13 October 2017

Perkembangan Yuridis Kebijakan Melawan Terorisme



Muhammad Nasir

Menurut William Gutteridge, pemerintah bisa memiliki respon yang berbeda-beda terhadap aksi terorisme di dalam negaranya. Macam-macam respon itu akan menghasilkan implikasi yang berbeda-beda:

1.        Membiarkan. Jika suatu pemerintahan membiarkan aksi terorisme atau tidak menunjukkan ketegasan yang dapat dibaca oleh rakyatnya, terbukalah peluang bagi rakyat untuk memulai bertindak sendiri dengan membentuk organisasi-organisasi paramiliter. Gerakan dari rakyat ini dapat dilihat sebagai melemahkan sistem negara dalam menjamin keamanan rakyatnya. Kontra-teror dari rakyat akan menghasilkan teror baru, maka rantai kekerasanpun terbentuk.
2.        Menekan aksi terorisme dengan kebijakan totaliter. Menstabilkan atau memperkuat kontrol atas totalitas politis dengan membentuk sistem satu partai, mendirikan spionase, cek rutin dokumen-dokumen personal, kontrol atas kebebasan bepergian, kontrol atas media massa dan komunikasi massa, penyaringan anggota-anggota partai, menyusun hukum yang memungkinkan untuk menjaring musuh-musuh politis, dan seterusnya.
3.  Kontra teror terhadap terorisme internasional plus demokrasi dengan melakukan penyerangan terhadap basis-basis organisasi teroris atas nama demokrasi. Ini dilakukan Amerika Serikat dalam aksi militer ke Afganistan pasca tragadi 11 Septermber 2001.
4.      Pendekatan lunak terhadap teroris dengan memenuhi keinginan kaum teroris (negosiasi). Tak jarang efeknya justru merugikan pemerintah, teroris akan meningkatkan tuntutan dan ancamannya. Di lain pihak suatu negosiasi dengan teroris dapat dicurigai oleh publik demokratis sebagai politik arkanum.
5.     Pendekatan garis keras. Mengisolasi sel-sel dan organisasi teroris, pasokan logistik dan pemimpin mereka. Hukum terhadap pelaku teror diperkeras dan Instrumen-instrumen anti-teroris dipercanggih dengan presisi yang tinggi.[1]


Berdasarkan pola yang diberikan William Gutteridge di atas, sepertinya pemerintah Indonesia cendrung menggunakan pola nomor 2 dan 5 yang ditandai dengan penerbitan berbagai kebijakan pemerintah. Penerbitan kebijakan pemerintah merupakan sebuah bentuk respon terhadap kejahatan terorisme di Indonesia. Namun konsekwensi dan perkembangan yuridis sebagaimana disorot Gadamer[2] sangat sulit dielakkan. Secara tidak langsung perkembangan yuridis pemberlakukan berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia telah menjadi konsekwensi yang tidak diharapkan (unintended consequences) dari perang melawan terorisme. Selain itu konsekwensi tersebut juga telah membangun sebuah garis cerita (storyline) baru dalam perkembangan sejarah umat Islam di Indonesia.

Terwujudnya berbagai produk hukum dalam mengatasi masalah terorisme di Indonesia merupakan langkah maju pemerintah, terutama dalam hal memberikan respon yang memadai terhadap persoalan yang menyangkut keamanan nasional. Tetapi seiring dengan keberhasilan itu juga muncul respon balik dari beberapa kalangan masyarakat Indonesia terkait dengan materi yang dikandung oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan tersebut.

Riza Sihbudi menilai dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan hukum tentang pemberantasan terorisme dan penangkapan berbagai tokoh Islam dengan menggunakan instrumen hukum tersebut, kemungkinan besar pemerintah Republik Indonesia pascareformasi hanya akan mengikuti jejak Suharto yang menerapkan kebijakan keras terhadap kaum muslim fundamentalis (seperti kasus Priok, Talangsari, Komando jihad dan lain-lain).[3]

Sejalan dengan penilaian Riza Sihbudi di atas, penerbitan instrumen hukum tentu saja diikuti oleh komitmen untuk melaksanakan hukum tersebut untuk mengatasi masalah terorisme di Indonesia. Bagaimanapun sulit dihindarkan bahwa intrumen kebijakan tersebut pasti diterapkan kepada pelaku terorisme yang pada saat itu kebetulan berasal dari umat Islam dan kelompok organisasi Islam.


[1] William Gutteridge, dalam Tim Imparsial, op.cit., h. 21-22.
[2] Josef Bleicher, loc.cit
[3] Riza Sihbudi, “Respon Masyarakat Indonesia terhadap Doktrin “Antiterorisme” AS, dalam Awani Irewati dkk., Hubungan Indonesia-Amerika Serikat dalam Menyikapi Masalah Terorisme Pasca 9/11,  (Jakarta: Pusat Penelitian Politik LIPI, 2005), h. 65-66

No comments: