Muhammad Nasir
Non Awardee LPDP
Ini bukan jalur bebas hambatan seperti tol Hutama Karya. Ini sirkuit Catalunya: penuh tikungan, tekanan, dan kecepatan. Butuh mental, strategi, dan konsistensi.
—tankari
Mau tahu berapa penerimaan bulanan atau tahunan awardee LPDP luar negeri? Pertanyaan itu kerap muncul dengan nada penasaran, seolah ingin mengintip rahasia dapur para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di universitas-universitas terbaik dunia. Maka mari kita buka secara lugas. Rata-rata awardee LPDP luar negeri menerima dana hidup bulanan sebesar USD 1.500 hingga 2.500 tergantung kota dan negara tujuan.
Misalnya, di London seorang awardee bisa mendapat sekitar GBP 1.200–1.500 per bulan, setara sekitar Rp 25–30 juta. Di New York, angka itu bisa mencapai USD 2.000 per bulan atau sekitar Rp 30 juta. Dalam setahun, angka itu berarti berkisar Rp 300 hingga 450 juta. Jumlah itu belum termasuk biaya kuliah penuh, tiket pesawat PP, visa, asuransi kesehatan, dana buku, tunjangan tesis/disertasi, bahkan dana kedatangan yang setara dua bulan living allowance.
Jika semua dikalkulasi secara kasar, satu orang awardee bisa mengelola fasilitas pembiayaan negara hingga lebih dari setengah miliar rupiah per tahun.
Namun angka-angka itu hanya sekilas dari makna yang jauh lebih dalam. Karena LPDP bukan sekadar beasiswa, melainkan platform seleksi nasional yang menggabungkan pembiayaan, rekognisi, dan misi. Ia bukan soal “diberi,” tetapi tentang siapa yang “layak diberi.” Maka wajar jika banyak yang mengincarnya bukan karena tidak mampu atau miskin, tapi karena inilah gelanggang pembuktian kapasitas intelektual, keberanian, dan visi kebangsaan.
LPDP menjadi semacam tolok ukur reputasi akademik dalam negeri. Anak orang kaya pun bisa mati gaya jika gagal dalam seleksi ini. Mereka yang terbiasa mengakses berbagai fasilitas berbayar sekalipun harus kembali belajar rendah hati, mempersiapkan esai kontribusi, proposal studi, dan menghadapi wawancara multidisipliner.
Banyak dosen, profesional mapan, bahkan ASN berpangkat yang tersisih di tahap administratif. Mengapa? Karena beasiswa ini tidak mencari siapa yang punya uang, tapi siapa yang punya mimpi dan rasionalisasi kontribusi. Karena itu pula, lulus LPDP seringkali menjadi validasi sosial dan akademik: Anda bukan hanya pandai, tapi juga terbukti mampu meyakinkan negara bahwa pendidikan Anda layak didanai publik.
Reputasi Akademik dan Rekognisi Sosial
Label awardee LPDP pun melekat sebagai semacam paspor intelektual. Di kampus-kampus luar negeri, ketika memperkenalkan diri sebagai penerima beasiswa penuh dari pemerintah Indonesia, Anda seolah membawa semacam “surat rekomendasi tak tertulis” dari tanah air. Dalam forum-forum akademik, hal ini menciptakan wibawa tersendiri. Rekognisi itu pun berlaku ke dalam negeri.
Banyak yang menyadari bahwa reputasi sebagai awardee LPDP dapat membuka akses baru, entah sebagai dosen, peneliti, birokrat, hingga pegiat sosial yang ingin mengubah sistem dari dalam.
Namun, lebih dari itu, ada lapisan yang jauh lebih dalam dan tidak bisa dibeli: kehormatan kolektif. Ketika seorang pemuda dari Kupang, dari Tapanuli, dari Payakumbuh, atau dari pesisir Bima menyampaikan presentasi di kampus seperti Cambridge, Stanford, atau Tokyo University, ia membawa cerita tentang banyak hal. Tentang sekolah desa, tentang perjuangan orang tua, tentang guru SD yang tidak pernah menyerah, dan tentang komunitas kecil yang percaya bahwa mimpi anak kampung bisa menembus dunia.
LPDP bukan sekadar tiket belajar, tapi panggung untuk mengibarkan kehormatan sosial dan regional. Tak jarang, awardee menjadi figur simbolik yang dibanggakan oleh kampung halamannya. Foto mereka dipasang di baliho, dibagikan oleh kepala desa, atau disebut-sebut oleh guru-guru sebagai inspirasi.
Inilah momen di mana pencapaian individual berubah menjadi kebanggaan kolektif. Awardee bukan hanya mewakili dirinya, tapi menjadi “nama baik” bagi banyak orang: keluarga, almamater, kota kecil, bahkan suku. Oleh karena itu, beasiswa ini tidak hanya membentuk jaringan alumni, tapi juga membangun rasa tanggung jawab sosial.
Ketika kembali ke Indonesia, banyak yang merasa punya beban moral untuk “membalas” dengan kontribusi nyata. Ada yang mendirikan sekolah, menjadi dosen di kampus daerah, atau memperjuangkan kebijakan berbasis data ilmiah. LPDP menciptakan kelas intelektual yang tak hanya berpikir global, tetapi juga berpijak lokal.
Kehormatan Kolektif dan Nasionalisme
Namun, beasiswa ini juga memerlukan satu elemen yang tak selalu bisa diajarkan: nyali. Karena kuliah di luar negeri tidak semata tentang pintar, tapi tentang bertahan. Hidup jauh dari keluarga, berhadapan dengan sistem belajar yang asing, berpikir dalam bahasa yang bukan bahasa ibu, berdiskusi dengan mahasiswa dari lima benua, dan membuktikan bahwa sebagai anak Indonesia, kita bisa bersaing dan memberi warna.
Ini bukan jalur bebas hambatan seperti tol produk Hutama Karya. Ini sirkuit Motogp Catalunya: penuh tikungan, tekanan, dan kecepatan. Butuh mental, strategi, dan konsistensi.
Dan nyali itu lahir dari nasionalisme yang tidak gembar-gembor, tetapi nyata. Nasionalisme yang tidak diukur dari bendera di bio media sosial, tetapi dari keberanian untuk membawa nama Indonesia ke ruang-ruang ilmiah dunia. Nasionalisme yang ditunjukkan lewat semangat untuk belajar, untuk berdebat secara bermartabat, untuk menulis paper yang relevan, dan untuk menyampaikan suara Indonesia dalam forum internasional dengan percaya diri.
Di sinilah LPDP menjadi kendaraan soft diplomacy yang sangat efektif. Para awardee menjadi diplomat intelektual, si pengirim sinyal ke dunia bahwa Indonesia bukan hanya konsumen ilmu, tetapi juga kontributor ide.
LPDP adalah cara negara mengatakan kepada dunia: ini anak kami, dan dia pantas berada di sini. Maka setiap awardee bukan hanya membawa nama mereka sendiri, tapi juga kehormatan kolektif. Ketika kembali ke tanah air, mereka membawa bukan hanya ijazah dan gelar, tapi pengalaman, jejaring, dan pemahaman baru tentang bagaimana dunia bergerak.
Oleh karena itu, LPDP bukanlah hadiah, tetapi amanah. Ia bukan soal berhasil atau gagal dalam seleksi, tetapi tentang bagaimana seseorang memaknai ilmunya sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan kebangsaan.
Jika ingin menghitung nilai ekonomis dari LPDP, silakan. Tapi jangan lupa bahwa ada nilai simbolik, intelektual, dan nasional yang tak bisa dikonversi dalam rupiah atau dolar. Itulah yang membuat beasiswa ini lebih dari sekadar fasilitas, melainkan perjalanan membentuk manusia yang utuh; yang cakap dalam ilmu, kuat dalam nyali, kokoh dalam reputasi, dan tajam dalam kesadaran akan bangsanya.
~
Memang belajar boleh di mana saja. Kepintaran itu tidak tergantung beasiswa dan tempat belajar. Tetapi karena usaha dan kerja kerasnya dalam belajar. Karena ini soal beasiswa LPDP, maka inilah penjelasannya. Bukan seperti yang dipikirkan haters Anies Baswedan, bahwa LPDP disamakan saja dengan Bidikmisi atau KIP kuliah. Seperti menyamakan kumis dan bulu hidung saja. Halah...
No comments:
Post a Comment