09 July 2025

Gunung Es Ketidakjujuran Akademik

Muhammad Nasir


Di atas kertas, Indonesia tampak mencintai ilmu. Setiap tahun, pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan. Pada APBN 2024, anggaran pendidikan mencapai Rp 665 triliun, atau 20% dari total anggaran negara (Kementerian Keuangan RI, 2024). Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 bahkan menegaskan hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan.

Namun, fakta-fakta di lapangan menyuguhkan gambaran lain. Riset oleh Machacek & Srholec (2023) dari Institute for Democracy and Economic Analysis menyebut Indonesia sebagai negara dengan tingkat ketidakjujuran akademik tertinggi kedua di dunia, hanya kalah dari Kazakhstan. Riset ini menilai ketidakjujuran berdasarkan prevalensi gelar palsu, plagiarisme, dan penyalahgunaan gelar akademik oleh publik figur.

Ketidakjujuran akademik bukan hanya masalah individu, tetapi sistemik. Jika kita tidak membongkar gunung es ini dari akarnya, maka ke depan kita hanya akan menuai generasi yang cerdas di atas kertas, tapi rapuh dalam etika. Pendidikan tinggi harus kembali menjadi ruang ziarah akal; bukan ruang rekayasa ijazah.

Patut direnungkan, bagaimana mungkin negara yang mengagungkan pendidikan justru gagal menjaga integritas akademiknya? Mungkin jawabannya tersembunyi dalam struktur gunung es ketidakjujuran akademik. Dari Pucuk hingga akar; dari hulu hingga ke hilir. Dari atas, tengah hingga paling bawah. 

Kita Mulai dari Hulu: Pendidikan Seperti Proyek Negara? 

Di tingkat negara, kebijakan pendidikan cenderung mendorong kuantitas daripada kualitas. Target Angka Partisipasi Kasar (APK) perguruan tinggi yang dicanangkan pemerintah ditargetkan mencapai 40% pada 2030 (Kemdikbudristek, 2022). Tekanan ini mendorong pertumbuhan kampus-kampus baru tanpa diimbangi pengawasan mutu.

Menurut teori insentif birokratik (James Q. Wilson, Bureaucracy: What Government Agencies Do and Why They Do It, 1989), organisasi pemerintah cenderung mengejar indikator yang bisa diukur secara numerik, seperti angka kelulusan dan jumlah perguruan tinggi, karena mudah dilaporkan sebagai prestasi. Dalam konteks ini, kualitas pendidikan (termasuk integritas akademik) sering dikorbankan demi pencapaian administratif.

Selain itu, penggunaan gelar akademik sebagai syarat jabatan birokrasi (misalnya ASN wajib S2 untuk promosi) menciptakan insentif negatif: gelar menjadi alat mobilitas sosial, bukan lagi hasil dari perjuangan intelektual (Tilaar, 2004, Manajemen Pendidikan Nasional).

Bergeser ke Tengah: Akreditasi dan Budaya Pencitraan Pendidikan

Di tataran kampus, banyak perguruan tinggi (rektor ajalah) baik negeri maupun swasta terjebak dalam perlombaan akreditasi, sertifikasi, dan pemeringkatan. Budaya akademik perlahan tergeser oleh budaya administratif.

Menggunakan cara baca Pierre Bourdieu (1988) dalam Homo Academicus, kampus modern terancam menjadi "arena simbolik", di mana gelar, jabatan struktural, dan sertifikat menjadi modal sosial yang diperebutkan, bukan kebenaran ilmiah.

Akibatnya, berpotensi terjadi normalisasi ketidakjujuran akademik di dalam institus, misalnya:

1) Dosen sibuk mengurus jabatan fungsional, bukan membimbing secara mendalam; 2) Mahasiswa menyewa joki skripsi, karena proses bimbingan tak memberi nilai tambah;3) Rektorat tutup mata, karena sanksi etik tidak menguntungkan secara institusional.

Sampai di Hilir: Jadi Praktik Harian yang dianggap normal

Di ruang kelas, pelanggaran akademik menjelma menjadi kebiasaan kecil yang dibiarkan. Misalnya:

1) Mahasiswa menyalin tugas dari internet atau AI tanpa parafrase; 2) Dosen memberi nilai tanpa membaca; 3) Sertifikat seminar diterbitkan tanpa perlu kehadiran, cukup bukti daftar hadir.

Mencengangkan memang. Data dari Turnitin (2021) menyebutkan bahwa Indonesia termasuk lima besar negara dengan tingkat plagiarisme tertinggi dalam pengumpulan tugas daring di Asia Tenggara (Turnitin, 2021). Ini menunjukkan bahwa ketidakjujuran sudah terinternalisasi pada praktik harian.

Dalam kacamata teori gunung es etika organisasi (Trevino & Nelson, Managing Business Ethics, 2011), pelanggaran besar seperti ijazah palsu hanya puncak dari struktur yang dalam: dimulai dari nilai yang lemah, lingkungan permisif, dan hilangnya keteladanan dari atas. Ya, sepertinya untuk pelanggaran kode etik ilmiah, penegakan hukum masih setengah hati. 

Jadi...

Menyenggol sedikit pada polemik ijazah Jokowi masih dan sedang dalam proses mencari titik terang. Bagi kampus, fenomena ini mungkin bukan sekadar tentang kasus ijazah palsu tokoh publik. Meski secara hukum ijazah beliau telah dinyatakan sah oleh UGM dan Bareskrim Polri (Kompas, 2025), keraguan publik muncul bukan karena bukti, tetapi karena budaya tidak percaya terhadap integritas akademik itu sendiri.

Ketika publik kehilangan kepercayaan atau setidaknya sulit mengenali kebenaran pada lembaga pengetahuan, maka kata Noam Chomsky, "kebohongan akan tampak seperti kebenaran, dan kebenaran menjadi ancaman" (Chomsky, 2010, Hopes and Prospects).

Hari ini, bangsa ini membutuhkan lebih dari sekadar lulusan. Negeri ini butuh manusia-manusia yang berpikir jernih, jujur, dan tangguh. Negeri ini butuh universitas yang membentuk karakter, bukan sekadar mencetak gelar. Dan publik butuh negara yang menanamkan pendidikan bukan sebagai proyek, tetapi sebagai proses pembentukan akal sehat. 

Inikah salah satu dampak pendidikan tinggi yang mahal yang membuat tidak semua orang dapat kuliah dan membentuk cara berpikir ilmiah dan percaya pada akal sehat? Jawab saja, Ya! Habis cerita. 


Bacaan:

Bourdieu, P. (1988). Homo academicus. Stanford University Press.

Chomsky, N. (2010). Hopes and prospects. Haymarket Books.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2024). Nota keuangan dan APBN 2024. https://www.kemenkeu.go.id

Machacek, V., & Srholec, M. (2023). Academic dishonesty and the misuse of credentials: A global assessment. Institute for Democracy and Economic Analysis (IDEA). [Data dikutip dalam berbagai media]

Tilaar, H. A. R. (2004). Manajemen pendidikan nasional: Kajian strategik kebijakan pendidikan nasional dalam kerangka otonomi daerah. Rineka Cipta.

Treviño, L. K., & Nelson, K. A. (2011). Managing business ethics: Straight talk about how to do it right (5th ed.). Wiley.

Turnitin. (2021). https://www.turnitin.ph/blog/how-can-academic-integrity-contribute-to-growth-in-asia-pacific

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 31. [Konstitusi Negara Republik Indonesia]

Wilson, J. Q. (1989). Bureaucracy: What government agencies do and why they do it. Basic Books.


No comments: