08 October 2017

INKAR SUNNAH



Muhammad Nasir

       I.      Pendahuluan
Hadis dan sunnah adalah sumber ajaran Islam yang sangat penting. Meskipun para ulama berbeda pendapat tentang pengertian keduanya, seperti ada yang menyamakan hadis dengan sunnah, bahkan membedakannya, yang jelas keduanya disandarkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Sunnah dan hadis itu didefinisikan sebagai segala perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat Rasulullah.
Dalam pembahasan tentang inkar sunnah ini penulisan akan lebih banyak menyinggung kata-kata sunnah, karena bagaimanapun hadis termasuk sunnah Nabi. Sebagai penjelas, Muhammad Ajaj al Khatib menyebutkan, al-Sunnah dimaksudkan sebagai segala sesuatu yang diperintahkan, dilarang atau dianjurkan oleh Nabi SAW baik berbentuk sabda maupun perbuatan.[1] Oleh sebab itu, jika dikatakan bahwa dalil-dalil syara’ adalah al-Quran dan Sunnah, maka yang dimaksud sama dengan al-Quran dan hadis.
Konteks pembahasan dan perdebatan antara pembela sunnah dan pengingkar sunnah ternyata tidak jauh seputar sunnah dan hadis. Ada kalanya yang dipersoalkan adalah sunnah, dan adakalanya yang diperdebatkan itu hadis. Karena itu inkar sunnah adalah para pengingkar sunnah dan hadis.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang aliran ini, ada baiknya dimulai dengan menjelaskan kedudukan sunnah dalam Islam. Pada umumnya umat Islam dapat menerima sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Dalam pengertian yang lazim, umat Islam menjadikan sunnah sebagai penjabaran dari sumber yang pertama yaitu al-Qur’an. Karena itu dapat dikatakan sunnah menempati posisi yang strategis yaitu sumber ajaran Islam terpenting setelah al-Qur’an. Tidak heran, bila ada orang atau sekelompok orang yang mencoba menafikan keberadaan sunnah bahkan menolaknya, selalu mendapat perlawanan dari seluruh umat Islam.
Kemunculan kelompok atau secara personal penginkar sunnah dapat diartikan sebagai perlawanan terhadap arus utama umat Islam. Hampir dapat dipastikan, mayoritas umat Islam adalah gelombang besar pendukung sunnah dan pengingkar sunnah merupakan ranting kecil di tengah gelombang tersebut.

    II.      Pengertian Inkar Sunnah dan Perkembangannya
Istilah Inkar Sunnah berasal dari Bahasa Arab inkar al-sunnah, maksudnya adalah kelompok orang yang menolak sunnah (hadis) Rasulullah SAW sebagai hujjah (dalil) dan sumber kedua ajaran Islam, yang wajib ditaati dan diamalkan. Imam Syafii menyatakan, kelompok ini muncul di penghujung abad kedua atau awal abad ketiga hijriyah.[2] Orang yang menolak sunnah ini disebut Imam Syafi’i dalab kitabnya al-Umm sebagai orang yang berpaham inkar sunnah atau munkir al sunnah.[3]
Pada zaman Nabi SAW umat Islam sepakat bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam, sehingga tidak ditemukan seorangpun di antara sahabat Nabi yang menolak sunnah berupa menyangkal apa yang dikatakan Nabi, mengabaikan bahkan mencap Nabi berdusta atau mengada-ada. Pada peristiwa isra mi’raj meskipun terjadi sedikit goncangan dalam bentuk kebingungan dalam memaknai peristiwa itu, sahabat tetap berkeyakinan akan kejujuran beliau. Begitu juga pada zaman khulafa’al rasyidin (632-661 M) dan pemerintahan Bani Umayyah belum terlihat secara jelas umat Islam yang menolak sunnah sebagai sumber ajaran Islam. Barulah pada awal masa Abbasiyah  (mulai 750 M) muncul secara jelas sekelompok kecil umat Islam yang mengingkari sunnah.
Pada masa sahabat pernah ada gejala ke arah itu. Kasus tersebut bukanlah sebagai bentuk pengingkaran terhadap sunnah, tetapi lebih kepada ketidaktahuan terhadap kedudukan dan fungsi sunnah. Misalnya kisah tentang Imran bin Husain yang sedang mengajarkan hadis, datang seseorang yang melarang Imran mengajar hadis. Ia menyarankan kepada Imran agar cukup mengajar al-Qur’an saja. Imran menjawab, “Kamu dan sahabatmu dapat membaca al Qur’an. Maukah kamu mengajarkan shalat dan syarat-syaratnya kepadaku? Atau zakat dan syarat-syaratnya. Kamu sering absen, padahal Rasulullah telah mewajibkan zakat begini dan begini.” Terima kasih, saya baru sadar,”[4] jawab orang tersebut.
Tentang kasus ini, Muhammad Mustafa A’zhamy menyebutkan kejadiannya hanya perorangan saja, tidak mewakili golongan tertentu. Kasus seperti ini pun terjadi di Irak tepatnya di Bashrah, tidak di seluruh negeri-negeri Islam.[5] Begitu pula Imam Syafi’i menyebutkan para pengingkar sunnah umumnya berada di Bashrah, karena mungkin saja di Bashrah itulah pemikiran-pemikiran seperti itu mendapat angin.[6]
Menjelang abad ke-3 hijrah atau akhir abad ke-2  baru terdapat kelompok  kecil (syirzimmah) yang jelas-jelas menolak sunnah sebagai sumber syari’at. Namun ada pula yang sekedar menolak hadits mutawatir.[7]
Perkembangan berikutnya, golongan Khawarij menolak hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat tertentu, terutama dari sahabat yang terlibat peristiwa tahkim. Khawarij sebelumnya beranggapan bahwa para sahabat Rasulullah adalah orang yang dapat dipercaya. Namun setelah peristiwa tahkim yaitu peristiwa perdamaian antara pengikut Ali bin Abi Thalib dengan pengikut Muawiyah bin abi Sofyan yang terlibat perang saudara, kaum Khawarij (deserter pengikut Ali) mengkafirkan sahabat-sahabat yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Oleh sebab kekafiran itulah kaum Khawarij menolak hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat tersebut. Demikian juga dengan hadis-hadis yang diriwayatkan Usman dan dan pengikut perang Jamal.
Menurut al-Siba’i golongan Khawarij dapat menerima sunnah dan mengamalkannya sebagai sumber hukum Islam. Menurutnya, golongan Khawarij hanya berdebat tentang mana yang lebih dahulu dipakai hadis ahad atau qiyas. Mayoritas ulama Khawarij justru mendahulukan hadis ahad daripada qiyas.[8]
Sementara menurut Imam Syafi’i dan al Khudhari, golongan yang secara tegas menolak hadis secara keseluruhan adalah Mu’tazilah. Al Siba’i pun cenderung kepada pendapat ini. Tetapi menurut M.M. A’zhamy, Mu’tazilah juga menerima hadis Nabi. Mu’tazilah memang mengkritik beberapa hadis Nabi, terutama yang bertentangan dengan mazhab mereka, namun tidak berarti mereka menolak hadis Nabi secara keseluruhan.
Begitu juga golongan Syi’ah, diduga kuat sebagai golongan penolak hadis Nabi. Mereka berpendapat para sahabat Nabi banyak yang telah murtad setelah wafatnya Rasulullah. Sahabat yang dapat dikatakan beriman tidak lebih hanya sebelas orang saja. Karena itulah mereka menolak menerima hadis yang diriwayatkan oleh para sahabat kecuali dari sahabat yang sebelas atau dari keluarga Nabi (ahl al bait) saja.[9]
Menurut Ensiklopedi Islam, tokoh-tokoh Inkar Sunnah zaman klasik sulit diidentifikasi, namun tidak untuk zaman modern ini dapat diidentifikasi dengan baik Di antara mereka itu adalah Tawfiq Sidqi, Gulam Ahmad Parvez, Rasyad Khalifa, dan Kassim Ahmad.[10]
Setelah lama terpendam, akhirnya pada abad ke-13 Hijriyah kembali muncul penolakan terhadap hadis Nabi. Hal ini disebabkan penjajahan barat ke dunia Islam, termasuk upaya melemahkan umat Islam dengan mengarahkan mereka kepada hadis-hadis yang terkesan fatalis (qadariyah) dan hadis-hadis yang menguntungkan barat.
Muhammad Abduh diduga sebagai salah seorang pengingkar hadis. Pendapatnya sebagaimana dikemukakan Abu Rayyah menyatakan kemunduran umat Islam disebabkan karena masih diajarkannya kitab-kitab klasik yang bercokol di perpustakaan Universitas al Azhar dan sebagainya. Jika umat Islam ingin bangkit kembali, maka kitab-kitab itu harus ditinggalkan dan kembali kepada pimpinan al Qur’an sebagaimana semangat yang ada pada abad pertama hijriyah. “Hal-hal selain al-Qur’an (termasuk hadis-pen) hanya akan menjadi kendala antara al Qur’an di satu pihak dengan ilmu dan amal di lain pihak.”[11]
Tawfiq Sidqi yang juga berasal dari Mesir adalah di antara orang yang terpengaruh oleh pendapat Muhammad Abduh[12]. Ia mengatakan, sumber ajaran Islam itu hanya Al-Qur’an. Dalam tulisannya di majalah al Manar yang berjudul “Islam adalah al Qur’an itu sendiri” ia menolak penggunaan hadis.
Pendapat Taufiq Sidqi ini juga diikuti dan diperdalam lagi oleh Rasyid Ridha. Ia mempertanyakan, apakah hadis yang juga disebut sunnah yang berupa ucapan Nabi itu dapat disebut sebagai agama dan syari’ah secara umum? Jika ia mengapa Nabi melarang sahabatnya menulis selain al Qur’an? Para sahabat pada kenyataannya tidak menulis hadis. Abu Bakar sendiri pun membakar catatan hadisnya. Hal ini memperkuat dugaan Rasyid Ridha bahwa hadis hanya untuk dihafal sendiri oleh para sahabat dan kemudian mereka menghapusnya. Rasyid Ridha juga membagi hadis Nabi kepada dua bagian yaitu hadis mutawatir dan non mutawatir. Hadis mutawatir seperti jumlah raka’at shalat, puasa dan sebagainya yang diterima secara mutawatir wajib diikuti dan diterima sebagai agama secara umum. Sedangkan hadis non mutawatir yang ia sebut sebagai agama khusus tidak wajib diikuti.[13]
Di anak benua India juga muncul indikasi pengingkaran terhadap sunnah. Sayyid Ahmad Khan dianggap sebagai pelopornya. Menurut Ahmad Khan:
“Kriteria tentang hadis sahih atau lemahnya suatu hadis yang dirumuskan ahli hadis-bahkan oleh Bukhari dan Muslim- adalah jika mereka menganggap perawi sebuah hadis dapat dipercaya, maka hadis yang diriwayatkannya dipandang shahih; dan jika perawinya dinilai tidak dapat dipercaya, maka mereka menganggap hadis yang diriwayatkannya lemah. Imam Malik dan Bukhari hanya mengenal perawi yang daripadanya ia menerima hadis, namun tidak mengenal perawi sebelumnya. Jadi sangat pelik memastikan apakah seluruh perawi itu dapat dipercaya, dan apakah tidak ada kesalahan ketika mengalihkan suatu hadis.[14]
Menurut Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan adalah pelopor aliran Inkar Sunnah di India, meskipun ia bukan penganut faham itu. Ahmad Khan hanya menyepelekan hadis shahih yang bertentangan dengan pandangannya dan menerima hadis  lemah yang sesuai dengan pandangannya.
 III.      Pembagian Inkar Sunnah
Dari penjabaran di atas, sebagaimana Syafi’i membagi pengingkar sunnah kepada tiga golongan, penulis setuju dengan pembagian seperti itu. Sesuai sejarah perkembangannya paham inkar sunnah ini ternyata tidak sama pandangannya mengenai sunnah, terutama tentang mana yang ditolak dan mana yang diterima. Berdasarkan hal tersebut, Inkar Sunnah terdiri dari tiga golongan;
1.      Golongan menolak sunnah secara keseluruhan. [15]
2.  Golongan menolak sunnah kecuali bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk al-Qur’an,[16] dan
3.      Golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad.[17]
Adapun yang diingkari atau ditolak golngan Inkar Sunnah adalah:
1.      Menolak sunnah sebagai sumber syari’at atau hujjah hukum Islam.
2.      Menolak hadits mutawatir
3.      Menolak hadits yang berstatus ahad
 IV.      Argumen Para Pengingkar Sunnah
1.      Argumen Naqli
Dalam mengajukan argumennya, penganut Inkar Sunnah tidak hanya menggunakan ayat al-Qur’an saja, tetapi juga menggunakan sunnah untuk membela pemahamannya.
1)      Menurut pengingkar sunnah, al-Qur’an mencakup segala sesuatu berkenaan dengan ketentuan agama. Dengan demikian tidak perlu lagi keterangan lain, misalnya sunnah.[18] Dasar yang dipakai adalah:
Q.S. al-Nahl ayat 89:
Artinya:  Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Q.S. al-An’am ayat 114
 Artinya: Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Quran itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.
2)      Menurut pengingkar sunnah dalam syari’at Islam tidak ada dalil lain kecuali al-Qur’an. Apabila dikatakan ayat al-Qur’an butuh penjelasan, maka berarti mendustakan al-Qur’an.[19] Dasarnya adalah:
Q.S. al-An’am ayat 38
Artinya: Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472], kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.
 3)      Menurut pengingkar sunnah, sesuatu yang bersifat zhanni tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara hadis pada umumnya bersifat zhanni dan sedikit saja yang bersifat qath’i. Jika agama berdiri di atas sesuatu yang zhanni berarti agama berdiri di atas sesuatu yang tidak pasti. Hal itu tidak boleh terjadi. Sumber ajaran Islam haruslah berdiri di atas sesuatu yang pasti. Yang pasti itu adalah al-Qur’an.[20]
   lebih lanjut lihat Q.S. Fathir ayat 31, Q.S. Yunus ayat 36, Q.S. al- Najm ayat 28

2.      Argumen Ghairu Naqli
a.       Al-Qur’an diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad (melalui perantaraan Malaikat Jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami al-Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadis Nabi. Dengan demikian, hadis Nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk al-Qur’an.
b.      Dalam sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah. Perpecahan ini terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadis Nabi.[21]Jadi menurut para pengingkar sunnah, hadis Nabi merupakan sumber kamunduran umat Islam; agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadis Nabi.
c.       Asal mula hadis Nabi yang dihimpun dalam kitab-kitab hadis adalah dongeng semata-mata. Dinyatakan demikian, karena hadis Nabi lahir setelah lama Nabi wafat. Dalam sejarah, sebagian hadis baru muncul pada masa tabi’in dan atba’ al-tabi’in (dibaca : atba’ut-tabiin), yakni sekitar empat puluh atau lima puluh tahun sesudah Nabi wafat. Kitab-kitab hadis yang tekenal, misalnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, adalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai hadis palsu. Disamping itu, banyak matan hadis yang termuat dalam berbagai kitab hadis, isinya bertentangan dengan Al-Qur’an ataupun logika.[22]
Dasar dalam argumen ini, sebagaiman dinyatakan oleh Kassim Ahmad, pengingkar sunnah dari Malaysia, adalah pernyataan dari G.H.A. Juynboll, seorang orientalis. Juynboll menyatakan, pertumbuhan hadis tampaknya dimulai dari cerita-cerita tentang Nabi, puji-pujian terhadap Ali dan Abu Bakar, serta tuntunan tentang halal haram. Menurut Juynboll, hadis pada umumnya baru muncul pada zaman tabi’in dan atba’ at-tabi’in.[23]Kassim Ahmad tidak mengajukan  kritik terhadap pendapat Juynboll tersebut.
d.      Menurut dokter Taufik Sidqi, tiada satupun hadis Nabi yang dicatat pada zaman Nabi. Pencatatan hadis terjadi setelah Nabi wafat. Dalam masa tidak tertulisnya hadis itu, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadis sebagaimana yang telah terjadi.[24]
e.       Menurut pengingkar sunnah, kritik sanad yang terkenal dalam ilmu hadis sangat lemah untuk menentukan kesahihan hadis dengan alasan sebagai berikut :
1.)    Dasar kritik sanad itu, yang dalam ilmu hadis dikenal dengan istilah ‘Ilm al-Jarh wa al-Ta’dil (ilmu yang membahas ketercelaan dan keterpujian para periwayat hadis), baru muncul setelah satu setengah abad Nabi wafat. Dengan demikian, para periwayat generasi sahabat Nabi, al-tabi’in, dan atba’ al-tabi’in tidak dapt ditemui dan diperiksa lagi.
2.)    Seluruh sehabat Nabi sebagai periwayat hadis pada generasi pertama dinilai adil oleh ulama hadis pada akhir abaad ketiga dan awal abad keempat hijriah. Dengan konsep ta’dil al-shahabah, para sahabat Nabi dinilai terlepas dari kesalahan dalam melaporkan hadis.[25]
Demikianlah argumen-argumen penting yang telah diajukan oleh para pengingkar sunnah, baik argumen-arguman naqli maupun non naqli dalam rangka menolak sunnah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Bantahan Ulama Hadis
Sebagai gambaran umum, sikap umat Islam terhadap Sunnah sudah jelas, yaitu menerima dan mengamalkan Sunnah sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Mengingat semakin besarnya gejala penolakan terhadap sunnah sejak zaman klasik hingga sekarang, tak sedikit ulama hadis melakukan pembelaan terhadap sunnah dalam bentuk bantahan terhadap argumen para pengingkar sunnah.
Di antara pembela sunnah yang terkenal adalah:
a)      Imam Syafi’i sebagai pembela utama Sunnah (Nashir al-Sunnah) zaman klasik.
Imam Syafii memberikan jawaban atas argumen-­argumen kelompok inkarsunnah tersebut dengan  mengatakan, bahwa:
(1) Al-Qur’an sendiri dalam banyak ayatnya mengatakan, umat Islam harus menjauhi larangan Allah SWT dan Rasul-Nya. Perintah dan larangan Rasulullah SAW ini hanya dapat diketahui setelah ia wafat, melalui hadis-hadisnya. Dengan demikian, landasan utama bagi otoritas hadis-hadis sebagai hujjah dan sumber ajaran Islam kedua adalah Al-Qur’an sendiri.
(2) Dengan menguasai Bahasa Arab, maka orang akan tahu bahwa Al-Qur’anlah yang memerintahkan mereka untuk mengikuti Sunnah Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh periwayat-periwayat ter­percaya. Pernyataan ayat untuk mengikuti Sunnah Rasulullah SAW, sama halnya dengan perintah mengikuti Al-Qur’an. Dalam hal ini Imam Syafii menge­mukakan Surat Al-Jumuah : 2 dan Surat AI-Ahzab : 34.
(3) Al-Qur’an mengandung banyak perintah atau larangan yang sifatnya umum, tanpa memberikan bagaimana perincian pelaksanaannya. Dalam ayat-ayat yang sifatnya umum ini diperlukan penjelasan dan perincian pelaksanaannya. Kalau tidak, maka hamba Allah tidak akan dapat melaksanakan perintah atau larangan tersebut sesuai dengan kehendak. Allah SWT. Disinilah hadis-hadis Rasulullah berfungsi.
b)      Abu Husain al Bashri al Mu’tazili.
“Dasar kami mengamalkan al Sunnah/ Hadits termasuk Hadis Ahad yaitu karena kami mengamalkan dalail yang qath’i  yaitu al Qur’an yang mengharuskan mengikuti sunnah tersebut.[26] Memakai hadis/ sunnah adalah memakai zhann yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan tidak berarti menentang kebenaran (haqq) yang sudah pasti.
c)      Muhammad Mustafa A’zhamy Pembela sunnah zaman modern
Pembela sunnah zaman modern yaitu Muhammad Mustafa A’zhamy melalui bukunya yang populer Dirasat fi al Hadith al Nabawi wa Tarikh Tadwinih, al Maktab al Islami Beirut, 1400 H/1980 M., atau edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya,Jakarta,Pustaka Firdaus,1994) membantah argumen yang diajukan pengingkar sunnah. Menurutnya;[27]
(1)       Al-Qur’an.mencakup segala hal. Meskipun demikian al-Qur’an tetap memerlukan penjelasan hadis/sunnah, karena hadis atau apa yang datang dari rasul merupakan salah satu bentuk tugas kerasulannya. Argumen pengingkar sunnah yang menggunakan dalil Q.S. al-Nahl ayat 89 sangat lemah. A’zhamy menyebut mereka “kekurangan waktu”  dalam mempelajari al-Qur’an. Argumen. ini dibantah dengan menggunakan dalil  Q.S al Nahl ayat 44:
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menurunkan al-Qur’an disertai kewajiban bagi Nabi SAW untuk menjelaskan (melalui hadits/sunnah) isi al-Qur’an tersebut.
(2)       Sementara argumen pengingkar sunnah yang menggunakan Q.S. al-An’am ayat 38 menurutnya tidak tepat dan tidak pada tempatnya sebab Allah juga menyuruh untuk menggunakan apa yang disampaikan Nabi SAW. Sebagaimana Q.S. al Hasyr ayat 7:
 (3)       Menurut pengingkar sunnah, sesuatu yang bersifat zhanni tidak dapat dijadikan hujjah. Sementara hadis pada umumnya bersifat zhanni dan sedikit saja yang bersifat qath’i.  Alasan pengingkar sunnah itu menurut A’zhamy kurang tepat. Al-Qur’an meski sudah diyakini sebagai kalamullah, tidak semua ayatnya memberi petunjuk yang pasti. Masih banyak ayat al-Qur’an yang masih zhanni (zhanni al dhalalah). Bahkan orang yang memakai ayat zhanni juga tidak yakin ((kurang pasti) dengan pengertian ayat tersebut. Yang dilarang Allah adalah mengikuti yang zhanni bila ada yang jelas (pasti). Berbeda konteksnya dengan memakai hadis/sunnah. Justru memakai hadis/ sunnah adalah memakai zhann yang diperintahkan oleh Allah SWT, dan tidak berarti menentang kebenaran (haqq) yang sudah pasti.
    V.      Inkar Sunnah di Indonesia
Tokoh-tokoh Inkar Sunnah juga muncul di Indone­sia antara lain Abdul Rahman, Moch. Irham Sutarto dan Lukman Saad. Kelompok ini sempat meresahkan masyarakat dan menimbulkan banyak reaksi. Atas kejadian itu, maka keluarlah Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-169/J.A/1983 tertanggal 30 September 1983, yang berisi larangan terhadap aliran Inkar Sunnah di seluruh wilayah Republik Indonesia.[28] Demikian juga di Sumatera Barat, yang secara perorangan pengingkaran terhadap sunnah ini dilakukan oleh Dalimi Lubis. Menurut penelitian Edi Safri[29] Dalimi Lubis bahkan menolak keseluruhan hadis/sunnah sebagai sumber ajaran agama. Edi Safri juga menilai pemikiran Dalimi Lubis sebagai corak pemikiran inkar sunnah yang orisinal, tidak terkait dengan paham inkar sunnah manapun.
Berikutnya, pendapat yang diduga berbau Inkar Sunnah adalah pernyatan Ulil Abshar Abdalla tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) di Indonesia yang dimuat berdasarkan email Ulil tertanggal 29 Maret 2005 kepada Machasin, Dosen UIN Yogyakarta. Berikut petikannya:
Pak Machasin yang baik,
“Saya senang sekali anda bisa menyumbangkan pendapat di tengah-tengah kesibukan anda mengajar di IAIN Yogyakarta.
Saya sepakat dengan anda, bahwa tanpa harus mengurangi respek kita pada ulama klasik yang telah melakukan tadwin atas hadis, serta merumuskan metode "verifikasi" untuk menelusuri kesahihan sebuah hadis; tanpa mengurangi respek kita pada Al Bukhari, Muslim, Al Turmudzi, dll., saya kira ilmu mushthalah hadis seperti dikembangkan oleh ulama klasik itu memang belum bisa menjamin 100% kesahihan sebuah hadis. Banyak kejanggalan dalam periwayatan hadis seperti pernah diulas secara kontroversial oleh Mahmud Abu Rayyah dalam "Fi Al Sunnah Al Muhammadiyyah".
Misalnya, seperti yang sudah sering diungkapkan, kenapa Abu Hurairah yang hanya bergaul dengan Nabi dalam waktu yang singkat meriwayatkan banyak sekali hadis, jauh lebih banyak dari Abu Bakar dan Umar -- dua "confidant aide" Nabi. Misalnya lagi, seperti pernah dikemukakan oleh Mas Chodjim dalam posting lalu, kenapa jarang ada riwayat tentang isi khutbah Jumat Nabi, padahal Jumatan adalah peristiwa sosial yang disaksikan oleh banyak orang, dan tentunya berlangsung secara reguler. Saya jarang menemukan suatu riwayat (untuk tidak mengatakan tak ada sama sekali) tentang isi khutbah Jumat Nabi. Yang ada adalah riwayat tentang bagaimana "cara" Nabi menyampaikan khotbah: konon, Nabi berkhutbah dengan suara keras, hingga wajahnya memerah.
Hal lain lagi adalah bahwa beberapa hadis diriwayatkan dengan redaksi yang berbeda-beda, kadang perbedaannya sangat besar, kadang kecil. Ini membuat kita menjadi ragu, apakah sebuah hadis benar-benar merupakan "replika" dari apa yang pernah disabdakan Nabi atau hanya merupakan pengisahan ulang dengan redaksi lain (riwayah bi al ma'na). Saya kira, sebagian besar hadis adalah "riwayah bil ma'na".
Saya menduga, sebelum Imam Syafii menerbitkan risalahnya yang terkenal itu, "Ar Risalah", untuk membela posisi hadis, kedudukan hadis Nabi belum sepenting seperti yang kita saksikan setelah risalah itu muncul. Setelah terbitnya Ar Risalah itu, kedudukan hadis menjadi semacam "second scripture" yang hampir mendekati Quran. Sementara, ada sejumlah hadis yang justru melarang pembukuan hadis (la taktubu 'anni ghairal Quran, misalnya). Bahkan Sahabat Umar dikenal paling benci pada orang-orang yang terlalu banyak meriwayatkan hadis. Saya kira, ada kekhawatiran zaman itu bahwa jika hadis terlalu banyak beredar, maka kedudukannya akan menyaingi Quran. Sebelum lahirnya Al Bukhari pada abad ke-3 Hijriyyah (300 tahun setelah wafatnya Nabi), hadis belum menjadi disiplin yang begitu terstandarkan seperti kita kenal selama ini. Seperti pernah ditunjukkan oleh Fazlur Rahman, yang terjadi pada masa pra-kodifikasi hadis itu adalah bahwa para sahabat dan tabiin mengikuti "sunnah" atau tradisi yang hidup, bukan hadis dalam pengertian "sabda Nabi yang diingat dan ditransmisikan secara turun temurun" seperti kita kenal selama ini. Ini tercermin dalam mazhab Maliki, di mana "sunnah" atau "ijma" atau "atsar" atau "'amal" atau tradisi yang hidup dalam kalangan penduduk Madinah bisa menjadi sumber hukum.
Masalah lain adalah kritik matan. Ini bidang yang sangat tertinggal perkembangannya dalam ilmu hadis. Ada semacam pemahaman umum, jika sebuah hadis dari segi sanad sudah "oke", maka hadis itu harus kita ikuti. Ini sesuai dengan kaidah yang ditetapkan oleh Imam Syafii, "idza shahha al hadis fa huwa madzhabi" (jika sebuah hadis sudah terbukti sahih, maka itu adalah mazhabku). Kaidah ini jelas bermasalah. Pertama, itu adalah pendapat pribadi Imam Syafii, artinya bukan sesuatu yang datang dari Quran. Jadi, boleh kita ikuti, boleh tidak. Kedua, prinsip itu jelas tidak masuk akal. Sebab, bagaimanapun matan atau teks hadis haruslah dinilai berdasarkan Quran (dalam pandangan Islam liberal, bahkan harus dinilai pula berdasarkan parameter yang lain, yaitu konteks kemaslahatan sosial yang lebih luas). Banyak hadis yang tak sesuai dengan semangat Quran, misalnya hadis tentang perintah pembunuhan atas orang murtad. Bagi saya, ini bertentangan dengan semangat "la ikraha fi al din". Saya tak bisa terima hadis itu dari segi matan. Atau sekurang-kurangnya, kita harus menafsirkan ulang hadis itu.[30]
Menurut penulis soal tuduhan inkar sunnah terhadap Ulil Abshar Abdalla belum layak dilakukan. Sikap Ulil sepertinya tidak berbeda dengan Ahmad Khan yang menyepelekan hadis shahih yang bertentangan dengan pandangannya dan menerima hadis  lemah yang sesuai dengan pandangannya. Tuduhan itupun datang dari orang yang tidak senang dengan produk pemikiran JIL.
 Meski memunculkan sikap antara menolak dan menerima hadis, upaya kritik matan yang diusungnya menampakkan garis yang jelas dengan sikap Mu’tazilah. Maka pemikiran Ulil Abshar Abdalla bukanlah sesuatu yang orisinil.
 VI.      Penutup
Demikianlah gambaran singkat tentang golongan Inkar Sunnah yang menghebohkan umat Islam. Dalam makalah ini penulis mengungkapkan tentang sejarah, perkembangan dan alasan-alasan mereka dalam menolak hadis atau sunnah Rasulullah SAW. Kesimpulan singkat yang ingin penulis kemukakan adalah:
1)      Inkar Sunnah tidak lebih kesalahan pemahaman tekstual dari orang yang tidak berilmu.
2)      Jika ada ada yang melakukan di luar indikasi itu maka hal itu dilakukandengan niat tidak baik seperti untuk menyerang Islam melalui sumber ajarannya.
Akhirnya makalah ini penulis akhiri dengan tetap membuka ruang debat dan kritik demi pemahaman yang lebih baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.
                                                                         

DAFTAR BACAAN


Al-Qur’an al Karim
al Khatib, Muhammad Ajaj, Ushul al Hadits,Pokok-pokok Ilmu Hadits, Jakarta,Gaya Media Pratama, 1998
Amal, Taufik Adnan,  Ahmad Khan, Bapak Tafsir Modernis,Jakarta,Teraju,2004
A’zhamy, Muhammad Musthafa. Dirasat fi al Hadith al Nabawi wa TarikhTadwinih, al Maktab al Islami Beirut, 1400 H/1980 M. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta,Pustaka Firdaus,1994
Dewan Redaksi Ensiklopedia Islam, Jakarta,Ikhtiar Baru Van Hoeve,1994
Harian Umum Singgalang, Inkarsunnah, Padang, Rabu 11 Oktober 2006
http://www.freewebs.com/ulil-awam/hadits.htm, diakses 16 Desember 2006
Ismail, Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, Jakarta,Gema Insani Press, 1995
Safri, Edi, Melacak Pandangan Dalimi Lubis tentang Penolakannya terhadap Sunnah (Kajian Kritis Penganut Paham Inkar Sunnah di Padang Panjang), Padang, Baitul Hikmah Press, 2001
St. Roestam dkk., Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 1992


Catatan Akhir

[1]Muhammad Ajaj al Khatib, Ushul al Hadits, Pokok-pokok Ilmu Hadits, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), h.2
[2] Harian Umum Singgalang, Inkarsunnah, Padang, Rabu 11 Oktober 2006
[3] Ibid
[4] M.M. A’zhamy mengutip cerita ini dari al Mustadrak: 109-110 dalam bukunya Dirasat fi al Hadith al Nabawi wa TarikhTadwinih, al Maktab al Islami Beirut, 1400 H/1980 M. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Ali Mustafa Ya’qub, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, (Jakarta: Pustaka Firdaus,1994) h.41
[5] M.M. A’zhamy, Ibid.,h.42
[6] Ibid
[7] St. Roestam dkk., Menelusuri Perkembangan Sejarah Hukum dan Syari’at Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1992), h.199
[8] M.M. A’zhamy, op.cit., h.43
[9] Ibid. h.46
[10] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam….h.
[11] Ibid
[12] Harian Umum Singgalang, op.cit.
[13] M.M. A’zhamy, op.cit., h.47
[14] Taufik Adnan Amal, Ahmad Khan, Bapak Tafsir Modernis, (Jakarta: Teraju,2004) h.76
[15] Golongan ini juga disebut Inkar Sunnah mutlak, atau Inkar al sunnah bi al dzat, atau mereka menyebut dirinya Jama’ah ahl al Qur’an., St. Roestam dkk., op.cit.
[16] Inkaru ba’dh al sunnah, St. Roestam dkk., op.cit.,h.200
[17] Inkaru al sunnah bi ghairi thariq al manqul., op.cit.,h.201
[18] Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsunya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995) h.16
[19] M.M. A’zhamy, op.cit., h.47
[20] Syuhudi Ismail, op.cit., h.19
[21] Di antara yang berpendapat seperti ini, Muhammad Abduh, Taufiq Sidqi. Di Sumatera Barat terkenal Dalimi Lubis.
[22] Pendapat Kasim Ahmad dalam Syuhudi Ismail,op.cit., h.20
[23] Ibid., h.21
[24] Pendapat Taufiq Sidqi dalam artikelnya “al-Islam Huwa al-Qur’anWahdah. Ibid
[25] Pendapat Kasim Ahmad dalam Syuhudi Ismail, Ibid
[26] St. Roestam dkk., op.cit.,h.205
[27] Lihat M.M. A’zhamy, op.cit., h. 57-75
[28] Harian Umum Singgalang, op.cit.
[29] Edi Safri, Melacak Pandangan Dalimi Lubis tentang Penolakannya terhadap Sunnah (Kajian Kritis Penganut Paham Inkar Sunnah di Padang Panjang, (Padang: Baitul Hikmah Press, 2001) h. 53-54
[30] http://www.freewebs.com/ulil-awam/hadits.htm, diakses 16 Desember 2006

No comments: