08 October 2017

FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN: PERIODE MODERN



Muhammad Nasir


 Foto: Sumber tak diketahui, pinjam dulu bos!
 PENDAHULUAN
Sejarah berasal dari kata Syajarah yang berarti pohon. Pohon menurut Suparlan Suhartono[1] mempunyai sifat alami yaitu "pertumbuhan ke arah tertentu". Pengertian di atas dapat membatu memberi pemahaman bahwa sejarah bukanlah sesuatu yang statis; merujuk pada masa silam saja. Lebih dari itu merujuk pertumbuhan dan perkembangan pada tujuan tertentu (tellos).
Filsafat dalam pengertian yang lazim dan sederhana adalah cinta atau senang kepada hikmah atau kebenaran. Sebagai induk ilmu pengetahuan filsafat bertugas meneropong hal-hal yang diketahui setiap orang namun belum diketahui sepenuhnya.[2] Pada tahap tertentu, sesuatu yang diketahui dapat diterima akal dan menjadi kebenaran.
Sementara istilah modern merujuk pada zaman di mana sebuah kebenaran menemukan bentuknya sendiri, setelah mengkritisi kebenaran yang diterima sebelumnya. F. Budi Hardiman mensinyalir modernitas sebagai reaksi kaum intelektual yang diwarnai gerakan sosial politis yang sangat kritis terhadap zaman sebelumnya.[3]
Dari kaitan di atas dapat disimpulkan bahwa sejarah filsafat modern berarti suatu pembahasan tentang perkembangan kecerdasan akal manusia dalam memformulasikan kebenaran melalui analisis kritis terhadap pemikiran sebelumnya.
Filsafat ilmu pengetahuan modern tidak dapat dilepaskan dari sejarah filsafat modern. Materi yang dibahas pada periode filsafat modern secara langsung menjadi titik tolak kajian filsafat ilmu pengetahuan modern. Jadi sejarah filsafat ilmu pengetahuan periode modern yang dibahas pada makalah singkat ini terarah pada dinamika pemikiran manusia dalam memecahkan persoalan manusia demi terwujudnya kehidupan yang lebih baik.[4]
Dalam tulisan ini akan dijelaskanan beberapa istilah seperti modern dengan beberapa variannya, semangat atau fokus filsafat modern dan beberapa aliran utama filsafat modern berikut tokoh-tokohnya.


ISTILAH MODERN DALAM PERMULAAN
ZAMAN FILSAFAT MODERN
  1. Modern
Modern berasal dari kata latin moderna yang berarti sekarang, baru, atau saat kini.[5] Modern juga sering dinamakan dengan kata contemporary atau up to date. Tetapi modern lebih menekankan pada segi waktu yaitu waktu kini (the present) yang bergerak dari waktu sebelumnya.[6] Jika demikian pengertian modern, maka sesuatu yang modern berarti hal-hal yang berkaitan dengan masa sekarang. Jika sesuatu yang berlaku pada masa sekarang tidak beranjak/ beralih dari kecendrungan dan gaya berpikir masa lalu --sekali lagi, meskipun terjadi pada masa sekarang-- bukanlah hal yang modern. Begitu juga dengan pemikiran atau filsafat yang masih bercorak masa lalu yang masih berlaku saat ini, bukanlah filsafat modern.
  1. Asal-usul filsafat modern (Permulaan Filsafat Modern)
Berangkat dari istilah modern, Filsafat modern berarti sebuah kecendrungan meninggalkan corak filsafat sebelumnya berikut corak dan pemikirannya atau minimal melakukan upaya kritik yang revolusioner terhadap pemikiran sebelumnya. Persoalannya, mengapa yang lama itu ditinggalkan dan muncul sesuatu yang disebut modern? Untuk menjawab pertanyaan ini paling tidak perlu dipahami bagaimana dan kapan"modernisasi" itu terjadi.
Mempertanyakan filsafat modern dalam proses perkembangannya dapat berarti mengandaikan bahwa proses itu tidak lepas dari cara manusia berpikir dan menyimpulkan pemikirannya.
Filsafat modern muncul dalam rentang waktu abad ke-17 hinggga ke-18. masa itu dikenal sebagai dasar-dasar gerakan pemikiran modern.[7] Prosesnya bermula di Inggris dan berlanjut di Perancis.[8]
Sementara ahli sejarah sepakat bahwa sekitar tahun 1500-an adalah awal zaman modern di Eropa. Sejak itu, kesadaran waktu akan "kekinian" muncul di mana-mana.[9]
Rustam E. Tamburaka menyatakan perkembangan filsafat zaman modern berlangsung dari abad ke-17-19 M yang dimulai dari masa Renaissance yang berarti kelahiran kembali, yaitu usaha untuk mengembalikan kebudayaan klasik (Yunani, Romawi) di mana manusia dan akalnya berperan penting.[10]
Maryam Jameelah menilai modernisme sebagai pemberontakan radikal melawan agama serta nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya. Pemberontakan ini melahirkan gerakan renaissance di Eropa. Gerakan ini meledak pada abad ke-18 dan mencapai puncak pada abad ke-19.[11]
Terlepas dari perbedaan kemunculan filsafat modern di atas dapat dipahami bahwa ia diawali oleh gerakan renaissance dengan tokoh-tokoh penggeraknya Machiavelli (1469-1527), Giordano Bruno (1548-1600), dan Francis Bacon (1561-1626). Maka filsafat modern diawali sejak era Rene Descartes (1596-1650)[12] yang disebut sebagai pelopor filsafat modern Eropa.



DASAR ALIRAN DAN
SEMANGAT FILSAFAT MODERN
Filsafat modern adalah model kesadaran baru manusia terhadap dirinya. Kelahiran corak pemikiran ini tidak lepas dari posisi manusia terhadap dirinya, termasuk alam raya.
Menurut Poedjawijatna, yang mendasari aliran filsafat modern adalah kesadaran atas yang individual dan yang kongkrit. Manusia tidak lagi memusatkan pikirannya pada tuhan dan surga, melainkan pada dunia dengan manusia sebagai pusatnya.[13]
Franz Magnis Suseno berpendapat filsafat Modern merupakan bantahan terhadap terhadap model pandangan abad pertengahan yang theosentris. Pandangan ini telah membuat manusia kehilangan jati dirinya sebagai unsur alam semesta meskipun dari segi hirarkis manusia menempati ordo tertinggi. Maka filsafat modern telah mengantar manusia sebagai pusat alam semesta (antroposentris), sekaligus kehilangan kepolosannya sebagai warga jagat raya.[14]
Baharuddin Ahmad[15] menyebutkan dua faktor modern sebagai istilah baru. Pertama, pemisahan alam langit dan alam bumi. Penganut modernisme menganggap alam langit sebagai realitas subjektif dan alam bumi sebagai realitas objektif.Kedua, penganut modernisme menganggap tuhan sebagai penafsiran manusia, padahal manusia adalah dasar itu sendiri.
Budi Hardiman menyatakan tiga elemen modernitas, yaitu 1). subjektifitas dengan menempatkan manusia sebagai subjek/pusat realitas. 2). kritik sebagai kinerja rasio yang berfungsi sebagai sumber pengetahuan sekaligus kemampuan praktis untuk membebaskan individu dari tradisi yang menyesatkan. 3). Kritk pada akhirnya mengantar manusia kepada kemajuan (progress). Hal inilah yang tidak ditemui pada abad pertengahan. Maka semangat yang diusung para filsuf modern adalah semangat perlawanan terhadap pemikir abad pertengahan.[16]
Hasan Bakti Nasution menulis gerakan modernisme sebagai upaya melepaskan manusia dari keterkaitan agama. Ia mencontohkan bagaimana Galileo Galilei (1564-1642) dibatasi kebebasannya ketika mengajukan pemikiran yang bertentangan dengan gereja.[17]
Demikian juga Maryam Jameelah yang dahulu bernama Margaret Marcus manyatakan modernisme sebagai pemberontakan melawan agama.[18]
Harry Hammersma menetapkan revitalisasi manusia sebagai titik fokus kenyataan. Penulisan ini membawa dua hal yang sangat penting yaitu kekuasaan gereja dan berkuasanya ilmu pengetahuan.[19]
Sementara Sidi Gazalba menilai modernisme sebagai upaya melepaskan diri dari belenggu kebudayaan, tradisionalisme-isolasionisme, kosmosentrisme dan keterbelakangan. Bisa juga dimaknai dengan upaya pembebasan diri dari ketergantungan kepada alam menjadi ketergantungan kepada iptek.[20]
Penulis ingin mengulas  beberapa pendapat di atas sebelum menyimpulkan dasar dan semangat apa yang melahirkan modernisme sebagai sebuah pemahaman bahkan sebagai isu filsafat modern.
Manusia sebagai makhluk berpikir dan berpotensi verbal (hayawan al-nathiq) telah melewati pengalaman kosmosentris (alam sebagai titik tolak realitas) seperti dipertujukkan para pemikir Yunani. Berikutnya, dengan bimbingan agama dan faktor spiritual baik berupa wahyu (revealed) ataupun non wahyu (unrevealed) telah menempatkan tuhan sebagai titik tolak (theosentris) hingga pada abad ke-15 muncul kesadaran untuk menjadikan manusia sebagai titik tolak (anthroposentris).
Semangat para penggagas modernisme adalah untuk menempatkan manusia sebagai penanggungjawab/ pelaksana tunggal tugas-tugas mengurus dunia sebelum dipanggil tuhan keharibaanNya. Tidak heran pada masa kemunculannya terjadi "peperangan" antara pemegang otoritas keagamaan dengan kaum rasionalis pemuja akal include para pemikir dan filosof.
Kesimpulan dari dari dasar atau semangat filsafat modern menurut hemat penulis adalah semangat peralihan yang mendasar dari pemikiran teologi kepada corak ilmu pengetahuan dan teknologi. Penulis juga berkeyakinan bahwa tuhan tidak hilang sama sekali dari kepala filosof modern, namun tidak lagi pada posisi yang menetukan (determinant).
ESENSI SEJARAH
FILSAFAT ILMU PERIODE MODERN
Dari penjelasan di atas, akan lebih mudah menemukan esensi dari pemikiran filsafat ilmu periode modern. Jika semangat filsafat modern peralihan yang mendasar dari pemikiran teologi kepada corak ilmu pengetahuan dan teknologi, maka sejarah filsafat ilmu periode modern merupakan babak baru perkembangan ilmu pengetahuan yang lebih metodologis dan aplikatif.
Misalnya, untuk mengetahui berapa jumlah gigi kuda seseorang yang hidup di zaman modern tidak perlu membuka mulut seekor kuda atau lebih, namun cukup dengan menanya pendapat ahli yang sudah melakukan penelitian dan ahli di bidangnya. Hal ini menunjukkan kepercayaan orang-orang modern terhadap ilmu dan ilmuwan. Maka ilmu pengetahuan dan kredibilitas ilmuan menjadi ciri terpenting zaman modern.
Bertrand Russel sebagaimana dikutip George Mouly berkata:
"...untuk manusia modern yang terdidik, seakan-akan suatu hal yang biasa bahwa kebenaran suatu fakta harus ditentukan oleh pengamatan, dan tidak berdasarkan pada konsultasi dengan seorang ahli. Walaupun begitu, hal-hal ini benar-benar adalah suatu konsepsi modern, sesuatu yang hampir tidak pernah dilakukan sebelum abad ketujuhbelas."[21]
ALIRAN FILSAFAT MODERN
DAN TOKOH-TOKOHNYA.
Poedjawijatna merilis 16 aliran filsafat modern yaitu rasionalisme, empirisme, kritisisme, idealisme, tradisionalisme, positivisme, evolusionisme, materialisme, neokantianisme pragmatisme, realisme kritis, neohegelianisme, filsafat hidup, fenomenologis, eksistensialisme dan neotomisme.[22]
Beberapa literatur lainnya memuat aliran yang sama namun dengan kuantitas yang berbeda. Hal itu tergantung pada minat dan unit analisis para penulisnya. Penulis akan mengurai beberapa saja di antara aliran ini mengingat esensi pembahasannnya adalah perdebatan eksistensi humanisme yang dirintis pada zaman renaissance sebagai basic perkembangan hidup manusia.
Menurut penulis berkembangnya berbagai aliran ini disebabkan berbedanya pengertian tentang sumber daya "kemanusiaan". Ada yang menyatakan budi sebagai sumber pengetahuan, ada yang  menyatakan pengalaman dan sebagainya. Di antara  aliran terpenting tersebut adalah:
1.      Rasionalisme
Aliran ini memandang rasio atau akal sebagai sumber segala pengertian. Karena itu akal manusia menempati posisi yang sangat penting. Pangkal dari aliran ini adalah keragu-raguan. Jika seseorang berkeinginan untuk menjawab keragu-raguan itu, maka muncul sebuah kesadaran baru yaitu mendayagunakan akal (ratio). Ragu-ragu-ragu adalah awal untuk mencapai kepastian.
Tokoh utama aliran ini adalah Rene Descartes sekaligus pelopor pemikiran filsafat modern. Ungkapan terkenalnya adalah cogito ergo sum!;saya berpikir maka saya ada. Tokoh lainnya adalah Baruch de Spinoza (1632-1667), Leibniz (1646-1716) dan Blaise Pascal (1623-1662). Hal yang menarik tentang tiga tokoh yang disebut barusan, meski berada dalam satu aliran, justru berbeda dalam memahami ratio antara akal dan akal budi.
Misalnya, Blaise Pascal sebagaimana ditulis Tamburaka[23] menolak rasio dalam arti akal, tetapi lebih jauh ia mementingkan akal budi atau hati. Artinya, rasio bukanlah akal kosong, tetapi akal yang dipandu oleh hati sebagai sarang  keyakinan.
Rene Descartes termasuk pemikir yang beraliran rasionalis. Ia cukup berjasa dalam membangkitkan kembali rasionalisme di barat. Muhammad Baqir Shadr memasukkannya ke dalam kaum rasionalis. Ia termasuk pemikir yang pernah mengalami akan pengetahuan dan realita, namun ia selamat dan bangkit menjadi seorang yang meyakini realita. Bangun rasionalnya beranjak dari keraguan atas realita dan pengetahuan. Ia mencari dasar keyakinannya terhadap, alam, jiwa dan kota Paris. Ia mendapatkan bahwa yang menjadi dasar atau alat keyakinan dan pengetahuannya adalah indra dan akal. Ternyata keduanya masih perlu didiskusikann, artinya keduanya tidak memberikan hal yang pasti dan meyakinkan. Lantas dia berpikir bahwa segala sesuatu bisa diragukan, tetapi ia tidak bisa meragukan akal pikirannya. Dengan kata lain ia meyakini danmengetahui bahwa dirinya ragu-ragu dan berpikir. Ungkapannya yang popular dan sekaligus fondasi keyakinan dan pengetahuannya adalah  “Saya berpikir (baca: ragu-ragu), maka saya ada.”
Argumentasinya akan realita menggunakan silogisme kategoris bentuk pertama, namun tampa menyebutkan premis mayor. Saya berpikir,Setiap yang berpikir ada, maka saya ada.[24]
2.      Empirisme
Empirisme dalam perkembangan filsafat modern adalah lawan dari rasionalisme. Menurut aliran ini, sumber pengetahuan adalah pengalaman sebagai kinerja manusia. Aliran ini bahkan memandang filsafat tidak ada gunanya bagi kehidupan manusia. Yang berguna hanyalah ilmu yang didapatkan melalui indra (pengalaman).[25] Manusia menurut mereka terlahir putih bersih (tabularasa). Persentuhan indera dengan realitaslah yang membawa manusia pada kepastian atau pengetahuan.
Tokoh pengusung aliran ini adalah Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), David Hume (1711-1776). Hobbes adalah orang yang menegaskan pemisahan filsafat dari teologi. Menurutnya objek penelitian filsafat adalah obyek yang dapat dialami (dirasakan) oleh tubuh kita (indra).[26]
3.      Kritisisme 
Kritisisme dianggap sebagai penengah pemikiran rasionalisme dan empirisme yang saling bertentangan. Penengah di sini menurut hemat penulis adalah sekedar jeda (cease fire) kedua aliran terdahulu. Menurut Poedjawijatna, pertentangan antara kedua kubu ini sekedar menentukan “…manakah yang sebenarnya sumber pengetahuan, manakah pengetahuan yang benar? Masing-masing minta kedaulatan…”[27]
Aliran ini disebut kritisisme karena tokoh pembangunnya yaitu Immanuel Kant (1724-1804) mencoba mengkritisi lebih dalam kedua aliran yang bertentangan tersebut. Hasil studi kritis ini pada akhirnya menjadi kesimpulan yang kompromis yaitu:
“…bagaimana pun fungsi akal adalah yang pertama dan utama. namun akal harus mengakui persoalan-persoalan yang di luar jangkauannya. Pada waktu akal tidak dapat meraih pengetahuan, di sinilah batas-batas di mana akal tidak berlaku lagi”[28]
4.      Idealisme
Ajaran ini dibangun oleh murid-murid Immanuel Kant yang tidak puas dengan pernyataan tentang “akal yang terbatas.” Murid-murid Kant ini mencari dasar baru bagi pemikiran filsafatnya. Akhirnya mereka memutuskan “aku” sebagai subjeknya. Tokoh pembangun aliran ini adalah Johan Gottlieg Fichte (1762-1814).[29] Fichte pada dasarnya setuju dengan Kant soal pengalaman sebagai sumber pengetahuan. Namun pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman sebagai presentasi.
Bentuk lain dari diaspora pemikiran Kant adalah filsafat Identitas sebagai pengembangan filsafat “aku” yang didukung oleh Friederich Wilhelm Joseph Schelling (1775-1854). Bagi Schelling, identitas tidak mengenal prioritas roh dan alam. Jika sesuatu itu absolute dalam tataran ideal, maka absolute juga dalam tataran real. Roh identik dengan alam.[30]
Selanjutnya, sebagai tokoh besar aliran ini yang tidak mungkin dilupakan adalah Georg Wilhem Hegel (1770-1831) yang terkenal dengan filsafat dialektikanya (tesis→antitesis→sintesis→tesis baru→dst..)[31]
5.      Positivisme
Aliran ini mengakui hal-hal yang bersifat jelas dan pasti (exact) dan bermanfaat.[32] Misalnya matematika, fisika, biologi dan ilmu kemasyarakatan. Tidak heran, aliran filsafat sangat berjasa dalam mengembangkan teori-teori ilmu pasti semisal ilmu matematika,fisika, biologi dan ilmu kemasyarakatan seperti yang tersebut di atas.
Tokoh utamanya adalah Auguste Comte (1789-1857). Menurut Comte, jiwa dan budi adalah basis teraturnya masyarakat. Budi mengalami tiga tingkatan yaitu teologi→metafisika→Science (Positif). Karena teori inilah filsafat yang disusun Comte dinamai positivism.
6.      Evolusionisme
Tidak layak menyebut aliran ini tanpa mengikutsertakan Charles Darwin (1809-1882) sebagai penggagasnya. Menurutnya makhluk hidup termasuk manusia adalah perkembangan tertinggi dari makhluk hidup yang lebih rendah. Proses perkembangan ini disebut evolusi. Pemikiran ini menimbulkan kegoncangan dan tantangan, terutama dari kelompok agama.
Pemikirannya yang lain yang juga terkenal adalah teori survival of the fittest, yang terbaik yang akan bertahan serta pemikiran struggle for life, berjuang untuk hidup.
7.      Materialisme
Materialisme adalah tema filsafat yang paling menghebohkan setelah teori evolusi Darwinisme. Sang penggagas yaitu Karl Marx (1818-1883) menggunakan metode dialektika Hegel namun memisahkan isi teologisnya. Pemikirannya telah digunakan oleh pengikutnya untuk melawan kelas kapitalis, borjuis bahkan kritik terhadap politik dan agama mapan saat itu.
Marx juga dikenal dengan dua penemuan besar berupa konsepsi materialisme dialektika histories dan pembongkaran terhadap rahasia produksi kapitalis. Dengan penemuan ini, sosialisme yang ia kembangkan menjadi ilmu[33]
PENUTUP
Dari penjabaran di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya filsafat modern muncul sebagai upaya melepaskan diri dari cara berpikir yang dikendalikan agama, prinsip spiritual bahkan dari hal yang tidak masuk akal seperti mitos. Sebagai titik tolak filsafat modern adalah manusia (antrophosentris). Namun demikian tidak sepenuhnya dapat diklaim bahwa pemikiran filsafat modern lepas sepenuhnya dari nilai-nilai agama dan spiritualitas. Hanya saja, hal-hal yang demikian tidak lagi menjadi sentral atau titik tolak pemikirannya. Pada taraf tertentu, agama justru menjadi tujuan.
Sesuatu yang dapat diterima dengan kehadiran pemikiran modern adalah bahwa corak pemikiran ini telah menjadi pintu gerbang  peralihan yang mendasar dari pemikiran teologi kepada corak ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka sejarah filsafat ilmu periode modern merupakan babak baru perkembangan ilmu pengetahuan yang lebih metodologis dan aplikatif.
Wallâhu a’lam bi al shawăb

                                                               Padang, Desember 2006
                                                               Rusydi Ramli & Muhammad Nasir




















DAFTAR BACAAN

Efendi, Edi A. (ed.) Islam dan Dialog Budaya Jakarta, Puspa Swara,1994
Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzche, Jakarta,Gramedia Pustaka Utama,2004
Hasan, Muhammad Kamal, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, Jakarta, Lingkar Studi Indonesia,1987
Jameelah, Maryam, Islam dan Modernisme, diterjemahkan oleh A. Jaenuri dan Syafiq A. Mughni, Surabaya, Usaha Nasional,1982
Nasution, Hasan Bakti, Filsafat Umum, Jakarta, Gaya Media Pratama,2001
Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, Jakarta, Rineka Cipta,1990
Suhartono, Suparlan, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, Yogyakarta, Arruz, 2005
Suriasumantri, Jujun S., Ilmu dalam Perspektif, Kumpulan karangan tentang hakikat Ilmu, Jakarta,Yayasan Obor Indonesia,1999 cet. Keempat belas
Suseno, Franz Magnis, Filsafat sebagai Ilmu Kritis,Yogyakarta, Kanisius,1992
Tamburaka, Rustam Efendi, PengantarIlmu Sjarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan Iptek, Jakarta,Rineka Cipta,1999
Makalah Ust. Husein al-Kaff dalam kuliah Filsafat Islam di Yys. Pendidikan Islam al-Jawwad, t.t., dikumpulkan oleh Baharuddin dalam format CD Buku Digital Milenial, Februari, 2005
http://en.wikipedia.org/wiki// Karl Marx, dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, diakses tanggal 22 November 2006



[1] Suparlan Suhartono, Sejarah Pemikiran Filsafat Modern, (Yogyakarta:Arruz,2005),h.15
[2] Rustam Efendi Tamburaka, PengantarIlmu Sjarah, Teori Filsafat Sejarah, Sejarah Filsafat dan Iptek, (Jakarta:Rineka Cipta,1999), h.129
[3] F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzche,(Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,2004) h.1.
[4] Lebih lanjut dapat dibaca dalam Suparlan Suhartono, op.cit., h.15-31
[5] F. Budi Hardiman,op.cit.,h.2
[6] Suparlan Suhartono, op.cit., h.26
[7] Franz Magnis Suseno,Filsafat sebagai Ilmu Kritis,(Yogyakarta:Kanisius,1992), h.56
[8] Ibid., h.58
[9] Maryam Jameelah, Islam dan Modernisme, diterjemahkan oleh A. Jaenuri dan Syafiq A. Mughni (Surabaya: Usaha Nasional,1982), h.39
[10] Rustam E. Tamburaka, op.cit.,h.269
[11] Beberapa literature yang sempat dilacak “muttafaqun alaih” mendaulat Rene Descartes sebagai pelopor filsafat modern. Berdasarkan asumsi ini penulis cendrung kepada pendapat yang menyatakan filsafat modern bermula pada abd ke-17 sejak akal Descartes berfungsi maksimal.
[12] Poedjawijatna, Pembimbing ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta Rineka Cipta,1990) h.97-98.
[13] Poedjawijatna, ibid.,h
[14] Franz Magnis Suseno, op.cit., h.61
[15] Edi A. Efendi (ed.) Islam dan Dialog Budaya (Jakarta: Puspa Swara,1994) h.
[16] F.Budi Hardiman, op.cit., h.3-5
[17] Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Jakarta: Gaya Media Pratama,2001) h.167-168
[18] Maryam Jameelah,op.cit
[19] R.E. Tambur aka, op.cit.
[20] Muhammad Kamal Hasan, Modernisasi Indonesia, Respon Cendikiawan Muslim, (Jakarta: Lingkar Studi Indonesia,1987) h.45
[21] Jujun S. Suriasumantri,Ilmu dalam Perspektif, Kumpulan karangan tentang hakikat Ilmu, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1999), cet. Keempat belas, h.87.
[22] Poedjawijatna, op.cit.,h.99-149
[23] R.E. Tamburaka, op.cit., h.269-270
[24] Makalah Ust. Husein al-Kaff dalam kuliah Filsafat Islam di Yys. Pendidikan Islam al-Jawwad, t.t., dikumpulkan oleh Baharuddin dalam format CD Buku Digital Milenial, Februari, 2005
[25] Suparlan Supartono,op.cit., h.53
[26] F.Budi Hardiman, op.cit., h. 67
[27] Poedjawijatna,op.cit., h.107
[28] Suparlan Supartono,op.cit., h. 54-55
[29] Ibid. h.56
[30] F.Budi Hardiman,op.cit., h.157-166
[31] Suparlan Supartono, op.cit., h.57
[32] Hasan Bakti Nasution, op.cit., h.182-183
[33] http://en.wikipedia.org/wiki// Karl Marx, dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia, diakses tanggal 22 November 2006

No comments: