antara
keduanya, ada sesuatu yang absen: kejelasan yang terdokumentasi, yang
bisa dibaca ulang, ditafsirkan bersama, dan dijadikan landasan perbaikan yang
tidak emosional.
Mengapa
komunikasi akademik mudah gagal?
Komunikasi
akademik berbeda dari komunikasi sehari-hari. Ia mensyaratkan ketelitian,
struktur, dan saling pemahaman terhadap istilah. Dalam ruang bimbingan yang
singkat dan penuh tekanan waktu, hal-hal ini sering kali dikorbankan. Dosen
memberi masukan dalam bentuk komentar spontan, mahasiswa mencatat seadanya, lalu
berusaha menafsirkannya sendiri di luar ruang pertemuan. Masalah muncul ketika
tafsir itu meleset. Dan melesetnya bukan karena mahasiswa tidak mendengarkan,
tetapi karena tidak ada rekam jejak makna yang bisa dirujuk bersama.
Kesulitan
juga muncul dari gaya komunikasi yang berbeda-beda. Ada dosen yang lugas, ada
yang berputar-putar. Ada yang suka memberi contoh, ada yang hanya memberi
isyarat. Mahasiswa yang berhadapan dengan gaya yang tidak cocok bisa merasa
canggung, takut bertanya, atau bahkan pura-pura paham. Di sinilah pentingnya
memperlakukan komunikasi bimbingan bukan sebagai relasi satu arah, tetapi
sebagai kerja bersama yang harus dikelola secara sadar.
Apakah
komunikasi tertulis bisa menjadi solusi?
Salah
satu pendekatan yang mulai diusulkan dalam praktik akademik adalah penggunaan komentar
tertulis; yaitu evaluasi, kritik, atau arahan yang ditulis secara
eksplisit, dan bukan sekadar diucapkan. Idealnya, komentar ini disampaikan
melalui sistem akademik daring, atau minimal dalam format dokumen yang bisa
dibaca ulang oleh mahasiswa kapan saja.
Format
tertulis memberikan sejumlah keunggulan. Ia menghindari nada sinis, karena
tulisan membuat kita berpikir dua kali sebelum menyampaikan sesuatu. Ia juga
membantu mahasiswa merenung, membaca ulang, dan memahami arahan dengan kepala
dingin. Tapi yang lebih penting: ia menghindari perdebatan berdasarkan
ingatan. Karena ingatan bisa meleset, tetapi teks bisa dikaji bersama.
Mari kita
lihat lebih jauh apa yang bisa dilakukan melalui pendekatan ini.
Pertama, menyediakan ruang klarifikasi yang tidak emosional. Ketika mahasiswa membaca ulang komentar tertulis dari dosennya, ia memiliki kesempatan untuk memahami dengan lebih jernih. Tidak ada tekanan nada bicara, tidak ada intimidasi karena posisi sosial. Hanya ada teks, dan upaya untuk mengerti maksud teks itu. Mahasiswa bisa bertanya kembali dengan dasar yang lebih jelas: “Pada komentar Bapak bagian ini, maksudnya saya perlu menambah literatur, atau mengubah teori utama?” Pertanyaan semacam ini lebih mudah dijawab daripada pertanyaan kosong seperti: “Saya bingung, kemarin harus direvisi bagian mana ya, Pak?”
Kedua, Mendisiplinkan cara memberi masukan. Komentar tertulis menuntut dosen untuk menyusun kritik secara terstruktur. Dosen tak bisa lagi hanya berkata, “Ini kurang kuat!” atau “Terlalu umum!” tanpa menjelaskan bagian mana yang dimaksud, dan mengapa dianggap lemah. Tuntutan untuk menulis membuat kritik lebih argumentatif, lebih reflektif. Dan itu adalah proses pembelajaran juga bagi dosen: bagaimana menyampaikan kritik ilmiah secara membangun.
Ketiga, Menghargai proses belajar mahasiswa.Mahasiswa bukan penyalin perintah. Mereka adalah pembelajar yang butuh pemahaman. Ketika mereka diberi komentar tertulis yang bisa mereka baca, analisis, bahkan diskusikan dengan teman, mereka diajak untuk masuk dalam proses berpikir dosennya. Ini jauh lebih mendidik daripada sekadar diberi tahu "salah" atau "benar". Komentar tertulis memberi mereka kesempatan untuk belajar cara berpikir ilmiah melalui contoh nyata dari dosennya.
Keempat, Membangun dokumentasi akademik yang berguna. Dalam jangka panjang, dokumentasi komentar tertulis bisa menjadi arsip akademik. Kita bisa melihat kembali pola kesalahan yang sering muncul, gaya komunikasi yang paling efektif, bahkan bisa menggunakannya untuk pelatihan dosen atau perbaikan kurikulum. Komentar-komentar itu adalah jejak intelektual yang tak ternilai, bukan hanya untuk mahasiswa, tapi juga untuk institusi.
Apakah semua ini mudah dilakukan?
Tentu saja tidak. Tidak semua dosen terbiasa menulis komentar panjang.
Tidak semua mahasiswa suka membaca komentar tertulis. Tapi perubahan budaya
memang tak pernah mudah. Ia butuh kebijakan lembaga, pelatihan, dan yang paling
penting: kesadaran bahwa komunikasi akademik adalah bagian penting dari
proses pembelajaran, bukan sekadar alat administratif.
Saya
membayangkan, alangkah idealnya jika di masa depan, sistem informasi akademik
kita menyediakan ruang komentar bagi dosen pembimbing dan penguji. Ruang itu
memungkinkan dosen memberikan komentar yang bukan hanya bisa dibaca, tetapi juga
bisa ditanggapi oleh mahasiswa. Bukan sebagai “kotak kritik yang mati”, tapi
sebagai forum dialog mini yang terlindungi dan terdokumentasi.
Mari menutup
dengan harapan. Barangkali
sudah saatnya kita berhenti mengatakan, “Saya sudah jelaskan tadi di
bimbingan,” dan mulai bertanya: “Apakah yang saya jelaskan sudah
tertulis dan bisa dirujuk ulang?” atau, “coba baca lagi catatan saya di
document review.” Barangkali sudah saatnya kita membangun kebiasaan menulis
komentar seperti kita menulis catatan pinggir pada buku: sebagai bagian dari
proses berpikir, bukan sekadar evaluasi.
Karena
sering kali, masalahnya bukan pada isi bimbingan, tapi pada bagaimana
bimbingan itu disampaikan dan diterima. Dan ketika komunikasi akademik bisa
ditata dengan lebih tertulis, lebih jelas, dan lebih reflektif, maka hubungan
antara dosen dan mahasiswa pun akan bergerak dari relasi “atas–bawah”
menuju “berpikir bersama”.
Dan
bukankah itu tujuan kita di dunia akademik?
No comments:
Post a Comment