08 June 2025

Nama Saya Khan: Ras, Agama, dan Krisis Kewargaan di India Kontemporer

Muhammad Nasir


My name is Khan, and I am not a terrorist.— Rizwan Khan, My Name is Khan (2010)


Kalimat ikonik ini diucapkan oleh tokoh utama dalam film My Name is Khan—seorang pria Muslim pengidap sindrom Asperger—yang menempuh perjalanan panjang demi mengatakan satu hal sederhana: bahwa ia bukan ancaman hanya karena ia seorang Muslim.

Ungkapan itu menjadi suara kolektif dari minoritas yang terjebak dalam pusaran stereotip dan kecurigaan. Ini bukan sekadar kutipan sinematik, tapi gambaran getir dari kondisi sosial-politik India kontemporer.


Dalam konteks global yang semakin mencurigai identitas Islam, dan dalam lanskap politik nasional India yang semakin terpolarisasi, kalimat Rizwan menggambarkan perasaan warga negara yang merasa harus “membuktikan” loyalitasnya hanya karena nama, pakaian, atau keyakinan mereka.

India selama ini dibayangkan sebagai negara demokrasi terbesar di dunia dengan karakter multikultural yang unik. Namun, fakta sosial mutakhir memperlihatkan bahwa demokrasi India tengah diguncang oleh kontradiksi internal: antara janji konstitusional tentang sekularisme dan kenyataan politik mayoritarianisme berbasis agama.

Dua subjudul di bawah ini adalah pengkategorian sebab musabab masalah Islam dan kewargaaan di India Kontemporer: akar lokal dan pengaruh isu global. 

Akar Lokal-Kultural

—Warisan Diskriminasi dan Politik Identitas

Diskriminasi berbasis identitas bukan hal baru di India. Ia punya sejarah panjang yang berakar dalam struktur sosial tradisional. Sistem kasta yang dikenal dengan istilah varna-jati telah mengatur hierarki sosial selama berabad-abad, menciptakan kategori yang tak hanya kultural, tetapi juga politis dan ekonomi.

Sementara varna mengelompokkan masyarakat ke dalam empat kategori besar (Brahmana, Ksatria, Waisya, Sudra), sistem jati yang jauh lebih kompleks, mengatur relasi sosial dan peluang hidup seseorang secara lebih spesifik dan turun-temurun. Dalam kerangka ini, Dalit dan Adivasi (penduduk adat) menempati posisi sosial paling rendah.

Walaupun Konstitusi India 1950 secara eksplisit melarang diskriminasi atas dasar kasta (Pasal 15) dan menjamin kesetaraan di depan hukum (Pasal 14), diskriminasi kultural dan ekonomi tetap menjadi realitas sehari-hari. Thorat dan Newman (2007) menunjukkan bagaimana Dalit dan minoritas agama masih mengalami penolakan dalam akses perumahan, pendidikan tinggi, dan pekerjaan formal.

Bentuk diskriminasi yang lebih subtil, seperti segregasi sosial, pengucilan dalam ritual keagamaan, hingga kekerasan berbasis identitas, merupakan warisan panjang dari sistem sosial hierarkis. Diskriminasi ini tidak selalu eksplisit, tetapi membentuk pola eksklusi yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Komunitas dari Timur Laut India juga mengalami marginalisasi serupa. Berbeda secara fisik dan kultural dari mayoritas India Utara, mereka kerap dipanggil dengan sebutan rasial seperti "chinky" dan menghadapi kekerasan berbasis ras di kota-kota besar. Baruah (2003) mencatat bahwa banyak dari mereka hidup sebagai "denizen"—secara hukum warga negara, tapi secara sosial dianggap orang asing.

Diskriminasi ini kemudian diperparah oleh kebangkitan ideologi Hindutva, yang dipopulerkan sejak awal abad ke-20 oleh tokoh seperti Vinayak Damodar Savarkar. Dalam bukunya Hindutva: Who is a Hindu? (1923), Savarkar mendefinisikan India sebagai tanah air eksklusif bagi umat Hindu. Narasi ini menempatkan Muslim dan Kristen sebagai "orang luar" atau bahkan "pengkhianat dalam negeri".

Ketika ideologi ini memperoleh kekuasaan politik melalui partai Bharatiya Janata Party (BJP), diskriminasi tidak hanya terjadi di tingkat sosial, tetapi juga dilembagakan dalam kebijakan publik dan narasi negara. Di sinilah letak perubahan penting: diskriminasi bukan lagi anomali dari sistem, tetapi menjadi bagian dari struktur kekuasaan itu sendiri.

Pengaruh Isu Global

—Islamofobia, Terorisme, dan Erosi Sekularisme

Perubahan besar dalam relasi antara mayoritas dan minoritas di India tak bisa dilepaskan dari dinamika global pasca-9/11. Narasi global tentang perang melawan teror telah memicu gelombang Islamofobia internasional, yang kemudian dikontekstualisasikan secara lokal dalam politik India.

Setelah BJP memenangkan pemilu nasional pada 2014 dan kembali pada 2019, wacana resmi negara mulai menggunakan istilah keamanan nasional untuk mendiskreditkan minoritas Muslim. Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (CAA) tahun 2019 merupakan contoh nyata.

CAA memberikan hak kewarganegaraan kepada imigran non-Muslim dari Bangladesh, Pakistan, dan Afghanistan, sementara secara eksplisit mengecualikan umat Muslim. Bhatia (2020) menilai bahwa undang-undang ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam Konstitusi dan membuka ruang diskriminasi atas dasar agama.

Bersamaan dengan CAA, wacana tentang National Register of Citizens (NRC) di Assam memicu ketakutan luas. Banyak Muslim yang tidak dapat membuktikan kewarganegaraannya secara administratif terancam dikategorikan sebagai "pendatang ilegal", meskipun mereka telah tinggal di India selama beberapa generasi.

Di ranah sosial, Islamofobia menemukan bentuk paling brutal dalam kasus kekerasan massa. Salah satu bentuk paling tragis adalah fenomena cow vigilantism, yaitu kekerasan atas nama perlindungan sapi—binatang yang disakralkan dalam Hindu.

Laporan IndiaSpend (2019) mencatat lebih dari 50 insiden kekerasan massa terkait dugaan konsumsi atau pemotongan sapi antara 2015 dan 2019. Mayoritas korban adalah pria Muslim, dan dalam banyak kasus tidak ditemukan bukti pelanggaran hukum.

Kekerasan simbolik ini mencerminkan bagaimana identitas agama dimanipulasi untuk memperkuat loyalitas kelompok mayoritas dan menciptakan musuh bersama. Negara tidak hanya gagal melindungi korban, tetapi dalam banyak kasus justru diam atau bahkan membela pelaku.

Kondisi serupa juga dialami oleh umat Kristen, terutama di wilayah pedesaan dan negara bagian yang dikuasai BJP. Tuduhan konversi paksa digunakan sebagai dalih untuk membatasi hak kebebasan beragama. Laporan United Christian Forum (2022) mencatat 598 insiden kekerasan terhadap umat Kristen dalam satu tahun—angka tertinggi dalam sejarah India modern.

Kebangkitan politik identitas ini juga ditandai dengan delegitimasi terhadap institusi sekuler. Mahkamah Agung pernah menegaskan dalam putusan S.R. Bommai v. Union of India (1994) bahwa sekularisme adalah bagian tak terpisahkan dari struktur dasar konstitusi. Namun, tekanan politik dan pengaruh ideologi mayoritarianisme membuat prinsip ini semakin kehilangan relevansi dalam praktik.

Di sisi lain, masyarakat sipil, mahasiswa, dan intelektual publik mencoba menyalakan kembali obor perlawanan. Gerakan Shaheen Bagh, protes di universitas Jawaharlal Nehru, serta tokoh seperti Arundhati Roy dan Harsh Mander menyuarakan kritik terhadap arah politik negara yang semakin eksklusif dan intoleran.

Namun, ruang perlawanan ini juga semakin sempit. Undang-undang keamanan seperti UAPA digunakan untuk menahan aktivis, dan ruang akademik dibatasi dengan dalih keamanan nasional.

---

Kalimat “My name is Khan, and I am not a terrorist” seharusnya tidak perlu diucapkan oleh siapa pun. Tapi ketika sebuah negara mengidentikkan agama tertentu dengan bahaya, maka warga negara harus berjuang untuk membuktikan bahwa mereka layak diterima.

Krisis yang dihadapi India bukan hanya tentang hubungan antar-agama. Ini adalah krisis tentang hakikat kewargaan itu sendiri. Ketika negara mengutamakan identitas keagamaan mayoritas sebagai tolok ukur patriotisme, maka prinsip-prinsip dasar demokrasi ikut terkikis.

India dihadapkan pada pilihan penting: tetap menjadi negara yang memelihara pluralisme dan sekularisme, atau menjadi negara yang menindas atas nama nasionalisme agama. Pilihan ini akan menentukan apakah India mampu mempertahankan jiwanya sebagai republik yang inklusif, atau berubah menjadi republik dengan identitas tunggal yang eksklusif.

"My name is Khan, and I am not a terrorist."

Kutipan ini adalah deklarasi atas hak untuk tidak dicurigai hanya karena identitas. Dalam India yang terus bergulat dengan luka kolonial, warisan kasta, dan godaan mayoritarianisme, perjuangan warga negara minoritas bukan sekadar soal bertahan hidup, tetapi soal mengklaim ruang keadilan dan kesetaraan yang dijanjikan konstitusi.

---

Bacaan lebih lanjut

Baruah, S. (2003). Citizens and Denizens: Ethnicity, Homelands, and the Crisis of Displacement in Northeast India. Journal of Refugee Studies.

Bhatia, G. (2020). The Citizenship Amendment Act and the Constitution. Oxford Human Rights Hub.

Gupta, C. (2021). Cow Vigilantism, Caste, and the Politics of Hindutva. South Asia: Journal of South Asian Studies.

IndiaSpend. (2019). Cow-Related Violence: A Five-Year Analysis.

Jenkins, P. (2008). The Next Christendom: The Coming of Global Christianity. Oxford University Press.

Pew Research Center. (2021). Religion in India: Tolerance and Segregation.

Savarkar, V.D. (1923). Hindutva: Who is a Hindu?

S.R. Bommai v. Union of India (1994). Supreme Court of India.

Thorat, S. & Newman, K. (2007). Caste and Economic Discrimination in India. Economic and Political Weekly.

United Christian Forum. (2022). Annual Report on Attacks Against Christians in India

No comments: