Muhammad Nasir
Kalau kita bicara soal teori sosiologi keluarga, biasanya yang
muncul adalah nama-nama seperti Talcott Parsons dengan fungsionalismenya, atau
Pierre Bourdieu dengan teori habitus dan kapitalnya. Tapi mari kita istirahat
sejenak dari tumpukan jurnal akademik itu dan menengok kehidupan sehari-hari
keluarga Shinnosuke Nohara dari serial kartun Crayon Shinchan. Meski tampil dengan gaya
humor nyeleneh dan ekspresi wajah yang absurd, keluarga ini sesungguhnya adalah
cermin dari keluarga kelas menengah urban yang kompleks dan… sangat manusiawi.
Keluarga Nohara terdiri dari lima orang: Hiroshi sang ayah, Misae sang ibu rumah tangga, Shinnosuke Nohara alias Shinchan yang berusia 5 tahun, adiknya Himawari, dan anjing mereka, Shiro. Ini adalah representasi klasik dari struktur keluarga inti modern (nuclear family), sebagaimana dijelaskan Parsons (1955) bahwa keluarga inti memfasilitasi mobilitas geografis dan ekonomi di masyarakat industrial. Dalam model ini, ayah berfungsi sebagai pencari nafkah (instrumental role) dan ibu berperan dalam pemeliharaan emosional (expressive role).
Namun, dalam keseharian keluarga Nohara, fungsi ini tidak selalu berjalan mulus. Hiroshi seringkali pulang dalam keadaan lelah dan frustrasi akibat beban kerja yang berat. Suatu cerminan dari kehidupan salaryman Jepang pascaperang (Allison, 1994). Di sisi lain, Misae tampil sebagai figur sentral dalam mengelola ekonomi rumah tangga, mengasuh anak-anak, sekaligus menjadi “penegak hukum” domestik yang paling ditakuti.
Dengan sendal jepitnya yang melegenda, Misae bukan hanya simbol dari figur ibu rumah tangga, tapi juga pemegang otoritas moral dan sosial dalam keluarga. Di sinilah teori habitus Bourdieu (1977) menjadi relevan. Praktik sosial [baca kesumukan harian] Misae dibentuk oleh struktur sosial yang ia warisi, tetapi juga ia ubah melalui tindakannya sehari-hari: dari belanja diskon sampai mendidik anak dengan suara tinggi.
Shinchan sendiri adalah bukti hidup bahwa anak-anak bukanlah makhluk yang pasif menerima didikan. Dalam kerangka symbolic interactionism ala George Herbert Mead (1934), Shinchan menunjukkan bagaimana anak membentuk identitas diri melalui imitasi, interaksi, dan improvisasi. Ia meniru orang dewasa, memelesetkan bahasa, dan memprovokasi aturan-aturan sosial dengan gaya khasnya. Simak saja ketika ia berkata;
“Aku anak kecil mama, bukan anak bodoh!”
Hap, itu terdengar seperti kelakar. Tapi,
ya bukan hanya kelakar. Itu juga bisa disebut refleksi dari kesadaran sosialnya
terhadap perlakuan dunia dewasa yang meremehkan anak-anak.
Meski sering bertengkar, keluarga Nohara
tetap menyimpan solidaritas yang dalam. Hiroshi tetap berusaha pulang tepat
waktu. Misae tetap menyiapkan makanan. Shinchan tetap pulang ke rumah walau
habis dimarahi. Emile Durkheim (1893) menyebut ini sebagai bentuk solidaritas organic,
yaitu ikatan sosial dalam masyarakat modern yang terbangun dari peran-peran
berbeda namun saling melengkapi.
Dalam kehidupan Nohara, kita melihat bahwa keluarga bukanlah sistem statis. Ia adalah arena negosiasi, kompromi, bahkan kekacauan, tetapi tetap utuh karena ada rasa memiliki. Atau dalam kata-kata Shinchan sendiri:
“Orang tua itu seperti mie instan.Gampang marah, tapi selalu siap kalau kita lapar.”
Penontonnya Sekarang Sudah Punya Anak
Crayon
Shinchan bukan sekadar fenomena di Jepang. Di Indonesia, serial ini mulai tayang
sejak awal 2000-an. Bagi banyak anak generasi itu, Shinchan adalah bagian dari
rutinitas sore hari atau minggu pagi. Nonton TV sambil makan mie goreng,
tertawa geli melihat tingkah absurdnya, lalu diomeli orang tua karena
ikut-ikutan joget pantat.
Saya
juga sempat [ah, sering. Ngaku aja lah..] menonton kartun ini. Bahkan
sering menggunakan gaya dan intonasi bicaranya untuk menggoda teman-teman
sekelas dulunya. Kemudian Ketika sudah mulai punya gaji sendiri, saya sering
beli beberapa seri bukunya di Pasar Payakumbuh (2002). Atau kalau lagi senggang,
sepulang bekerja saya mampir di kios sewa komik di Simpang Tanjung Pati, yang
arah ke Purwajaya. Kemudian juga sempat beli beberapa di lantai 2 Pasar Raya seberang
pasar burung, ketika sudah kembali ke Padang. Sampai sekarang, komik Sinchan
yang ada di rumah, sudah berusia 22 tahun. Lebih tua dari anak sulung saya yang
akan masuk usia 20 tahun.
Kini,
dua dekade kemudian, banyak dari penonton setia itu telah tumbuh dewasa, bahkan
menjadi orang tua dengan anak yang tingkahnya tak jauh beda dari Shinchan. Dan
di sinilah terjadi pergeseran perspektif. Dulu kita menertawakan Shinchan
karena ia “melawan aturan”, sekarang kita memahaminya karena… kita lah yang jadi
Misae dan Hiroshi-nya.
Proses
ini menunjukkan apa yang disebut oleh Mannheim (1952) sebagai konservatisme
generasional. Gagasan dan nilai yang dulu tampak radikal, kini menjadi bagian
dari siklus reproduksi sosial yang kita terima dan ulangi. Kini kita bisa
merasakan kenapa Misae marah hanya karena anak tidak mandi. Kita bisa mengerti
kenapa Hiroshi tak punya energi untuk bicara panjang-lebar sepulang kerja.
Karena kita sedang ada di situ secara sosiologis maupun emosional.
Lebih
dalam lagi, Crayon Shinchan menghadirkan ruang lintas generasi di mana media
populer bukan hanya menjadi hiburan, tapi juga wahana collective memory
(Assmann, 2011). Kartun ini hidup kembali lewat kenangan dan pengalaman yang
kini dibaca ulang oleh penontonnya yang telah dewasa. Bahkan beberapa orang
kini dengan bangga memperkenalkan Shinchan pada anak mereka sebagai “kartun
waktu kecil ayah/ibumu dulu.”
Keluarga
Nohara, dalam segala kekacauan dan kelucuannya, telah menjadi arsip hidup dari
bagaimana keluarga, pekerjaan, anak-anak, dan cinta rumah tangga dihidupi dalam
kerangka urban yang menantang. Ia bukan keluarga ideal, tetapi keluarga yang
bertahan. Bukan keluarga teladan, tapi keluarga yang hadir dengan segala cela,
dongkol dan kelapangan hatinya.
Makanya kita langsung paham ketika Shinchan berkata:“
Dunia orang dewasa itu ribet. Makanya aku ingin tetap jadi anak-anak saja!”
Sebuah
kalimat sederhana yang menyentil. Di balik celoteh anak kecil, ada kritik
sosial mini yang mengena: dunia orang dewasa terlalu rumit, terlalu serius, terlalu
menuntut. Sementara dunia anak-anak, meski tampak acak-acakan, justru jujur dan
apa adanya.
Inilah
kekuatan Crayon Shinchan: ia bukan hanya tentang keluarga Nohara, tapi juga
tentang keluarga kita; dulu, sekarang, dan mungkin nanti. Sebuah potret kecil
dari sosiologi keluarga yang bisa kita tertawakan bersama, sambil perlahan
menyadari… kita semua sedang menjadi karakter baru dalam cerita keluarga kita
masing-masing.
Kini,
saya sudah melewati masa-masa menjadi Hiroshi yang duduk kelelahan sambil
nonton TV sebelum tidur. Tapi sekarang bukan lagi nonton TV, tetapi pegang
android. Masih tetap Lelah. Tetapi anak-anak mulai tumbuh remaja. Seusia saya ketika
menonton Crayon Sinchan pertama kalinya. Sudah berlalu seperempat abad.
Sebentar saja rasanya.
Bacaan
Allison, A. (1994). Nightwork: Sexuality, Pleasure, and Corporate Masculinity
in a Tokyo Hostess Club. University of Chicago Press.
Assmann, J.
(2011). Cultural Memory and Early Civilization: Writing, Remembrance, and
Political Imagination. Cambridge University Press.
Bourdieu, P.
(1977). Outline of a Theory of Practice. Cambridge University Press.
Durkheim, E.
(1893). The Division of Labor in Society.
Mannheim, K.
(1952). Essays on the Sociology of Knowledge. Routledge & Kegan Paul.
Mead, G. H.
(1934). Mind, Self, and Society. University of Chicago Press.
Parsons, T. (1955).
Family, Socialization and Interaction Process. Free Press.
No comments:
Post a Comment