Muhammad Nasir
Masih terngiang-ngiang di sepanjang jalan percakapan orang-orang di rumah Pak David tadi. Antara ingin ketawa atau mendongkol aku. Ketawa, karena memang itu pantas untuk bahan tertawaan. Mendongkol karena itulah kenyataan yang harus kuhadapi: bekerja total demi penghasilan pada orang yang sebenarnya tidak benar-benar aku senangi. Bukan karena ia buruk, tetapi karena terlalu sulit berakrab-akrab dengannya.
Hanya karena itu adalah mata air yang harus kujaga, agar kehidupan keluargaku terus berlanjut.
Pak Saridjo bukan orang baru dalam dunia kekuasaan. Ia memulai karier sebagai kepala seksi bidang pertanian di kantor kecamatan, lalu naik perlahan menjadi camat, kepala dinas, hingga dua periode menjadi anggota DPRD kabupaten.
Meski tak pernah terlalu menonjol, ia dikenal rajin hadir dalam rapat dan pandai berbaur dengan siapa saja. Rekam jejaknya bersih, atau setidaknya, tak tercemar secara resmi. Namanya lumayan harum di kalangan generasi tua yang masih percaya pada idealisme awal reformasi.
"Mengapa Pak Saridjo masih ingin menjabat?"
"Mungkin karena ia butuh papan bunga yang banyak di hari kematiannya!"
Itu satu jawaban dari tetamu yang berbisik-bisik saat Pak Saridjo sedang bertamu ke rumah Pak David—Sekretaris Partai Melati Nasional yang ia yakini dapat menghubungkannya dengan pimpinan pusat partai di Jakarta.
Selain karier politik, ia juga pernah memimpin organisasi masyarakat tingkat kabupaten, organisasi yang dulu berjaya di masa Orde Baru dan masih hidup malu-malu di zaman media sosial ini. Ia juga sempat mencoba peruntungan sebagai pengusaha lokal: membuka rumah makan kecil dan koperasi simpan pinjam.
Tapi semuanya berjalan biasa saja, lebih sebagai simbol jejaring ketimbang sumber kekayaan. Ia hidup cukup, namun tak pernah benar-benar sukses. Tapi mungkin, justru di situlah pesonanya: sederhana, ulet, dan tak mudah tenggelam.
Aku masih duduk di ujung teras, gelas teh sudah dingin di genggaman, tapi gumaman dari ruang tamu Pak David masih bergema di kepalaku. Tertawa kecil di sela-sela desas-desus para tamu terasa seperti gigitan kecil di harga diriku. Tapi siapa aku? Hanya staf administrasi biasa di sekretariat partai tingkat kecamatan. Bahkan untuk menyela pun rasanya tak pantas. Apalagi ketika yang mereka bicarakan adalah Pak Saridjo—atasan langsungku, sekaligus sumber gaji bulanan yang menyambung hidup anak dan istriku.
"Pak Saridjo itu tak bisa pensiun," ujar seorang lelaki paruh baya yang duduk paling dekat ke pintu. "Kalau ia berhenti menjabat, siapa lagi yang akan menceritakan masa lalu revolusi dengan dramatis setiap malam Jumat?"
Tawa meledak. Pak David ikut tertawa, meski tangannya tetap sibuk membalas pesan di ponselnya. Entah kepada siapa. Mungkin ke DPP, mungkin ke calon baru yang sedang dipoles diam-diam.
“Kalau beliau wafat nanti, kita bisa kirim papan bunga sebanyak jabatan yang pernah ia pegang,” bisik seorang perempuan muda, mungkin aktivis partai baru. “Dari Ketua RW sampai Ketua Dewan, semua ada. Panjang kali jalan kuburan nanti.”
Tawa pecah lagi. Tapi aku hanya diam. Sebab aku tahu, Pak Saridjo sedang berjuang—bukan hanya untuk kekuasaan, tapi untuk sesuatu yang lebih rapuh: kehormatan yang ia kira masih ada, masih dihargai.
Dan aku? Aku mencatat semua. Diam-diam. Sebab siapa tahu, suatu saat, aku pula yang harus mengetuk pintu rumah Pak David, membawa proposal pengabdian dan setumpuk foto masa lalu bersama tokoh-tokoh partai. Siapa tahu, aku juga akan berharap agar masih ada yang sudi menulis papan bunga saat aku tiada.
Dua kali ia mencalonkan diri sebagai bupati. Pertama, sepuluh tahun lalu, hanya sebagai 'figuran elegan' yang didorong oleh partai untuk meramaikan bursa. Kedua kalinya lebih serius: ia yakin punya cukup pengalaman, jejaring, dan simpati massa akar rumput.
Sayangnya, zaman sudah berubah. Generasi muda tak mengenalnya. Para pemilik modal ingin wajah baru. Dan ia, dengan segala warisan loyalitas dan kerja kerasnya, tetap dianggap sebagai simbol masa lalu yang tidak menjanjikan masa depan.
Sebagai orang yang lama bekerja dengannya, aku pun sejujurnya berharap beliau tidak lagi mencalonkan diri. Bukan karena ia tak layak atau tak punya kapasitas. Tapi karena selera publik telah berubah. Imajinasi masyarakat tentang kepala daerah sekarang lebih dekat pada citra muda, puitis, atau digital. Mereka yang senang selfie di panggung-panggung musyawarah, bukan yang tekun memeriksa data pembangunan di ruang kerja.
Yang lebih menyedihkan, persaingan politik sekarang bukan lagi ajang adu program, tapi penuh intrik yang membuat orang seperti Pak Saridjo tak punya ruang bernapas. Ia terlalu lurus, terlalu jujur, dan mungkin terlalu percaya bahwa kebaikan akan dibalas dengan kebaikan.
Dan di sinilah paradoksnya: semakin tinggi kualitas dan niat baik seseorang, semakin ia seperti tak cocok untuk dunia yang dipenuhi strategi kampanye murahan, endorse selebgram lokal, dan transaksi gelap suara. Masyarakat yang menjadi aktor penentu suara di TPS bukan lagi sekadar warga negara.
Mereka adalah penonton setia sinetron politik yang hanya terkesan oleh drama, bukan substansi. Pak Saridjo adalah naskah yang tak punya efek visual; terlalu banyak paragraf, terlalu sedikit gimmick.
Aku pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana proposal pembangunan yang beliau susun dengan teliti hanya dikalahkan oleh satu video TikTok dari calon lain yang berjoget sambil menyebut "siap membangun dengan cinta". Siapa yang bisa melawan cinta jika kata itu dikemas dalam efek warna pastel dan backsound viral?
Pak Saridjo kalah dalam pemilihan bupati. Ia sakit. Lebih tepatnya: lelah. Ia harus beristirahat di rumah setelah beberapa hari rawat inap di rumah sakit. Dunia yang dulu ramai dengan panggilan, janji, dan strategi, kini sunyi. Bahkan nomor-nomor yang dulu tiap malam berbunyi di ponselnya kini hanya menyisakan notifikasi diskon dari marketplace.
Hari-hari di rumah sakit itu seperti prolog menuju keabadian. Suasana koridor yang lengang, bau antiseptik menusuk, dan suara detak mesin infus menjadi latar bagi tubuh tua yang pelan-pelan menyerah. Di sela-sela kunjungan dokter dan tatapan cemas dari keluarga, Pak Saridjo kadang masih bercanda. "Kalau aku mati sekarang, paling tidak, mereka akan ingat aku dengan karangan bunga."
Aku datang sesekali. Ia terbaring di ranjang, tubuhnya mengecil, wajahnya surut dari karisma seorang orator. Ia tak bicara banyak, hanya sesekali bertanya soal dunia luar.
“Berapa suara yang aku dapat waktu itu?” tanyanya.
“Cukup banyak, Pak,” jawabku. Aku tak tega menyebut angka sebenarnya. Bahwa ia hanya unggul di TPS tempat ia tinggal. Dan itu pun mungkin karena belas kasihan.
Ia mengangguk pelan. “Berarti aku masih punya sedikit jejak...”
Sore itu, aku memberitahu bahwa ada yang hendak mengirim bunga untuk ulang tahunnya minggu depan.
“Bunga?” ujarnya pelan.
“Iya, dari mantan rekan partai, katanya.”
Ia tersenyum. Pucat. “Mereka lebih suka kirim bunga waktu kita sekarat. Biar wangi duka lebih harum dari ingatan mereka yang palsu.”
Pak Saridjo meninggal dunia seminggu kemudian.
Berita itu tersebar cepat. Akun-akun partai mengunggah foto lama beliau saat memimpin rapat, disertai ucapan duka cita. Bahkan akun yang dulu mencacinya kini menuliskan “teladan yang tak tergantikan” di status mereka. Dan tentu saja, papan bunga berdatangan. Puluhan. Mungkin lebih. Dari pejabat yang tak pernah datang waktu beliau sakit. Dari partai yang tak menyebut namanya saat kampanye terakhir. Dari kolega yang terakhir kali bicara dengannya hanya untuk minta dukungan pencalonan anak mereka.
Rumahnya jadi penuh bunga. Bahkan lebih banyak bunga daripada tamu yang benar-benar datang.
Aku berdiri di tepi jalan, memandangi kerumunan yang menunggu jenazah diantar ke pemakaman. Seorang bocah kecil menunjuk papan bunga paling besar, bertuliskan:
“Selamat Jalan Pejuang Rakyat. Kami Akan Melanjutkan Perjuanganmu!”
Bocah itu bertanya pada ibunya, “Bu, Pak Saridjo itu siapa?”
Sang ibu menjawab enteng, “Entah, mungkin yang sering pasang baliho waktu itu.”
Dan aku tahu, papan bunga itu bukan lambang cinta. Tapi semacam monumen ironis—bahwa dalam politik, ingatan pun bisa dicetak digital, dibayar kilat, dan dikirim dalam bentuk formalin rasa bersalah.
Akhirnya, Pak Saridjo pun dapat panggung paling besar: jalan menuju liang lahat yang penuh hiasan. Sayang, ia tak bisa berorasi lagi.
Februari, 2025
No comments:
Post a Comment