Muhammad Nasir
Menurut William Gutteridge, pemerintah
bisa memiliki respon yang berbeda-beda terhadap aksi terorisme di dalam
negaranya. Macam-macam respon
itu akan menghasilkan implikasi yang berbeda-beda:
1.
Membiarkan. Jika suatu pemerintahan membiarkan aksi terorisme atau tidak
menunjukkan ketegasan yang dapat dibaca oleh rakyatnya, terbukalah peluang bagi
rakyat untuk memulai bertindak sendiri dengan membentuk organisasi-organisasi
paramiliter. Gerakan dari rakyat ini dapat dilihat sebagai melemahkan sistem
negara dalam menjamin keamanan rakyatnya. Kontra-teror dari rakyat akan
menghasilkan teror baru, maka rantai kekerasanpun terbentuk.
2.
Menekan aksi terorisme dengan kebijakan totaliter. Menstabilkan atau
memperkuat kontrol atas totalitas politis dengan membentuk sistem satu partai,
mendirikan spionase, cek rutin dokumen-dokumen personal, kontrol atas kebebasan
bepergian, kontrol atas media massa dan komunikasi massa, penyaringan
anggota-anggota partai, menyusun hukum yang memungkinkan untuk menjaring
musuh-musuh politis, dan seterusnya.
3. Kontra teror terhadap terorisme internasional plus demokrasi dengan
melakukan penyerangan terhadap basis-basis organisasi teroris atas nama
demokrasi. Ini dilakukan Amerika Serikat dalam aksi militer ke Afganistan pasca
tragadi 11 Septermber 2001.
4. Pendekatan lunak terhadap teroris dengan memenuhi keinginan kaum teroris
(negosiasi). Tak jarang efeknya justru merugikan pemerintah, teroris akan
meningkatkan tuntutan dan ancamannya. Di lain pihak suatu negosiasi dengan
teroris dapat dicurigai oleh publik demokratis sebagai politik arkanum.
5. Pendekatan garis keras. Mengisolasi sel-sel dan organisasi teroris, pasokan
logistik dan pemimpin mereka. Hukum terhadap pelaku teror diperkeras dan
Instrumen-instrumen anti-teroris dipercanggih dengan presisi yang tinggi.[1]
Berdasarkan pola yang
diberikan William Gutteridge di atas, sepertinya pemerintah Indonesia cendrung
menggunakan pola nomor 2 dan 5 yang ditandai dengan penerbitan berbagai
kebijakan pemerintah. Penerbitan kebijakan pemerintah merupakan sebuah bentuk
respon terhadap kejahatan terorisme di Indonesia. Namun konsekwensi dan
perkembangan yuridis sebagaimana disorot Gadamer[2] sangat
sulit dielakkan. Secara tidak langsung perkembangan yuridis pemberlakukan
berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia telah menjadi konsekwensi
yang tidak diharapkan (unintended consequences) dari perang melawan
terorisme. Selain itu konsekwensi tersebut juga telah membangun sebuah garis
cerita (storyline) baru dalam perkembangan sejarah umat Islam di
Indonesia.
Terwujudnya berbagai
produk hukum dalam mengatasi masalah terorisme di Indonesia merupakan langkah
maju pemerintah, terutama dalam hal memberikan respon yang memadai terhadap
persoalan yang menyangkut keamanan nasional. Tetapi seiring dengan keberhasilan
itu juga muncul respon balik dari beberapa kalangan masyarakat Indonesia
terkait dengan materi yang dikandung oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan
tersebut.
Riza Sihbudi
menilai dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan hukum tentang pemberantasan
terorisme dan penangkapan berbagai tokoh Islam dengan menggunakan instrumen
hukum tersebut, kemungkinan besar pemerintah Republik Indonesia pascareformasi
hanya akan mengikuti jejak Suharto yang menerapkan kebijakan keras terhadap
kaum muslim fundamentalis (seperti kasus Priok, Talangsari, Komando jihad dan
lain-lain).[3]
[1] William Gutteridge, dalam Tim
Imparsial, op.cit., h. 21-22.
[2] Josef Bleicher, loc.cit
[3] Riza Sihbudi, “Respon Masyarakat
Indonesia terhadap Doktrin “Antiterorisme” AS, dalam Awani Irewati dkk., Hubungan Indonesia-Amerika Serikat dalam
Menyikapi Masalah Terorisme Pasca 9/11, (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI,
2005), h. 65-66
No comments:
Post a Comment