Muhammad Nasir
I.
Pendahuluan
Hadis dan sunnah
adalah sumber ajaran Islam yang sangat penting. Meskipun para ulama berbeda
pendapat tentang pengertian keduanya, seperti ada yang menyamakan hadis dengan
sunnah, bahkan membedakannya, yang jelas keduanya disandarkan kepada Rasulullah
Muhammad SAW. Sunnah dan hadis itu didefinisikan sebagai segala perkataan,
perbuatan, taqrir dan sifat Rasulullah.
Dalam pembahasan
tentang inkar sunnah ini penulisan akan lebih banyak menyinggung kata-kata
sunnah, karena bagaimanapun hadis termasuk sunnah Nabi. Sebagai penjelas,
Muhammad Ajaj al Khatib menyebutkan, al-Sunnah dimaksudkan sebagai
segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Nabi SAW baik
berbentuk sabda maupun perbuatan.[1]
Oleh sebab itu, jika dikatakan bahwa dalil-dalil syara’ adalah al-Quran dan
Sunnah, maka yang dimaksud sama dengan al-Quran dan hadis.
Konteks
pembahasan dan perdebatan antara pembela sunnah dan pengingkar sunnah ternyata
tidak jauh seputar sunnah dan hadis. Ada kalanya yang dipersoalkan adalah
sunnah, dan adakalanya yang diperdebatkan itu hadis. Karena itu inkar sunnah
adalah para pengingkar sunnah dan hadis.
Sebelum membahas
lebih lanjut tentang aliran ini, ada baiknya dimulai dengan menjelaskan
kedudukan sunnah dalam Islam. Pada umumnya umat Islam dapat menerima sunnah
sebagai sumber ajaran Islam. Dalam pengertian yang lazim, umat Islam menjadikan
sunnah sebagai penjabaran dari sumber yang pertama yaitu al-Qur’an. Karena itu
dapat dikatakan sunnah menempati posisi yang strategis yaitu sumber ajaran
Islam terpenting setelah al-Qur’an. Tidak heran, bila ada orang atau sekelompok
orang yang mencoba menafikan keberadaan sunnah bahkan menolaknya, selalu
mendapat perlawanan dari seluruh umat Islam.
Kemunculan kelompok atau secara personal
penginkar sunnah dapat diartikan sebagai perlawanan terhadap arus utama umat
Islam. Hampir dapat dipastikan, mayoritas umat Islam adalah gelombang besar
pendukung sunnah dan pengingkar sunnah merupakan ranting kecil di tengah
gelombang tersebut.
II.
Pengertian
Inkar Sunnah dan Perkembangannya
Istilah Inkar
Sunnah berasal dari Bahasa Arab inkar
al-sunnah, maksudnya adalah kelompok orang yang menolak sunnah
(hadis) Rasulullah SAW sebagai hujjah (dalil) dan sumber kedua ajaran
Islam, yang wajib ditaati dan diamalkan. Imam Syafii menyatakan, kelompok ini
muncul di penghujung abad kedua atau awal abad ketiga hijriyah.[2]
Orang yang menolak sunnah ini disebut Imam Syafi’i dalab kitabnya al-Umm sebagai
orang yang berpaham inkar sunnah atau munkir al sunnah.[3]
Pada zaman Nabi
SAW umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam,
sehingga tidak ditemukan seorangpun di antara sahabat Nabi yang menolak sunnah
berupa menyangkal apa yang dikatakan Nabi, mengabaikan bahkan mencap Nabi
berdusta atau mengada-ada. Pada peristiwa isra mi’raj meskipun terjadi sedikit
goncangan dalam bentuk kebingungan dalam memaknai peristiwa itu, sahabat tetap
berkeyakinan akan kejujuran beliau. Begitu juga pada zaman khulafa’al rasyidin
(632-661 M) dan pemerintahan Bani Umayyah belum terlihat secara jelas umat
Islam yang menolak sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa
Abbasiyah (mulai 750 M) muncul secara
jelas sekelompok kecil umat Islam yang mengingkari sunnah.
Pada masa sahabat pernah ada gejala ke arah itu. Kasus
tersebut bukanlah sebagai bentuk pengingkaran terhadap sunnah, tetapi lebih
kepada ketidaktahuan terhadap kedudukan dan fungsi sunnah. Misalnya kisah tentang Imran bin Husain
yang sedang mengajarkan hadis, datang seseorang yang melarang Imran mengajar
hadis. Ia menyarankan kepada Imran agar cukup mengajar al-Qur’an saja. Imran
menjawab, “Kamu dan sahabatmu dapat membaca al Qur’an. Maukah kamu mengajarkan
shalat dan syarat-syaratnya kepadaku? Atau zakat dan syarat-syaratnya. Kamu
sering absen, padahal Rasulullah telah mewajibkan zakat begini dan begini.”
Terima kasih, saya baru sadar,”[4]
jawab orang tersebut.
Tentang kasus
ini, Muhammad Mustafa A’zhamy menyebutkan kejadiannya hanya perorangan saja,
tidak mewakili golongan tertentu. Kasus seperti ini pun terjadi di Irak
tepatnya di Bashrah, tidak di seluruh negeri-negeri Islam.[5]
Begitu pula Imam Syafi’i menyebutkan para pengingkar sunnah umumnya berada di
Bashrah, karena mungkin saja di Bashrah itulah pemikiran-pemikiran seperti itu
mendapat angin.[6]
Menjelang abad
ke-3 hijrah atau akhir abad ke-2 baru
terdapat kelompok kecil (syirzimmah)
yang jelas-jelas menolak sunnah sebagai sumber syari’at. Namun ada pula yang
sekedar menolak hadits mutawatir.[7]
Perkembangan
berikutnya, golongan Khawarij menolak hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah
sahabat tertentu, terutama dari sahabat yang terlibat peristiwa tahkim.
Khawarij sebelumnya beranggapan bahwa para sahabat Rasulullah adalah orang yang
dapat dipercaya. Namun setelah peristiwa tahkim yaitu peristiwa
perdamaian antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan pengikut Muawiyah bin abi
Sofyan yang terlibat perang saudara, kaum Khawarij (deserter pengikut
Ali) mengkafirkan sahabat-sahabat yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Oleh
sebab kekafiran itulah kaum Khawarij menolak hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat
tersebut. Demikian juga dengan hadis-hadis yang diriwayatkan Usman dan dan
pengikut perang Jamal.
Menurut
al-Siba’i golongan Khawarij dapat menerima sunnah dan mengamalkannya sebagai
sumber hukum Islam. Menurutnya, golongan Khawarij hanya berdebat tentang mana
yang lebih dahulu dipakai hadis ahad atau qiyas. Mayoritas ulama
Khawarij justru mendahulukan hadis ahad daripada qiyas.[8]
Sementara
menurut Imam Syafi’i dan al Khudhari, golongan yang secara tegas menolak hadis
secara keseluruhan adalah Mu’tazilah. Al Siba’i pun cenderung kepada pendapat
ini. Tetapi menurut M.M. A’zhamy, Mu’tazilah juga menerima hadis Nabi.
Mu’tazilah memang mengkritik beberapa hadis Nabi, terutama yang bertentangan
dengan mazhab mereka, namun tidak berarti mereka menolak hadis Nabi secara
keseluruhan.
Begitu juga
golongan Syi’ah, diduga kuat sebagai golongan penolak hadis Nabi. Mereka
berpendapat para sahabat Nabi banyak yang telah murtad setelah wafatnya Rasulullah.
Sahabat yang dapat dikatakan beriman tidak lebih hanya sebelas orang saja.
Karena itulah mereka menolak menerima hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat
kecuali dari sahabat yang sebelas atau dari keluarga Nabi (ahl al bait)
saja.[9]
Menurut
Ensiklopedi Islam, tokoh-tokoh Inkar Sunnah zaman klasik sulit diidentifikasi,
namun tidak untuk zaman modern ini dapat diidentifikasi dengan baik Di antara
mereka itu adalah Tawfiq Sidqi, Gulam Ahmad Parvez, Rasyad Khalifa, dan Kassim
Ahmad.[10]
Setelah lama
terpendam, akhirnya pada abad ke-13 Hijriyah kembali muncul penolakan terhadap
hadis Nabi. Hal ini disebabkan penjajahan barat ke dunia Islam, termasuk upaya
melemahkan umat Islam dengan mengarahkan mereka kepada hadis-hadis yang
terkesan fatalis (qadariyah) dan hadis-hadis yang menguntungkan barat.
Muhammad Abduh
diduga sebagai salah seorang pengingkar hadis. Pendapatnya sebagaimana
dikemukakan Abu Rayyah menyatakan kemunduran umat Islam disebabkan karena masih
diajarkannya kitab-kitab klasik yang bercokol di perpustakaan Universitas al
Azhar dan sebagainya. Jika umat Islam ingin bangkit kembali, maka kitab-kitab
itu harus ditinggalkan dan kembali kepada pimpinan al Qur’an sebagaimana
semangat yang ada pada abad pertama hijriyah. “Hal-hal selain al-Qur’an
(termasuk hadis-pen) hanya akan menjadi kendala antara al Qur’an di satu
pihak dengan ilmu dan amal di lain pihak.”[11]
Tawfiq Sidqi
yang juga berasal dari Mesir adalah di antara orang yang terpengaruh oleh
pendapat Muhammad Abduh[12].
Ia mengatakan, sumber ajaran Islam itu hanya Al-Qur’an. Dalam tulisannya di
majalah al Manar yang berjudul “Islam adalah al Qur’an itu sendiri” ia
menolak penggunaan hadis.
Pendapat Taufiq
Sidqi ini juga diikuti dan diperdalam lagi oleh Rasyid Ridha. Ia
mempertanyakan, apakah hadis yang juga disebut sunnah yang berupa ucapan Nabi
itu dapat disebut sebagai agama dan syari’ah secara umum? Jika ia mengapa
Nabi melarang sahabatnya menulis selain al Qur’an? Para sahabat pada kenyataannya
tidak menulis hadis. Abu Bakar sendiri pun membakar catatan hadisnya. Hal ini
memperkuat dugaan Rasyid Ridha bahwa hadis hanya untuk dihafal sendiri oleh
para sahabat dan kemudian mereka menghapusnya. Rasyid Ridha juga membagi hadis
Nabi kepada dua bagian yaitu hadis mutawatir dan non mutawatir. Hadis mutawatir
seperti jumlah raka’at shalat, puasa dan sebagainya yang diterima secara
mutawatir wajib diikuti dan diterima sebagai agama secara umum. Sedangkan hadis
non mutawatir yang ia sebut sebagai agama khusus tidak wajib diikuti.[13]
Di anak benua India juga muncul indikasi
pengingkaran terhadap sunnah. Sayyid Ahmad Khan dianggap sebagai pelopornya.
Menurut Ahmad Khan:
“Kriteria tentang hadis sahih atau lemahnya
suatu hadis yang dirumuskan ahli hadis-bahkan oleh Bukhari dan Muslim- adalah
jika mereka menganggap perawi sebuah hadis dapat dipercaya, maka hadis yang
diriwayatkannya dipandang shahih; dan jika perawinya dinilai tidak dapat
dipercaya, maka mereka menganggap hadis yang diriwayatkannya lemah. Imam Malik
dan Bukhari hanya mengenal perawi yang daripadanya ia menerima hadis, namun
tidak mengenal perawi sebelumnya. Jadi sangat pelik memastikan apakah seluruh
perawi itu dapat dipercaya, dan apakah tidak ada kesalahan ketika mengalihkan
suatu hadis.[14]
Menurut Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan
adalah pelopor aliran Inkar Sunnah di India, meskipun ia bukan penganut faham
itu. Ahmad Khan hanya menyepelekan hadis shahih yang bertentangan dengan
pandangannya dan menerima hadis lemah
yang sesuai dengan pandangannya.
III.
Pembagian Inkar Sunnah
Dari penjabaran di atas, sebagaimana
Syafi’i membagi pengingkar sunnah kepada tiga golongan, penulis setuju dengan
pembagian seperti itu. Sesuai sejarah perkembangannya paham inkar sunnah ini
ternyata tidak sama pandangannya mengenai sunnah, terutama tentang mana yang
ditolak dan mana yang diterima. Berdasarkan hal tersebut, Inkar Sunnah terdiri
dari tiga golongan;
1.
Golongan
menolak sunnah secara keseluruhan. [15]
2. Golongan
menolak sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk
al-Qur’an,[16] dan
3.
Golongan
yang menolak sunnah yang berstatus ahad.[17]
Adapun yang diingkari atau ditolak golngan Inkar Sunnah adalah:
1.
Menolak sunnah
sebagai sumber syari’at atau hujjah hukum Islam.
2.
Menolak hadits
mutawatir
3. Menolak hadits yang berstatus ahad
IV.
Argumen
Para Pengingkar Sunnah
1. Argumen Naqli
Dalam mengajukan argumennya, penganut
Inkar Sunnah tidak hanya menggunakan ayat al-Qur’an saja, tetapi juga
menggunakan sunnah untuk membela pemahamannya.
1)
Menurut
pengingkar sunnah, al-Qur’an mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan
agama. Dengan demikian tidak perlu lagi keterangan lain, misalnya sunnah.[18]
Dasar yang dipakai adalah:
Q.S. al-Nahl ayat 89:
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri.
Q.S. al-An’am ayat 114
Artinya:
Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang
telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang
telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu
diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang yang ragu-ragu.
2)
Menurut
pengingkar sunnah dalam syari’at Islam tidak ada dalil lain kecuali al-Qur’an.
Apabila dikatakan ayat al-Qur’an butuh penjelasan, maka berarti mendustakan
al-Qur’an.[19] Dasarnya adalah:
Q.S. al-An’am ayat 38
Artinya:
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472],
kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
3)
Menurut
pengingkar sunnah, sesuatu yang bersifat zhanni tidak dapat dijadikan hujjah.
Sementara hadis pada umumnya bersifat zhanni dan sedikit saja yang bersifat
qath’i. Jika agama berdiri di atas sesuatu yang zhanni berarti agama berdiri di
atas sesuatu yang tidak pasti. Hal itu tidak boleh terjadi. Sumber ajaran Islam
haruslah berdiri di atas sesuatu yang pasti. Yang pasti itu adalah al-Qur’an.[20]
lebih lanjut lihat Q.S. Fathir ayat 31, Q.S. Yunus ayat 36, Q.S. al- Najm ayat 28
2. Argumen Ghairu Naqli
a.
Al-Qur’an
diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad (melalui perantaraan Malaikat Jibril)
dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu
memahami al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadis Nabi.
Dengan demikian, hadis Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk al-Qur’an.
b.
Dalam
sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat
Islam terpecah-pecah. Perpecahan ini terjadi karena umat Islam berpegang kepada
hadis Nabi.[21]Jadi menurut para
pengingkar sunnah, hadis Nabi merupakan sumber kamunduran umat Islam; agar umat
Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadis Nabi.
c.
Asal mula
hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng semata-mata.
Dinyatakan demikian, karena hadis Nabi lahir setelah lama Nabi wafat. Dalam
sejarah, sebagian hadis baru muncul pada masa tabi’in dan atba’
al-tabi’in (dibaca : atba’ut-tabiin), yakni sekitar empat puluh atau
lima puluh tahun sesudah Nabi wafat. Kitab-kitab hadis yang tekenal, misalnya Shahih
al-Bukhari dan Shahih Muslim, adalah kitab-kitab yang menghimpun
berbagai hadis palsu. Disamping itu, banyak matan hadis yang termuat dalam
berbagai kitab hadis, isinya bertentangan dengan Al-Qur’an ataupun logika.[22]
Dasar dalam argumen ini, sebagaiman
dinyatakan oleh Kassim Ahmad, pengingkar sunnah dari Malaysia, adalah
pernyataan dari G.H.A. Juynboll, seorang orientalis. Juynboll menyatakan,
pertumbuhan hadis tampaknya dimulai dari cerita-cerita tentang Nabi,
puji-pujian terhadap Ali dan Abu Bakar, serta tuntunan tentang halal haram.
Menurut Juynboll, hadis pada umumnya baru muncul pada zaman tabi’in dan atba’
at-tabi’in.[23]Kassim Ahmad tidak
mengajukan kritik terhadap pendapat
Juynboll tersebut.
d. Menurut
dokter Taufik Sidqi, tiada satupun hadis Nabi yang dicatat pada zaman Nabi.
Pencatatan hadis terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis
itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang
telah terjadi.[24]
e. Menurut
pengingkar sunnah, kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadis sangat lemah
untuk menentukan kesahihan hadis dengan alasan sebagai berikut :
1.)
Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadis
dikenal dengan istilah ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil (ilmu yang membahas
ketercelaan dan keterpujian para periwayat hadis), baru muncul setelah satu
setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian, para periwayat generasi sahabat Nabi,
al-tabi’in, dan atba’ al-tabi’in tidak dapt ditemui dan diperiksa
lagi.
2.)
Seluruh sehabat Nabi sebagai periwayat hadis pada
generasi pertama dinilai adil oleh ulama hadis pada akhir abaad ketiga dan awal
abad keempat hijriah. Dengan konsep ta’dil al-shahabah, para sahabat Nabi
dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan hadis.[25]
Demikianlah
argumen-argumen penting yang telah diajukan oleh para pengingkar sunnah,
baik argumen-arguman naqli maupun non naqli dalam rangka menolak
sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Bantahan
Ulama Hadis
Sebagai
gambaran umum, sikap umat Islam terhadap Sunnah sudah jelas, yaitu menerima dan
mengamalkan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Mengingat semakin besarnya gejala penolakan terhadap sunnah sejak zaman klasik
hingga sekarang, tak sedikit ulama hadis melakukan pembelaan terhadap sunnah
dalam bentuk bantahan terhadap argumen para pengingkar sunnah.
Di antara pembela sunnah yang terkenal
adalah:
a) Imam Syafi’i sebagai pembela utama
Sunnah (Nashir al-Sunnah) zaman klasik.
Imam Syafii memberikan jawaban atas
argumen-argumen kelompok inkarsunnah tersebut dengan mengatakan, bahwa:
(1) Al-Qur’an sendiri dalam banyak ayatnya
mengatakan, umat Islam harus menjauhi larangan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Perintah dan larangan Rasulullah SAW ini hanya dapat diketahui setelah ia
wafat, melalui hadis-hadisnya. Dengan demikian, landasan utama bagi otoritas
hadis-hadis sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam kedua adalah Al-Qur’an
sendiri.
(2) Dengan menguasai Bahasa Arab, maka
orang akan tahu bahwa Al-Qur’anlah yang memerintahkan mereka untuk mengikuti
Sunnah Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat terpercaya.
Pernyataan ayat untuk mengikuti Sunnah Rasulullah SAW, sama halnya
dengan perintah mengikuti Al-Qur’an. Dalam hal ini Imam Syafii mengemukakan
Surat Al-Jumuah : 2 dan Surat AI-Ahzab : 34.
(3) Al-Qur’an mengandung banyak perintah atau larangan yang sifatnya umum,
tanpa memberikan bagaimana perincian pelaksanaannya. Dalam ayat-ayat yang
sifatnya umum ini diperlukan penjelasan dan perincian pelaksanaannya. Kalau
tidak, maka hamba Allah tidak akan dapat melaksanakan perintah atau larangan
tersebut sesuai dengan kehendak. Allah SWT. Disinilah hadis-hadis Rasulullah
berfungsi.
b)
Abu Husain al Bashri al Mu’tazili.
“Dasar kami mengamalkan al Sunnah/ Hadits termasuk Hadis Ahad yaitu
karena kami mengamalkan dalail yang qath’i yaitu al Qur’an yang mengharuskan mengikuti
sunnah tersebut.[26] Memakai hadis/ sunnah
adalah memakai zhann yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan tidak
berarti menentang kebenaran (haqq) yang sudah pasti.
c)
Muhammad Mustafa A’zhamy Pembela sunnah zaman modern
Pembela sunnah zaman modern yaitu
Muhammad Mustafa A’zhamy melalui bukunya yang populer Dirasat fi al
Hadith al Nabawi wa Tarikh Tadwinih, al Maktab al Islami Beirut, 1400
H/1980 M., atau edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub, Hadits
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,Jakarta,Pustaka Firdaus,1994) membantah
argumen yang diajukan pengingkar sunnah. Menurutnya;[27]
(1) Al-Qur’an.mencakup segala hal. Meskipun
demikian al-Qur’an tetap memerlukan penjelasan hadis/sunnah, karena hadis atau
apa yang datang dari rasul merupakan salah satu bentuk tugas kerasulannya.
Argumen pengingkar sunnah yang menggunakan dalil Q.S. al-Nahl ayat 89 sangat
lemah. A’zhamy menyebut mereka “kekurangan waktu” dalam mempelajari al-Qur’an. Argumen. ini
dibantah dengan menggunakan dalil Q.S al
Nahl ayat 44:
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah
menurunkan al-Qur’an disertai kewajiban bagi Nabi SAW untuk menjelaskan
(melalui hadits/sunnah) isi al-Qur’an tersebut.
(2) Sementara argumen pengingkar sunnah yang
menggunakan Q.S. al-An’am ayat 38 menurutnya tidak tepat dan tidak pada
tempatnya sebab Allah juga menyuruh untuk menggunakan apa yang disampaikan Nabi
SAW. Sebagaimana Q.S. al Hasyr ayat 7:
(3) Menurut pengingkar sunnah, sesuatu yang
bersifat zhanni tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara hadis pada umumnya
bersifat zhanni dan sedikit saja yang bersifat qath’i. Alasan pengingkar sunnah itu menurut A’zhamy
kurang tepat. Al-Qur’an meski sudah diyakini sebagai kalamullah, tidak
semua ayatnya memberi petunjuk yang pasti. Masih banyak ayat al-Qur’an yang
masih zhanni (zhanni al dhalalah). Bahkan orang yang memakai ayat zhanni
juga tidak yakin ((kurang pasti) dengan pengertian ayat tersebut. Yang dilarang
Allah adalah mengikuti yang zhanni bila ada yang jelas (pasti). Berbeda
konteksnya dengan memakai hadis/sunnah. Justru memakai hadis/ sunnah adalah
memakai zhann yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan tidak berarti
menentang kebenaran (haqq) yang sudah pasti.
V.
Inkar
Sunnah di Indonesia
Tokoh-tokoh
Inkar Sunnah juga muncul di Indonesia antara lain Abdul Rahman, Moch. Irham
Sutarto dan Lukman Saad. Kelompok ini sempat meresahkan masyarakat dan
menimbulkan banyak reaksi. Atas kejadian itu, maka keluarlah Surat Keputusan
Jaksa Agung Nomor Kep-169/J.A/1983 tertanggal 30 September 1983, yang berisi
larangan terhadap aliran Inkar Sunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.[28] Demikian juga di Sumatera Barat, yang secara
perorangan pengingkaran terhadap sunnah ini dilakukan oleh Dalimi Lubis.
Menurut penelitian Edi Safri[29]
Dalimi Lubis bahkan menolak keseluruhan hadis/sunnah sebagai sumber ajaran
agama. Edi Safri juga menilai pemikiran Dalimi Lubis sebagai corak pemikiran
inkar sunnah yang orisinal, tidak terkait dengan paham inkar sunnah manapun.
Berikutnya,
pendapat yang diduga berbau Inkar Sunnah adalah pernyatan Ulil Abshar Abdalla
tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia yang dimuat berdasarkan email
Ulil tertanggal 29 Maret 2005 kepada
Machasin, Dosen UIN Yogyakarta. Berikut petikannya:
Pak Machasin
yang baik,
“Saya
senang sekali anda bisa menyumbangkan pendapat di tengah-tengah kesibukan anda
mengajar di IAIN Yogyakarta.
Saya
sepakat dengan anda, bahwa tanpa harus mengurangi respek kita pada ulama klasik
yang telah melakukan tadwin atas hadis, serta merumuskan metode "verifikasi"
untuk menelusuri kesahihan sebuah hadis; tanpa mengurangi respek kita pada Al
Bukhari, Muslim, Al Turmudzi, dll., saya kira ilmu mushthalah hadis seperti
dikembangkan oleh ulama klasik itu memang belum bisa menjamin 100% kesahihan
sebuah hadis. Banyak kejanggalan dalam periwayatan hadis seperti pernah diulas
secara kontroversial oleh Mahmud Abu Rayyah dalam "Fi Al Sunnah Al
Muhammadiyyah".
Misalnya,
seperti yang sudah sering diungkapkan, kenapa Abu Hurairah yang hanya bergaul
dengan Nabi dalam waktu yang singkat meriwayatkan banyak sekali hadis, jauh
lebih banyak dari Abu Bakar dan Umar -- dua "confidant aide"
Nabi. Misalnya lagi, seperti pernah dikemukakan oleh Mas Chodjim dalam posting
lalu, kenapa jarang ada riwayat tentang isi khutbah Jumat Nabi, padahal Jumatan
adalah peristiwa sosial yang disaksikan oleh banyak orang, dan tentunya
berlangsung secara reguler. Saya jarang menemukan suatu riwayat (untuk tidak
mengatakan tak ada sama sekali) tentang isi khutbah Jumat Nabi. Yang ada adalah
riwayat tentang bagaimana "cara" Nabi menyampaikan khotbah: konon,
Nabi berkhutbah dengan suara keras, hingga wajahnya memerah.
Hal
lain lagi adalah bahwa beberapa hadis diriwayatkan dengan redaksi yang
berbeda-beda, kadang perbedaannya sangat besar, kadang kecil. Ini membuat kita
menjadi ragu, apakah sebuah hadis benar-benar merupakan "replika"
dari apa yang pernah disabdakan Nabi atau hanya merupakan pengisahan ulang
dengan redaksi lain (riwayah bi al ma'na). Saya kira, sebagian besar hadis
adalah "riwayah bil ma'na".
Saya
menduga, sebelum Imam Syafii menerbitkan risalahnya yang terkenal itu, "Ar
Risalah", untuk membela posisi hadis, kedudukan hadis Nabi belum sepenting
seperti yang kita saksikan setelah risalah itu muncul. Setelah terbitnya Ar
Risalah itu, kedudukan hadis menjadi semacam "second scripture" yang
hampir mendekati Quran. Sementara, ada sejumlah hadis yang justru melarang
pembukuan hadis (la taktubu 'anni ghairal Quran, misalnya). Bahkan Sahabat Umar
dikenal paling benci pada orang-orang yang terlalu banyak meriwayatkan hadis.
Saya kira, ada kekhawatiran zaman itu bahwa jika hadis terlalu banyak beredar,
maka kedudukannya akan menyaingi Quran. Sebelum lahirnya Al Bukhari pada abad
ke-3 Hijriyyah (300 tahun setelah wafatnya Nabi), hadis belum menjadi disiplin
yang begitu terstandarkan seperti kita kenal selama ini. Seperti pernah
ditunjukkan oleh Fazlur Rahman, yang terjadi pada masa pra-kodifikasi hadis itu
adalah bahwa para sahabat dan tabiin mengikuti "sunnah" atau tradisi
yang hidup, bukan hadis dalam pengertian "sabda Nabi yang diingat dan
ditransmisikan secara turun temurun" seperti kita kenal selama ini. Ini
tercermin dalam mazhab Maliki, di mana "sunnah" atau "ijma"
atau "atsar" atau "'amal" atau tradisi yang hidup dalam
kalangan penduduk Madinah bisa menjadi sumber hukum.
Masalah lain
adalah kritik matan. Ini bidang yang sangat tertinggal perkembangannya dalam
ilmu hadis. Ada semacam pemahaman umum, jika sebuah hadis dari segi sanad sudah
"oke", maka hadis itu harus kita ikuti. Ini sesuai dengan kaidah yang
ditetapkan oleh Imam Syafii, "idza shahha al hadis fa huwa madzhabi"
(jika sebuah hadis sudah terbukti sahih, maka itu adalah mazhabku). Kaidah ini
jelas bermasalah. Pertama, itu adalah pendapat pribadi Imam Syafii, artinya
bukan sesuatu yang datang dari Quran. Jadi, boleh kita ikuti, boleh tidak.
Kedua, prinsip itu jelas tidak masuk akal. Sebab, bagaimanapun matan atau teks
hadis haruslah dinilai berdasarkan Quran (dalam pandangan Islam liberal, bahkan
harus dinilai pula berdasarkan parameter yang lain, yaitu konteks kemaslahatan
sosial yang lebih luas). Banyak hadis yang tak sesuai dengan semangat Quran,
misalnya hadis tentang perintah pembunuhan atas orang murtad. Bagi saya, ini
bertentangan dengan semangat "la ikraha fi al din". Saya tak bisa
terima hadis itu dari segi matan. Atau sekurang-kurangnya, kita harus
menafsirkan ulang hadis itu.[30]
Menurut penulis
soal tuduhan inkar sunnah terhadap Ulil Abshar Abdalla belum layak
dilakukan. Sikap Ulil sepertinya tidak berbeda dengan Ahmad Khan yang
menyepelekan hadis shahih yang bertentangan dengan pandangannya dan menerima
hadis lemah yang sesuai dengan
pandangannya. Tuduhan itupun datang dari orang yang tidak senang dengan produk
pemikiran JIL.
Meski memunculkan sikap antara menolak dan
menerima hadis, upaya kritik matan yang diusungnya menampakkan garis yang jelas
dengan sikap Mu’tazilah. Maka pemikiran Ulil Abshar Abdalla bukanlah sesuatu
yang orisinil.
VI.
Penutup
Demikianlah gambaran singkat tentang
golongan Inkar Sunnah yang menghebohkan umat Islam. Dalam makalah ini penulis
mengungkapkan tentang sejarah, perkembangan dan alasan-alasan mereka dalam
menolak hadis atau sunnah Rasulullah SAW. Kesimpulan singkat yang ingin penulis
kemukakan adalah:
1) Inkar Sunnah tidak lebih kesalahan
pemahaman tekstual dari orang yang tidak berilmu.
2) Jika ada ada yang melakukan di luar
indikasi itu maka hal itu dilakukandengan niat tidak baik seperti untuk
menyerang Islam melalui sumber ajarannya.
Akhirnya makalah ini penulis akhiri
dengan tetap membuka ruang debat dan kritik demi pemahaman yang lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.
DAFTAR BACAAN
Al-Qur’an al Karim
al Khatib, Muhammad Ajaj, Ushul al Hadits,Pokok-pokok
Ilmu Hadits, Jakarta,Gaya Media Pratama, 1998
Amal, Taufik Adnan,
Ahmad Khan, Bapak Tafsir Modernis,Jakarta,Teraju,2004
A’zhamy, Muhammad Musthafa. Dirasat fi al Hadith al
Nabawi wa TarikhTadwinih, al Maktab al Islami Beirut, 1400 H/1980 M. Edisi
Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub, Hadits Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, Jakarta,Pustaka Firdaus,1994
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Jakarta,Ikhtiar Baru
Van Hoeve,1994
Harian Umum Singgalang, Inkarsunnah, Padang,
Rabu 11 Oktober 2006
http://www.freewebs.com/ulil-awam/hadits.htm, diakses
16 Desember 2006
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela,
Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta,Gema Insani Press, 1995
Safri, Edi, Melacak Pandangan Dalimi Lubis tentang
Penolakannya terhadap Sunnah (Kajian Kritis Penganut Paham Inkar Sunnah di
Padang Panjang), Padang, Baitul Hikmah Press, 2001
St. Roestam dkk., Menelusuri Perkembangan Sejarah
Hukum dan Syari’at Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1992
Catatan Akhir
[1]Muhammad
Ajaj al Khatib, Ushul al Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1998), h.2
[2]
Harian Umum Singgalang, Inkarsunnah, Padang, Rabu 11 Oktober 2006
[3] Ibid
[4]
M.M. A’zhamy mengutip cerita ini dari al Mustadrak: 109-110 dalam
bukunya Dirasat fi al Hadith al Nabawi wa TarikhTadwinih, al Maktab al
Islami Beirut, 1400 H/1980 M. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Ali
Mustafa Ya’qub, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta:
Pustaka Firdaus,1994) h.41
[5]
M.M. A’zhamy, Ibid.,h.42
[6] Ibid
[7]
St. Roestam dkk., Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam,
(Jakarta: Kalam Mulia, 1992), h.199
[8]
M.M. A’zhamy, op.cit., h.43
[9] Ibid.
h.46
[10]
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam….h.
[11] Ibid
[12]
Harian Umum Singgalang, op.cit.
[13]
M.M. A’zhamy, op.cit., h.47
[14]
Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan, Bapak Tafsir Modernis, (Jakarta:
Teraju,2004) h.76
[15]
Golongan ini juga disebut Inkar
Sunnah mutlak, atau Inkar al sunnah bi al dzat, atau mereka menyebut
dirinya Jama’ah ahl al Qur’an., St. Roestam dkk., op.cit.
[16] Inkaru
ba’dh al sunnah, St. Roestam
dkk., op.cit.,h.200
[17] Inkaru
al sunnah bi ghairi thariq al manqul., op.cit.,h.201
[18]
Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h.16
[19]
M.M. A’zhamy, op.cit., h.47
[20]
Syuhudi Ismail, op.cit., h.19
[21]
Di antara yang berpendapat seperti ini, Muhammad Abduh, Taufiq Sidqi. Di
Sumatera Barat terkenal Dalimi Lubis.
[22]
Pendapat Kasim Ahmad dalam Syuhudi Ismail,op.cit., h.20
[23] Ibid.,
h.21
[24]
Pendapat Taufiq Sidqi dalam artikelnya “al-Islam Huwa
al-Qur’anWahdah. Ibid
[25]
Pendapat Kasim Ahmad dalam Syuhudi Ismail, Ibid
[26] St. Roestam dkk., op.cit.,h.205
[27]
Lihat M.M. A’zhamy, op.cit., h. 57-75
[28] Harian
Umum Singgalang, op.cit.
[29]
Edi Safri, Melacak Pandangan Dalimi Lubis tentang Penolakannya terhadap
Sunnah (Kajian Kritis Penganut Paham Inkar Sunnah di Padang Panjang,
(Padang: Baitul Hikmah Press, 2001) h. 53-54
[30]
http://www.freewebs.com/ulil-awam/hadits.htm, diakses 16 Desember 2006
No comments:
Post a Comment