Oleh
Muhammad Nasir
Muncullah agak-agak saya tentang Kaukus Azali Sumatera Tengah sebagai wahana berpikir kolektif dan mendorong dialog lintas wilayah, berbasis akar sejarah, budaya, dan ekonomi, tanpa perlu menunggu atau menciptakan provinsi baru.
Sekitar tahun 2022 muncul wacana pembentukan Provinsi Sumatera Tengah. Gagasan yang lama terpendam itu digemakan kembali melalui gerakan pemekaran wilayah. Gagasan ini berembus dari Dharmasraya, Sumatera Barat, yang diajukan lewat surat tertanggal 27 Oktober 2022 oleh H. Zulfikar Atut Dt. Penghulu Besar, tokoh masyarakat setempat (harianhaluan.com, 2023)
Surat
bernomor 01/X/IPST‑2022 itu mengusulkan penggabungan tujuh wilayah dari tiga
provinsi: Kuantan Singingi (Riau), Dharmasraya, Sijunjung, Solok Selatan
(Sumbar), serta Kerinci, Sungai Penuh, dan Bungo (Jambi), dengan populasi
sekitar 1,85 juta jiwa dan luas 23.170 km². Ibukotanya direncanakan di Sungai
Rumbai, Dharmasraya (detik.com. 2022).
Usulan tersebut menuai respons beragam. Gubernur Riau Syamsuar menolak keras karena tidak berasal dari satu provinsi asal dan menolak “mencaplok” Kuansing (detik.com. 2022). Sementara Gubernur Jambi Al Haris menganggapnya sah saja sebagai aspirasi, tapi menegaskan pemekaran masih dalam moratorium kecuali untuk Papua (sumsel.inews.id, 2022) Di DPR, Guspardi Gaus juga mencatat bahwa moratorium pemekaran masih berlaku (pontas.id, 2022)
Sementara
itu, Lembaga Melayu Riau (LMR) menyoroti bahwa wacana itu mengabaikan akar
sejarah Riau sendiri yang dahulu pernah terpisah dari Sumatera Tengah dan
berkembang sebagai provinsi mandiri (riaupagi.com, 2022).
Wacana
pemekaran ini bisa dilihat sebagai momentum politis dan administratif untuk
meningkatkan pelayanan dan kedaulatan lokal. Tapi yang terjadi juga adalah
gesekan identitas, tarik-menarik batas wilayah, dan kesenjangan sejarah
provinsial yang tersingkirkan dari narasi tunggal.
Di sinilah
saya terpikir gagasan lain, yaitu: Kaukus Azali Sumatera Tengah. Ini bukan
sebagai lembaga pemerintahan baru, tapi sebagai wacana alternatif.
Kerangka pikir kolektif ini mendorong dialog lintas wilayah, berbasis akar
sejarah, budaya, dan ekonomi, tanpa perlu menunggu atau menciptakan provinsi
baru. Kaukus ini saya bayangkan sebagai simpul gagasan, ruang pertemuan bagi
para pemikir, pelaku budaya, dan penggerak ekonomi dari wilayah eks-Sumatera
Tengah untuk menelaah kembali jejak bersama yang terlupakan dan membayangkan
masa depan yang lebih terhubung, adil, dan bermartabat.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata azali (Bahasa arab) berarti
"yang awal", "yang sejak semula", atau "yang bersifat
kekal sejak mula". Dalam konteks gagasan ini, azali merujuk pada
semangat awal yang menyatukan kawasan ini bukan untuk terjebak dalam romantisme
masa lalu, tetapi untuk menelusuri akar yang dapat menopang langkah-langkah
baru di masa depan.
Sumatera
Tengah bukan sekadar produk administratif. Ia adalah wilayah yang membentang
dari pesisir barat Sumatera, melintasi daratan tinggi Bukit Barisan, hingga ke
delta-delta sungai besar seperti Batanghari dan Siak. Jalur ini, sejak abad
ke-18, menjadi bagian dari sistem pertukaran barang, ide, dan manusia yang
membentuk jaringan sosial dan budaya yang padat. Sejarawan Taufik Abdullah (2009)
mencatat bahwa hubungan Minangkabau dengan Riau dan Jambi bukan hanya hubungan
ekonomi, tapi juga pewarisan nilai-nilai keislaman, pendidikan, dan adat yang
saling mempengaruhi.
Tetapi kini, keterhubungan itu semakin mengendur. Fragmentasi
administratif, perbedaan arah pembangunan, dan kecenderungan kedaerahan yang
sempit, narasi tentang kebersamaan Sumatera Tengah menguap begitu saja.
Kaukus
Azali: Menyatukan yang Terserak
Saya pikir, dalam suasana kebangsaan yang kerap diliputi logika sektoral dan semangat pemisahan, Kaukus Azali Sumatera Tengah hadir sebagai upaya menegaskan bahwa keterhubungan antardaerah bukan sekadar soal garis batas administratif, melainkan soal ingatan bersama, struktur makna, dan jaringan kepentingan yang berakar jauh ke dalam sejarah. Kaukus ini bukan lembaga formal, melainkan kerangka pikir yang mengajak kita membayangkan ulang lanskap kawasan secara lintas narasi dan lintas kepentingan. Ia berangkat dari keyakinan bahwa wilayah eks-Sumatera Tengah memiliki fondasi historis dan kultural yang cukup kuat untuk dijadikan titik temu, bukan titik pisah. Karena itu, alih-alih hanya menunggu provinsi baru lahir secara politis, Kaukus Azali menawarkan langkah awal: membangun kembali kesadaran bersama melalui tiga simpul strategis —sejarah, budaya, dan ekonomi— yang dapat menjadi fondasi bagi masa depan kawasan yang lebih terhubung, berdaulat, dan saling menguatkan.
Pertama, Kesadaran sejarah bersama sebagai penawar fragmentasi. Dahulu, kawasan ini memiliki satu narasi besar: dari Malayupura, Sriwijaya, Dharmasraya dalam jaringan peradaban Batanghari, dan Pagaruyung, Padri, Kampar, Rokan, Siak hingga Selat Malaka dalam jaringan peradaban Pantai Timur Sumatera. Kini, narasi itu terpotong oleh garis provincial. Kaukus Azali berupaya menulis ulang sejarah kawasan secara inklusif, sebagai jaringan naratif yang menyatukan, bukan membagi (imcnews.id/read/2022)
Kedua, Budaya
sebagai tajuk simbolik Bersama. Eksistensi pantun, dendang, dan syair yang tersebar
melintasi wilayah menunjukkan fondasi budaya bersama. Alih-alih festival
pemekaran, mari maksimalkan pertukaran seniman, arsip digital, dan hibah budaya
lintas daerah untuk memperkuat identitas kolektif melalui simbol-simbol budaya
dan historis.
Ketiga, konektifitas
wilayah untuk kedaulatan ekonomi. Data BPS (2022) menyatakan potensi SDA wilayah
eks-Sumatera Tengah besar, tapi sering diekspor mentah. Kaukus Azali dapat
berdiskusi dan mendorong gagasan konsorsium BUMD, koperasi lintas daerah, dan
paket pariwisata ekonomi Kawasan tanpa menunggu pemekaran formal. Bahwa aliran uang
tidak mengenal batas provinsial, kecuali hanya batas nominal.
Jadi, pemekaran
akan berpotensi memicu konflik batas administratif dan budaya lokal. Sementara
itu, Kaukus Azali terbuka bagi siapa saja dari ketujuh kabupaten yang diusulkan
untuk bergabung membangun dialog kelembagaan rakyat dengan pendekatan bottom-up,
bukan top-down. Ini bukan berarti menolak wacana provinsi baru.
Melainkan, menegaskan bahwa kolektivitas dan pembangunan bisa dijalankan dulu
lewat wacana dan aksi bersama. Jika kelak pemekaran terjadi, ia akan lahir dari
kesadaran menyeluruh, bukan dari kepentingan pemekaran belaka.
Pemekaran
Provinsi Sumatera Tengah memang menarik, tapi ia bukan jaminan otomatis bagi
kesejahteraan. Dialog wacana lewat Kaukus Azali membuka ruang untuk memahami:
bahwa akar kita masih terhubung, dan bahwa penguatan kawasan bisa dimulai hari
ini dengan menenun ulang jalinan historia dan budaya, serta memperkuat ekonomi
lokal berkelanjutan.
Mumpung Moratorium
Daerah Otonomi Baru (DOB) masih berlaku, hiruk-pikuk pemekaran itu mungkin bisa
dijeda sementara dengan dialog kolektif para pemikir kawasan ini sambal menjawab
pertanyaan pemantik: Apa “arti bersama” Sumatera Tengah bagi kita?
No comments:
Post a Comment